BAB II PENGATURAN TENTANG KEAMANAN PENERBANGAN SIPIL YANG
TERMASUK DALAM YURIDIKSI PUBLIK PADA PERUNDANG- UNDANGAN NASIONAL
A. Pengaturan Tentang Penerbangan Pesawat Udara Sipil
Penanggulangan terhadap kejahatan bagi penerbangan sipil bertujuan untuk memberikan kenyamanan penerbangan terhadap kejahatan yang ditujukan kepada
pesawat udara sipil itu sendiri, misalnya kejahatan yang ditujukan terhadap pesawat udara sipil yang sedang dalam penerbangan maupun terhadap pesawat udara sipil yang
masih berada di bandar udara, untuk mengatasi kejahatan demikian maka diperlukan peraturan perundangan baik secara internasional maupun menurut hukum nasional
Indonesia.
62
Sarana hukum yang ada di dalam perundang-undangan Indonesia, yang mengatur tentang kejahatan terhadap penerbangan sipil, seperti kejahatan dalam
penerbangan, kejahatan terhadap pesawat udara yang sedang berada dalam dinas, kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan dan bandar udara, serta memberi
informasi yang salah dapat diuraikan di bawah ini sebagai berikut:
62
Harisman, Pengaturan Kejahatan Terhadap Pesawat Udara di Bandar Udara Menurut Konvensi Monteral 1971, Media Hukum, Volume XIV, Nomor 1, Januari-Juni 2005, hal. 66 bahwa
begitu pentingnya dalam usaha menjaga keselamatan para pemakai jasa penerbangan baik yang berasal dari nasional maupun internasional maka diperlukan suatu peraturan-peraturan internasional yang
merupakan pedoman umum yang akan digunakan oleh suatu negara guna menangani masalah kejahatan terhadap penerbangan khususnya kejahatan yang ditujukan terhadap pesawat udara sipil di
bandar udara. Hal ini diperlukan karena khusus dalam penerbangan internasional pada umumnya akan tersangkut kepentingan lebih dari satu negara apabila terjadi suatu kasus kejahatan, misalnya
kepentingan negara tempat pesawat tersebut mendarat, kepentingan negara yang warga negaranya menjadi korban atau pelaku dalam peristiwa kejahatan tersebut, juga kepentingan dari negara yang
memiliki pesawat udara sipil tersebut.
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan
Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, Dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan. Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1976 yang ditetapkan pada lembaran Negara Nomor 16 Tahun 1976 dilakukan untuk meratifikasi konvensi-konvensi internasional yang
mengatur ketentuan-ketentuan tentang kejahatan terhadap penerbangan sipil internasional, seperti Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970 serta
Konvensi Montreal 1971. Dengan demikian, Indonesia telah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam ketiga konvensi tersebut, maka
berkewajiban menerapkannya jika terjadi kejahatan terhadap penerbangan sipil. Sebelum tahun 1976, Hukum Pidana Indonesia tidak berlaku terhadap tindak
pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara Indonesia yang sedang terbang di luar wilayah Indonesia. Kemudian, Indonesia memperluasnya sehingga berlaku
Hukum Pidana Indonesia terhadap pesawat udara yang berada di luar wilayah Indonesia.
63
Hal ini termasuk pula terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh siapa pun di dalam pesawat udara Indonesia, walaupun pesawat udara tersebut
berada di luar wilayah Indonesia.
63
Tien Saefullah, Peledakan Pesawat KAL 858 dan Pelaksanaan Konvensi Monteral, 1971 Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Bandung: Remaja Karya, 1988, hal. 111
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Pertimbangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan Dan
Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlansungnya Ketentuan Perundang-Undangan
Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan.
Pertimbangan pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 didasarkan pada penentuan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum
serta semua perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan penerbangan dan saranaprasarana penerbangan sangat merugikan kehidupan penerbangan
nasional pada khususnya, perekonomian negara serta pembangunan nasional pada umumnya, sehingga perlu diadakan peraturan-peraturan untuk mencegah
perbuatan-perbuatan tersebut, guna menjamin keselamatan dan keamanan baik penumpang, awak pesawat udara, barang-barang yang berada dalam
penerbangan, maupun perlindungan sarana prasarana penerbangan. Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1976 berkenaan dengan undang-undang tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian
dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana. Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan. Undang-
undang ini disusun dengan merubah menambah ketentuan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, yaitu dengan memperluas ruang lingkup berlakunya Pasal 3
dan 4 dari Buku I serta, menambah Buku I serta BAB IX dengan Pasal 95 a, 95 b, dan
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Pasal 95 c, juga ditambah dalam Buku II Bab XXIX A tentang Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan.
64
Tujuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 yakni untuk mencegah terjadinya penguasaan pesawat udara secara melawan hukum serta semua perbuatan-perbuatan yang
mengganggu, keamanan penerbangan dan saranaprasarana penerbangan yang sangat merugikan kehidupan penerbangan nasional, perekonomian negara serta
pembangunan nasional pada umumnya. Untuk itu perlu dibentuk sebuah undang- undang yang mengatur tentang keselamatan dan keamanan baik penumpang,
awak pesawat udara, harta benda yang ada di dalamnya, maupun perlindungan terhadap saranaprasarana penerbangan. Kejahatan terhadap pesawat udara yang
sedang dalam penerbangan, menurut Pasal 479 huruf i dan Pasal 479 huruf j Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 perubahan dan penambahan beberapa pasal
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan Pidana. Kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan sebagai berikut: Pasal 479 huruf i Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 menyatakan bahwa:
“Barang siapa dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara
dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
64
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 alinea ke enam
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Sedangkan Pasal 479 huruf j Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 merumuskan bahwa:
“Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan
perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Pasal 479 huruf i dan Pasal 479 huruf j di atas pada intinya mengatur ketentuan tentang kejahatan terhadap penerbangan yang berbentuk penguasaan
pesawat udara secara melawan hukum, sedangkan pesawat sedang berada dalam penerbangan. Hal ini sering disebut dengan istilah pembajakan
Pesawat Udara hijacking. Pasal ini hampir sama dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Den Haag, 1970 dengan menyebutkan kata Unlawful
Seizure of aircraft. Perbuatan tersebut dimaksudkan untuk menguasai pesawat udara dalam suatu penerbangan dengan tujuan ingin mengendalikan
pesawat udara sesuai dengan keinginannya. Selanjutnya Pasal 479 huruf k, menentukan bahwa:
ayat 1 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun, apabila perbuatan dimaksud Pasal
479 huruf i dan Pasal 479 huruf j itu : a. Dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;
b. Sebagai kelanjutan pemufakatan jahat; c. Dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu;
d. Mengakibatkan luka berat seseorang; e. Mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara tersebut, sehingga
dapat membahayakan penerbangannya; f. Dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
ayat 2 : Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau
hancurnya pesawat itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua
puluh tahun.
Tindak pidana menurut Pasal 479 huruf i dan Pasal 479 huruf j, dilakukan sesuai dengan unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 479 huruf k,
maka akan dikenakan pemberatan hukuman atasnya. Dalam ketentuan perundang-undangan nasional Indonesia mengatur ketentuan tentang hal-hal
yang meringankan dan yang memberatkan pidana. Jenis tindak pidana lain yang dilakukan di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan
yaitu:
65
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam
penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya lima belas tahun”.
Tindak pidana dimaksud dilakukan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan. Kekerasan di sini ditujukan kepada seseorang,
apakah awak pesawat udara atau para penumpang, karena perbuatan tersebut dapat membahayakan keselamatan pesawat udara dalam suatu penerbangan.
Jadi tindak pidana dalam pasal ini tidak ditujukan terhadap pesawat udara, tetapi ditujukan terhadap seseorang. Terakhir, jenis tindak pidana ini
berkenaan dengan setiap tindakan yang membahayakan pesawat udara dalam
65
Lihat, Pasal 479 huruf i Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan perluasan berlakunya
Ketentuan Perundang-undangan Pidana. Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
penerbangan, serta mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan. Bunyinya sebagai berikut:
“Barang siapa dalam pesawat udara, melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
66
“Barang siapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat
udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya satu tahun”.
67
Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan dalam pasal ini yaitu, setiap perbuatan yang nyata-nyata
membahayakan keamanan penerbangan seperti membuka pintu darurat atau pintu utama, merusak alat-alat pelampung atau alat-alat penyelamatan lainnya.
Yang dimaksud dengan mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan adalah perbuatan yang bertentangan
dengan tata tertib atau disiplin, seperti dengan sengaja membuat onar, membuat kegaduhan, mabuk-mabukan, dan lain-lain.
Rumusan norma yang terdapat di dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 dapat ditarik kesimpulan bahwa, unsur-unsurnya
adalah, a Tindak pidana harus dilakukan di dalam pesawat udara yang sedang
66
Lihat, Pasal 479 huruf q Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidaana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-undangan Pidana. Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan
67
Lihat, Pasal 479 huruf r Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidaana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-undangan Pidana. Kejatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
dalam penerbangan, b Tindak pidana itu ditujukan terhadap pesawat udara dengan maksud untuk menguasainya atau mengendalikannya dan terhadap
orang baik awak pesawat udara maupun para penumpang, c Melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan pesawat
udara dalam penerbangan, serta d Mengganggu ketertiban di dalam pesawat udara dalam penerbangan. Dari keempat unsur di atas, tindak pidana yang
dilakukan dapat membahayakan keselamatan pesawat udara dalam penerbangan. Lebih lanjut, tindak pidana terhadap pesawat udara yang berada di darat atau
pesawat udara yang berada dalam dinas. Untuk lebih jelas, di bawah ini akan diuraikan unsur-unsur yang tercantum di dalam pasal-pasal yang mengatur
tentang tindak pidana terhadap pesawat udara yang berada dalam dinas. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum menurut pasal ini yaitu:
a. Dengan sengaja dan melawan hukum merusak atau menyebabkan kerusakan pesawat udara dalam dinas
b. Dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara sedang dinas, alat atau bahan
yang dapat menghancurkan atau menyebabkan kerusakan pesawat udara. c. Menyebabkan pesawat udara tidak dapat terbang atau membahayakan
keamanan penerbangan serta keamanan dalam penerbangan.
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Tindak pidana yang ditujukan terhadap saranaprasarana penerbangan unsur-unsurnya sebagai berikut:
1 Dengan sengaja dan melawan hukum atau karena kealpaan menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha pengamanan bangunan tersebut.
2 Dengan sengaja dan melawan hukum atau karena kealpaan menghancurkan, merusak, mengambil atau memindahkan tanda
atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya alat atau tanda tersebut, atau memasang tanda atau alat
yang keliru. 3 Perbuatan tersebut dapat membahayakan keamanan lalu lintas
udara, membahayakan keamanan penerbangan atau mencelakakan pesawat udara atau matinya orang.
Beberapa Pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang 4 Tahun 1976 memuat ketentuan yang berhubungan dengan fasilitas penerbangan yang
digunakan untuk keamanan dan pengaturan lalu lintas udara seperti terminal, bangunan, menara, rambu udara, penerangan, landasan, serta fasilitas-fasilitas
lainnya, termasuk bangunan maupun instalasinya. Yang dimaksud dengan tanda atau alat adalah fasilitas penerbangan yang digunakan oleh atau bagi
pesawat udara untuk secara aman dapat mendarat atau tinggal landas take
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
off, seperti tanda atau alat landasan runway-marking, termasuk garis tengah landasan runway-counter line-marking, tanda penunjukkoordinat landasan
runway-designation-marking, tanda ujung landasan runway-threshold marking termasuk lampu tanda pemancar radio, lampu tanda menara lalu
lintas udara dan lampu tanda gedung stasiun udara dan lain sebagainya. Pengertian memasang tanda atau alat yang keliru dapat juga berupa perbuatan
pemasangan yang keliru dari pada alat atau tanda yang dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum.
Selain tindak pidana seperti yang telah diuaraikan di atas, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 juga mengatur ketentuan tentang tindak pidana yang
dilakukan terhadap pesawat udara yang sedang berada di darat, yaitu :
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun”.
68
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat
udara, dipidana : a. Dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas
tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
b. Dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk selama-lamanya dua puluh tahun,
68
Lihat Pasal 479 huruf e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-undangan Pidana. Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.
69
Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai atau rusak dipidana :
a. Dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun,
jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
b. Dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya
orang.
70
Maksud dari pesawat udara yang sedang berada di darat dalam pasal di atas yaitu, pesawat udara tidak sedang dalam penerbangan, atau masih dalam
persiapan oleh awak darat petugas yang mempersiapkan pesawat udara yang berada di darat atau oleh awak pesawat udara untuk tujuan melakukan
penerbangan. Perbuatan yang dapat dihukum menurut pasal ini yaitu, dengan sengaja secara melawan hukum dan karena kealpaannya menghancurkan atau
membuat tidak bisa dipakai, atau mencelakakan, serta sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Ada tiga tujuan pokok yang diatur dalam ketentuan tentang tindak pidana terhadap saranaprasarana penerbangan, yaitu a Melindungi bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara, b Melindungi alat untuk pengamanan penerbangan serta, c Melindungi pesawat udara yang berada di darat atau
69
Lihat, Pasal 479 huruf f Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-undangan Pidana. Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan
70
Lihat, Pasal 479 huruf g Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-undangan Pidana. Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
tidak sedang dalam penerbangan. Undang-undang ini juga mengatur tentang memberi keterangan palsu, yang dapat membahayakan keamanan pesawat
udara dalam penerbangan. Keterangan palsu tersebut dapat berupa memberitahun adanya bahan peledak dalam pesawat udara, lewat telepon atau
lewat alat komunikasi lainnya. Hal ini sering terjadi dalam dunia penerbangan sipil. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, mengatur tentang ketentuan-
ketentuan sebagai berikut : 1.
Tindak pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara dalam penerbangan, baik ditujukan terhadap seseorang, ataupun terhadap
pesawat udara.
2. Tindak pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara yang sedang
berada dalam dinas. 3.
Tindak pidana yang dilakukan terhadap saranaprasarana penerbangan. 4.
Pemberian informasi yang tidak benar. Apabila tindak pidana dilakukan dengan cara meledakkan pesawat udara
yang sedang dalam penerbangan, ketentuan mana yang harus diterapkan. Aturan yang mengatur ketentuan yang berhubungan dengan zat atau alat yang
dapat menghancurkan pesawat udara, yaitu terdapat dalam pasal 479 huruf n Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana. Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan, pasal tersebut mensyaratkan bahwa pesawat udara harus sedang dalam dinas, yang sedang
berada di darat. Jadi jika perbuatan tersebut terjadi pada saat pesawat udara sedang berada dalam penerbangan, tidak ada satu ketentuan dalam undang-
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
undang dapat diterapkan.
71
Masalah lain yaitu, jika sebuah pesawat udara Indonesia sedang berada dalam penerbangan, kemudian pesawat udara
tersebut diserang dengan peluru kendali dari darat ke udara, atau jika pesawat udara dalam penerbangan diserang oleh pesawat udara lain dengan peluru
kendali dari udara ke udara, menyebabkan timbulnya kecelakaan yang dapat menghancurkan pesawat udara serta matinya para penumpang. Dengan
demikian, jika dikaji dari pasal-pasal yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tidak mengatur
ketentuan-ketentuan seperti beberapa masalah yang telah diuraikan diatas.
72
Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kekosongan hukum.
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan secara umum
mengatur menyangkut administratif penerbangan pesawat udara yang memuat atau dilengkapi dengan sanksi pidana. Hal-hal yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 15 Tahun 1992,
73
terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang meliputi asas-asas dan tujuan, Kedaulatan atas wilayah negara, kawasan udara
terlarang, Industri penerbangan, bengkel, perawatan pesawat udara,
71
Tien Saefullah, Op.cit, hal. 112
72
Ibid
73
Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 3
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
pengawasan lalu lintas udara, aspek dampak lingkungan yang mencakap kebisingan, penyidikan dan lain-lain.
Dari seluruh pasal-pasal yang dimuat dalam undang-undang tersebut, ada beberapa pasal yang memuat ketentuan-ketentuan tentang keamanan dan
keselamatan penerbangan serta tentang penyidikan. Pasal 1 angka 1 Undang- Undang 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menyatakan bahwa penerbangan
adalah setiap orang yang melakukan kejahatan jika dengan secara melawan hukum dan secara sengaja unlawfully and Internationally sebagai berikut
:
a. Melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang di atas pesawat yang sedang terbang in flight jika perbuatan tersebut tampaknya akan
membahayakan keselamatan pesawat udara. b. Menghancurkan suatu pesawat yang sedang in service atau mengakibatkan
kerusakan yang mengakibatkan pesawat tersebut tidak mampu terbang atau jika perbuatan tersebut tampaknya akan membahayakan keselamatan
penerbangan. c. Menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di atas pesawat udara in
service suatu peralatan atau bahan-bahan apapun yang tampaknya digunakan untuk menghancurkan pesawat udara tersebut, atau
menyebabkan kerusakan terhadapnya yang maksudnya akan mengakibatkan kerusakan pesawat in flight.
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
d. Memberikan informasi salah yang akan membahayakan keselamatan penerbangan in flight.
Bab VII Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan diatur menyangkut ketentuan yang berkenaan dengan keamanan dan keselamatan
penerbangan. Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 mengatur hal-hal sebagai berikut:
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menyatakan bahwa:
“ayat 1 : Selama terbang, kapten pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk keamanan dan
keselamatan penerbangan; ayat 2 : Jenis dan bentuk tindakan yang akan diambil untuk keamanan dan
keselamatan penerbangan sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.
Sedangkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 merumuskan bahwa:
“Pencegahan dan penanggulangan tindakan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan penerbangan termasuk yang membahayakan
pertahanan dan keamanan negara diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Maksud dari selama terbang dalam ketentuan di atas yaitu, selama pesawat
berada dalam penerbangan, seperti yang diatur dalam Pasal 95 b Undang- undang Nomor 4 Tahun 1976. Kewenangan yang diatur dalam undang-
undang ini yaitu untuk memberi landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh kapten penerbang dalam rangka keamanan dan keselamatan
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
penerbangan. Kewenangan kapten penerbang dalam undang-undang ini terdapat dalam Bab III tentang kekuasaan komandan pesawat udara Pasal 5
sampai dengan Pasal 10. Hal ini juga diatur dalam Konvensi Tokyo 1963. Namun demikian, jika dikaji lebih lanjut tentang kewenangan yang
diberikan kepada komandan pesawat udara menurut undang-undang ini tidak diatur secara kongkrit atau lebih terperinci kewenangan yang bagaimana dapat
diambil oleh komandan pesawat udara. Apakah kewenangan yang menyangkut keselamatan pesawat udara berkaitan dengan persoalan teknisi,
atau kewenangan yang menyangkut dengan keselamatan pesawat udara dalam penerbangan karena suatu tindak pidana. Konvensi Tokyo 1963 kewenangan
komandan pesawat udara ini diatur secara jelas dan terperinci. Sebaliknya dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 hal ini sama sekali tidak diatur.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa perlu adanya pemikiran lebih lanjut terhadap pasal-pasal tentang kewenangan komandan pesawat udara, diatur
lebih terperinci dengan peraturan pemerintah. Kemungkinan lain adalah pasal- pasal yang ada dalam Konvensi Tokyo, 1963 dimasukkan kedalam peraturan
penerbangan Indonesia. Pasal di atas menentukan bahwa berkenaan dengan kewenangan kapten penerbang tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Iwan Setyawan: Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Mengamankan Bandara Udara Internasional Polonia Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Pemerintah. Konsekwensinya,
74
pemerintah harus mengatur lebih lanjut peraturan pelaksanaannya, ke dalam Peraturan Pemerintah.
B. Organisasi-Organisasi Penerbangan Sipil