FINDING THE GLASSBOX OF WONDER
Helen Kartika 110406066
untuk itulah kita menilik legenda, mencari tahu apa yang hendak kita lukiskan di peta buta.
2.2.1. Sejarah Budidaya Karet
1
Penemuan tanaman karet seperti yang dicatatkan oleh sejarah terjadi pada tahu 1493 oleh Michele de Cuneo saat melakukan pelayaran ekspedisi ke benua
Amerika. Pohon-pohonan yang belum teridentifikasi tersebut mengandung getah dan hidup liar di hutan pedalaman Amerika yang lebat. Pada tahun 1524, di
daerah Seville, dimulailah pengenalan bahan baku karet. Penelitian kemudian dilakukan terhadap kandungan yang terdapat dalam getah tanaman karet dalam
rangka pembuatan alat-alat yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
Tim peneliti dengan bantuan penduduk asli Peru menelusuri setiap daerah yang menjadi tempat tumbuhnya tanaman ini. Penemuan selanjutnya adalah
bahwa getah pohon ini dapat diperoleh dengan cara melukai kulit batangnya tanpa perlu menebang pohon tersebut dan proses ini dapat dilakukan berulang-ulang.
Tanaman ini kemudian diberi nama Hevea. Orang-orang di benua Eropa kemudian mengembangkan karet untuk aneka barang keperluan sehari-hari seperti
pakaian tahan air, pembungkus barang tahan air, botol karet, penghapus dan lain- lain. Kata rubber dalam bahasa inggris yang bermakna karet berasal dari kata to
rub yang artinya menggosokkan atau menghapus.
1
“igit, “ejarah Karet, scribd.com,diakses 17 Juli 2015, hlm: 21-35.
Universitas Sumatera Utara
FINDING THE GLASSBOX OF WONDER
Helen Kartika 110406066
Tanaman karet mulai diperkenalkan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Tanaman karet tertua ditanam pada tahun 1862 di Subang, Jawa Barat.
Pada tahun 1864 tanaman karet ditanam untuk pertama kalinya di Kebun Raya Bogor sebagai varietas tanaman baru. Perkebunan karet di Indonesia pertama kali
dibuka oleh Hofland pada tahun 1864 di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa
barat dengan varietas karet rambung Ficus elastica sebagai objek tanam.
Pada tahun 1902 varietas karet Hevea Brasiliensis dibudidayakan di daerah Sumatera Timur untuk pertama kalinya, kemudian dibawa ke Sumatera Selatan
oleh perusahaan Harrison and Crossfield Company. Selanjutnya perkebunan karet di Sumatera Selatan dikelola secara komersial oleh perusahaan Sociente
Financiere des Caoutchoues asal Belgia tahun 1909 dan perusahaan asal Amerika bernama Holands Amerikaanse Plantage Maatschappij tahun 1910-1991.
Distribusi karet pada saat itu menggunakan transportasi warisan perkebunan tembakau. Tahun 1910-1911 harga karet membumbung tinggi, namun pada tahun
1920-1921 resesi dunia menyebabkan kemerosotan harga. Tahun 1922 dan 1926 harga karet kembali membumbung tinggi akibat ledakan permintaan produksi
karet sebagai bahan baku produksi mobil Amerika.
Pada tahun 1922 dan 1926 mulai muncul perkebunan-perkebunan rakyat yang mengakibatkan perluasan lahan perkebunan yang tidak terkendali dan
surplus produki yang berlebihan. Tahun 1937-1942 diberlakukan sistem kupon karet sebagai surat izin ekspor kepada petani pemilik karet bukan kepada
eksportir. Pada tahun 1944, pada masa kependudukan Jepan di Indonesia,
Universitas Sumatera Utara
FINDING THE GLASSBOX OF WONDER
Helen Kartika 110406066
diterbitkanlah larangan perluasan perkebunan karet. Pajak ekspor karet dinaikkan
hingga 50 dari hasil produksi.
Pasca PD II, permintaan produksi karet kembali meningkat. Penanaman karet secara tradisional dimulai pada tahun 1980 di beberapa wilayah di Sumatera
Selatan. Keterbatasan pengetahuan petani akan budidaya tanaman karet menyebabkan terjadinya pembukaan lahan secara besar-besaran. Hal ini
dikarenakan petani lebih memilih melakukan penanaman pohon baru dibandingkan peremajaan pohon karet tua. Tahun 1990-an budidaya tanaman
kelapa sawit mulai dipopulerkan oleh perusahaan perkebunan besar. Perkebunan kelapa sawit mulai menggeser popularitas perkebunan karet. Banyak petani karet
yang mulai mengalihfungsikan lahan perkebunan karetnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Walaupun demikian, pertumbuhan perkebunan karet terus
menunjukkan peningkatan hingga saat ini. Perkembangan teknologi dan pendidikan pertanian merupakan salah satu faktor penyebab peningkatan kuantitas
dan kualitas produksi karet di Indonesia.
2.2.2. Pendidikan Vokasi di Indonesia