Cerai Gugat ( studi deskriptif kualitatif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi cerai gugat di kota Surakarta)

CERAI GUGAT

Studi Deskriptif Tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Cerai Gugat di Surakarta

Disusun Oleh : Kunti Faizah

D 0302037

Disusun dan diajukan untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat meraih Gelar Sarjana Sosial pada Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk diuji/dipertahankan di depan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 5 April 2010 Dosen Pembimbing

Dra. Sri Hilmi Pujihartini, Msi

PENGESAHAN

Telah diuji dan disahkan oleh Panitia penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari

Tanggal

Panitia penguji

1. Dra. Suyatmi M.S (_____________________) NIP. 19520929 198003 2 001

Ketua

2. Eva Agustinawati, S.Sos, M.Si (_____________________) NIP. 19700813 199512 2 001

Sekretaris

3. Dra. Sri Hilmi Pujihartati M,Si (_____________________) NIP. 19630730 199103 2 001

Penguji

Mengetahui Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Dekan,

Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP. 19530128 198103 1 001

MOTTO

· Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. · Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja

keras (untuk urusan yang lain). · Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.

(QS. AL-INSYIRAH )

· Lakukan yang terbaik untuk hidupmu apapun itu lakukan dengan mantap, biarpun perlahan berusahalah untuk mencapai cita-citamu.

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk,

· Bapak dan ibuku tercinta yang telah memberika limpahan kasih sayang · Buat suami tercinta dan anakku yang telah memberikan spirit di setiap

langkahku dan memberikan warna disetiap pandanganku. · Buat sahabat-sahabat Sosiologi, semoga kita selalu dalam ikatan tali

persaudaraan.

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah melimpahkan rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ” CERAI GUGAT (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cerai Gugat di Surakarta).

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs.H. Supriyadi, SN SU, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Hj.Trisni Utami, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dra. Hj. Sri Hilmi P., M.S, selaku Sekretaris Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta dan Pembimbing Skripsi, yang telah banyak memberikan berbagai petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.

4. Drs. Suyatmi, M.S, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan bantuan, serta kepada seluruh Dosen yang telah memberikan banyak pelajaran selama penulis menempuh studi di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Bapak Muh. Mursyid, SH, selaku Wakil Panitera Pengadilan Agama Surakarta yang telah memberikan ijin dan memberikan informasi untuk penulisan skripsi ini.

6. Seluruh responden atas segala bantuan dan kerja samanya, sehingga skripsi ini dapat tersusun.

7. Seluruh staf Perpustakaan FISIP UNS maupun Perpustakaan Pusat UNS, atas layananya yang sangat menunjang dalam penulis menyelesaikan studi penulis.

8. Keluargaku atas kasih sayang dan segala yang telah diberikan, yang tak akan mungkin penulis balas semuanya.

9. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi dan selama penulis belajar pada Jurusan Sosiologi FISIP UNS, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sebagai sebuah karya tulis ilmiah, skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran kontruktif sangat penulis harapkan dari semua pihak, untuk kemudian dijadikan sebagai suatu pelajaran.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Tak lupa atas segala kekurangan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Surakarta, Penulis

KUNTI FAIZAH

ABSTRAKSI

KUNTI FAIZAH, 2010, ”CERAI GUGAT” Skripsi, Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini berjudul ” Cerai Gugat” ( Studi Deskriptif Kualitatif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi cerai gugat di kota Surakarta). Penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut karena banyaknya tingkat perceraian yang terjadi di surakarta. Para isteri tidak merasa terbebani dengan predikat janda setelah adanya perceraian.

Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara langsung kepada responden yang dianggap mampu menjawab dan menjabarkan permasalahan perceraian. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan variasi maksimum dan dalam pemilihan responden secara porposive sampling yaitu memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data dan mengetahui masalah penelitian secara mendalam. Fokus dari penelitian ini adalah para isteri yang sedang mengalami permasalahan rumah tangga dan wanita-wanita yang mengalami perceraian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perceraian dapat terjadi kerena kurangnya kepercayaan dan kurangnya komunikasi antara suami dan isteri, selain itu kekerasan dalam rumah tangga juga mewarnai alasan terjadinya perceraian terutama cerai gugat ( perceraian yang diajukan oleh pihak isteri). Faktor lain yang mempengaruhi cerai gugat antara lain karena adanya poligini, perselisihan atau percekcokan yang terus menerus dan perselingkuhan.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu hal yang suci, sebagaimana telah dirumuskan dalam pasal 1 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi bangsa Indonesia suatu perkawinan dinilai bukan hanya untuk memuaskan nafsu biologis semata akan tetapi merupakan suatu yang sangat sakral. Hal ini tersirat dalam penjelasan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut:

“Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan erat sekali hubungannya dengan agama. Sehingga dalam perkawinan bukan hanya merupakan unsur lahir tetapi unsur rohani yang mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunannya yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua” (Lili Rasjidi, 1981:1)

Suatu ikatan lahir batin adalah ikatan yang dapat dirasakan, untuk mengungkapkan adanya suatu hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan kata lain dapat disebut hubungan formal. Hubungan formal seperti itu merupakan hubungan ikatan batin yang harus terjadi. Karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh, sehingga perkawinan memerlukan keduanya. Sebab bila hanya ikatan lahir

atau ikatan batin saja tidak cukup. Perkawinan itu erat hubungannya dengan agama, karena itu suatu perkawinan harus dijaga agar didapatkan suatu keluarga yang tentram dan penuh kasih sayang sesuai dengan tuntutan agama. Tujuan perkawinan adalah mensahkan ikatan lahir batin seorang pria dan wanita yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang berbahagia dunia akherat serta melahirkan keturunan yang berkualitas. Lebih lanjut Lili Rasjadi mengatakan bahwa tujuan perkawinan tersebut dapat dicapai jika diantara suami istri saling membantu dan melengkapi. Dengan semikian masing-masing pihak dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Keluarga yang ideal merupakan keluarga yang didalamnya terwujud kehidupan yang sakinah dan mencapai kebahagiaan dunia akherat sebagai seorang bapak, ibu, dan anak. Tetapi pembentukan keluarga yang ideal tersebut tidaklah mudah, karena memerlukan ketulusan dan pengorbanan satu sama lain. Keberanian mengambil keputusan untuk berkeluarga berarti keberanian suami istri untuk menanggung segala resiko dan permasalahan yang akan terjadi didalamnya. Akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa mempertahankan perkawinan itu tidaklah mudah. Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan serta ingin hidup sampai akhir hayat, seringkali keinginan tersebut kandas ditengah jalan karena adanya berbagai hal. Permasalahannya kalau tidak diselesaikan menyebabkan terjadinya pertikaian dan bahkan terjadi perceraian.

Berbagai masalah muncul setelah perkawinan berjalan dari tahun ketahun. Masalah yang tidak terselesaikan mengakibatkan pasangan suami istri bertengkar sampai akhirnya berlanjut pada keputusan untuk bercerai, karena merasa sudah tidak ada kasih sayang dan kecocokan yang ada dalam rumah tangga mereka. Mereka memilih meninggalkan ikatan perkawinan mereka daripada mempertahankan keutuhan keluarga. Dari masalah yang timbul dalam keluarga sendiri dapat dilihat keegoisan masing-masing pasangan yang tetap mempertahankan pendapatnya. Sikap individual merasuk dalam pikiran mereka sehingga mereka tidak dapat lagi berpikir bagaimana harus menyelesaikan kemelut yang ada dalam rumah tangga mereka. Kurangnya kontrol sosial dalam masyarakat dan keluarga besar dapat menyebabkan seseorang dengan mudah mengambil keputusan untuk bercerai.

Perceraian sebenarnya menunjukkan adanya derajat pertentangan yang tinggi antara suami dan istri untuk memutuskan ikatan dua turunan keluarga yang menyangkut persoalan penyesuaian diri bagi orang-orang tua dan anak-anak yang bersangkutan (Goode, 1985:187). Dampak yang dirasakan oleh anggota keluarga lain cukup besar terutama pada perkembangan anak. Banyak anak-anak yang kurang kasih sayang karena orang tuanya bercerai. Perkembangan mental anak menjadi rapuh karena kekecewaan anak terhadap sikap orang tua mereka sebagai tempat identifikasi mereka.

Dalam keluarga apabila salah satu pihak istri atau suami merasa dirugikan yang bersangkutan dapat meminta tuntutan ataupun gugatan cerai di Pengadilan Agama. Tuntutan atau gugatan yang muncul perlu ada alasan-alasan Dalam keluarga apabila salah satu pihak istri atau suami merasa dirugikan yang bersangkutan dapat meminta tuntutan ataupun gugatan cerai di Pengadilan Agama. Tuntutan atau gugatan yang muncul perlu ada alasan-alasan

Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk perceraian terurai dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemauannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Kemudian R. Sarjono seperti yang dikutip oleh Lili Rasjidi mengatakan hahwa alasan-alasan tersebut diatas adalah limitatife sifatnya, dalam arti tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan selain yang disebut dalam Undang-undang. Sehingga tanpa alasan-alasan tersebut pihak Pengadilan Agama tidak mau menerima gugatan cerai (Lili Rasjidi, 1983:5)

Tabel 1 Data Perceraian di Surakarta tahun 2005 Bulan

Cerai

Cerai gugat

Sumber : Pengadilan Agama Surakarta tahun 2006 Angka perceraian dari bulan ke bulan ditahun 2005 diatas sebagai

fakta bahwa perkawinan seolah telah mengalami penurunan nilai kesakralannya dan perceraian menjadi hal yang tidak tabu lagi. Perceraian yang terjadi di Kota Surakarta pada tahun 2005 didominasi oleh perceraian yang diajukan oleh pihak istri (cerai gugat) daripada cerai yang diajukan oleh pihak suami (cerai talak). Angka perceraian selama tahun 2005 mencapai angka 402 kasus dengan rincian cerai talak sejumlah 128 kasus dan cerai gugat sebanyak 274 kasus. Perceraian mencapai angka tertinggi pada bulan Desember yaitu sebanyak 41 kasus, terdiri dari 27 kasus cerai gugat dan 14 kasus cerai talak. Sedangkan angka perceraian fakta bahwa perkawinan seolah telah mengalami penurunan nilai kesakralannya dan perceraian menjadi hal yang tidak tabu lagi. Perceraian yang terjadi di Kota Surakarta pada tahun 2005 didominasi oleh perceraian yang diajukan oleh pihak istri (cerai gugat) daripada cerai yang diajukan oleh pihak suami (cerai talak). Angka perceraian selama tahun 2005 mencapai angka 402 kasus dengan rincian cerai talak sejumlah 128 kasus dan cerai gugat sebanyak 274 kasus. Perceraian mencapai angka tertinggi pada bulan Desember yaitu sebanyak 41 kasus, terdiri dari 27 kasus cerai gugat dan 14 kasus cerai talak. Sedangkan angka perceraian

Fakta perceraian diatas menunjukkan bahwa tujuan berkeluarga yang semestinya terwujud melalui perkawinan tidak dapat tercapai, terutama jika dikaitkan dengan lebih tingginya perkara gugat cerai dari pada gugat talak. Pada konteks budaya, istri yang seharusnya sebagai pengelola rumah tangga dan pencipta suasana menyenangkan dalam keluarga pada kenyataannya justru sebagai pihak yang berinisiatif melakukan gugatan cerai. Pada dasarnya dihadapan hukum, suami dan istri mempunyai hak yang sama dalam mengajukan gugatan perceraian, tetapi dalam konsep hukum Islam hak talak mutlak dimiliki oleh suami. Sedangkan fakta di Surakarta justru pihak istri yang lebih banyak menggunakan hak cerainya dengan cerai gugat.

B. Perumusan Masalah

Berdasar pada uraian latar belakang masalah diatas maka muncul permasalahan yaitu “Alasan-alasan apa saja yang mendorong seorang istri melakukan gugatan cerai terhadap suaminya”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui berbagai alasan-alasan atau sebab-sebab terjadinya cerai gugat.

b. Untuk menggambarkan perceraian yang ada di Surakarta.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk melengkapi gelar sebagai persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas dan mengembangkan pengetahuan dalam melakukan penelitian di lapangan yang sangat berguna bagi penyusun ataupun bagi peneliti-peneliti yang akan mengambil tema yang sama.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai salah satu sumber wacana untuk menambah pengetahuan tentang berbagai hal yang menyebabkan istri lebih banyak mengajukan gugatan cerai.

b. Sebagai satu dari berbagai sumber materi tentang cerai gugat jika ada pengembangan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi semacam bahan pertimbangan bagi istri yang bermaksud menggugat cerai di Pengadilan Agama Surakarta pada khususnya.

b. Memberikan masukan pemikiran bagi pihak yang berkepentingan mengenai perkara perceraian atas gugatan pihak istri di Pengadilan Agama Surakarta.

E. Landasan Teori

Sosiologi menurut Sorokin adalah hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan sebagainya. (Soekanto, 1997:20)

Paradigma merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan karena paradigma merupakan kesatuan konsensus yang terluas dan secara lebih jelas dikemukakan oleh George Ritzer sebagai berikut:

“Pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline)”. (Ritzer, 1992:8)

Ritzer membagi paradigma menjadi tiga paradigma yaitu:paradigma fakta sosial, Paradigma definisi sosial, dan Paradigma perilaku sosial. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial,dengan tokoh yang terkenal yaitu Max Weber. Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Dari sini kemudian muncul konsep penafsiran dan pemahaman/interpretatif understanding/verstehen (Weber dalam Ritzer, 1992:44)

Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja akibat dari pengaruh situasi serupa atau berupa persetujuan pasif dari situasi tertentu.

Bertolak dari konsep dasar tindakan dan antar hubungan sosial, Max Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian Sosiologi yaitu:

a. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.

b. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.

c. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam- diam.

d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.

e. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

Atas dasar rasional tindakan sosial, Weber membedakan ke dalam empat tipe tindakan. Semakin rasional, maka semakin mudah tindakan tersebut dipahami. Macam tindakan itu adalah sebagai berikut:

1. Zwerk rational Yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuan itu sendiri. Tujuan dalam tindakan ini tidak absolute. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah memahami tindakannya itu.

2. Werktrational Action atau Rasionalitas yang berorientasi nilai. Dalam tindakan tipe ini tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjukkan kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk difahami.

3. Affectual Action Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura- puraan si aktor. Tindakan ini sulit dipahami karena kurang atau tidak rasional.

4. Traditional Action Yaitu tindakan yang didasarkan pada kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu. (Weber dalam George Ritzer, 1985:47-48)

Penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan mengenai alasan- alasan yang mendorong istri untuk melakukan gugatan cerai kepada suaminya. Tindakan istri yang melayangkan gugatan cerai tersebut adalah tindakan yang nyata dilakukan oleh istri. Tujuan dalam tindakan ini tidak absolut, ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Dalam hal ini istri adalah sebagai aktor yang berkelakuan dengan cara yang paling rasional.

Teori tindakan sosial atau teori aksi adalah salah satu teori yang akan digunakan dalam menganalisa penelitian ini. Teori aksi dikembangkan oleh Talcot Parson. Parson merupakan salah satu sosiolog yang menekankan satu kesatuan yang utuh dan melekat dalam sebuah sistem. Menurut Parson ada lima karakteristik tindakan aktor yaitu:

a. Adanya individu sebagai aktor

b. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan tertentu

c. Aktor mempunyai alternatif car, alat serta taktik untuk mencapai tujuannya

d. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu

e. Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan.

Selanjutnya Parsons menjelaskan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh hal-hal yang berasal dari luar dirinya. Aktor dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya. Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu tempat (status) tertentu dan bertindak (berperan) sesuai dengan norma/aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku ditentukan pula oleh kepribadiannya. ( Poloma, 2003:171)

Dari asumsi tersebut jelas bahwa aktor mengejar suatu tujuan dan memiliki banyak alternatif pilihan untuk mencapainya. Norma yang berlaku dimasyarakat tidak mutlak menjadi pedoman yang harus dipakai, sehingga aktor mempunyai alternatif untuk memilih tindakan yang tepat baginya. Dalam hal ini istri mengejar suatu tujuan, yaitu untuk melepaskan ikatan perkawinan (gugatan cerai). Tindakan tersebut tidak semata-mata muncul begitu saja, tetapi akibat pengaruh kondisi dan situasi yang dihadapi istri. Sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian dari individu juga berpengaruh dalam munculnya tindakan istri.

Pengertian hak dan kewajiban para pelaku, dikaitan dengan masing- masing status dan peranan para pelaku (suami dan istri). Peranan dan status bersumber pada sistem penggolongan yang ada pada keutuhan masyarakat yang bersangkutan, dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud. Adanya hak dan kewajiban dalam suatu keluarga, menuntut seseorang untuk menjalankan peran demi terlaksananya hak dan kewajiban tersebut. Masing-masing orang akan menjalankan perannya sendiri-sendiri.

Menurut Soerjono Soekanto, peranan (role) pada hakekatnya merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peran (Soerjono Soekanto, 1990 : 268). Peranan yang melekat pada diri seseorang itu sendiri berbeda dengan posisi (kedudukan) seseorang dalam pergaulan masyarakat, karena posisi merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat Menurut Soerjono Soekanto, peranan (role) pada hakekatnya merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peran (Soerjono Soekanto, 1990 : 268). Peranan yang melekat pada diri seseorang itu sendiri berbeda dengan posisi (kedudukan) seseorang dalam pergaulan masyarakat, karena posisi merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan dapat juga dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Soekanto, 1988 : 268)

Perbedaan status dan peranan pria dan wanita disebabkan oleh faktor biologis.. Wanita sudah sewajarnya hidup dilingkungan rumah tangga (melahirkan, membesarkan anak, memasak, memberi perhatian pada suami, dan sebagainya), suami mempunyai tugas diluar rumah tangga untuk mencari makan bagi keluarga. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan seorang Profesor Sosologi dari Universitas di Ottawa yaitu Ann B. Denis dalam Jurnalnya yang berjudul “ The Women’s Movement”. Petikan pernyataannya adalah sebagai berikut:

“ The task of women often take place at home and in the private sphere,though women are also active in the publik sphare. Neither men nor women have the concept of separating work from home duties, so women’s place in the economy is hardly recognized and economic contributions are credited to men”. ( www.sagepub.com 19 Mei 2010)

(Tugas perempuan (isteri) sering terjadi di dalam rumah tangga,meskipun perempuan (isteri) juga aktif di luar lingkungan rumah tangga atau di ruang publik. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki konsep yang memisahkan tugas pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga tempat perempuan dalam perekonomian keluarga hampir tidak ada dan (Tugas perempuan (isteri) sering terjadi di dalam rumah tangga,meskipun perempuan (isteri) juga aktif di luar lingkungan rumah tangga atau di ruang publik. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki konsep yang memisahkan tugas pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga tempat perempuan dalam perekonomian keluarga hampir tidak ada dan

Secara garis besar bidang pekerjaan di masyarakat terbagi dua, yaitu sektor publik dan sektor domestik. Dua sektor yang menghasilkan dua peran yang berbeda pula bagi pelakunya. Pada masyarakat, kedua peran tersebut didistribusikan dengan tegas berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Peran publik untuk laki-laki dan peran domestik untuk wanita. Laki-laki sebagai pencari nafkah dan bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarganya sedangkan wanita bertanggung jawab pada pengasuhan dan pendidikan anak serta segala urusan kerumahtanggaan. Peran disektor domestik yang juga dianggap sebagai peran tradisional bagi istri adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam rumah tangga. Pekerjaan domestik dalam rumah tangga yang tidak menghasilkan misalnya mengurus rumah, merawat anak.

Adapun pengertian keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup (Soekanto, 1990:1)

Kekacauan dalam keluarga merupakan bahan pergunjingan umum karena semua orang mungkin saja terkena salah satu dari berbagai jenisnya, karena pengalaman itu biasanya dramatis, menyangkut pilihan moral dan penyesuaian-penyesuaian pribadi yang dilematis. Kekacauan keluarga menurut Wiiliam J.Goode (1985:186) ditafsirkan pecahnya suatu keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal Kekacauan dalam keluarga merupakan bahan pergunjingan umum karena semua orang mungkin saja terkena salah satu dari berbagai jenisnya, karena pengalaman itu biasanya dramatis, menyangkut pilihan moral dan penyesuaian-penyesuaian pribadi yang dilematis. Kekacauan keluarga menurut Wiiliam J.Goode (1985:186) ditafsirkan pecahnya suatu keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal

1. Ketidaksahan. Merupakan unit keluarga yang tidak lengkap. Dapat dianggap sama dengan bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya karena sang ayah atau ibu tidak menjalankan perannya.

2. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan. Terputusnya keluarga disini disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan, dan demikian berhenti melaksanakan kewajiban perannya.

3. Keluarga selaput kosong. Disini anggota keluarga tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan dukungan emosional satu dengan yang lain.

4. Ketidakadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan. Seperti suami atau istri meninggal, dipenjara karena peperangan dan sebagainya.

5. Kegagalan peran yang tidak diinginkan. Malapetaka dalam keluarga seperti penyakit mental,gangguan jiwa atau badaniah yang parah (Goode, 1985:186)

Perceraian diawali dengan konflik dalam perkawinan antara suami dan istri. Peran konflik dalam perkawinan akan menghasilkan perselisihan dan mengurangi rasa sayang pada pasangannya. Pasangan yang bercerai memegang banyak konsep yang berbeda dari peran sebagai suami atau istri.

Perceraian di Indonesia diatur oleh sebuah lembaga yang mengatur perceraian. Pasangan yang bercerai dapat mengajukan gugatan cerainya pada lembaga yang memiliki kuasa hukum yang sah. Adapun lembaga tersebut adalah:

a. Pengadilan Agama, lembaga ini khusus mengatur masalah perceraian menurut hukum Islam. Dimana orang-orang yang menggugat adalah kaum Muslim yang tercatat secara sah perkawinannya di Kantor Urusan Agama (KUA).

b. Pengadilan Negeri merupakan lembaga yang menangani masalah perceraian menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Dimana kasus perceraian termasuk dalam perkara perdata dan lembaga ada di bawah Departemen Kehakiman. Orang-orang yang menggugat cerai adalah orang-orang non muslim yang tercatat secara sah perkawinannya di catatan sipil yang merupakan lembaga di bawah Depertemen Dalam negeri (Nakamura, 1991 : 44)

Menurut William J. Goode, bersamaan dengan proses industrialisasi, dapat diamati suatu perubahan yang terjadi secara global, yaitu bahwa keluarga dimana-mana mengalami perubahan kearah bentuk yang disebut keluarga Konjugal, dimana keluarga batih menjadi semakin mandiri melakukan peran- perannya lebih terlepas dari kerabat-kerabat luar suami atau istri. Secara ekonomi, keluarga konjugal lebih berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara tersendiri, tidak bersatu dengan kerabat luas. Seruan kecil ini semakin berdikari, ini juga berarti bahwa hubungan emosi diantara suami istri menjadi lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyebabkan hubungan mereka menjadi Menurut William J. Goode, bersamaan dengan proses industrialisasi, dapat diamati suatu perubahan yang terjadi secara global, yaitu bahwa keluarga dimana-mana mengalami perubahan kearah bentuk yang disebut keluarga Konjugal, dimana keluarga batih menjadi semakin mandiri melakukan peran- perannya lebih terlepas dari kerabat-kerabat luar suami atau istri. Secara ekonomi, keluarga konjugal lebih berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara tersendiri, tidak bersatu dengan kerabat luas. Seruan kecil ini semakin berdikari, ini juga berarti bahwa hubungan emosi diantara suami istri menjadi lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyebabkan hubungan mereka menjadi

Naiknya angka perceraian dimana istri menggugat cerai, lebih banyak disebabkan adanya perubahan yang mendasar dalam sistem nilai, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan dan lembaga keluarga, peranan perempuan dan peradaban status perempuan dalam masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut tampaknya telah mendorong kaum perempuan untuk mempertahankan martabatnya, yang dalam hal ini melalui suatu keputusan untuk menarik diri dari lembaga perkawinan yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan (Ihromi, 1999 : 140)

Perubahan-perubahan dalam struktur sosial yang mempengaruhi sistem keluarga sekaligus tingkat perceraian menurut Erma Karim dalam buku Bunga Rampai Sosiologi Keluarga oleh TO. Ihromi adalah:

1. Perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian. Masyarakat tidak lagi melihat perceraian sebagai suatu yang memalukan dan harus dihindarkan. Masyarakat dapat memahami perceraian sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan kemelut keluarga yang terjadi antara pasangan suami istri.

2. Perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga atau kerabat serta teman dan lingkungan ketetanggaan terhadap ketahanan sebuah perkawinan.

3. Adanya alternative yang bisa dipilih suami istri apabila bercerai. Bertambahnya banyak kemudahan dan alternative yang ada dalam masyarakat untuk pemenuhan hidup sehari-hari, memberi peluang kepada berkurangnya saling ketergantungan antara pasangan suami istri.

4. Adanya etos kesamaan derajat dan tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Berkembangnya etos ini merupakan tuntutan dari sistem industri yang memberi peluang sama kepada setiap orang berdasarkan kemampuan dan prestasi individu. Menurut Goode, perubahan etos manusia dapat berpengaruh pada munculnya ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami istri (Erna Karim dalam Ihromi, 1999 : 143-145)

Perceraian membawa dampak terutama pada anak sebagai anggota keluarga. Anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan rasa aman. Selain itu perceraian juga memberikan kontribusi terhadap tingkat kenakalan di kalangan remaja. Pernyataan sama dengan pernyataan Emery dalam Jurnal Internasional yang berjudul “ Relations Between Money and love in postdivorce families”,sebagai berikut:

“ That the divorce of their parents leads to a loss of economic esources for children,the economic standing of a family has been found to explain considerables variance in the behavior problems of children from divorced families. Postdivorce economic hardship has further been associated with negative outcomes among children”. ( www.sagepub.com , 19 Mei 2010)

(bahwa perceraian yang terjadi pada orang tua mereka menyebabkan hilangnya sumber daya ekonomi bagi anak-anak, permasalahan yang muncul pada anak-anak dari keluarga setelah perceraian ditemukan cukup banyak atau besar adalah adanya kesulitan ekonomi yang mengakibatkan dampak negatif pada anak-anak)

F. Tinjauan Pustaka

Khairuddin (1985:10) memberi definisi “Sosiologi keluarga adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar individu di dalam keluarga, hubungan keluarga dengan keluarga lainnya serta segala aspek-aspek yang timbul dari hubungan- hubungan tersebut”. Dalam pembahasan ini dikhususkan pada keadaan keluarga yang mengalami perceraian sebagai disorganisasi dalam keluarga.

Keluarga merupakan kelompok kecil dan terjalin dengan erat yang terangkum bersama melalui perkawinan. Apabila hubungan-hubungan sosial yang mengikat pasangan perkawinan menjadi runtuh maka kelompok itu sendiri juga akan runtuh.

Angka perceraian yang sangat mencolok di Solo menunjukkan bahwa gugatan cerai banyak dilakukan oleh para istri. Kebanyakan gugatan justru dialami oleh pasangan suami istri yang telah mapan ekonomi, sebab lain perkawinan usia muda, tekanan sosial, perselingkuhan, dll. Tekanan sosial (social pressures) yang terjadi di masyarakat perkotaan mengalami pergeseran norma. Misalnya:perceraian tidak dianggap sebagai aib, ekonomi perempuan lebih mapan, dan lain sebagainya. Kemandirian ekonomi perempuan ini menyebabkan banyaknya perceraian. Jadi perceraian semakin meningkat dengan perubahan norma yang tengah berlangsung.

Penelitian oleh Ruth Murwani Dumasthary dengan judul “Perceraian (studi Deskriptif tentang perceraian di Kalangan Istri Bekerja di Kota Surakarta)” yang juga sebagai acuan dalam penulisan ini. Penelitian tersebut berlokasi di Surakarta pada tahun 2000. Dari data yang diperoleh di Pengadilan Agama

diputuskan jumlah perceraian tahun 1996 adalah 298 kasus dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 382 kasus. Dari kasus yang masuk di Pengadilan Agama,faktor penyebab perceraian yang dominan terjadi pada tahun 2000 adalah tidak bertanggung jawab dengan jumlah kasus 124 dan sisanya terbagi dalam 6 kategori faktor penyebab perceraian lainnya. Sedangkan jumlah istri bekerja adalah 193 kasus baik cerai gugat maupun cerai talak. Penelitian tersebut bertujuan untuk menggambarkan perceraian di kalangan istri bekerja di Surakarta. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan sumber data yang berasal dari informan dan sumber tertulis. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara langsung. Informan terdiri dari 6 orang istri yang bekerja yang mengalami perceraian. Selanjutnya ditentukan 1 orang yang berlatar belakang pendidikan rendah yang ditalak, 1 orang yang berpendidikan sedang mengajukan cerai, dan 1 orang yang berpendidikan tinggi yang mengajukan cerai kepada suaminya. Sedangkan informan pendukung terdiri dari 3 suami dari istri bekerja yang bercerai, 1 orang anak dari istri yang bercerai, 2 pejabat pengadilan dan 1 pengacara, 2 tokoh agama, 2 tokoh masyarakat. Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling berdasarkan pendidikan dan jenis pengajuan cerai yaitu peneliti memperoleh informasi dari sumber yang mengetahui permasalahan secara mendalam dengan paduan wawancara (interview guide) dan observasi non partisipan. Teknik pengecekan data menggunakan trianggulasi data dimana peneliti mengecek ulang data yang sama dengan sumber yang berbeda. Di dalam menganalisa data digunakan interactive model of analysis diputuskan jumlah perceraian tahun 1996 adalah 298 kasus dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 382 kasus. Dari kasus yang masuk di Pengadilan Agama,faktor penyebab perceraian yang dominan terjadi pada tahun 2000 adalah tidak bertanggung jawab dengan jumlah kasus 124 dan sisanya terbagi dalam 6 kategori faktor penyebab perceraian lainnya. Sedangkan jumlah istri bekerja adalah 193 kasus baik cerai gugat maupun cerai talak. Penelitian tersebut bertujuan untuk menggambarkan perceraian di kalangan istri bekerja di Surakarta. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan sumber data yang berasal dari informan dan sumber tertulis. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara langsung. Informan terdiri dari 6 orang istri yang bekerja yang mengalami perceraian. Selanjutnya ditentukan 1 orang yang berlatar belakang pendidikan rendah yang ditalak, 1 orang yang berpendidikan sedang mengajukan cerai, dan 1 orang yang berpendidikan tinggi yang mengajukan cerai kepada suaminya. Sedangkan informan pendukung terdiri dari 3 suami dari istri bekerja yang bercerai, 1 orang anak dari istri yang bercerai, 2 pejabat pengadilan dan 1 pengacara, 2 tokoh agama, 2 tokoh masyarakat. Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling berdasarkan pendidikan dan jenis pengajuan cerai yaitu peneliti memperoleh informasi dari sumber yang mengetahui permasalahan secara mendalam dengan paduan wawancara (interview guide) dan observasi non partisipan. Teknik pengecekan data menggunakan trianggulasi data dimana peneliti mengecek ulang data yang sama dengan sumber yang berbeda. Di dalam menganalisa data digunakan interactive model of analysis

Dari penelitian ini, Ruth Murwani Dumasthary menggambarkan bahwa perceraian di kalangan istri bekerja adalah sebagai berikut

1. Pandangan mereka terhadap perceraian adalah jalan keluar terbaik untuk mengakhiri konflik yang terjadi terus menerus.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di kalangan istri yang bekerja adalah tidak tanggung jawab.kasus perceraian yang diajukan oleh suami terjadi karena kurangnya tanggung jawab istri dalam menjalankan perannya sebagai anggota keluarga sedangkan istri yang mengajukan cerai disebabkan karena suami tidak bertanggung jawab kepada keluarga.

3. Jenis pekerjaan berpengaruh terhadap kontrol sosial di lingkungan pekerjaan.

4. Kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai budaya menyebabkan nilai rukun dan nilai hormat tidak terwujud dalam keluarga baik oleh suami maupun istri yang mengakibatkan percekcokan yang tidak terhindari antara pasangan tersebut. Pengaruh kultur patriarki yang kuat dalam masyarakat menimbulkan perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan gender. Dalam hal ini termanifestasi dalam bentuk kekerasan, subordinasi dan stereotipe atau pelabelan negatife pada perempuan. Hal ini menimbulkan konflik dalam keluarga ketika istri merasa diperlakukan semena-mena oleh suaminya.

5. Pemahaman terhadap nilai-nilai keharmonisan rumah tangga untuk mewujudkan keluarga yang kekal dalam agama kurang sehingga tidak memberikan tuntunan dan bimbingan untuk membentuk keluarga yang harmonis.

6. Kurangnya pemahaman mengenai fungsi keluarga yang akan mengakibatkan kurangnya pemahaman dalam menjalankan peran sebagai anggota keluarga yang baik.

7. Hukum adalah alat yang sah yang memberikan kepastian terhadap status cerai mereka dan kuat secara hukum.

G. Kerangka Konsep

Ketegangan keluarga yang terbatas pada konflik antara suami dan istri mengancam stabilitas perkawinan dan mengakibatkan disorganisasi. Proses disorganisasi dalam perkawinan berasal dari konflik yang berlangsung dalam sikap-sikap yang meregangkan ikatan bersama dari pasangan suami-istri.

Khairuddin (1985:133) memberikan keterangan bahwa ketegangan- ketegangan yang saling berdampingan tersebut mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :

1. Hilangnya secara berangsur-angsur tujuan-tujuan keluarga, sehingga tujuan pribadi menjadi lebih penting dari pada tujuan keluarga.

2. Usaha kerja sama semakin menurun.

3. Tidak adanya pelayanan yang baik di antara suami-istri.

4. Hubungan-hubungan interpersonal tidak lagi terkoordinasi.

5. Berubahnya hubungan antara suami-istri dengan kelompok-kelompok lainnya.

6. Terdapat pertentangan sikap-sikap emosional antara suami-istri. Scanzoni dan Scanzoni dalam T.O. Ihromi (1999:137) menggambarkan situasi dan kondisi menjelang perceraian diawali dengan “berhentinya” proses negosiasi antara pasangan suami-istri. Akibatnya pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat memuaskan masing-masing pihak. Masing-masing pihak kemudian merasa bahwa pasangannya sebagai “orang lain”.

Akan tetapi mengenai perceraian keluarga ini Goode dalam T.O. Ihromi (1999:142) memberikan pandapat yang berbeda. Goode menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat/keluarga yang bersangkutan mengalami diorganisasi. Ini mengingat adanya beberapa indikasi seperti :

1. Tingkat “hidup bersama” antar jenis kelamin yang berbeda tidak menjadi semakin tinggi.

2. Tidak menurunnya angka perkawinan resmi, bahkan di beberapa negara termasuk Indonesia terlihat semakin tinggi.

3. Adanya perubahan dalam sistem keluarga dan struktur sosial di masyarakat.

Pada umumnya ketegangan-ketegangan keluarga sebagai sebab dari perceraian oleh Khairuddin (1985:135) dibedakan atas ketegangan sosial dan ketegangan personal. Ketegangan sosial merupakan situasi awal dan timbul dari Pada umumnya ketegangan-ketegangan keluarga sebagai sebab dari perceraian oleh Khairuddin (1985:135) dibedakan atas ketegangan sosial dan ketegangan personal. Ketegangan sosial merupakan situasi awal dan timbul dari

Hubungan antara temperamen dan ketegangan-ketegangan perkawinan terkadang tidak kentara karena tertutupi oleh masa-masa bahagia pada awal perkawinan. Pria dan wanita yang memasuki perkawinan berusaha (umumnya tidak disadari) untuk memuaskan berbagai kebutuhan-kebutuhan psikologis mendalam yang banyak diantaranya adalah bersifat temperamen.

Khairuddin (1985:135) berpendapat bahwa temperamen dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari kualitas-kualitas genetika dalam diri seseorang yang menentukan reaksi-reaksi emosionalnya. Kualitas temperamen muncul dari pembawaan lahir pada umumnya walaupun dia dapat dikontrol tapi tidak dapat dibatasi.

Burgess dan Wallin dalam Khairuddin (1985:137) berpendapat bahwa penyesuaian kepribadian dari temperamen tersebut merupakan sesuatu komponen yang penting dan lebih penting bagi suami dari pada istri. Istri rupanya lebih perlu menerima penyesuaian yang lebih besar dari pada suami. Apabila wanita bertemu dengan temperamen yang berbeda dia mencoba berhubungan baik dengan suaminya, mengingat sang pria lebih memungkinkan menghentikan keputusannya. Perkawinan menjadi lebih penting bagi istri dan dia berkeinginan untuk mencoba kerja keras dalam melaksanakannya. Apabila kesulitan-kesulitan Burgess dan Wallin dalam Khairuddin (1985:137) berpendapat bahwa penyesuaian kepribadian dari temperamen tersebut merupakan sesuatu komponen yang penting dan lebih penting bagi suami dari pada istri. Istri rupanya lebih perlu menerima penyesuaian yang lebih besar dari pada suami. Apabila wanita bertemu dengan temperamen yang berbeda dia mencoba berhubungan baik dengan suaminya, mengingat sang pria lebih memungkinkan menghentikan keputusannya. Perkawinan menjadi lebih penting bagi istri dan dia berkeinginan untuk mencoba kerja keras dalam melaksanakannya. Apabila kesulitan-kesulitan

Terdapat pula perubahan temperamen yang dapat berpengaruh pada munculnya ketegangan-ketegangan dalam keluarga. Dalam kehidupan perkawinan menurut T.O. Ihromi (1999:145) tuntutan memperoleh kebahagiaan pribadi muncul secara sama dari pihak suami maupun istri. Istri tidak lagi harus mengalah dan serba menerima apa adanya karena istripun merasa berhak untuk mendapatkan kebahagiaan dari perkawinannya. Dari sudut keluarga, orientasi utama perkawinan dan membentuk keluarga mengalami pergeseran, dari orientasi kepada anak-anak dan keberhasilan anak-anak tersebut menjadi orientasi kepada hubungan pasangan suami-istri dalam perkawinan. Tuntutan tersebut mempengaruhi upaya yang dilakukan suami-istri untuk mempertahankan sebuah perkawinan.

a. Perceraian dan Istri yang bekerja Kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup dapat membuat seorang istri memiliki sumber daya pribadi sehingga mengurangi ketergantungan pada suami. Hai ini diperkuat oleh pernyataan dari William J. Goode (1985:154) bahwa bekerjanya sang istri meningkatkan pertentangan dalam perkawinan tapi tidak mengurangi mengurangi tingkat kebahagiaan umum di dalam keluarga. Seolah-olah ini hanya merupakan pertentangan-pertentangan internal yang meningkat dalam keluarga dengan kepuasan yang diperoleh sang wanita dari pekerjaan itu sendiri. Kesimpulan ini didukung oleh pernyataan dari F. Ivan Nye dalam buku yang sama, kenyataan bahwa perbedaan yang kecil itu a. Perceraian dan Istri yang bekerja Kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup dapat membuat seorang istri memiliki sumber daya pribadi sehingga mengurangi ketergantungan pada suami. Hai ini diperkuat oleh pernyataan dari William J. Goode (1985:154) bahwa bekerjanya sang istri meningkatkan pertentangan dalam perkawinan tapi tidak mengurangi mengurangi tingkat kebahagiaan umum di dalam keluarga. Seolah-olah ini hanya merupakan pertentangan-pertentangan internal yang meningkat dalam keluarga dengan kepuasan yang diperoleh sang wanita dari pekerjaan itu sendiri. Kesimpulan ini didukung oleh pernyataan dari F. Ivan Nye dalam buku yang sama, kenyataan bahwa perbedaan yang kecil itu