Dasar Hukum Hadhanah HADHANAH DALAM ISLAM

engkau lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum kawin dengan orang lain. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. 23 Hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk memelihara anaknya selama ia belum menikah dengan orang lain, dengan kata lain jika ibunya menikah maka praktis hak hadhanahnya itu gugur lalu berpindah kepada ayahnya karena jika ibunya menikah dengan orang lain, besar kemungkinan perhatianya akan beralih kepada suaminya yang baru, dan mengalahkan bahkan bukan tidak mungkin ia akan mengorbankan anaknya sendiri.

C. Syarat-Syarat Hadhanah dan Hadhin

Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat orang yang menjadi Hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhanya, seorang hadhinah ibu asuh yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya. 24 Untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut: 25 23 Tihami dan Sohari Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap Jakarta Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 218. 24 Satria Effendi M. Zein, Problrmatika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 172. 25 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, Prenada Media, Jakarta, September 2004, h. 172-173. 1. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh, berakal, tidak terganggu ingatanya, sebab hadhanah ini merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak menghidap penyakit menular. 2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdun anak yang diasuh, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar. 3. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini. 4. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Dasarnya adalah penjelasan Rasullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain HR. Abu Daud. Adanya persyaratan tersebut disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti disimpulkan ahli-ahli fiqh, hak hadhanahnya tidak menjadi gugur jika ia menikah dengan kerabat dekat sianak, yang memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya. Demikian pula hak hadhanah, hak hadhanah tidak gugur jika ia menikah dengan lelaki lain yang rela menerima kenyataan. Hal itu terjadi pada diri Ummu Salamah, ketika ia menikah dengan Rasullah, anaknya dengan suami pertama selanjutnya tetap dalam asuhanya HR. Ahmad. Berdasarkan kenyataan ini Ibnu Hazmin berpendapat tidak gugur hak hadhanah seorang ibu dengan menikahnya dia dengan lelaki lain, kecuali jika suami kedua itu jelas menolaknya. 5. Seorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam. Orang kafir tidak boleh menjadi pengasuh anak yang beragama Islam. Sebab pemeliharaan anak merupakan perwalian, sedangkan Allah tidak membolehkan orang mu‟min berada dalam penguasaan orang kafir. Firman Allah dalam surat An- Nisa ayat 144, menyatakan:                    Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang- orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu. Golongan Hanafiah, Ibnu Qasim, Maliki serta Abi Saur berpendapat bahwa hadhanah tetap dapat dilakukan oleh pengasuh yang kafir, sekalipun si anak kecil. 26 Persamaan agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah kecuali jika dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam. Sebab, hal yang paling penting dalam hadhanah ialah hadhinah mempunyai rasa cinta dan kasih sayang kepada anak serta bersedia memlihara anak dengan sebaik-baiknya. 27 26 Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, Bandung Pustaka Setia, 1999, hal. 177-179. 27 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hal. 222. Para ahli Fikih berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh oleh non muslim, Ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh seorang muslimah atau muslim, karena orang non-Islam tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, disampingkan itu juga dikhawatirkan pengasuh akan menyeret anak masuk kedalam agamanya. Jika orang Islam tidak ada maka menurut Hambali diperbolehkan kepada kafir zimmi karena kafir zimmi lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi. Namun, ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki tidak mensyaratkan pengasuh seorang muslimah, jika anak tersebut juga wanita. 28 Kriteria Islam di sini juga termasuk sifat adil yang harus terdapat pada seorang pengasuh. Adil dalam arti mampu menjalankan agama secara benar, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini adalah fasik yaitu tidak konsisten dalam beragama. 29 Maka dari itu dari kesamaan agama antara si anak dengan pengasuhnya menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena tugas dari hadhin adalah tidak hanya memberikan pelayanan lahiriyah kepada si anak, tetapi juga bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kebaikan akidah dan akhlaknya. 6. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuanya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil. 28 Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al- Arba’ah, Bairut: Dar al-Fikr, Jilid IV, hal. 596-598. 29 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, hal. 329.