7. Anak perempuan dari saudara laki-laki
8. Penerima wasiat
9. Dan kerabat lain ashabah yang lebih utama.
c. Kalangan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa urutan hak asuh anak dimulai
pada:
36
1. Ibu kandung
2. Nenek dari pihak ibu
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara perempuan
5. Bibi dari pihak ibu
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki
7. Anak perempuan dari saudara perempuan
8. Bibi dari pihak ayah
9. Dan  kerabat  yang  masih  menjadi  mahram  bagi  si  anak  yang  mendapat
bagian  warisan  ashabah  sesuai  dengan  urutan  pembagian  harta  warisan. Pendapat Mazhab Syafi‟i sama dengan pendapat mazhab Hanafi.
d. Kalangan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1. Ibu kandung
2. Nenek dari pihak ibu
3. Kakek dan ibu kakek
4. Bibi dari kedua orang tua
5. Saudara perempuan seibu
36
Muhammad  Jawad  Mughniyah,  Fiqh  Lima  Mazhab,  Penerjemah:  Masykur  A.B.  dkk. Al-Fiqh Ala Al-Madhahib Al-Khamsah, Jakarta: Lentra, 2006, hal. 415-416.
6. Saudara perempuan seayah
7. Bibi dari ibu kedua orangtua
8. Bibinya ibu
9. Bibinya ayah
10. Bibinya ibu dari jalur ibu
11. Bibinya ayah dari jalur ibu
12. Bibinya ayah dari pihak ayah
13. Anak perempuan dari saudara laki-laki
14. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15. Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
Apabila  saudara  perempuanya  pun  dianggap  tidak  layak  maka  hak hadhanahnya pindah ke pihak laki-laki dengan urutan prioritas sebagai berikut:
a. Ayah
b. Kakek yang terdekat
c. Saudara seayah dan seibu
d. Saudara  lelaki ataupun  kerabat  lainya  dari  pihak  ayah  dimulai  dari  jarak
yang paling dekat. Jika  para  wali  berdasarkan  hukum  ini  tidak  ada  juga,  maka  hakim  atau
pengadilan  menunjuk  orang  yang  akan  melakukan  hadhanah  sekaligus  menjadi walinya.
Dengan  demikian  jelas  bahwa  anak  yang  belum  dewasa  tidak  dapat mempunyai  kecakapan  untuk  melakukan  perbuatan  hukum  karena  itu  segala
perbuatan  yang  menyangkut  kepentingan  anak  tetap  menjadi  tanggung  jawab orang tua.
E. Masa Hadhanah
Dalam  literatur  Fikih  dua  periode  bagi  anak  dalam  kaitanya  dengan hadhanah, yaitu masa sebelum mumayyiz, dan masa sesudah mumayyiz. Periode
sebelum  mumayyiz  adalah  dari  waktu  lahir  sampai  usia  menjelang  tujuh  tahun atau  delapan tahun.  Pada masa tersebut  pada  umumnya  seorang  anak  belum  lagi
mumayyiz  atau  belum  bisa  membedakan  antara  yang  bermanfaat  dan  yang berbahaya bagi dirinya.
Periode yang kedua yaitu periode mumayyiz, yaitu masa dimana usia anak tujuh  tahun  sampai  menjelang  balik  berakal.  Pada  masa  ini  seorang  anak  secara
sederhana  telah  mampu  membedakan  masa  yang  berbahaya  dan  mana  yang bermanfaat bagi dirinya.
Beberapa  ulama  mazhab  berselisih  pendapat  mengenai  masa  asuh  anak, karena  didalam  alquran  tidak  terdapat  ayat-ayat  dan  hadis  yang  menerangkan
tentang masa hadhanah dan juga kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat perceraian, perbedaan tersebut diantara seperti:
37
Imam  Syafi‟i  berpendapat,  tidak  ada  batasan  tertentu  bagi  asuhan.  Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal
bersama  ibunya  atau  ayahnya.  Jika  si  anak  sudah  sampai  pada  tingkat  ini,  dia disuruh memilih apakah bersama ibu atau ayahnya.
37
Muhammad jawad Mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, hal. 417-418.
Imam Hanafi berpendapat, bahwa masa asuhan tujuh tahun untuk laki-laki, dan sembilan tahun untuk perempuan. Mereka menganggap bagi perempuan lebih
lama,  sebab  agar  dia  dapat  menirukan  kebiasaan-kebiasaan  kewanitaan  dari perempuan ibu yang mengasuhnya.
38
Imam Maliki berpendapat, bahwa masa asuhan, anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga ia menikah.
Imam Hambali berpendapat, bahwa masa asuhan anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh tahun, sesudah itu si anak disuruh memilih apakah
tinggal  bersama  ibu  atau  ayahnya,  lalu  si  anak  tinggal  bersama  orang  yang dipilihnya itu.
39
Berdasarkan  pendapat-pendapat  para  ulama  di  atas,  tampak  bahwa  tidak ada ketentuan-ketentuan yang jelas mengenai masa pengasuhan anak hadhanah.
Pada umumnya para fukaha sepakat usia pengasuhan anak, dibatasi sampai anak tersebut sudah mencapai usia mumayyiz.
38
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, Bandung Pustaka Setia, 1999, hal. 185.
39
Muhammad Jawad mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, Hal. 418.
BAB III HADHANAH DALAM PERSPEKTIF PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA A.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  Tentang  Perkawinan  telah disebutkan  tentang  hukum  penguasaan  anak  secara  tegas  merupakan  rangkaian
dari  hukum  perkawinan  di  Indonesia,  akan  tetapi  hukum  penguasaan  anak  itu belum  diatur  dalam  Peraturan  Pemerintah  Nomor  9  Tahun  1975  secara  luas  dan
rinci.  Oleh  karena  itu,  masalah  hadhanah  ini  belum  dapat  diberlakukan  secara efektif sehingga pada kehakiman di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu
masih merujuk pada hukum hadhanah dalam kitab-kitab fikih. Baru  setelah  diberlakukan  Undang-Undang  Nomor  7  tahun  1980  tentang
Peradilan  Agama,  dan  Inpres  Nomor  1  Tahun  1991  Tentang  Penyebar  Luasan Kompilasi  Hukum  Islam,  masalah  hadhanah  menjadi  hukum  positif  di  Indonesia
dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikanya. Dalam  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974  terdapat  beberapa  pasal
yang menjelaskan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti pada Pasal 45  Undang-Undang  nomor  1  Tahun  1974  Tentang  Perkawinan  menyebutkan
bahwa: 1
Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak- anak mereka sebaik-baiknya.
2 Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri
sendiri  dan  kewajiban  tersebut  berlaku  terus  meskipun  pernikahan antara kedua orang tua putus.
40
Mengenai  batas  kewajiban  pemeliharaan  dan  pendidikan  ini  berlaku sampai  anak  tersebut  berumah  tangga  atau  dapat  berdiri  sendiri  dan  kewajiban
tersebut berlangsung terus-menerus meskipun pernikahan orang tuanya bercerai. Pasal  47  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  Tentang  Perkawinan
mengatur mengenai kekuasaan orang tua terhadap kekuasaan anak di bawah umur, di mana disebutkan bahwa:
Pasal 46: 2
Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.
3 Jika  anak  yang  telah  dewasa,  ia  wajib  memelihara  menurut
kemampuanya,  orang  tua  dan  keluarga  dalam  garis  lurus  ke  atas  bila mereka itu memerlukan bantuanya.
Pasal 47: 1
Anak  yang  belum  mencapai  umur  18  depan  belas  tahun  atau  yang belum  pernah  melangsungkan  pernikahan  ada  di  bawah  kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya. 2
Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
41
40
Lihat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45.
41
Lihat Pasal 47, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawainan