Jenis Kelamin Hubungan Emotional Eating terhadap IMT pada Remaja di SMP

64

BAB VI PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan membahas hasil penelitian meliputi karakteristik remaja, gambaran ketiga aspek perilaku makan remaja, rata-rata indeks massa tubuh remaja, hubungan emotional eating terhadap IMT, hubungan restraint eating terhadap IMT, dan hubungan external eating terhadap IMT. Pada akhir pembahasan, peneliti juga menyertakan keterbatasan dari penelitian ini.

A. Analisa Univariat

1. Gambaran Karakteristik Remaja di SMP YMJ Ciputat

a. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil analisis univariat jenis kelamin responden, diperoleh jumlah terbesar responden adalah perempuan yaitu 44 orang 53,7 sedangkan responden laki-laki berjumlah 38 orang 46,3. Hasil penelitian Sari 2013 di SMP yang berbeda di Ciputat diperoleh jumlah sampel terbesar adalah perempuan, yaitu sebesar 52 orang 54,2dan responden laki-laki sebesar 44 orang 45,8. Jika dibandingkan dengan data BPS di Provinsi Banten tahun 2010 didapatkan perbedaan, dimana persentase jumlah remaja awal lebih banyak pada laki-lakisebesar 51.68 dibandingkan dengan perempuan sebesar 48.32. Perbedaan ini kemungkinan karena sensus yang dilakukan BPS dilaksanakan ditahun 2010 sedangkan penelitian ini dilakukan 4 tahun setelahnya, kemungkinan sudah terjadi perubahan jumlah remaja laki-laki dan perempuan. Dan dapat diambil kesimpulan berdasarkan dari hasil penelitian, bahwa di Ciputat remaja awal lebih didominasi perempuan dibandingkan laki-laki. Kristeller Rodin 1989, dalam Brink 2000 menyatakan bahwa jenis kelamin memiliki perbedaan sikap terhadap makanan, berat badan, diet dan tingkah laku yang berhubungan dengan makan.Diet untuk mendapatkan tubuh yang ideal lebih sering dilakukan remaja perempuan dibandingkan laki-laki karena perhatian akan bentuk tubuh lebih tinggi pada perempuan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan McCabe dan Ricciardelli 2001, dalam Kuessous, 2009 bahwa ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Gene-Jack Wang didapatkan bahwa perempuan cenderung lebih tidak bisa menahan lapar dibandingkan laki-laki. Hal tersebut menyebabkan kemungkinan perempuan lebih beresiko untuk mengalami berat badan berlebih dibandingkan dengan laki-laki.

b. Suku

Berdasarkan analisis univariat suku responden, diperoleh jumlah terbesar respondenbersuku Betawi yaitu 46 orang56.1, Suku Jawa berjumlah 24 orang 29.3,Suku Sunda berjumlah 9 orang 11, dan lain-lain berjumlah 3 orang3.7. Suku Betawi menjadi suku mayoritas di Ciputat karena Ciputat tidak dapat terlepas dari pengaruh kehidupan masyarakatJakarta, baik sosial, ekonomi maupun budaya. Apalagi letak Ciputat berada dipinggir Ibu Kota yang berbatasan langsung dengan Jakarta Selatan. Suku merupakansatu kebudayaan yang sama yang dianut seseorang yang didalamnya terdapat tradisi, kepercayaan, nilai-nilai kehidupan. Gibney 2009 menyatakan bahwa tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai merupakan sebagian dari faktor utama yang mempengaruhi kesukaan, cara menyiapkan makanan, menyajikan makanan, dan status gizi. Dapat diambilkesimpulan bahwa suku merupakan satu kesamaan kebudayaan yang dianut seseorang yang mempengaruhi perilaku makan.

2. GambaranPerilaku Makan

Berdasarkan analisis univariat dari ketiga aspek perilaku makan pada tabel 5.4, didapatkan sebanyak 28 remaja 34.1 memiliki perilaku makan emotional eating yang dominan, sebanyak 27 remaja 32.9 memiliki perilaku makan restraint eating yang dominan, dan 27 remaja 32.9 memiliki perilaku makan external eating yang dominan. Dapat dilihat bahwa perilaku makan yang dominan pada remaja di SMP YMJ Ciputat tidak terlihat didominasi oleh salah satu aspek perilaku makan.Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Carper, et al 2000, dalam Van Streint 2007 mengenai prevalensi eksternal, emotional, dan restraint eating pada anak 5 tahun menunjukan bahwa menemukan bahwa 75 dari 157 perempuan menunjukkan tingkat tinggi external eating, sepertiga melaporkan tingkat moderat restraint eating dan 25 menunjukkan tingkat moderat emotional eating.Terlihat bahwa pada anak usia 5 tahun aspek perilaku makanexternal eating menjadi aspek perilaku makan yang mendominasi dari 3 aspek lainnya. Pada anak usia 5 tahun, emotional eating dan restraint eating cenderung tidak tinggi kemungkinan hal ini disebabkan karena tingkat emosi yang rendah dan perhatian terhadap bentuk tubuh belum terbentuk, sedangkan external eating prevalensinya tinggi kemungkinan karena anak lebih berespon terhadap rangsangan eksternal seperti penglihatan, penciuman terhadap makanan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Urbic dalam Popper, 2003 yang mengatakan bahwa anak-anak lebih tertarik pada tekstur, warna, dan tampilan keseluruhan dari suatu makanan dan minuman. Berbeda pada remaja, persentase ketiga aspek perilaku makan tersebut tidak terlalu didominasi salah satu aspek. Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor yang mempengaruhi ketiga aspek perilaku makan tersebut seperti emosi, stres, dan citra tubuh meningkat pada remaja. Sehingga dari ketiga aspek perilaku makan tersebut, tidak menunjukkan persentase yang menonjol pada salah satu aspek. Dapat diambilkesimpulan bahwa dari ketiga aspek perilaku makan pada remaja di SMP YMJ Ciputat, persentase dari setiap aspek perilaku makan tidak terlalu didominasi salah satu aspek perilaku makan ini karena faktor yang berpengaruh terhadap ketiga aspek perilaku makan tersebut sama-sama tinggi pada remaja.

3. Gambaran Indeks Massa Tubuh IMT Remaja

Berdasarkan hasil analisis univariat IMT responden, diperoleh rata- rata IMT didapatkan 18.70 kgm 2 dengan IMT terendah yaitu sebesar 14 kgm 2 dan IMT tertinggi sebesar 35 kgm 2 . Penelitian yang dilakukan Adityawarman 2007 pada remaja di SMP Domenico Savio Semarang menunjukan hasil rata-rata IMT pada remaja perempuan 21.3 kgm 2 pada laki-laki dan 20.6 kgm 2 . Jika dibandingkan, dengan hasil penelitian tersebut IMT pada remaja di SMP YMJ memiliki rata-rata lebih rendah. Menurut National Institutes of Health NIH tahun 2010 tingginya IMT beresiko tinggi untuk terkena penyakit tertentu seperti, penyakit jantung, hipertensi, diabetes tipe 2, batu empedu, masalah pernapasan, dan kanker. Berbeda dengan orang dewasa, IMT pada remaja harus disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin dalam bentuk persentil untuk mengetahui obesitas, overweight, normal, dan kurus. Karenapada remaja, IMT salah satunya dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan. Dimanaremaja laki-laki dan perempuan mengalami perubahan fisik yang berbeda, perubahan fisik pada remaja perempuan lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki. CDC tahun 2000 merekomendasikan jika nilai IMT yang telah disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin ke dalam grafik CDC 2000 dan didapatkan persentil ≥ 95 maka digolongkan sebagai obesitas.

B. Analisa Bivariat

1. Hubungan Perilaku Makan terhadap IMT pada Remaja di SMP YMJ Ciputat

a. Hubungan Emotional Eating terhadap IMT pada Remaja di SMP

YMJ Ciputat Hasil uji statistik pada tabel 5.6 menunjukan tidak ada hubungan emotional eating terhadap IMT pada remaja dengan nilai p value = 0.958. Hasil yang sama diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kargar, et al 2012 pada 372 siswa laki-laki dan perempuan yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan emotional eating terhadap IMT pada remaja p value = 0.192. Individu terkadang melampiaskan perasaan senang, gembira, rasa puas, sedih, marah, rasa tertekan dengancara makan. Teori emotional eatingmerupakan perilaku makan yang mengacu pada dorongan makan lebih banyak selama emosi negatif seperti marah, kecewa, takut, tertekan, dll Wardle et al, 2001. Zellner 2006 mengatakan bahwa dorongan makan lebih banyak tersebut biasanya mengakibatkan konsumsi makanan tinggi kalori, dan berhubungan positif dengan lemak tubuh. Seseorang yang selalu menanggapi respon emosi negatif dengan makan banyak kemungkinan akan menyababkan pertambahan berat badan sehingga akan berpengaruh terhadap IMT. Pernyataan tersebut didukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Turker, et al 2012 bahwa ada hubungan antara emotional eating terhadap IMT r = 0.37; P 0.05. Dimana koefisien korelasinya bernilai positif yang artinya jika skor emotional eatingnya tinggi maka IMT yang dimiliki juga tinggi. Levitan, et al 2010 menjelaskan bahwa emotional eating pada tahap awalmemiliki konsekuensi jangka panjang yaitu obesitas. Individu yang memiliki respon emotional eatingmerupakan suatu bentuk usaha untuk meredam emosi negatif yang muncul, sehingga dengan makan diharapkan kemungkinanemosi negatif tersebut akan berkurang. Kaplan Kaplan 1957, dalam Maras, 2010 menyatakan bahwa ada 2 mekanisme yang terjadi ketika individu makan lebih banyak ketika emosi yaitu: 1 makanyang berlebihan karena tidak mampu membedakan antara rasa lapar, kenyang, dan gairah emosi atau disebut dengan rendahnya kesadaran interoceptive, 2 makan berlebihan dengan tujuan mengurangi tekanan emosional. Masa remaja khususnya pada remaja awal terjadi peningkatan emosi dan peningkatan level stres, ditambah lagi dengan koping yang relatif rendah. Akibatnya, kemungkinan pada masa remaja awal ini resiko untuk perilaku makan emotional eating lebih tinggi. Pada penelitian ini tidak adanya hubungan emotional eating terhadap IMT karena kemungkinanbeberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: remaja memiliki tingkat stres dan emosi yang rendah,remaja menggunakan mekanisme koping adaptif terhadap stres dan emosi.Seperti pernyataan yang diungkapkan oleh Blackman Kvaska 2011, dalam Economy 2013yang menyatakan bahwapencegahan emotional eatingdapat dilakukan dengan cara melampiaskan keinginan dengan cara lain selain makan, menggunakan teknik pengurangan stres, serta memilih sesuatu kegiatan yang melibatkan penggunaan tangan. Sehingga dengan cara tersebut, kemungkinan perilaku makan emotional eating tidak akan terbentuk sehingga dapat mencegah terjadinya penambahan berat badan sampai menyebabkan obesitas.

b. Hubungan Restraint Eating terhadap IMT Remaja di SMP YMJ