BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segala sesuatu yang terjadi pada manusia bukan begitu saja ada dan berada, tetapi senantiasa berencana dan membuat skenario sejarah
kehidupannya baik yang telah lalu dan yang berbentuk perencaan pada masa depan. “Temuan-temuan pengkajian tentang manusia saat ini telah
menunjukkan manfaat yang multi-disiplin. Dalam bidang psikologi misalnya, teori-teori tentang pendidikan, tidak saja untuk kepentingan psikologi semata,
tetapi juga untuk bidang-bidang lain seperti sejarah, ekonomi, politik, sosial, bahkan agama”.
1
Permasalah yang muncul kemudian adalah apakah sesuatu yang memiliki nilai pragmatis yang didasarkan atas pengkajian empiris-
eksperimental selalu sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang idealis seperti penerapan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesabaran, ketawadhuan,
sebagaimana Islam dan ajaran-ajaran lain yang tentunya mengajarkan kepada kebenaran dan kebaikan.
Saat ini manusia hidup di tengah-tengah kegalauan peradaban modern dalam menemukan bentuk jati dirinya. Terbukti dengan munculnya berbagai
macam permasalahan di bidang pendidikan, seperti masalah orientasi, tujuan dan proses pendidikan, menyebabkan terjadinya ketimpangan dan penurunan
nilai-nilai moral diantaranya nilai kejujuran. Bahkan telah menjalar dan
1
Fadilah Suralaga dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam. Jakarta: Press, 2005, cet. ke-1, hlm. 1
1
merasuk kepada nilai-nilai agama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan dan penurunan nilai-nilai kebenaran yang seharusnya tetap dijaga dan
dilestarikan. Setidaknya apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini bisa dijadikan ukuran. Ketika terjadi krisis ekonomi dan politik, bersamaan dengan
itu konflik sosial pun bermunculan di berbagai daerah. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang ramah dan memiliki tata krama yang
tinggi pun kini berubah menjadi bangsa yang brutal dan bengis, seolah-olah seperti bangsa yang tidak beragama.
Mencari orang jujur saat ini semakin sulit, yang banyak ditemui adalah orang yang memiliki kepribadian ganda yaitu kejujuran dan kemunafikan
bercampur menjadi satu. Nilai-nilai kejujuran tidak lagi menjadi esensi dan pegangan hidup seseorang, tetapi telah menjadi alat untuk memperjuangkan
berbagai kepentingan sempit. Dengan kata lain, kejujuran yang seharusnya menjadi nilai etis yang mewarnai hidup kita telah tereduksi sekedar menjadi
pemanis bibir di dalam kehidupan masyarakat. Sementara perilaku dan tindakannya jauh dari nilai-nilai kejujuran.
Orang jujur banyak di dalam masyarakat, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kemunafikan telah menjadi fenomena umum di masyarakat. Sindrom
verbalisme kejujuran yang menjadikan kejujuran hanya sebagai pemanis bibir adalah fenomena “masyarakat yang sakit”. Karena, kondisi ini secara langsung
maupun tidak langsung telah mendapat legitimasi dari masyarakat. Dalam masyarakat tersebut, nilai-nilai sosial dan agama semakin termarjinalkan
posisinya dalam melakukan kontrol terhadap prilaku anggota masyarakat. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah praktek ketidakjujuran yang
dilakukan oleh seorang peserta didik dalam proses pembelajaran, nilai-nilai kejujuran yang seharusnya diterapkan mulai dari kita mendapatkan pendidikan
formal tercoreng dengan kurang diperhatikannya nilai-nilai kejujuran. Misalnya seorang peserta didik yang mencontek ketika ulangan berlangsung,
dianggapnya sebagai kejadian yang wajar dilakukan peserta didik yang notabennya masih muda, padahal kejujuran harus diterapkan sedini mungkin
agar mengakar di dalam hati dan senantiasa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari apapun keadaannya. Dalam kasus yang bisa dikatakan sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, “bahwa dalam pelaksanaan Ujian Nasional UN
yang terjadi adalah para peserta didik memberikan kunci jawaban kepada temannya dan mereka sebarkan ke teman yang lain agar dapat menjawab
seluruh pertanyaan yang diujikan”.
2
Hal tersebut merupakan suatu kesalahan yang tertanam semenjak dini, mereka merasa itu perbuatan yang biasa-biasa
saja, padahal hal tersebut akan menjadi kebiasaan buruk yang akan dibawa ke jenjang yang lebih tinggi dan bahkan bisa juga akan menjalar ke tingkah laku
sehari-hari. Kasus lain pun banyak terjadi disaat maraknya penerimaan siswa baru dan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Salah satu kasus terjadi di
tempat pendaftaran siswa atau mahasiswa baru, “beberapa anggota dewan meloby panitia dengan memberikan sejumlah uang agar putra putrinya dapat
diterima di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi negeri dengan mudah”.
3
Hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak mencerminkan kejujuran.
Seharusnya semua calon peserta baru diperlakukan sama dengan yang lain sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku, tanpa ada pembedaan anak pejabat
atau orang biasa semua ketentuan harus dilalui dan dijalani dengan jujur. Sesuatu yang sangat berpengaruh dari dalam diri manusia ternyata
benar-benar ada. “kecerdasan” itulah terminologi yang mula-mula dinisbatkan oleh para ilmuan. Kecerdasan adalah sesuatu yang berdiam dalam diri
manusia. Kecerdasan bisa saja diartikan semacam kemampuan, ketangkasan, kelihaian dan kecerdikan. Orang-orang berpacu untuk menjadi manusia yang
cerdas, karena hanya dengan kecerdasanlah seseorang bisa menjadi yang terpandai dan sukses. Setidaknya ketika manusia menyebut cerdas maka yang
terbesit dan terbayang adalah kelihaian dan kecanggihan kerja otak. Otak yang cerdas tentunya menjadi idaman setiap orang, ketika yang
terjadi demikian, maka para pakarpun menjadi tertarik untuk meneliti otak, lalu mulailah otak diteliti dengan berbagai metode, sehingga “ditemukanlah
dalam otak itu, syaraf-syaraf yang bisa dikembangkan, kejeniusan otak, otak
2
Nusantara, Koran Kompas, sabtu, 29 Mei 2010, NIKABK, hlm. 23
3
Didaktika, Koran Republika, kamis 01 Juli 2010, hlm. 9
kanan dan otak kiri, kalau otak kanan kecenderungannya ke mana, kalau otak kiri ke mana, dan hal-hal lain yang terkait dengan otak”.
4
Di samping itu pula dapat ditemukan kelemahan-kelemahan dari otak tersebut.
Contohnya Albert Enstein sebagai manusia yang memiliki otak jenius dari jutaan otak yang ada di dunia yang dimiliki manusia. Ketika ada berita
Enstein sebagai orang yang amat pandai otaknya, dia dielu-elukan sebagai orang yang jenius, hal itu menggugah masyarakat untuk mengukur kecerdasan
otaknya. Maka berbondong-bondonglah manusia berdatangan kepada para pakar untuk mengukur kecanggihan dan melihat otaknya. Karena sudah
tertanam dalam benak mereka, bahwa orang yang hebat kerja otaknya dia adalah orang yang hebat dan akan sukses sebagaimana Enstein, mereka sudah
mengasumsikan otak adalah segalanya di dunia dan menjadi standar bagi kesuksesan manusia. Persepsi seperti ini masih berkembang dan berakar di
masyarakat Indonesia sampai saat ini. Lahirlah term baru yang cukup fenomenal yang kemudian menjadi icon
pertama bagi lahirnya terminologi kecerdasan, yaitu apa yang disebut IQ Intellectual Quotient atau “Kecerdasan Intelektual”. IQ ini sangat populer
khususnya di dunia pendidikan, bagaimana tidak, dalam dunia pendidikan atau kalangan akademisi kepiawaian kognisi merupakan hal paling dijargonkan,
diutamakan dan menjadi simbol menentukan dari keberhasilan pendidikan. Dengan kecerdasan intelektual orang dapat menguasai dunia, dengan
kecerdasan intelektual siswa dapat menjadi bintang kelas, dan dengan kecerdasan intelektual orang akan menjadi yang paling hebat.
Benar bahwa dalam diri manusia memang masih banyak tersimpan potensi lain selain hanya kecerdasan otak semata, bahkan potensi-potensi itu
dapat menjadi faktor utama bagi kesuksesan manusia sendiri. Pada akhirnya kelemahan-kelemahan dari kecerdasan otak IQ mulai terkuak setelah kurang
lebih selama satu abad lamanya banyak orang yang mengagung-agungkan kemampuan otak dibandingkan yang lain. Karena, tiba-tiba orang yang cerdas
4
Dedhi Suharto, AK, Qur’anic Quotient QQ, Jakarta: Yayasan Ukhuwah, 2003, cet. ke-1, hlm. 10
otaknya menjadi seorang yang pemurung, orang yang lihai menjadi kaku, orang yang jago berbicara menjadi seorang yang pendiam, situasi ini justru
menggambarkan bahwa orang-orang yang cerdas lebih bodoh dari orang- orang yang biasa-biasa saja. Kalaupun tidak sebodoh orang biasa yang semula
cerdas dalam sekolahnya berubah menjadi orang yang berandal, brutal, egois dan bahkan dapat melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh masyarakat
dan agama. Berdasarkan hasil survey di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang
IQ ternyata ditemukan sebuah paradoks yang membahayakan. Ketika skor IQ anak-anak makin tinggi, maka emosi mereka justru menurun.
Yang paling mengkhawatirkan lagi adalah dari hasil survey besar- besaran terhadap orang tua dan guru bahwa anak-anak generasi
sekarang lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang dengan generasi pendahulunya. Jika disamakan secara rata, anak-anak
sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas, impulsif dan
agresif.
5
Para ilmuan mengkaji dan meneliti situasi paradoks ini. Ada apa dengan orang-orang cedas otaknya, kenapa mereka menjadi tidak cerdas kembali, apa
yang mempengaruhi dan membuat mereka begini? Kemudian ditemukan peran emosi terhadap diri seorang anak, orang yang cerdas secara kognisi
ternyata mengalami tekanan perasaan yang begitu dalam, sehingga ia berubah seratus persen dan kecerdasan intelektualnya menjadi kurang domianan,
dengan sendirinya kenyataan menjawab. Kalau sebenarnya persepsi manusia sebelumnya telah salah, masih ada faktor lain yang sangat berpengaruh
terhadap belajarnya seorang pelajar, yaitu emosi. Emosi kemudian menjadi piranti yang perlu mendapat perhatian serius
dan ternyata juga perlu dicerdaskan karena berpengaruh besar terhadap perkembangan dan keberhasilan belajar. Lahirlah terminologi kecerdasan
emosi Emotional Quotient yang disingkat menjadi EQ. “Penemuan ini sangat fenomenal dan membuat dunia cukup terkesima, dengan penemuan ini
diharapkan problema yang selama ini menggandrungi dunia pendidikan
5
Ary Ginanjar Agustian, ESQ Emotional Spiritual Quotient, Jakarta: Arga, 2001, cet. ke- 2, hlm. 1
khususnya dalam proses pembelajaran dapat terpecahkan”.
6
Keinginan untuk memecahkan persoalan besar yang dihadapi membuat manusia selalu
berlebihan terhadap teori yang dimiliki, manusia terlalu mengandalkan dan seakan-akan menuhankan temuannya, oleh karena problemnya berada pada
emosi, kemudian konsentrasi manusia terpatri sepenuhnya terhadap gejala- gejala perasaan dan mengabaikan hal lain, manusia terjebak pada ruang yang
tidak kalah bermasalahnya dari problem sebelumnya, bahkan problem yang dihadapi lebih kompleks dan semakin rumit.
Kecerdasan emosi ternyata hanya dapat menyelesaikan satu persoalan dari jutaan persoalan yang dihadapi manusia. Karena ketika kecerdasan emosi
terus digalakkan, kecerdasan ini menjadi dominan dan mengungguli kecerdasan intelektual, sehingga hasilnya, seorang anak menjadi sangat
perasa, lemah dan pesimis dalam menghadapi pelajaran, kenyataan ini sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Harapan kita kecerdasan emosi
dapat bekerja sama dengan kecerdasan intelektual dan saling memback up dan juga saling melengkapi dalam dunia pendidikan khususnya pembelajaran.
Kedua kecerdasan ini seakan-akan tidak pernah akur dan bahkan berkompetisi untuk saling mendominasi dan menguasai antara satu dengan
lainnya. Andaikan keduanya dapat berjalan beriringan dan bahkan saling melengkapi, tentunya hasil belajar akan sangat mengesankan. Di sinilah
diharapkan kembali peran pendidikan untuk mengatasi persoalan ini, karena persoalan ini bagian dari signifikansi dan pentingnya dunia pendidikan.
Lahirlah kemudian Quantum Learning dengan konsep belajar aktifnya, yang semakin populer setelah Emotional Quotient, kemudian lahir pula fisika
kuantum dan paradigma sosial politik yang lebih komunikatif demokrasi dan HAM sebagai salah satu upaya untuk mengatasi problema tersebut. “Tidak
ketinggalan negeri ini pun ikut-ikutan merespon perkembangan dalam pendidikan, muncullah paradigma pendidikan nasional sebagai wahana belajar
6
Daniel Goleman, Working with Emotional Inteligence, New York: Bantam Book, 1999, hlm. 13
hidup atau life learning”.
7
Guna menyatukan kedua kecerdasan yang sangat dominan dalam diri manusia.
Kendatipun kedua kecerdasan ini menyatu dan bekerja sama, belum ada jaminan suasana belajar akan lebih efektif, produktif dan akan lebih
berkembang. Tetapi minimal dengan lahirnya kedua kecerdasan ini, dapat diketahui bahwa dalam diri manusia terdapat sesuatu yang berharga, artinya
kedua kecerdasan ini merupakan awal informasi untuk pengkajian lebih dalam terhadap diri manusia yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Hal itu
menjadi awal yang baik untuk mengantarkan diri para pelajar pada puncak idealitas belajar. Meminjam bahasa Igo Ilham “Dengan kecerdasan intelektual
dan emosional manusia telah mampu sampai pada bukit-bukit ilmu, tapi belum sampai pada gunungnya ilmu”.
8
Ungkapan ini jelas mengilustrasikan bahwa masih ada tingkatan yang lebih tinggi dari hanya sekedar kedua
kecerdasan tersebut, yang mana hal itu harus dicapai dalam proses pembelajaran agama Islam khususnya.
Proses pencerdasan bangsa baru bisa terlaksana jika dilakukan secara terintegrasi oleh sektor-sektor pembangunan. Salah satu sektor pembangunan
adalah pendidikan. Namun betapapun tinggi ilmu pengetahuan seseorang, apabila tidak beragama, maka pengetahuannya itu akan digunakan untuk
mencari kesenangan dan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan lain. Sedangkan kendali jiwa yang menahan dan mengontrol
tindakan dan perbuatannya tidak ada, yaitu kepercayaan kepada Tuhan dan ketekunannya dalam mengindahkan ajaran-ajaran agamanya. Di sinilah letak
tragisnya pengetahuan yang tidak disertai oleh jiwa taqwa kepada Tuhan, mereka tidak akan sedikitpun memperdulikan nilai-nilai kejujuran dalam
proses pembelajaran. Maka dari itu guru sangat berpengaruh besar dalam mengembalikan serta meningkatkan kecerdasan spiritual atau jiwa seseorang.
Karena kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu
7
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Jogyakarta: Tiara Wacana, 2002, cet. ke- 1, hlm. 166
8
Dedhi Suharto, AK, Qur’anic Quotient QQ, Jakarta: Yayasan Ukhuwah, 2003, cet. ke-1, hlm. 2
menyembuhkan dan membangun diri secara utuh. “Banyak sekali dari kita yang saat ini menjalani hidup penuh luka dan berantakan. Kecerdasan spiritual
adalah kecerdasan yang berada di bagian diri yang dalam, berhubungan dengan kearifan di luar ego atau pikiran sadar”.
9
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
mengangkat judul “Kecerdasan Spiritual dan hubungannya dengan penerapan nilai-nilai kejujuran siswa MTs Daarul Hikmah Pamulang
”. Karena dengan menggunakan kecerdasan spiritual dapat menjadi kreatif, lebih
cerdas secara spiritual dalam pembelajaran dan dalam beragama. Untuk itu, menghadapi persoalan manusia modern sekarang ini kecerdasan spiritual
dapat menjadi salah satu upaya untuk mengembalikan jati diri manusia kepada fitrah dan penciptaannya untuk berbakti kepada Allah.
B. Identifikasi Masalah