B. Perkawinan
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al- wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa
al- jam’u, atau „ibarat „an al-wath’ wa al-„aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul
dan akad. Beranjak dari makna etimologis inilihah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.
8
Menurut Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan nikah menurut istilah syara‟ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual
dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya. Definisi yang dikutip Zakian Daradjat ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.
9
Pengertian-pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya.
10
Dalam kaitan ini, Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi yang lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakian Daradjat ialah akad yang memberikan faedah
hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga suami istri antara pria dan
8
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.11974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006, cet 3,
h. 38
9
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, cet 1, h.8
10
Ibid, h. 8
wanita dan mengadakan tolong menolong dan member batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
11
Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak suami istri, dimana status kepemilikan akibat aqad tersebut bagi
si lelaki suami berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya yang dalam
term fikih disebut “Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian
terhadap suatu benda istri, yang digunakan untuk dirinya sendiri. Bagi perempuan istri sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh
kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si istri boleh menikmati secara biologis atas diri sang suami
bersama perempuan lainnya istri suami yang lain. Sehingga kepemilikan disini merupakan hak berserikat antara para istri. Jelasnya, poliandri haram hukumnya dan
sebaliknya poligami dibolehkan secara syara‟.
12
Selayaknya seorang mukmin mencari calon istri yang ditentukan dengan Islam, sehingga akan mendapatkan rumah tangga yang damai, sakinah, penuh ridha
Allah.
13
11
Ibid, h. 9
12
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006, h. 1
13
Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, 40 Kiat Islami Membina Rumah Tangga Ideal “Edisi Indonesia”, Yogyakarta: Pustaka Mantiq, 1994, cet.1, h. 22
Didalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pencantuman Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara
Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Sampai disini
tegas dinyatakan
bahwa perkawinan
mempunyaihubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahirjasmani tetapi juga unsur
batinrohani.
14
Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah kawin dapat didekati dari tiga aspek pengertian makna, yakni makna lughawi etimologis,
makna ushuli syar’i dan makna fiqhi hukum. Terutama dari sudut pandang makna
lughawi dan makna fiqhi hukum.
15
Islam menghendaki dicapainya suatu makna yang mulia dari suatu perkawinan atau kehidupan rumah tangga. Disini lembaga perkawinan harus
dipandang sebagai sesuatu yang bernilai luhur dan harus dicari makna dan esensinya, seperti halnya ketenangan dan ketentraman hidup. Kecuali itu, harus pula diingat
14
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.11974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006, cet 3,
h. 42-43
15
Muhammad Amin Suma, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, h. 41
kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan, seperti kesetiaan dan kasih sayang.
16
Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang bersifat umum dan berlaku bagi semua makhluk termasuk didalamnya hewan dan tumbuh-tumbuhan serta keberadaan
malam berganti siang. Allah berfirman:
.
:تايرازلا
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami jadikan berpasang-pasangan, agar kalian mau
berfikir” Q.S: Adz-Dzariyaat: 49
.
:دعرلا
Artinya: “Dan sesungguhnya kami mengutus beberapa Rasul sebelum engkau dan Kami memberikan kepadanya mereka istri-istri dan keturunan. dan tidak
ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat mukjizat melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab yang
tertentu ”. Q.S: Ar-Ra’d: 38.
.
:رونلا ٣
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kalian, dan orang- orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki juga
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan
16
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993, h. 7
karunia-Nya. Dan Allah maha luas pemberiannya lag i maha mengetahui”
Q.S: An-Nuur: 32
17
Terhadap persoalan seputar hukum nikah, ulama fiqih fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan hukumnya. Secara umum ada pendapat
tentang hukum nikah seperti sunnah menurut kelompok Jumhur dan wajib menurut kelompok Zahiriyah. Kelompok pengikut madzhab Malik yang belakangan merinci
kedudukan hukum nikah berdasarkan kondisi, yaitu: hukum wajib untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian lainnya dan dapat juga berhukum mubah bahkan
haram, tergantung pada keadaan masing-masing sesuai kemampuan menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
18
Dalam kehidupan berumah tangga, setiap suami isti mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
a. Pengertian Hak
Yang dimaksud dengan hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Misalnya ia hendak mempertahankan haknya. Maka
berdasarkan ini dapat juga dikatakan hak itu adalah sesuatu yang harus diterima. Jadi yang dimaksud hak disini adalah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki
oleh suani atau istri yang diperolehnya dari hasil perkawinan. Hak ini hanya dapat
17
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006, h. 2-3
18
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006, h. 7
dipenuhi dengan menunaikan atau membayarkannya atau dapat juga lepas seandainya yang berhak rela apabila haknya tidak dipenuhi oleh pihak lain.
b. Pengertian Kewajiban
Kewajiban berasal dari kata wajib ditambah awalan ke dan akhiran an yang berarti sesuatu yang wajib diamalkan atau dilakukan. Misalnya jangan melalaikan
kewajibanmu. Bicara tentang kewajiban, semua manusia yang hidup didunia ini tidak
terlepas dari padanya, dan setiap kewajiban itu menimbulkan tanggung jawab. Yang dimaksud disini adalah hal-hal yang wajib dilaksanakan dan yang merupakan
tanggung jawab suami dan istri.
19
Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita suami dan istri yang mengandung nilai ibadah kepada Allah
di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Oleh karena itu, antara hak
dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya. Hal itu diatur oleh Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya disebut
Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disebut KHI.
Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan menyatakan: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
19
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989, h. 7-8
dari susunan masyarakat. Selain itu , Pasal 77 ayat 1 KHI berbunyi: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. 1.
Kewajiban Suami Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur oleh Pasal 80 dan 81
KHI yang diungkapkan sebagai berikut. Pasal 80 KHI
1 Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
2 Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 3
Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. 4
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a.
Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri. b.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5 Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat 4 huruf a
dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. 6
Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat 4 huruf a dan b.
7 Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat 5 gugur apabila istri
nusyuz. Pasal 81 KHI
1 Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya
atau bekas istri yang masih dalam iddah. 2
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3 Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4 Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
2. Kewajiban Istri
Selain kewajiban suami yang merupakan hak istri, maka hak suami pun ada yang merupakan kewajiban istri. Hal itu diatur dalam Pasal 34 Undang-
UndangPerkawinan secara umum dan secara rinci khusus diatur dalam Pasal 83 dan 84 KHI.
Pasal 83 KHI 1
Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2 Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan baiknnya. Pasal 83 KHI
1 Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat 1 kecuali dengan alasan yang sah.
2 Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut
pada Pasal 80 ayat 4 huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3 Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah istri
tidak nusyuz. 4
Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
20
Kalau kita kembali kepada pokok syari‟at untuk menafsirkan makna kewajiban didalam kehidupan suami-istri, yang terlihat oleh kita adalah kewajiban
20
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 51-55
seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, yang tidak mampu mencari rizki.
21
Apa yang menjadikan kewajiban suami terhadap istrinya adalah merupakan hak bagi istri dan begitu sebaliknya. Apa yang menjadi kewajiban istri terhadap
suaminya adalah merupakan hak suami.
22
C. Perceraian