Deskripsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Di Kecamatan Buntumalangka

B. Deskripsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Di Kecamatan Buntumalangka

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai representasi permusyawaratan masyarakat harus menjalankan tugas dan fungsinya sebagai mitra pemerintah dalam melaksanakan kewenangan desa, baik dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan pembinaan kemasyarakatan. Musyawarah desa yang diselenggarakan oleh BPD ialah merupakan instrumen pengambilan keputusan secara demokratis dan partisipatif baik dalam perencanaan pembangunan maupun hal-hal yang bersifat strategis ditingkat desa. Maka kelembagaan BPD juga merupakan lembaga demokratis yang pengisian keanggotaannya dipilih secara langsung oleh masyarakat desa atau melalui musyawarah perwakilan dengan menjamin keterwakilan perempuan oleh unsur masyarakat yang mempunyai hak pilih. Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari 1 orang Ketua, 1 orang wakil ketua dan 1 orang sekretaris. Pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa dipilih dari dan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai representasi permusyawaratan masyarakat harus menjalankan tugas dan fungsinya sebagai mitra pemerintah dalam melaksanakan kewenangan desa, baik dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan pembinaan kemasyarakatan. Musyawarah desa yang diselenggarakan oleh BPD ialah merupakan instrumen pengambilan keputusan secara demokratis dan partisipatif baik dalam perencanaan pembangunan maupun hal-hal yang bersifat strategis ditingkat desa. Maka kelembagaan BPD juga merupakan lembaga demokratis yang pengisian keanggotaannya dipilih secara langsung oleh masyarakat desa atau melalui musyawarah perwakilan dengan menjamin keterwakilan perempuan oleh unsur masyarakat yang mempunyai hak pilih. Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari 1 orang Ketua, 1 orang wakil ketua dan 1 orang sekretaris. Pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa dipilih dari dan oleh

Permusyawaratan Desa yang diadakan secara khusus.

Di Kecamatan Buntumalangka dalam pelaksanaan pemilihan calon anggota BPD sudah berjalan secara demokratis, sebagai mana ungkapan dari Kepala Desa Salurindu mengatakan:

“Ya... memang selama ini dalam pemilihan pengisian keanggotan BPD di Desa Salurindu selalu dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh masyarakat dan Alhamdulillah selalu berjalan dengan lancar dan

damai” (Masdayuna,S,Ip).

Hal ini pun sedikit berbeda dengan apa yang ungkapkan Kepala Desa Buntumalangka dan Kepala Desa Ranteberang, mengatakan :

“Kalau di desa kami dalam pemilihan pengisian keanggotan BPD, dilaksanakan dalam musyawarah perwakilan oleh unsur masyarakat, karena jumlah penduduk banyak dan sebagian juga ada yang tinggal di rumah kebun, jadi kalau dilaksanakan melalui pemilihan langsung ya... saya kira Kurang efisien dan banyak biaya, tapi hasil musyawarah perwakilan selalu

senantiasa di sampaikan kepada masyarakat” (Modi dan Hanomoan,2016).

Dari pernyataan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan anggota BPD di kecamatan Buntumalangka sudah berjalan secara demokratis meski di desa Ranteberang dan desa Buntumalangka diselenggarakan dalam musyawarah perwakilan.

Adapun kendala dalam pencalonan dan pengangkatan keanggotaan BPD di kecamatan Buntumalangka dengan apa yang ungkapkan oleh ketua BPD desa Buntumalangka dan Ketua BPD desa Salurindu, mengatakan:

Bahwa selama ini kendala pencalonan BPD di desa kami, yaitu tidak ada masyarakat yang bersedia dicalonkan sehingga kami mengalami kesulitan dalam memilih, contohnya seperti saya (kata Yustus DL) seorang guru SD terpaksa saya bersedia ditunjuk sebagai calon BPD kara masyarakat lain yang syarat tidak ada yang bersedia. (Yustus DL,S.Pd dan Nurhasil, S.PdI,: 2016)

Hal tersebut diatas punjuga senada dengan apa yang di katakan kepala Desa Ranteberang, mengatakan Ee..... cukup kesulitan, karana dua tahun yang lalu waktu kami

mengadakan pemilihan BPD saya tunjuk langsung yang jadi calon karena masyarakat Ranteberang masih terbatas yang menjadi syarat, diukur dari tingkat pendidikan. (Hanoman,2016)

Dari pernyataan tersebut diatas penulis memberi kesimpulan bahwa pemilihan keanggotaan BPD di kecamatan Buntumalangka mengalami kendala yaitu keterbatasan yang menjadi calon disebabkan masyarakat tidak tertarik dengan jabatan sebagai anggota BPD dan sumber daya manusia masih sangat rendah sehingga kepala Desa sendiri yang menunjuk yang akan menjadi calon BPD dengan hal ini menyebabkan tidak adanya pemilihan secara kolektif yang menyebabkan adanya tindakan kepala Desa yang kolutif dan nepotis terhadap penentuan calon BPD sehingga menyebabkan hubungan Kepala Desa dan BPD terlihat harmonis yang berkerabatan, sehingga memungkinkan adanya tindakan korupsi karena BPD sebagai alat legitimasi keputusan kebijakan desa. Implikasinya kebijakan keputusan desa tidak berpihak pada warga miskin atau merugikan warga keseluruhan, karena hanya berpihak pada segelintir elit desa saja, Musyawarah desa tidak berjalan secara demokratis, meskipun proses musyawarah tetap ditempuh secara prosedural. Tindakan kepala desa ini legal secara hukum tetapi tidak legitimate secara politik dan dianggap seperti sosialisasi dengan hanya menginformasikan program pembangunan fisik. Warga masyarakat kurang di berdayakan dan bilamana ada komplain dari masyarakat tidak mendapat tanggapan dari BPD maupun pemerintah desa. Implikasinya warga masyarakat bersikap pasif

dan apatis.

Untuk penentuan jumlah anggota BPD di kecamatan Buntumalangka tidak terkontrol dengan baik, hal ini dapat dilihat dari desa/sampel di desa Ranteberang penduduknya berjumlah 1.235 jiwa dan luas wilayah 35.580 Km 2 dengan jumlah 9

dusun sedangkan jumlah BPD Cuma 5 orang. Jadi keterwakilan masyarakat dan luas wilayah tidak mewakili di kelembagaan BPD. Sedangkan di desa Buntumalangka jumlah BPD juga 5 orang dengan jumlah penduduk 857 jiwa, sedangkan jumlah BPD di desa Salurindu 4 orang padahal jumlah minimal 5 orang. Hal ini sebagai konsekuensi dari tidak adanya peraturan daerah kabupaten Mamasa tentang BPD sehingga menyebabkan penentuan jumlah anggota BPD di desa-desa tidak terkontrol dengan baik.

Kedisiplinan kelembagaan BPD di kecamatan Buntumalangka, berdasarkan pengamatan penulis masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat di kantor Desa Buntumalangka, Desa Salurindu Dan Desa Ranteberang, BPD kadang hadir kadang tidak meskipun sudah ada jadwal masuk kantor BPD dan adapun tata tertib BPD tidak pernah saya temukan di desa/sampel.

Peran BPD sebagai lembaga legislatif di tingkat desa yang berfungsi sebagai mitra kerja pemerintah desa di kecamatan Buntumalangka, baik dalam menyelenggarakan pemerintahan desa dan menetapkan peraturan desa sudah berjalan cukup baik hal tersebut sebagai mana yang dikemukakan oleh Sekretaris desa Buntumalangka mengatakan

Peran BPD di desa Buntumalangka saya kira kinerjanya sudah cukup baik hal ini dapat dilihat dari adanya usulan BPD dalam membuat peraturan desa tentang penggunaan turbin desa. Dengan adanya peraturan tersebut masyarakat lebih disiplin terhadap larangan penggunaan daya yang berlebihan dan penetapan biaya pemakayan serta waktu pembayaran. Perdes tersebut telah berhasil ditetapkan (Monorsentosa,Sp, 2016).

Pernyataan tersebut sama dengan apa yang di katakan oleh Sekretaris desa Ranteberanga mengatakan: BPD sebagai mitra kerja Kepala Desa sebagai mana telah

ditetapkannya peraturan Desa Ranteberang dengan maksud adanya untuk mengatur pemerintah desa dan masyarakat (Makdem, S.Pd, 2016)

Perdes adalah sebuah arena penting bagi BPD, sebuah perangkat hukum untuk memerintah dalam bentuk aturan main yang mempunyai banyak fungsi sebagai pembatas apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh pemerintah desa maupun masyarakat, juga menegaskan pola-pola hubungan antara lembaga di desa, pembentukan kelembagaan, penyelesaian masalah dan mengatur pengelolaan barang-barang milik desa. Maka peraturan desa harus berdasarkan dengan aspirasi masyarakat bukan sekedar merumuskan kepentingan elit desa dan hanya menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa, bahkan sering juga dibuatkan orang lain. Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan sekaligus lembaga pengawasan sebagai indokatornya dapat dilihat pada bagai mana peran BPD dalam mengoptimalkan pengelolaan pembangunan desa di Kecamatan Buntumalangka.