Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
2.1.3. Patogenesis dan Patologi TB Paru 2.1.3.1. Patogenesis TB Paru Primer
Ketika seorang penderita TB paru batuk, bersin atau berbicara maka droplet nukleus akan jatuh dan menguap akibat suhu udara yang panas, maka
kuman tuberkulosis akan berterbangan di udara dan berpotensi sebagai sumber infeksi pada orang sehat. Hal ini yang sering disebut sebagai airborne infection.
Pada sekali batuk dikeluarkan tiga ribu droplet. Setelah melewati barrier mukosilier saluran nafas, basil TB paru-paru akan mencapai bronkiolus distal atau
alveoli. Kuman mengalami multiplikasi di paru-paru dikenal sebagai focus Ghon. Basil juga mencapai kelenjar limfe hilus melalui aliran limfe sehingga terjadi
limfadenopati hilus. Focus Ghon dan limfadenopati hilus akan membentuk kompleks primer. Kompleks primer berlokasi di lobus bawah karena ventilasi
lebih baik di area tersebut. Ghon menemukan pendistribusian fokus primer yang sama antara lobus atas dan lobus bawah, tetapi lebih sering pada paru kanan
Fishman, 2002. Respon imun seluler berupa hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada
empat sampai enam minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB paru dan kemampuan daya tahan tubuh akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya.
Pada kebanyakan kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman dan sebagian kuman menjadi dorman Lulu, 2004.
Berawal dari kompleks primer infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai jalan :
a. Secara Bronkogen
Menyebar ke paru-paru yang bersangkutan atau melalui sputum ke paru- paru sebelahnya dan dapat tertelan sehingga dapat menyebabkan TB paru pada
gastrointestinal Hopewell, 2005.
b. Secara Hematogen dan Limfogen
Vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa material yang mengandung kuman TB dan kuman ini dapat mencapai berbagai organ melalui
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
aliran darah dan sistem limfatik. Penyebaran secara hematogen lebih sering terjadi pada tempat dengan tekanan oksigen yang tinggi seperti pada otak, epifisis tulang
panjang, ginjal, tulang vertebra dan daerah apikal-posterior paru-paru. Reaktivasi TB lebih cenderung berkembang di daerah apikal oleh karena PO
2
yang lebih tinggi sehingga cocok untuk pertumbuhan kuman. Daerah apikal-posterior juga
merupakan area yang defisiensi produksi limfe sehingga terjadi penurunan drainase sehingga kuman TB sukar dieliminasi di area tersebut Hopewell, 2005.
2.1.3.2. Patogenesis Reaktivasi Tuberkulosis
Banyak sebutan terhadap fase ini seperti penyakit kronik pasca TB primer, reinfeksi atau TB progresif dewasa, endogen reinfeksi, reaktivasi terjadi
setelah periode laten beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Dapat terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi oleh karena kuman dorman
mengalami multiplikasi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Reinfeksi diartikan sebagai infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah
mengalami infeksi primer. TB paru-paru pos-primer dimulai dari sarang dini yang umumnya pada segmen apikal lobus superior atau lobus inferior, yang awalnya
berbentuk sarang pneumonik kecil. Sarang ini dapat mengalami suatu keadaan, direabsorsi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, sarang meluas, tetapi
mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan kavitas.
Sarang pneumonia meluas membentuk jaringan keju yang bila dibatukkan akan membentuk kavitas awalnya berdinding tipis kemudian menjadi tebal
Hopewell, 2005. Bentuk dari TB paru pos-primer dapat sebagai tuberkulosis paru seperti
adanya kavitas, infiltrat, fibrosis dan endobronkial TB, atau dapat sebagai TB ekstrapulmonal seperti efusi pleura, limfadenopati, meningitis, TB tulang
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
2.1.3.3. Patologi TB Paru
Perubahan mendasar pada jaringan paru akibat infeksi kuman tuberkulosis berupa lesi eksudatif, fibrinomacrophagic alveolitis, polymorphonuclear
alveolitis, kaseosa dan kavitas, tuberkuloma Fishman, 2002.
2.1.4. Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia,
dan berat badan menurun. Pada paru-paru akan timbul gejala lokal berupa gejala respiratori. Norman Horne membuat daftar gejala dan tanda TB paru seperti
tidak ada gejala, batuk, sputum purulen, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas, “mengi” yang terlokalisir.
Akan tetapi, tanda dan gejala ini tergantung pada luas lesi. Pada pemeriksaan fisis, kelainan jasmani tergantung dari organ yang terlibat
dan luas kelainan struktur paru Depkes RI, 2007. Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan paru
pada pemeriksaan fisis. Kelainan paru terutama pada daerah lobus superior terutama apeks dan segmen posterior, serta apeks lobus inferior Leitch, 2000.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru-paru,
diafragma dan mediastinum. Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman. Untuk
membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat sifat–sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan perbedaan
kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bronchoalveolar
lavage, urin, jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi yang menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari tiga kali yaitu sewaktu pada saat
kunjungan, pagi keesokan harinya, sewaktu pada saat mengantarkan dahak pagi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis. WHO merekomendasikan pembacaan dengan skala International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease IUATLD: a.
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif. b.
Ditemuka n 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemuka n.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + 1+.
d. Ditemuka n 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ 2+.
e. Ditemukan 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ 3+
2.1.5. Penatalaksanaan
Sejarah pengobatan pada TB dimulai pada tahun 1943, dimana Wacksman dan Schatz di New Jersey menemukan Streptomyces griseus yang dikenal sebagai
Streptomisin, merupakan OAT pertama yang digunakan. Penggunaan Streptomisin sebagai obat tunggal terjadi sampai tahun 1949. Kemudian
ditemukan Para Amino Salisilat PAS, sehingga mulai dilakukan kombinasi antara keduanya, tetapi pada akhir 1946 pemakaian PAS sudah jarang
dipublikasikan. Pada tahun 1952 ditemukan Isoniazid INH yang kemudian menjadi komponen penting dalam pengobatan TB, sejak saat itu durasi
pengobatan dapat diturunkan. Pada tahun 1972 mulai digunakan Rifampisin R sebagai paduan obat dikombinasi dengan Etambutol E dan Pirazinamid
WHO, 2002b.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. Pengembangan
strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas utama WHO.
Pengobatan TB bertujuan untuk tiga hal yaitu Departement Kesehatan RI, 2007: a.
Untuk mengurangi secara cepat jumlah dari basil mikobakterium, sehingga dapat mengurangi durasi dari pengobatan.
b. Untuk mencegah resistensi obat. Pengobatan yang tidak adekuat dapat
menyebabkan resistensi obat dengan segera, sehingga dapat meningkatkan kegagalan pengobatan dan kekambuhan. Resistensi tidak hanya pada pasien
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
yang bersangkutan, tetapi juga dapat menular pada seseorang yang sebelumnya belum pernah terinfeksi.
c. Sterilisasi untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi jumlah dan
kelangsungan hidup kuman.
2.1.5.1. Kombinasi Dosis Tetap KDT
Di Indonesia OAT KDT pertama kali digunakan pada tahun 1999 di Sulawesi Selatan dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang
diobati dengan KDT di enam belas Puskesmas, tidak ada yang menolak dengan pengobatan KDT dan hanya 10 dengan efek samping ringan tanpa harus
menghentikan pengobatan dan hanya 0,6 yang mendapat efek samping berat Depkes RI, 2007.
OAT KDT adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat anti TB dengan dosis tetap. Jenis tablet KDT untuk dewasa Depkes RI, 2007:
a. Tablet yang mengandung empat macam obat dikenal sebagai empat KDT.
Setiap tablet mengandung: 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan setiap hari untuk
pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita.
b. Tablet yang mengandung dua macam obat dikenal sebagai empat KDT.
Sertiap tablet mengandung 150 mg INH dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermiten tiga kali seminggu dalam tahap
lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita. Pada katagori I obat yang digunakan bila terdapat BTA + ialah
2RHZE4RH. Dasar perhitungan pemberian OAT KDT adalah :
1 Dosis sesuai dengan berat badan penderita
2 Lama dan jumlah dosis pemberian pada Kategori I adalah:
a. Tahap intensif adalah: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.
b. Tahap lanjutan 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
Kombinasi empat komponen aktif OAT atau KDT akan mampu mengurangi resistensi kuman TB terhadap obat TB karena penderita kecil
kemungkinannya untuk memilih salah satu dari obat TB yang akan diminum Aditama, 2004.
Efek samping dapat timbul pada penggunaan tablet KDT, apabila efek samping timbul, maka tablet KDT harus diubah dalam bentuk OAT yang terpisah.
Reaksi efek samping biasanya terjadi hanya pada 3-6 pasien-pasien dalam pengobatan TB. Reaksi efek samping lebih sering terjadi pada pasien dengan ko-
infeksi dengan HIV khususnya Thioacetazone, bagaimanapun KDT tidak dikontraindikasikan absolut pada pasien- pasien ini Depkes RI, 2007.
KDT dapat digunakan pada beberapa kondisi khusus, misalnya pada gagal ginjal, dosis rifampisin, INH dan Pirazinamid dapat digunakan dosis normal.
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dosis Etambutol harus dikurangi karena ekskresi primer dari obat tersebut adalah melalui ginjal Depkes RI, 2007.
2.2. Merokok
2.2.1. Definisi
Merokok adalah suatu perbuatan dimana seseorang menghisap rokok tembakau. Bahaya merokok bagi kesehatan telah dibicarakan dan diakui secara
luas. Penelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti nyata adanya bahaya merokok bagi kesehatan si perokok dan bahkan pada orang di sekitarnya
Aditama, 2009.
2.2.2. Komposisi
Kalau kita sadar, satu batang rokok yang hanya seukuran pensil sepuluh sentimeter itu, ternyata ibarat sebuah pabrik berjalan yang menghasilkan bahan
kimia berbahaya. Satu batang rokok yang dibakar mengeluarkan sekira 4 ribu bahan kimia. Terdapat beberapa bahan kimia yang ada dalam rokok. Di antaranya,
acrolein, merupakan zat cair yang tidak berwarna, seperti aldehyde. Zat ini sedikit banyaknya mengandung kadar alkohol. Artinya, acrolein ini adalah alkohol yang
cairannya telah diambil. Cairan ini sangat mengganggu kesehatan.Karbon
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
monoxide adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau. Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Zat ini sangat
beracun. Jika zat ini terbawa dalam hemoglobin, akan mengganggu kondisi oksigen dalam darah.Nikotin adalah cairan berminyak yang tidak berwarna dan
dapat membuat rasa perih yang sangat. Nikotin ini menghalangi kontraksi rasa lapar.
Ammonia merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu
kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga kalau disuntikkan baca: masuk sedikit pun kepada peredaraan darah akan mengakibatkan seseorang pingsan.
Formic acid sejenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat membuat lepuh. Cairan ini sangat tajam dan menusuk baunya. Zat menimbulkan
rasa seperti digigit semut. Hydrogen cyanide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau
dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernapasan.
Cyanide adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat berbahaya. Sedikit saja cyanide dimasukkan langsung ke dalam tubuh dapat
mengakibatkan kematian. Nitrous oxide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terisap
dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan mengakibatkan rasa sakit. Nitrous oxide merupakan jenis zat yang pada mulanya dapat digunakan sebagai
pembius waktu melakukan operasi oleh para dokter. Formaldehyde adalah sejenis gas tidak berwarna dengan bau yang tajam.
Gas ini tergolong sebagai pengawet dan pembasmi hama. Gas ini juga sangat beracun keras terhadap semua organisme-organisme hidup.
Phenol merupakan campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang. Zat ini
beracun dan membahayakan, karena phenol ini terikat ke protein dan menghalangi aktivitas enzim.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
Acetol, adalah hasil pemanasan aldehyde sejenis zat yang tidak berwarna yang bebas bergerak dan mudah menguap dengan alkohol. Hydrogen sulfide,
sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oxidasi enzym zat besi yang berisi pigmen. Pyridine, sejenis cairan
tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
Methyl chloride adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu antara hidrogen dan karbon merupakan unsurnya yang terutama. Zat ini adalah
merupakan compound organis yang dapat beracun. Methanol sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan mudah terbakar. Meminum atau mengisap methanol
dapat mengakibatkan kebutaan dan bahkan kematian. Dan tar, sejenis cairan kental berwarna cokelat tua atau hitam. Tar terdapat dalam rokok yang terdiri dari
ratusan bahan kimia yang menyebabkan kanker pada hewan. Bilamana zat tersebut diisap waktu merokok akan mengakibatkan kanker paru-paru Aditama,
1997.
2.2.3. Pengaruh Merokok terhadap Paru
Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia. Sekali satu batang rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan sekitar empat ribu bahan kimia seperti
nikotin, gas karbon monooksida, nitrogen oksida, hydrogen cyanide, ammonia, acrolein, acetilen, benzaidehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin,4-
ethylcatechol, ortocresol, perylene dan lain-lain Aditama, 1997. Secara umum bahan-bahan ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar
yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Tar adalah kumpulan dari
ratusan atau bahkan ribuan bahan kimia dalam komponen padat asap rokok setelah dikurangi nikotin dan air. Tar ini mengandung bahan-bahan karsinogen
dapat menyebabkan kanker. Tembakau banyak dikunyah atau diisap melalui mulut atau hidung, atau seperti kebiasaan menyusur di negara kita. Sementara itu,
nikotin adalah suatu bahan adiktif, bahan yang dapat membuat orang menjadi ketagihan dan menimbulkan ketergantungan. Daun tembakau mengandung satu
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
sampai tiga persen nikotin. Setiap isapan asap rokok mengandung 10
14
radikal bebas dan 10
6
oksidan, yang semuanya tentu akan masuk terisap ke dalam paru- paru. Jadi bila seseorang membakar kemudian mengisap rokok, maka ia akan
sekaligus mengisap bahan-bahan kimia yang disebutkan di atas. Bila rokok dibakar, maka asapnya juga akan beterbangan di sekitar
perokok. Asap yang beterbangan itu juga mengandung bahan yang berbahaya, dan bila asap itu diisap oleh orang yang ada di sekitar perokok maka orang itu juga
akan mengisap bahan kimia berbahaya ke dalam dirinya, walaupun ia sendiri tidak merokok. Asap rokok yang diisap perokok disebut dengan asap utama
mainstream smoke dan asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar yang diisap oleh orang sekitar perokok disebut asap sampingan sidestream smoke.
Bahan-bahan kimia itulah yang kemudian menimbulkan berbagai penyakit. Setiap golongan penyakit berhubungan dengan bahan tertentu. Kanker
paru misalnya, dihubungkan dengan kadar tar dalam rokok, penyakit jantung dihubungkan dengan gas karbon monooksida, nikotin, dan lain-lain. Makin tinggi
kadar bahan berbahaya dalam satu batang rokok, maka semakin besar kemungkinan seseorang menjadi sakit kalau mengisap rokok itu. Karena itulah di
banyak negara dibuat aturan agar pengusaha mencantumkan kadar tar, nikotin dan bahan berbahaya lainnya pada setiap bungkus rokok yang dijual di pasaran. Yang
juga jadi masalah bagi kita adalah kenyataan bahwa rokok Indonesia mempunyai kadar tar dan nikotin yang lebih tinggi daripada rokok-rokok produksi luar negeri.
Karena itu perlu dilakukan upaya terus-menerus untuk menghasilkan rokok dengan kadar tar dan nikotin yang lebih rendah di Indonesia.
Setelah mengisap rokok bertahun-tahun, perokok mungkin menderita sakit Makin lama ia punya kebiasaan merokok maka makin besar kemungkinan
mendapat penyakit. Tentu saja juga ada pengaruh buruk yang segera timbul dari asap rokok, misalnya keluhan perih di mata bila kita berada di ruangan tertutup
yang penuh asap rokok. Penderita asma juga seringkali mengeluh sesak napas dan batuk-batuk bila di sebelahnya ada orang yang menghembuskan juga akibat
paparan asap rokok dalam waktu lama. Ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko penting untuk timbulnya kasus baru
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
asma. Para perokok juga ternyata dapat lebih tersensitisasi terhadap alergen- alergen di tempat kerja yang khusus.
Kebiasaan merokok juga dihubungkan dengan peningkatan kadar suatu bahan yang disebut imunoglobulin E yang spesifik. Kadar antibodi terhadap
bahan ini ternyata bahkan dapat sampai empat sampai lima kali lebih tinggi pada perokok bila dibandingkan dengan bukan perokok. Penelitian lain melaporkan
pula peningkatan hitung jenis set basofil dan eosinosfil pada perokok. Jumlah sel Goblet yang ada di saluran napas juga terpengaruh akibat asap rokok dan
mengakibatkan terkumpulnya lendir di saluran napas. Ada juga penelitian yang mengemukakan bahwa epithelial serous cells di saluran napas dapat berubah
menjadi sel goblet akibat paparan asap rokok dan polutan lainnya Aditama, 1997.
2.3. Hubungan Merokok dan Tuberkulosis Paru
Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak
mudah membuang infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan
napas airway resistance dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paru-paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat
memfagosit bakteri patogen. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen
sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan. Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan
produksi antiprotease sehingga merugikan tubuh kita. Pemeriksaan canggih seperti gas chromatography dan mikroskop elektron lebih menjelaskan hal ini
dengan menunjukkan adanya berbagai kerusakan tubuh di tingkat biomolekuler
akibat rokok Aditama, 2009.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka konsep Variabel independen: kebiasaan merokok.
Variabel dependen: konversi sputum pada penderita TB paru setelah pengobatan dengan OAT bulan ke-1 dan ke-2.
3.2. Definisi Operasional Kebiasaan merokok adalah suatu perbuatan dimana seseorang menghisap
rokok tembakau minimal tiga batamg rokok per hari.
Konversi sputum adalah apabila jumlah bakteri pada pemeriksaan
mikroskopis sputum penderita TB paru dengan pewarnaan BTA mengalami penurunan sesuai dengan kriteria WHO dari + 3 menjadi +2 menjadi +1 atau
menjadi 0.
3.3. Hipotesis
1. Ada perbedaan konversi sputum setelah satu bulan pengobatan dengan OAT
pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok. 2.
Ada perbedaan konversi sputum dari bulan pertama ke bulan kedua pengobatan dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok. 3.
Ada perbedaan konversi sputum setelah dua bulan pengobatan dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok. pengobatan TB
pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok. Merokok
Konversi sputum pada TB paru
setelah pengobatan bulan ke-1 dan ke-2