Analisis Hubungan Timbal Balik Antara Tingkat Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA TINGKAT

INFLASI DENGAN TINGKAT PENGANGGURAN

DI INDONESIA

SKRIPSI Diajukan Oleh: NATALIN R. SIREGAR

060501083

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2010


(2)

KATA PENGANTAR

Segala pujian syukur dan hormat hanya bagi Yesus Kristus, Allah yang menyelamatkan dan senantiasa melimpahkan berkat dalam kehidupan penulis, bahkan yang senantiasa memberikan kekuatan dan menunjukkan jalan dalam setiap proses pengerjaan skripsi ini sehingga penulis mampu menyelesaikannya guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan perkuliahan di Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari skripsi ini adalah: “Analisis Hubungan Timbal Balik

Antara Tingkat Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia”.

Secara khusus skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis terkasih Drs. M. Siregar dan E.T. Simanjuntak,BA yang selalu setia mendukung dan mengajari penulis dalam memaknai kehidupan serta yang selalu berdoa bagi penulis. Juga buat abang-abang penulis yang terkasih Chandra Siregar, Darius Siregar yang selalu mengajari dan memotivasi penulis dan adek Caesar Siregar yang jauh tapi dekat. Terima kasih untuk setiap cinta dan kasih sayang yang selalu akan ada dan penulis rasakan.

Dalam kesempatan ini, penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menjalani studi di Fakultas Ekonomi bahkan dalam masa-masa pengerjaan skripsi ini, baik melalui dukungan doa, dana, pemikiran, dan motivasi, antara lain kepada:


(3)

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Sekretaris departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. T. Diana Bakti, MSi, selaku Dosen Penasehat Akademik.

5. Ibu Dr. Murni Daulay, MSi selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan evaluasi dan saran dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Rujiman, MA dan Bapak Drs. HB. Tarmizi, SU selaku Dosen Pembanding yang memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah berbagi ilmu pengetahuan dan membantu penulis selama penulis menjalani masa perkuliahan.

8. Seluruh staf perpustakaan Biro Pusat Statistik Medan yang telah membantu penulis dalam pencarian data yang diperlukan dalam pengerjaan skripsi ini. 9. Sahabat-sahabat penulis dalam KK Be Blessed, Derma Purba, Vina

Tambunan, Jeni Purba, Elida Simanjuntak, Siska Silitonga, Kak Gohana, dan juga Kak Princes. Terima kasih karena selalu ada untuk menemani dan mendukung penulis dalam setiap hal, suka dan dukaku sehingga kita dapat belajar dan bertumbuh dalam pengenalan akan Dia.


(4)

10. Adik-adik penulis yang terkasih dalam KK Glorification, Paulina Hutagalung, Evri Sihotang, Nova Sihombing dan juga dalam KK Zefanya, Henny Damanik dan Ema Manurung, terima kasih untuk perhatian, doa dan semangatnya.

11. Sahabat-sahabat penulis di Wisma Kasih (M’178), terutama Rini, Rotua, Anike, Rebekka, Inta, Wenny, Rina, dan juga Eva yang telah memberi arti dari persahabatan. Terima kasih untuk kebersamaan, pengertiannya selama ini dalam menjalani segala sesuatu, dan dukungan yang selalu diberikan pada penulis.

12. Teman-teman pelayanan PD/PA FILIPI, Hendro “iban”, Bang Ray, Bang Freddy, Bang Alex, Bang Hendra, Kak Nita, Kak Magda, Nove dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk doa dan kebersamaannya selama ini yang menolong penulis untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Dia.

13. Teman-teman EP stambuk 2006, Valentina, Christin, Regina, Andreas, Irwin, Arisandi, Albert, dan teman-teman yang lainnya untuk kebersamaannya selama ini. Sukses untuk kita semua.

14. Abang dan Kakak stambuk 2004 dan 2005 yang telah lebih dahulu menjadi alumni yang menjadi inspirasi bagi penulis. Terima kasih untuk kebersamaannya selama menjalani masa perkuliahan di EP.

15. Christian Youth, terutama Ade, Nusa, Andi dan teman-teman lainnya. Sukses untuk kita selalu.


(5)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, kiranya skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan memerlukan.

Medan, Maret 2010

Penulis,


(6)

ABSTRACT

The aim of this research is to analize the relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia e.i the causality relationship and the long term relationship between that two variables. Data that employed in this research are inflation rate and unemployment rate in Indonesia annually during 1980-2008.

This research used Granger Causality test, tried to investigate the causality relationship between inflation rate and unemployment rate and Cointegration test to investigate the long term relationship between to variables. But before used that two test, employed test of unit roots to investigate that two variables have been stationary.

The unit roots test results that inflation rate data were stationary at level and unemployment rate data were stationary at the first difference. Granger causality test indicated there is an unidirectional causal from unemployment rate to inflation rate in Indonesia. The cointegration test result that it has long term relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia.

Key words: inflation rate, unemployment rate, Unit Roots Test, Granger Causality Test, Cointegration Test.


(7)

ABSTRAK

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran di Indonesia yaitu menganalisis hubungan timbal balik dan mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Data yang dipergunakan adalah data tahunan tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam kurun waktu 1980-2008.

Penelitian ini menggunakan alat analisis Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran dan Uji Kointegrasi (Cointegration Test) untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang. Namun, sebelum melakukan kedua uji tersebut, dilakukan uji stasioneritas dengan menggunakan Uji Akar Unit (Unit Root Test) untuk mengetahui apakah data yang dipergunakan sudah stasioner

Dari hasil Uji Akar Unit yang digunakan diperoleh bahwa variabel inflasi telah stasioner pada tingkat level atau I(0), sedangkan variabel tingkat inflasi stasioner pada tingkat first diference atau I(1) masing-masing pada tingkat kepercayaan 1%.. Dari hasi Uji Kausalitas Granger diketahui antara kedua variabel terdapat hubungan satu arah yaitu tingkat penganguran mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 1%. Hasil Uji Kointegrasi menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara kedua variabel tersebut.

Kata kunci: inflasi, tingkat pengangguran, Uji Akar Unit, Uji Kausalitas Granger, Uji Kointegrasi


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

ABSTRAK……… ii

DAFTAR ISI……… iii

DAFTAR TABEL……….. iv

DAFTAR GAMBAR………. v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Perumusan Masalah………... 7

1.3 Tujuan Penelitian………. 7

1.4 Manfaat Penelitian……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inflasi……… 9

2.1.1 Definisi Inflasi………... 9

2.1.2 Indikator Inflasi………... 10

2.1.3 Teori-Teori Inflasi……… 13

2.1.4 Jenis-Jenis Inflasi………. 18

2.1.5 Dampak Inflasi……… 22


(9)

2.2 Pengangguran………... 28

2.2.1 Definisi Pengangguran……….. 28

2.2.2 Cara Mengukut Tingkat Pengangguran……. 30

2.2.3 Jenis Pengangguran………... 32

2.2.4 Dampak Pengangguran……… 41

2.3 Hubungan Inflasi dengan Pengangguran………….. 44

2.3.1 Kurva Phillips………... 44

2.3.2 Pandangan Mengenai Hubungan Antara Inflasi dengan Pengangguran……… 48

2.4 Penelitian Terdahulu... 52

2.5 Hipotesis Penelitian... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian……… 55

3.2 Jenis dan Sumber Data………. 55

3.3 Teknik Pengumpulan Data………. 56

3.4 Teknik Pengolahan Data………... 56

3.5 Metode Analisis Data………. 56

3.5.1 Uji Akar-Akar Unit... 57

3.5.2 Uji Derajat Integrasi... 58

3.5.3 Uji Kausalitas Granger………. 58

3.5.4 Uji Kointegrasi... 59

3.6 Model Analisis Data……… 60


(10)

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Negara Indonesia... 62

4.1.1 Kondisi Geografis……… 62

4.1.2 Kondisi Iklim dan Topografi……… 62

4.1.3 Keadaan Demografi………. 63

4.2 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia……... 65

4.3 Perkembangan Inflasi di Indonesia………... 75

4.4 Perkembangan Tingkat Pengangguran di Indonesia... 79

4.5 Analisis Data... 82

4.5.1 Uji Akar Unit dan Uji Derajat Kointrgrasi... 83

4.5.2 Uji Causalitas Granger……... 85

4.5.3 Uji Kointegrasi………. 87

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan………. 89

5.2 Saran……….. 90

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Indeks Harga Konsumen Gabungan 66 Kota di Indonesia,

2004-2008……… 11

2.2 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), 2004-2008 ……… 12 4.1 Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia……… 65 4.2 Beberapa Indikator Makroekonomi Sebelum dan Sesudah

Krisis Ekonomi………. 71

4.3 Perkembangan Tingkat Inflasi Indonesia Tahun

1980-2008………. 77

4.4 Perkembangan Pengangguran Terbuka Indonesia…….…… 80 4.5 Pengangguran di Indonesia Berdasarkan Pendidikan

Tahun 2004-2008………... 82

4.6 Hasil Estimasi ADF dan Derajat Integrasi Untuk Uji

Akar Unit……… 83

4.7 Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger……… 85 4.8 Hasil Estimasi Uji Kointegrasi……….. 87


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.3 Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation)………. 20

2.4 Inflasi Dorongan Biaya (Coct-Push Inflation)……….. 21

2.5 Struktur Penduduk Berdasarkan Usia……… 29

2.6 Pandangan KlasikMengenai Mekanisme Pasaran Tenaga Kerja……… 37

2.7 Pengangguran Konjungtur dan Sebab Berlakunya………... 38

2.8 Kurva Phillips……… 45

2.9 Simple Phillips Curve………... 47

2.10Kurva Phillips Berdasarkan Analisis AD-AS……… 48

2.11Kurva Phillips Jangka Panjang……….. 51


(13)

ABSTRACT

The aim of this research is to analize the relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia e.i the causality relationship and the long term relationship between that two variables. Data that employed in this research are inflation rate and unemployment rate in Indonesia annually during 1980-2008.

This research used Granger Causality test, tried to investigate the causality relationship between inflation rate and unemployment rate and Cointegration test to investigate the long term relationship between to variables. But before used that two test, employed test of unit roots to investigate that two variables have been stationary.

The unit roots test results that inflation rate data were stationary at level and unemployment rate data were stationary at the first difference. Granger causality test indicated there is an unidirectional causal from unemployment rate to inflation rate in Indonesia. The cointegration test result that it has long term relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia.

Key words: inflation rate, unemployment rate, Unit Roots Test, Granger Causality Test, Cointegration Test.


(14)

ABSTRAK

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran di Indonesia yaitu menganalisis hubungan timbal balik dan mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Data yang dipergunakan adalah data tahunan tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam kurun waktu 1980-2008.

Penelitian ini menggunakan alat analisis Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran dan Uji Kointegrasi (Cointegration Test) untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang. Namun, sebelum melakukan kedua uji tersebut, dilakukan uji stasioneritas dengan menggunakan Uji Akar Unit (Unit Root Test) untuk mengetahui apakah data yang dipergunakan sudah stasioner

Dari hasil Uji Akar Unit yang digunakan diperoleh bahwa variabel inflasi telah stasioner pada tingkat level atau I(0), sedangkan variabel tingkat inflasi stasioner pada tingkat first diference atau I(1) masing-masing pada tingkat kepercayaan 1%.. Dari hasi Uji Kausalitas Granger diketahui antara kedua variabel terdapat hubungan satu arah yaitu tingkat penganguran mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 1%. Hasil Uji Kointegrasi menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara kedua variabel tersebut.

Kata kunci: inflasi, tingkat pengangguran, Uji Akar Unit, Uji Kausalitas Granger, Uji Kointegrasi


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi yang terkendali, nilai tukar dan tingkat suku bunga yang stabil serta tingkat pengangguran yang rendah atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang ingin dicapai oleh semua negara, termasuk Indonesia. Dalam rangka pencapaian kondisi ideal perekonomian seperti yang disebutkan di atas, pemerintah Indonesia senantiasa berupaya menjalankan berbagai program dan kebijakan, baik di sektor fiskal maupun sektor moneter.

Adapun beberapa upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai kondisi perekonomian yang ideal tersebut adalah melalui kebijakan di sektor fiskal yaitu kebijakan anggaran pemerintah dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pajak dan subisidi. Sedangkan kebijakan sektor moneter merupakan upaya untuk mengendalikan jumlah uang beredar dalam masyarakat. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui kebijakan uang ketat (untuk mengurangi uang beredar) disebut sebagai kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif untuk menambah jumlah uang beredar (Rahardja dan Manurung. 2004).

Namun pada kenyataannya, kondisi perekonomian ideal tersebut belum dapat dicapai oleh Indonesia. Hal ini terbukti dari kondisi di Indonesia sendiri, melalui indikator ekonomi makro dimana dapat digambarkan bahwa tingkat


(16)

inflasi sulit untuk dikendalikan, angka pengangguran yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan pertumbuhan ekonomi yang tidak selalu sesuai dengan target yang ditetapkan. Hal tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa kondisi ekonomi makro Indonesia terus mengalami perkembangan yang pasang surut.

Dari beberapa indikator ekonomi makro yang disebutkan di atas, variabel yang terus-menerus dipantau adalah inflasi dan pengangguran. Kedua variabel ini sangat berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi terutama terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk itu masalah inflasi dan pengangguran ini selalu menjadi dua hal yang menarik untuk dibahas dan dicari pemecahan masalahnya.

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sangat ditakuti oleh semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan meningkatnya tingkat pengangguran, sedangkan tingkat pengangguran adalah salah satu simbol dari rendahnya produksi nasional yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Maknun, 1995).

Inflasi secara ringkas dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang-barang. Dengan kenaikan harga tersebut, perekonomian akan mengalami ketidakstabilan dan akan mempengaruhi perilaku baik itu masyarakat ataupun pemerintah. Dengan naiknya harga-harga, maka minat masyarakat untuk menabung cenderung turun. Kemudian, untuk menarik uang pemerintah menaikkan tingkat suku bunga yang mengakibatkan turunnya minat untuk investasi, yang berarti adanya kecenderungan penurunan akumulasi modal sehingga pertumbuhan dan kestabilan perekonomian akan terganggu.


(17)

ketidakstabilan distribusi pendapatan masyarakat, dan masih banyak lagi variabel ekonomi lain yang terpengaruh dengan adanya inflasi ini. Oleh karena itu, melalui UU No. 23 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2004, Pemerintah bersama Bank Indonesia akan berupaya mengendalikan dan mencapai target inflasi yang telah ditetapkan, sehingga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai dan berkelanjutan (Setyawan,2005).

Namun demikian, meskipun menjadi salah satu masalah besar dalam perekonomian, sebagian ahli sepakat bahwa inflasi juga mampu memberi dampak yang positif bagi perekonomian dalam kisaran tertentu. Bagi negara yang perekonomiannya baik, tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 persen sampai 4 persen per tahun (Amir, 2008). Dengan kata lain, tingkat inflasi yang kurang atau lebih dari angka tersebut, akan memiliki kecenderungan memberi dampak negatif bagi perekonomian.

Perkembangan inflasi di Indonesia menunjukkan fluktuasi yang bervariasi dari waktu ke waktu. Pembicaraan mengenai inflasi di Indonesia mulai populer ketika laju inflasi demikian tinggi hingga mencapai 650 persen pada dasawarsa 1960-an. Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, pemerintah berusaha untuk mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 1972 sampai dengan 1980-an rata-rata laju inflasi di Indonesia masih berada pada level dua digit, tetapi pada tahun 1984 sampai tahun 1996 laju inflasi dapat dikendalikan pada level satu digit. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 membuat laju inflasi di Indonesia naik menjadi dua digit yaitu sebesar 11,05 persen dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 sebesar 77,63 persen (Badan Pusat Statistik).


(18)

Kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter mulai mengalami perbaikan. Hal ini dilihat dari menurunnya laju inflasi sebesar 75,62 persen menjadi 2,01 persen pada tahun 1999. Laju inflasi pada tahun 2001 sampai 2002 kembali naik pada level 2 digit yaitu sebesar 12,55 persen dan 10,05 persen. Penyebab tingginya laju inflasi tersebut, selain kondisi keamanan dalam negeri yang kurang kondusif juga dipicu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, tarif listrik, dan telepon (Badan Pusat Statistik).

Selain berbicara masalah inflasi yang merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang sangat mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya. Pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi.

Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek yang selalu dihadapi setiap negara. Karena itu, setiap perekonomian dan negara pasti menghadapi masalah pengangguran, yaitu pengangguran alamiah (natural rate of unemployment). Berbicara masalah pengangguran, berarti berbicara masalah sosial dan ekonomi, karena pengangguran selain menyebabkan masalah sosial juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini. Dengan tingkat pengangguran yang semakin bertambah, kualitas pertumbuhan


(19)

perlu ditingkatkan agar kegiatan perekonomian terdorong untuk menciptakan lapangan kerja baru yang lebih besar sehingga mampu mengurangi kemiskinan.

Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, tingkat pengangguran di Indonesia pada umumnya di bawah 5 persen dan pada tahun 1997 sebesar 5,7 persen. Tingkat pengangguran sebesar 5,7 persen masih merupakan pengangguran alamiah. Tingkat pengangguran alamiah adalah suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan tak mungkin dihilangkan. Tingkat pengangguran alamiah ini sekitar 5-6 persen atau kurang. Artinya jika tingkat pengangguran paling tinggi 5 persen itu berarti bahwa perekonomian dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment).

Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 111,95 juta orang, bertambah 470 ribu orang dibanding jumlah angkatan kerja Februari 2008 sebesar 111,48 juta orang atau bertambah 2,01 juta orang dibanding Agustus 2007 sebesar 109,94 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 102,55 juta orang, bertambah 503 ribu orang dibanding keadaan pada Februari 2008 sebesar 102,05 juta orang, atau bertambah 2,62 juta orang dibanding keadaan Agustus 2007 sebesar 99,93 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 8,39 persen, mengalami penurunan dibanding pengangguran Februari 2008 sebesar 8,46 persen, dan pengangguran Agustus 2007 sebesar 9,11 persen (Badan Pusat Statistik).

Pengangguran biasanya dikaitkan dengan masalah tingkat inflasi yang tinggi. Perusahaan terpaksa menghentikan pegawainya dalam rangka menekan biaya produksi, karena harga barang meningkat mungkin akibat inflasi. Kelesuan


(20)

usaha lebih banyak disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang memburuk dan ketidakmampuan bersaing di pasar internasional, sedangkan daya beli masyarakat di dalam negeri sangat terbatas.

Inflasi dan pengangguran secara teoritis terkait. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh ekonom Inggris bernama A.W. Phillips pada tahun 1958 yang mengemukakan adanya hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran di Inggris. Dalam penjelasannya, Phillips menggambarkan hubungan tersebut dalam sebuah kurva yang kemudian dikenal dengan Kurva Phillips. Secara garis besar, hubungan yang terjadi dalam kurva Phillips adalah apabila terjadi suatu tingkat inflasi yang rendah, maka akan diiringi oleh tingginya tingkat pengangguran.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak perubahan yang mengiringi variabel-variabel ekonomi secara global maupun regional. Dampaknya juga terimbas pada penerapan kurva Phillips. Banyak ekonom yang tidak setuju dengan konsep dasar dari kurva Phillips ini, yaitu adanya hubungan negatif antara inflasi dengan pengangguran.

Kritik ini dimulai dengan tanggapan Milton Friedman pada tahun 1976 mengatakan bahwa teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang, karena pada jangka pendek masih berlaku harga kaku sticky price, sedangkan pada jangka panjang berlaku harga fleksibel. Dengan kata lain, tingkat pengangguran bagaimanapun juga akan kembali pada tingkat alamiahnya. Dan hubungan yang terjadi antara inflasi dan pengangguran ini menjadi positif.


(21)

Bertolak dari permasalahan di atas dan keinginan untuk mencari pengetahuan yang lebih baik, maka penulis ingin melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul : “Analisis Hubungan Timbal Balik Antara Tingkat

Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia”.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah melihat dan menganalisis keberadaan hubungan antara tingkat inflasi dan pengangguran dengan mengambil studi kasus di Indonesia. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah inflasi mempengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia ataukah sebaliknya yaitu tingkat pengangguran mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia atau apakah keduanya saling mempengaruhi ataukah keduanya tidak saling mempengaruhi?

2. Apakah tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia memiliki pengaruh dalam jangka panjang?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia

2. Untuk mengetahui hubungan keseimbangan jangka panjang antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran di Indonesia.


(22)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai suatu kesempatan bagi penulis menambah wawasan ilmiah yang berkaitan dengan program studi yang sedang penulis tekuni khususnya mengenai hubungan tingkat inflasi dan pengangguran di Indonesia.

2. Sebagai bahan studi atau tambahan literatur dan informasi bagi mahasiswa/i Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan dan juga masyarakat yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inflasi

2.1.1 Definisi Inflasi

Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus-menerus. Dari defenisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi untuk menggambarkan bahwa telah terjadi inflasi, yaitu :

1. Kenaikan Harga 2. Bersifat Umum

3. Berlangsung Terus-Menerus

1. Kenaikan Harga

Harga suatu komoditas dikatakan naik apabila menjadi lebih tinggi daripada harga periode sebelumnya. Misalnya, harga beras satu kilogram pada hari yang lalu adalah Rp. 6.000,00. Hari ini menjadi Rp. 7.000,00. Berarti harga beras per kilogram hari ini Rp. 1.000,00 lebih mahal dibanding hari yang lalu. Dapat dikatakan telah terjadi kenaikan harga beras. Perbandingan tingkat harga juga bisa dilakukan dengan jarak waktu yang lebih panjang; satu minggu, satu bulan, triwulan, atau satu tahun. Perbandingan harga juga bisa dilakukan berdasarkan patokan musim. Misalnya di musim panceklik pada umumnya harga beras akan mengalami kenaikan dan akan lebih mahal bila dibandingkan dengan harga beras pada musim panen.


(24)

2. Bersifat Umum

Kenaikan harga suatu komoditi belum dapat menggambarkan bahwa telah terjadi inflasi apabila kenaikan harga tersebut tidak mengakibatkan harga-harga secara umum naik. Misalnya, apabila pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), pada umumnya harga-harga komoditas lain akan ikut naik karena BBM merupakan komoditi strategis, dimana sebagian besar kegiatan ekonomi memerlukan BBM, sehingga kenaikan harga BBM akan merambat pada kenaikan komoditas lainnya. Naiknya harga BBM ini dapat menimbulkan terjadinya inflasi.

3. Berlangsung Terus-Menerus

Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan mengakibatkan inflasi apabila kenaikan harga tersebut terjadi hanya sesaat. Karena perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. Sebab dalam jangka waktu satu bulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat umum dan terus-menerus.

2.1.2. Indikator Inflasi

Ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur laju inflasi selama satu periode tahun tertentu, diantaranya adalah :

1. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)

Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka indeks yang menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu periode


(25)

tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-masing harga barang dan jasa tersebut diberi bobot (weighted) berdasarkan tingkat keutamaannya. Barang dan jasa yang dianggap paling penting diberi bobot yang paling besar.

Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan melihat perekembangan regional, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar, terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia, seperti tampak dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.1

Indeks Harga Konsumen Gabungan 66 Kota Di Indonesia, 2004-2008 (2007=100)

Akhir Periode IHK Perubahan IHK (%)

2005 125,09 -

2006 142,48 13,90

2007 150,55 5,66

2008 132,72 -11,84

2009 124,78 -0,06

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Angka inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) diperoleh dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :


(26)

Inflasi tahun t = X 100%

Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung, IHK kurang mencerminkan tingkat inflasi yang sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat.

2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)

Jika IHK meluhat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu, IHPB sering juga disebut sebagai indeks harga produsen (production price index). IHPB menunjukkan tingkat harga yang diterima produsen pada berbagai tingkat produksi.

Tabel 2.2

Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) 2004-2008

(2000=100)

Akhir Periode IHPB Perubahan IHPB (%)

2004 131 7,38

2005 152 16,03

2006 172 13,16

2007 195 13,37

2008 246 26,15


(27)

Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan berdasarkan IHK :

Inflasi tahun t = X 100%

3. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)

Walaupun sangat bermanfaat, IHK dan IHPB memberikan gambaran laju inflasi yang sangat terbatas. Sebab, dilihat dari metode perhitungannya, kedua indikator tersebut hanya melingkupi beberapa puluh atau mungkin ratus jenis barang dan jasa, di beberapa puluh kota saja. Padahal dalam kenyataan, jenis barang dan jasa yang diproduksi atau dikonsumsi dalam sebuah perekonomian dapat mencapai ribuan, puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu jenis. Kegiatan ekonomi juga terjadi tidak hanya di beberapa kota saja, melainkan seluruh pelosok wilayah. Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan sebenarnya, ekonom menggunakan indeks harga implisit (GDP Deflator), disingkat IHI.

Angka deflator (IHI) ini dapat diperoleh melalui perhitungan, sebagai berikut :

IHI tahun t = X 100%

Perhitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dengan menghitung perubahan angka indeks :


(28)

2.1.3. Teori-Teori Inflasi

Ada beberapa teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan tentang inflasi (Boediono,2001 ) :

1. Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money)

Menurut Irving Fischer (transaction equation) adalah :

P.T = M.V

Dimana :

P = Tingkat Harga

M = Jumlah Uang Beredar (Penawaran Uang) V = Kecepatan Perputaran Uang

T = Volume Transaksi

Dalam persamaan ini dapat dikemukakan bahwa seluruh transaksi penjualan sama dengan nilai seluruh pembelian. Nilai transaksi dikali dengan harga, sedangkan nilai transaksi pembelian sama dengan jumlah uang beredar dikali dengan kecepatan beredar rata-rata perputaran uang.

Dari rumus diatas, dapat diambil kesimpulan proses terjadinya inflasi disebabkan oleh :

1. Volume Uang Beredar

Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume uang beredar dalam masyarakat (uang kartal dan uang giral). Penambahan jumlah uang beredar ini merupakan sumber utama penyebab inflasi karena volume uang beredar lebih


(29)

besar dari kesanggupan output untuk menyerapnya (volume yang besar dari pendapatan nasional). Bila jumlah uang yang beredar tidak ditambah, maka inflasi akan beratambah secara otomatis.

2. Perkiraan Masyarakat Tentang Kenaikan Harga (expectation)

Kalau diperkirakan masyarakat akan ada perubahan harga walaupun ada penambahan yang tidak akan menyebabakan inflasi, karena perubahan harga yang terjadi masih kecil. Apabila akan ada perubahan harga yang cukup besar dan penambahan uang beredar tidak ditambah maka inflasi akan berhenti secara otomatis apapun penyebab kenaikan harga-harga dalam perekonomian tersebut.

2. Teori Keynes

Keynes menyoroti faktor inflasi melalui pendekatan teori ekonomi makronya. Menurut teori yang dikeluarkan Keynes, inflasi akan terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan pendapatannya. Terjadinya inflasi melalui beberapa proses, ada sekelompok masyarakat yang ingin bersaing untuk merebut pendapatan nasional yang lebih besar daripada kemampuan kelompok tersebut untuk mendapatkan pendapatan nasional (kekuatan monopolis, tuntutan kenaikan upah oleh para pekerja). Proses perebutan ini akhirnya diwujudkan dalam permintaan efektif sehingga menyebabkan permintaan masyarakat akan barang-barang lebih besar dari barang-barang yang sanggup disediakan oleh kapasitas yang tersedia. Hal ini akan menimbulkan inflationary gap, yang timbul akibat golongan masyarakat dalam permintaan di pasar barang-barang. Dengan demikian akan menimbulkan kenaikan harga-harga.

Golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang. Dengan kata lain, mereka


(30)

berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat seperti ini mungkin adalah pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih besar dari output masyarakat dengan menjalankan defisit dalam anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan untuk melakukan investasi-investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari kredit dari bank.

Bila jumlah dari oermintaan-permintaan efektif dari semua golongan masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang bias dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap muncul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti bahwa sebagian dari rencana-rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bias terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi.

Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh dana akan mendapat bagian output yang lebih kecil. Yang termasuk golongan yang “kalah” dalam proses perebutan ini adalah golongan yang berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya naik tidak secepat laju inflasi. Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti bila


(31)

permintaan efektif total tidak melebihi, pada tingkat harga yang berlaku, jumlah output yang tersedia.

3. Teori Strukturalis

Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur perekonomian negara-negara yang sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor struktural dari perekonomian (yang menurut definisi, faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”. Dengan kata lain, yang ingin diketahui adalah faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan inflasi (yang berlangsung lama).

Ada dua faktor yang menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan inflasi dalam negara berkembang berdasarkan teori strukturalis, yaitu :

a. Ketidakelastisan penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang berkembang secara lamban dibanding sektor lain dalam perekonomian. Hal ini disebabkan naiknya harga barang komoditi negara berkembang dalam jangka panjang yang pada akhirnya mempengaruhi harga barang-barang ekspor. Perkembangannya sangat lamban bila dibandingkan dengan harga barang industri yang merupakan impor dari negara-negara berkembang. Adanya perkembangan ekspor yang lamban juga merupakan penyebab adanya kelambanan untuk mengimpor baramg-barang yang dibutuhkan (terutama barang modal untuk mengubah struktur perekonomian). Akibatnya, negara tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan yang menekan pemakaian barang produksi dalam negeri (yang sebelumnya diimpor walaupun hasil produksi dalam negeri lebih mahal harganya


(32)

karena kurang efisien). Ongkos produksi yang tinggi mengakibatkan harga yang lebih tinggi. Ongkos produksi juga akan makin meluas, sehingga makin banyak harga barang yang naik. Dengan demikian akan terjadi inflasi dalam perekonomian yang berkepanjangan.

b. Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan dalam negeri, berakibat pada pertumbuhan produksi bahan makanan tidak secepat pertumbuhan penduduk dan pendapatan, sehingga harga bahan makanan ini cenderung meningkat. Kenaikan harga bahan makanan ini mengakibatkan tuntutan kenaikan ongkos produksi. Jika demikian, otomatis harga hasil produksi (industri dan pertanian) akan naik lagi, sehingga kenaikan harga barang menuntut tingkat upah kembali dinaikkan, demikian seterusnya. Proses ini akan berhenti apabila harga bahan makanan tidak ikut naik kembali (karena kebutuhan sudah dapat dicukupi oleh produksi dalam negeri). Akan tetapi, faktor struktural perekonomian tidak bisa menghentikan kenaikan harga bahan makanan, sehingga akan terjadi dorong-mendorong antara upah dengan kenaikan harga dan tidak akan berhenti sampai struktur perekonomian dapat diubah.

2.1.4 Jenis - Jenis Inflasi

Apabila ditinjau dari bobotnya atau besarnya laju inflasi, maka inflasi diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu :

1. Inflasi ringan (inflasi merayap)


(33)

atau dibawah 10% pertahun. Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.

2. Inflasi sedang (inflasi menengah)

Inflasi sedang atau menengah ini merupakan inflasi dengan tingkat laju pertumbuhan berada diantara 10-30% per tahun dan sangat mengancam struktur dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

3. Inflasi berat

Merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100% pertahun. Pada kondisi demikian, sektor-sektor produksi hampir lumpuh total, kecuali yang dikuasai negara. Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya.

4. Inflasi sangat berat

Disebut juga hyperinflasi, adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui 100% pertahun. Dalam kondisi ini, harga-harga barang naik menjadi lima atau enam kali lipat. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara pesat. Biasanya kondisi ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang dibiayai/ditutupi dengan mencetak uang.

Apabila ditinjau berdasarkan faktor penyebabnya, inflasi diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu :


(34)

1. Demand pull inflation, inflasi ini biasanya terdapat pada masa perekonomian sedang berkembang pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya daya beli sangat tinggi. Daya beli yang tinggi akan mendorong permintaan melebihi total produk yang tersedia. Permintaan aggregate meningkat lebih cepat (misalnya karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah) dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian , akibatnya terjadi inflasi.

Gambar 2.1

Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation) P

0 Y

Gambar 2.1 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat kenaikan permintaan. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva permintaan agregat dari ADo menjadi AD1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan harga

AS0

AD1

AD0 Y1

Y0 P0


(35)

ini menimbulkan terjadinya inflasi . Akibat kenaikan harga ini menyebabkan produk nasional bertambah dari OY0 dan OY1.

2. Cost push inflation, inflasi ini terjadi bila ada biaya produksi mengalami kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan biaya produksi dapat berawal dari kenaikan harga input seperti kenaikan upah minimum, kenaikan bahan baku, kenaikan tarif listrik, kenaikan BBM, dan kenaikan-kenaikan input lainnya yang mungkin semakin langka dan harus diimpor dari luar negeri.

Gambar 2.2 Inflasi Dorongan Biaya

(Cost-Push Inflation)

P

0 Y1 Y0 Y

Gambar 2.2 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat dari kenaikan biaya produksi. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva penawaran agregat dari ASo menjadi AS1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan

harga ini menyebabkan produk nasional berkurang dari OY0 menjadi OY1. AS1

AS0

AD0 P0


(36)

Selanjutnya, apabila ditinjau berdasarkan asal inflasi, maka inflasi digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), dimana inflasi ini timbul bisa saja karena defisit anggaran belanja negara yang dibiayai dengan pencetakan uang baru dan lain sebagainya sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang-barang dalam negeri secara umum dan berkesinambungan.

2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), yaitu inflasi yang bersumber dari kenaikan harga-harga barang yang diimpor, terutama barang yang diimpor tersebut mempunyai peranan penting dalam setiap kegiatan produksi. Kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan: (1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya berasal dari import, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi (dan kemudian harga jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus diimpor, (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga import tersebut.

2.1.5 Dampak Inflasi

Tidak dapat dipungkiri, sampai pada tingkat tertentu inflasi dibutuhkan untuk memicu pertumbuhan penawaran agregat. Sebab kenaikan harga akan


(37)

mendorong produsen untuk meningkatkan outputnya. Namun apabila tingkat inflasi sudah melampaui angka yang sewajarnya (≥ 10% per tahun), maka ada beberapa masalah sosial yang muncul, yaitu :

1. Menurunnya Tingkat Kesejahteraan Rakyat

Tingkat kesejahteraan masyarakat, sederhananya dapat diukur melalui tingkat daya beli pendapatan yang diperoleh. Inflasi menyebabkan daya beli pendapatan masyarakat makin rendah, khususnya masyarakat yang berpenghasilan kecil dan tetap (kecil). Misalnya, A adalah seorang pegawai negeri sipil dengan penghasilan total sebesar Rp. 700.000, per bulan. Tahun lalu harga beras per kilogram adalah sebesar Rp. 4.000,00. Karena itu gaji A setara dengan 175 kilogram beras setiap bulan. Apabila terjadi inflasi sebesar 20% pertahun (cateris paribus), maka tahun ini gaji A per bulan setara dengan 145 kilogram beras. Dengan demikian kesejahteraan A menurun dari kesejahteraan tahun lalu. Apabila tingkat inflasi tetap sebesar 20% per tahun, maka dalam jangka waktu 4 tahun (cateris paribus) kesejahteraan A hanya tinggal separuhnya. Semakin tinggi tingkat inflasi, maka semakin cepat penurunan tingkat kesejateraan suatu masyarakat.

2. Semakin Buruknya Distribusi Pendapatan

Dampak buruk inflasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dihindari jika pertumbuhan tingkat pendapatan dapat melebihi tingkat inflasi. Apabila tingkat inflasi 20% per tahun, maka pertumbuhan tingkat pendapatan harus lebih besar dari 20% per tahun. Permaslahannya adalah jika inflasi mencapai angka 20% per tahun, maka hanya sedikit saja orang yang dapat


(38)

meningkatkan pendapatannya ≥ 20% per tahun. Akibatnya, ada sekelompok masyarakat yang mampu meningkatkan pendapatan riil (pertumbuhan pendapatan nominal dikurangi laju inflasi > 0% per tahun). Akan tetapi sebagian besar masyarakat mengalami penurunan pendapatan riil. Menurunnya pendapatan riil menggambarkan bahwa distribusi pendapatan semakin buruk.

3. Terganggunya Stabilitas Ekonomi.

Pengertian yang paling sederhana dari stabilitas ekonomi adalah sangat kecilnya tindakan spekulasi dalam perekonomian. Produsen berproduksi pada kapasitas penuh (optimal). Konsumen juga memakai barang dan jasa optimal dengan kebutuhan. Kondisi nyaman ini akan mulai terganggu apabila inflasi relatif tinggi telah menjadi kronis.

Inflasi mengganggu stabilitas ekonomi dengan merusak perkiraan tentang masa depan (ekspektasi) para pelaku ekonomi. Inflasi yang kronis menumbuhkan perkiraan bahwa harga akan terus-menerus naik. Bagi konsumen, perkiraan ini mendorong pembelian barang dan jasa lebih banyak dari yang seharusnya/biasanya dengan tujuan untuk menghemat pengeluaran konsumsi. Akibatnya, permintaan barang dan jasa justru dapat meningkat. Bagi para produsen, perkiraan akan naiknya harga barang dan jasa mendorong mereka menunda penjualan, untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Penawaran barang dan jasa berkurang. Akibatnya, kelebihan permintaan membesar dan mempercepat laju inflasi yang pada akhirnya kondisi perekonomian menjadi semakin buruk.


(39)

2.1.6 Kebijakan Pengendalian Inflasi

Upaya-upaya untuk menegndalikan inflasi dapat berupa penerapan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter :

1. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah dan mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dengan maksud untuk mengatasi masalah yang sering dihadapi. Bentuk kebijakan fiskal untuk jangka pendek dapat berupa :

a. Membuat perubahan yang berkaitan dengan pembelanjaan/pengeluaran pemerintah

b. Membuat perubahan yang berkaitan dengan system pajak dan jumlah pajak yang ditetapkan

Untuk jangka panjang, kebijakan fiskal dapat berupa :

a. Kebijakan penstabilan otomatik, artinya menjalankan sistem pajak yang telah ada, misalnya sistem pajak progresif dan proporsional. b. Kebijakan fiskal diskresioner, artinya kebijakan yang secara khusus

membuat perundang-undangan terhadap sistem yang ada. Misalnya membuat undang-undang, peraturan-peraturan baru di bidang penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

2. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan bank sentral dalam mengatur dan mengendalikan jumlah uang beredar. Kebijakan bank


(40)

sentral ini ada yang bersifat kuantitatif dan ada yang bersifat kualitatif. Kebijakan yang bersifat kuantitatif meliputi :

a. Kebijakan Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), yaitu membeli dan menjual obligasi pemerintah misalnya sertifikat Bank Indonesia (SBI).

b. Kebijakan tingkat diskonto yaitu kebijakan dalam menetapkan tingkat bunga.

c. Kebijakan cadangan wajib (reserve requirement) yaitu kebijakan dalam menetapkan cadangan wajib untuk deposito bank dan lembaga keuangan lainnya.

Kebijakan yang bersifat kualitatif meliputi pengawasan kredit secara selektif dan moral suasion yaitu, membujuk/menghimbau secara moral kepada masyarakat pengguna jasa bank.

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dilaksanakan oleh dua lembaga yang berbeda yaitu kebijakan fiskal oleh Departemen Ekonomi dan Keuangan, sedangkan kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Sentral. Oleh sebab itu, kedua lembaga ini haruslah saling menyesuaikan kebijakan ekonominya dalam mengatasi inflasi atau masalah ekonomi lainnya, sehingga setiap kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik, efisien, dan efektif. Misalnya, untuk menekan laju inflasi langkah yang diambil adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan Fiskal, kebijakan yang dilakukan pemerintah (kementrian ekonomi dan keuangan) untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan memperkecil pengeluaran (G) dan menaikkan pajak (T). Kebijkan ini akan


(41)

menurunkan daya beli masyarakat, sehingga pembelian terhadap barang konsumsi dan investasi turun.

2. Kebijakan Moneter, yaitu kebijakan yang dilakukan bank sentral dengan sasaran dapat mengurangi penawaran uang (supply of money) atau jumlah uang beredar. Kebijakan tersebut misalnya dengan menaikkan suku bunga dan memperbesar cadangan wajib. Kebijakan ini akan menimbulkan penurunan investasi dan menurunkan konsumsi dalam perekonomian masyarakat.

Untuk mengatasi inflasi, disamping beberapa kebijakan di atas terdapat juga pandangan Klasik dan Keynes yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah inflasi, yaitu :

1. Kelompok Ekonomi Klasik

Kelompok klasik ini memberikan formula dengan sebutan cold turkey. Strategi mengatasi inflasi ini pada dasarnya adalah melakukan pengurangan volume uang yang beredar secara drastis atau cepat. Karena dengan pengurangan volume uang yang beredar ini, tingkat harga, upah akan menyesuaikan diri secara otomatis sesuai dengan pandangan kaum Klasik tentang mekanisme hume (Species Flow). Setiap ketidakseimbangan hanya bersifat sementara, akhirnya akan menuju keseimbangan. Dengan pengeluaran uang yang berbeda, tingkat harga, upah mau tidak mau akan menyesuaikan diri terhadap perekonomian.

2. Kelompok Ekonomi Keynesian

Formula yang dikeluarkan oleh kelompok ini disebut dengan gradualism. Pendapat mereka tentang pengurangan volume uang yang beredar secara


(42)

drastis akan memberika dampak yang negatif terhadap tenaga kerja (akan meningkatkan jumlah pengangguran), karena adanya pengurangan aktivitas perusahaan akibat pengurangan jumlah uang yang beredar. Strategi gradualism, yaitu pengurangan peredaran uang secara bertahap dalam jangka waktu beberapa tahun akan meminimalkan dampak negatif terhadap perekonomian.

2.2 Pengangguran

2.2.1 Definisi Pengangguran

Dalam definisi ekonomi, pengangguran tidak identik dengan tidak (mau) bekerja. Seseorang dikatakan menganggur apabila orang tersebut ingin bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan, namun tidak mendapatkannya

Dalam ilmu kependudukan (demografi), orang yang mencari pekerjaan termasuk dalam kategori kelompok penduduk yang disebut angkatan kerja. Berdasarkan kategori usia, usia angkatan kerja adalah 15-64 tahun. Tetapi tidak semua orang yang berusia 15-64 tahun dihitung sebagai angkatan kerja. Penduduk yang dihitung sebagai angkatan kerja adalah penduduk usia 15-64 tahun dan sedang mencari kerja, sedangkan yang tidak mencari kerja apakah karena mengurus keluarga atau sekolah, tidak termasuk angkatan kerja. Tingkat pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak/belum mendapatkan pekerjaan. Lebih jelas dapat dilihat dalam diagram berikut ini.


(43)

Gambar 2.3

Struktur Penduduk Berdasarkan Usia

Penduduk usia kerja, tetapi tidak mencari kerja dengan berbagai alas an, misalnya sekolah/kuliah, ibu-ibu mengurus rumah

tangga 1. ≥ 35 jam/minggu Pengangguran

2. < 35 jam/minggu (underemployed)

Pada gambar 2.3 tersebut, terlihat bahwa jumlah penduduk suatu negara dapat dibedakan menjadi penduduk usia kerja (15-64 tahun) dan bukan usia kerja. Yang termasuk kelompok bukan usia kerja (usia non produktif) adalah anak-anak (0-14 tahun) dan manusia lanjut usia (manula) yang berusia ≥ 65 tahun. Dari jumlah penduduk usia kerja, yang termasuk angkatan kerja adalah mereka yang mencari kerja atau bekerja. Sebagian yang tidak bekerja (dengan berbagai alasan) tidak termasuk dalam angkatan kerja (bukan angkatan kerja), dan setiap angkatan kerja yang tidak memperoleh lapangan kerja disebut sebagai penganggur.

Dalam standard pengertian yang sudah ditentukan secara internasional, yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah : seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang

TOTAL PENDUDUK

TIDAK BEKERJA ANGKATAN KERJA

BUKAN ANGKATAN KERJA (BUKAN PENGANGGURAN)

BUKAN USIA KERJA 0-14 TAHUN = ≥ 65 TAHUN USIA KERJA

15-64 TAHUN


(44)

diinginkannya. Berdasarkan definisi ini, ibu-ibu rumah tangga, para mahasiswa/pelajar, anak-anak orang kaya yang sudah dewasa namun tidak bekerja, tidak digolongkan sebagai penganggur seba mereka tidak secara aktif mencari pekerjaan.

2.2.2 Cara Mengukur Tingkat Pengangguran

Dalam membicarakan mengenai pengangguran, yang selalu diperhatikan bukan mengenai jumlah pengangguran, tetapi mengenai tingkat pengangguran – yang dinyatakan sebagai persentase dari angkatan kerja. Membandingkan jumlah pengangguran di antara berbagai negara tidak akan ada manfaatnya karena tidak akan memberikan gambaran yang tepat tentang perbandingan masalah yang berlaku.

Untuk dapat menentukan tingkat (persentase) pengangguran yang terdapat dalam perekonomian, terlebih dahulu perlu untuk menentukan angkatan kerja pada periode tersebut. Golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di antara 15 hingga 64 tahun, kecuali : (i) ibu rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja, (ii) penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan pelajarannya di sekolah atau di universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja lagi, dan (iv) pengangguran sukarela – yaitu golongan penduduk dalam lingkungan umur tersebut yang tidak secara aktif mencari pekerjaan. Dengan demikian jumlah angkatan kerja dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :


(45)

L = PL – (IR + MP + PP + PS) Di mana :

L = jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)

PL = penduduk dalam lingkungan umur 15 – 64 tahun IR = ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja MP = mahasiswa dan pelajar

PP = pekerja yang telah pensiun dan tidak ingin bekerja lagi

PS = orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan juga tidak mencari pekerjaan.

Penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun, yaitu PL, dapat dipandang sebagai tenaga kerja potensial. mereka sudah dapat digolongkan sebagai tenaga kerja apabila mereka benar-benar memilih untuk bekerja atau mencari pekerjaan. tetapi sebagian dari mereka, berdasarkan kepada pilihan mereka sendiri, memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan. Oleh sebab itu jumlah tenaga kerja yang sebenarnya terdapat dalam perekonomian (L), yang digolongkan sebagai angkatan kerja atau labour force, adalah jumlah tenaga kerja yang dihitung dengan menggunakan persamaan diatas. Perbandingan di antara angkatan kerja yang sebenarnya dengan penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun dinamakan tingkat partisipasi tenaga kerja (labour participation rate), yang dapat dihitung melalui formula sebagai berikut :

Tingkat partisipasi angkatan kerja (%) %

Setelah sebuah negara mendapat informasi mengenai dua data yang diterangkan di atas, yaitu jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja, tingkat pengangguran dapat ditentukan dengan menggunakan formula berikut :


(46)

Tingkat pengangguran (%) % Dimana :

U = jumlah pengangguran

L = jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)

2.2.3 Jenis Pengangguran

Jenis pengangguran ditinjau dari teori ekonomi makro dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu pengangguran sukarela (vouluntary unemployment) dan pengangguran terpaksa (invouluntary unemployment). Pengangguran sukarela adalah pengangguran yang bersifat sementara, karena mereka tidak mau bekerja pada tingkat upah yang berlaku dan berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik atau lebih cocok. Pengangguran terpaksa adalah pengangguran yang terpaksa diterima oleh pencari kerja, walaupun pada tingkat upah yang berlaku sesungguhnya dia masih bersedia/ingin bekerja.

Jenis pengangguran ditinjau dari interpensi ekonomi, antara lain dapat berupa hal-hal berikut :

1. Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)

Pengangguran ini bersifat sementara, biasanya terjadi karena adanya kesenjangan waktu, informasi maupun karena kondisi geografis antara pencari kerja dan kesempatan (lowongan kerja). Mereka yang tergolong dalam kategori pengangguran sementara pada umumnya rela menganggur (vouluttary unemployment) untuk mendapat pekerjaan.

Terdapat tiga golongan penganggur yang dapat diklasifikasikan sebagai pengangguran friksional, yaitu:


(47)

a. Tenaga kerja yang baru pertama kali mencari kerja. Setiap tahun terdapat golongan penduduk yang mencapai usia yang tergolong sebagai angkatan kerja. Di samping itu, pelajar dan sarjana yang baru menyelesaikan pelajarannya juga akan secara efektif mencari kerja.

b. Pekerja yang meninggalkan kerja dan mencari kerja baru. Ketika perekonomian mencapai tingkat kegiatan yang sangat tinggi, terdapat perusahaan yang mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerja. Ini akan mendorong orang-orang yang sedang bekerja meninggalkan pekerjaanya, untuk mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan pribadinya atau untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi.

c. Pekerja yang memasuki lagi pasaran buruh. Terdapat golongan pekerja yang dahulu telah bekerja tetapi meninggalkan angkatan kerja, memutuskan untuk bekerja kembali. Golongan tenaga kerja ini dapat dilihat dari contoh berikut: seorang anak muda berhenti bekerja karena ingin meneruskan pelajarannya. Setelah tamat, ia mencari pekerjaan yang baru.

2. Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)

Pengangguran ini sifatnya mendasar, dimana pengangguran ini disebabkan adanya perubahan atau perkembangan teknologi dalam kegiatan ekonomi. Sehingga terjadi ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan yang dibutuhkan lapangan kerja. Dilihat dari sifatnya, pengangguran struktural lebih sulit diatasi dibandingkan pengangguran friksional. Selain membutuhkan pendanaan yang besar untuk meningkatkan kualitas dan keterampulan tenaga kerja, juga dibutuhkan waktu yang lama. Bahkan untuk Indonesia, pengangguran


(48)

struktural merupakan masalah dimasa mendatang, jika tidak ada perbaikan kualitas SDM.

Penyebab timbulnya pengangguran struktural adalah:

a. Adanya perkembangan teknologi yang menyebabakan munculnya oengangguran teknologi.

b. Adanya kemunduran yang disebabkan persaingan dari luar negeri atau dari luar daerah. Pengangguran struktural yang disebabkan persaingan dari luar negeri banyak dialami oleh negara-negara maju. Untuk menghindari hal tersebut, maka negara tersebut akan membatasi impor barang-barang ke negara mereka.

c. Terjadinya kemunduran perkembangan ekonomi suatu kawasan sebagai akibat dari pertumbuhan yang pesat dari kawasan lain.

3. Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment)

Pengangguran ini dipengaruhi oleh perubahan musim, biasanya bersifat sementara dan terjadi dalam jangka pendek secara berulang-ulang. Contohnya di sektor pertanian, di luar musim tanam atau musim panen akan terjadi pengangguran.

4. Pengangguran Siklikal (Cyclical Unemployment)

Pengangguran ini disebabkan adanya fluktuasi/siklus dalam perkembangn bisnis atau dikarenakan oleh kemerosotan perekonomian suatu negarra. Kemerosotan ekonomi bisa berasal dari dalam negeri dan bisa pula dari luar negeri, seperti: konsumsi, investasi, dan ekspor. Semuanya mendorong permintaan agregat lebih rendah dibandingkan penawaran agregat, dan ini menimbulkan resesi.


(49)

Dalam kondisi perekonomian, kesempatan kerja penuh atau full employment sering disalahtafsirkan banyak orang. Banyak yang menganggap bahwa hal it berarti dalam perekonomian tidak terdapat pengangguran –yaitu tenaga kerja dalam perekonomian tersebut sepenuhnya bekerja. Dalam analisis makroekonomi dan juga dalam praktek penggunaan istilah tersebut, kesempatan kerja penuh adalah keadaan di mana sekitar 95 persen dari angkatan kerja dalam suatu waktu tertentu semuanya bekerja. Pengangguran yang berlaku pada tingkat kesempatan kerja penuh ini dinamakan tingkat pengangguran alamiah atau

natural rate of employment. Sebagian ahli ekonomi lebih suka menggunakan

istilah NAIRU atau Non-Accelerated Inflation Rate of Unemployment, yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih dapat diartikan sebagai tingkat pengangguran yang tidak akan mempercepat tingkat inflasi untuk menggantikan istilah natural rate of unemployment.

Maksud dari angka 95 persen merupakan suatu ukuran kasar saja dan pada hakikatnya mengatakan bahwa pengangguran dalam suatu perekonomian mencapai 5 persen, maka perekonomian tersebut sudah dapat dianggap mencapai kesempatan kerja penuh. Pengangguran sebesar 5 persen inilah yang dinamakan sebagai pengangguran alamiah atau NAIRU.

Pada parakteknya, tingkat pengangguran yang dinamakan tingkat pengangguran alamiah ini (i) berbeda di antara satu negara dengan negara lain, dan (ii) berbeda dalam satu negara pada periode yang berbeda. Ada negara yang menganggap bahwa pengangguran sebanyak 5 persensebagai ukuran untuk menentukan tingkat kesempatan kerja penuh atau terlalu tinggi dan mereka menginginkan tingkat yang lebih rendah –misalnya 3 atau 4 persen-. Tetapi ada


(50)

negara lain yang menganggap pengangguran 5 persen sebagai ukuran mencapai kesempatan kerja penuh terlalu rendah dan menganggap sudah dicapai pada tingkat pengangguran sebanyak 7 atau 8 persen.

Ahli-ahli ekonomi menganggap bahwa pengangguran friksional dan pengangguran struktural merupakan pengangguran yang wajar (oleh sebab itu kedua jenis pengangguran tersebut digolongkan sebagai natural unemployment, dan istilah ini mula-mula dekemukakan oleh Milton Friedman pada tahun 1968 – yang dianggap berlakunya tidak dapat dihindari. Inilah alasan para ahli ekonomi menganggap kesempatan kerja penuh telah tercapai apabila pengangguran dalam wujud pengangguran friksional dan struktural.

Ahli-ahli ekonomi klasik menganggap bahwa masalah pengangguran merupakan masalah yang bersifat sementara. Apabila masalah tersebut terjadi, menurut pendapat ahli-ahli ekonomi klasik, pasaran buruh akan membuat penyesuaian-penyesuaian sehingga akhirnya tingkat kesempatan kerja penuh akan tercapai kembali.


(51)

Gambar 2.4

Pandangan Klasik Mengenai Mekanisme Pasaran Tenaga Kerja

Tingkat Upah

W0 A E0

E1

NA N1 N0 Jumlah Tenaga Kerja

Kurva NDo menggambarkan kurva permintaan buruh asal, manakala kurva NS adalah kurva penawaran buruh. Dengan demikian pada mulanya tingkat upah riil adalah W0 dan jumlah buruh yang akan digunakan dalam kegiatan ekonomi

adalah N0. Misalkan, terjadi perubahan dalam kegiatan ekonomi yang

menyebabkan permintaan buruh berkurang menjadi ND1. Apabila upah tetap pada tingkat W0, akan terdapat kelebihan penawaran tenaga kerja sebanyak NAN0 akan

berlaku dalam perekonomian. Ahli-ahli ekonomi klasik berpendapat bahwa pengangguran dalam wujud ini akan menurunkan tingkat upah. Para penganggur akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pekerjaan dan bersedia dibayar pada tingkat upah yang lebih rendah. Persaingan di antara penganggur akan menyebabkan penurunan upah riil dan pada akhirnya menciptakan keseimbangan pasaran tenaga kerja yang baru, yaitu di titik E1. Tingkat upah riil menurun

menjadi W1 dan perekonomian sekarang menggunakan hanya sebanyak N1 tenaga

Ns

ND0

ND1 W1


(52)

kerja, berbanding dengan N0 sebelum berlaku pengurangan dalam permintaan

tenaga kerja.

Menurut para ahli-ahli ekonomi klasik NAN0 bukanlah pengangguran

dalam pengertian yang digunaklan dalam masa kini. Kaum klasik menganggap bahwa pengangguran sebanyak NAN0 sebagai pengangguran sukarela. Mereka

merupakan tenaga kerja yang tidak mau bekerja pada tingkat upah riil sebanyak W1. Mereka hanya akan bekerja apabila upah sama dengan atau lebih tinggi dari

W0. Dengan demikian mereka tidak dapat digolongkan sebagai penganggur.

Dalam analisa modern, terdapat pengangguran yang melebihi pengangguran alamiah yang dikenal dengan pengangguran konjungtor yang terjadi sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat. Perubahan permintaan agregat dengan kesempatan kerja ditunjukkan pada grafik berikut.

Gambar 2.5

Pengangguran Konjungktur dan Sebab Berlakunya

P LRAS AS W1 N

s

E W0 A E0

E1 AD

AD1

Y1 YF Y N1 N0 N

(a)Permintaan dan Penawaran Agregat (b) Pasaran Tenaga Kerja Grafik (a) menggambarkan permintaan dan penawaran agregat dalam perekonomian dan dimisalkan keseimbangan permulaan adalah di titik E dan


(53)

perekonomian mencapai kesempatan kerja penuh. Grafik (b) menggambarkann keadaan di pasar tenaga kerja, di mana pada mulanya kesempatan kerja penuh tercapai pada keseimbangan di titik E0 –yang berarti jumlah tenaga kerja yang

digunakan adalah N0 dan tingkat upah nominal adalah W0.

Seterusnya, misalkan perbelanjaan masyarakat mengalami kemunduran, yang menyebabkan perubahan kurva permintaan agregat dari AD menjadi AD1.

Sebagai akibat dari perubahan ini keseimbangan di pasaran barang bergerak dari titik E menjadi E1 –yang berarti pendapatan nasional turun dari YF menjadi Y1 dan

tingkat harga turun dari P0 menjadi P1. Perubahan di pasar barang ini akan

mempengarugi pasar tenaga kerja. Kemerosotan permintaan agregat, yang menyebabkan penurunan harga dan pendapatan nasional akan mengurangi permintaan ke atas tenaga kerja. Perubahan ke atas tenaga kerja ini digambarkan oleh perpindahan permintaan tenaga kerja dan NDo menjadi ND1. Sebagai akibat dari perubahan ini, pada tingkat upah W0, penawaran tenaga kerja melebihi

permintaan sebanyak AE0. Berarti pada tingkat upah W0 sebanyak N1N0 tenaga

kerja akan menganggur.

Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, pengangguran ini akan menyebabkan penurunan tingkat upah. Golongan Keynesian berpendapat tingkat upah tidak akan mengalami perubahan, yaitu akan tetap sebesar W0 dan

menyebabkan perekonomian menghadapi pengangguran konjungtor sebanyak N1N0. Pengangguran seperti ini dinamakan juga sebagai pengangguran tidak

sukarela (Invouluntary unemployment).

Golongan Keynesian (dan Keyneseian baru) mengemukakan beberapa alasan yang menyebabkan mereka berkeyakinan bahwa pengangguran yang


(54)

berlaku tersebut tidak akan menurunkan tingkat upah dan mengembalikan keseimbangan di antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Adanya persatuan tenaga kerja merupakan salah satu alasan penting yang menyebabkan tingkat upah tidak akan turun walaupun pengangguran berlaku. Biasanya persatuan pekerja akan menolak permintaan majiikan untuk menurunkan tingkat upah. Kedua, kebanyakan negara-negara industry terdapat peraturan-peraturan mengenai upah minimum, yang membatasi kemungkinan penurunan upah untuk menjamin agar operasi mereka tetap efisien. Demi meningkatkan efisiensi, banyak perusahaan yang bersedia membayar gaji yang lebih tinggi kepada para pekerja yang baik dan efisien. Oleh sebab itu, walaupun terdapat pengangguran yang cukup besar, perusahaan-perusahaan tidaklah bergairah untuk menurunkan tingkat upah.

Selain beberapa jenis pengangguran yang telah dikemukakan di atas, jenis-jenis pengangguran di negara-negara sedang berkembang dapat juga dibedakan ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut :

a. Pengangguran Terselubung

Apabila dalam suatu kegiatan perekonomian jumlah tenaga kerja sangat berlebihan, maka akan terjadi pengangguran terselubung atau pengangguran tidak kentara (disguished unemployment).

b. Pengangguran Terbuka

Pengangguran terbuka adalah mereka yang benar-benar sedang tidak bekerja, baik secara sukarela maupun karena terpaksa.


(55)

c. Setengah pengangguran

Setengah pengangguran adalah para pekerja yang jumlah jam kerjanya lebih sedikit dari yang sebenarnya mereka inginkan. Dapat juga diartikan sebagai orang yang ingin bekerja, namun belum dimanfaatkan secara penuh. Artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari 35 jam. d. Mereka yang nampak aktif bekerja, tetapi sebenarnya kurang produktif,

yaitu mereka yang tidak digolongkan dalam pengangguran terbuka atau terselubung, namun bekerja di bawah standar produktivitas optimal.

e. Mereka yang tidak mampu bekerja secara penuh, misalnya penyandang cacat, sebenarnya ingin bekerja penuh, akan tetapi hasratnya terbentur pada kondisi fidik yang lemmah dan tidak memungkinkan.

f. Mereka yang tidak produktif, yaitu mereka yang sesungguhnya memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif, akan tetapi mereka tidak memiliki sumberdaya komplemen yang memadai untuk menghasilkan output; yang mereka miliki hanya tenaga, sehingga meskipun mereka sudah bekerja keras hasilnya tetap saja tidak memadai.

2.2.4 Dampak Pengangguran

a. Dampak Pengangguran Terhadap Perekonomian

Setiap negara selalu berusaha agar tingkat kemakmuran masyarakatnya dapat dimaksimumkan dan perekonomian selalu mencapai pertumbuhan ekonomi yang mantap. Tingkat pengangguran yang relatif tinggi tidak memungkinkan masyarakat mencapai tujuan tersebut. Hal ini dapat dengan jelas dilihat dari


(56)

memperhatikan berbagai akibat buruk yang ditimbulkan oleh masalah pengangguran terhadap perekonomian, yaitu:

1. Pengangguran menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimumkan kesejahteraan yang mungkin dicapainya. Pengangguran menyebabkan penadapatan nasional yang sebenarnya adalah lebih rendah dari pendapatan nasional potensial. Keadaan ini berarti tingkat kemakmuran masyarakat yang dicapai adalah lebih rendah dari tingkat yang mungkin akan dicapainya.

2. Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak pemerintah berkurang. Pengangguran yang diakibatkan oleh tingkat kegiatan ekonomi yang rendah, pada gilirannya akan menyebabkan pendapatan yang diperoleh pemerintah akan menjadi semakin sedikit.

3. Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran menimbulkan dua akibat buruk kepada sektor swasta. Pertama, pengangguran tenaga kerja biasanya akan diikuti pula dengan kelebihan kapasitas mesin-mesin perusahaan. Keadaan ini jelas tidak akan mendorong perusahaan untuk melakukan investasi di masa yang akan datang. Kedua, pengangguran yang diakibatkan kelesuan kegiatan perusahaan menyebabkan keuntungan berkurang. Keuntungan yang rendah mengurangi keinginan perusahaan untuk melakukan investasi. Kedua hal tersebut jelas tidak akan menggalakkan pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.


(57)

b. Dampak Pengangguran Terhadap Mayarakat

Pengangguran akan membawa beberapa akibat buruk terhadap individu dan masyarakat, sebagai berikut:

1. Pengangguran menyebabkan kehilangan mata pencaharian dan pendapatan. Di negara-negara maju, para penganggur memperoleh tunjangan dari badan asuransi pengangguran, dan oleh sebab itu, mereka masih punya pendapatan untuk membiayai kehidupannya dan keluarganya. Mereka tidak perlu bergantung kepada tabungan mereka atau bantuan orang lain. Di negara-negara sedang berkembang belum terdapat program asuransi pengguran, dan karenanya kehidupan pengangguran harus dibiayai oleh tabungan masa lalu atau pinjaman keluarga dan teman-teman. Keadaan ini potensial bias mengakibatkan pertengkaran dan kehidupan keluarga menjadi tidak harmonis.

2. Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan keterampilan. Keterampilan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan hanya dapat dipertahankan apabila keterampilan tersebut digunakan dalam praktek. Pengangguran dalam kurun waktu yang lama akan menyebabkan tingkat keterampilan pekerja menjadi semakin merosot.

3. Pengangguran dapat pula menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik. Kegiatan ekonomi yang lesu dan pengangguran yang tinggi dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat kepada pemerintah yang berkuasa. Golongan yang berkuasa akan semakin tidak populer di mata masyarakat, dan adakalanya hal itu disertai pula dengan tindakan


(58)

demonstrasi dan huru hara. Kegiatan-kegiatan criminal seperti pencurian dan perampokan dan lain sebagainya akan semakin meningkat.

2.3 Hubungan Inflasi dengan Pengangguran 2.3.1 Kuva Phillips

a. A.W. Phillips (1958)

Pembahasan mengenai adanya hubungan antara inflasi dengan pengangguran mulai banyak diperbincangkan kira-kira pada akhir tahun 1950-an. Pada saat depresi ekonomi di Amerika Serikat pada tahun 1929, terjadi inflasi yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula. Didasarkan pada fakta tersebut, A.W. Phillips melakukan penelitian untuk mengamati hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran.

Dalam artikel yang berjudul “The Relationship Between Unemployment and the Rate of Change of Money Wages in United Kingdom, 1861-1957”, A.W Phillips memperlihatkan hubungan negatif antara tingkat kenaikan upah dengan tingkat pengangguran di Inggris. Pada tahun-tahun yang memiliki tingkat pengangguran yang rendah cenderung memiliki tingkat inflasi yang tinggi, dan pada tahun-tahun yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi cenderung memiliki tingkat inflasi yang rendah. Hasil pengamatan ini dituangkan dalam bentuk grafik yang kemudian dikenal sebagai Kurva Phillips.


(59)

Gambar 2.6 Kuva Phillips Tingkat perubahan upah (%)

UEo UE1 Tingkat Pengangguran(%)

Kurva Phillips menggambarkan sifat hubungan sebagai berikut:

1. Apabila tingkat pengangguran semakin rendah, tingkat upah semakin cepat kenaikannya. Rendahnya tingkat pengangguran menunjukkan penurunan penawaran tenaga kerja. Tenaga kerja mempunyai posisi kuat dalam bargaining upah karena perusahaan tidak mau kehilangan faktor produksi yang dimiliki, maka balas jasa tenaga kerja akan meningkat.

2. Apabila tingkat pengangguran relatif tinggi, kenaikan upah relatif lambat berlakunya. Dalam kondisi tingkat pengangguran yang relatif tinggi, posisi tenaga kerja lemah karena tingkat penawaran tenaga kerja yang melimpah. Perusahaan dengan mudah mendapatkan tenaga kerja pengganti apabila pekerja menuntut kenaikan upah. Namun perusahaan juga tidak mau kehilangan tenaga kerja berpengalaman sehingga tidak bisa serta merta memecat tenaga kerjanya. Dengan demikian tetap terjadi kenaikan upah tetapi relatif lambat.

∆W1


(60)

Kurva Phillips modern mensubstitusi inflasi harga untuk inflasi upah karean inflasi upah dengan inflasi harga terkait erat. Dalam periode ketika upah meningkat pesat, harga-harga juga meningkat pesat. Namun pada suatu tingkat pengangguran tertentu inflasi upah lebih cepat dari inflasi harga. Perbedaan ini disebabkan karena kenaikan upah dibarengi dengan kenaikan produktivitas.

b. Lipsey (1960)

Lipsey mencoba mengkaji mengenai hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran setelah Phillips. Lipsey mengemukakan postulat bahwa:

1. Suatu hubungan terjadi antara tingkat upah minimal dan kelebihan permintaan akan tenaga kerja.

2. Suatu hubungan yang negatif antara kelebihan permintaan akan tenaga kerja dan tingkat pengangguran.

Secara matematis, postulat tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: Wt = f (Ut)

U ↓→ ∆W ↑

Yang menunjukkan bahwa tingkat perubahan upah uang dalam periode t atau Wt adalah merupakan fungsi negatif dari tingkat pengangguran pada periode

t, atau Ut dimana Ut merupakan suatu proksi untuk kelebihan permintaan akan

tenaga kerja.

c. Samuelson dan Solow (1966)

Kedua ahli ini mencoba memodifikasi model Lipsey mengenai Kurva Phillips, dengan mengaitkan harga dengan upah-uang atau upah-nominal melalui suatu mark-up atas unit labor cost. Kenaikan upah-uang akan menyebabkan unit


(61)

labor cost mengalami kenaikan, dan dengan peresentase mark-up atas biaya yang tertentu, maka harga-harga akan naik. Untuk upah-uang yang tertentu, maka kenaikan di dalam produktivitas tenaga kerja, yang diukur dengan perubahan di dalam output per tenaga kerja akan menyebabkan unit labor cost turun, dan dengan suatu mark-up yang tertentu, maka hal ini akan menyebabkan penurunan di dalam tingkat harga. Oleh karna itu, dapat dikatakan bahwa hubungan antar pertumbuhan upah-uang dan inflasi, dengan mark-up yang tertentu, sangat tergantung pada laju pertumbuhan produktivitas tenaga kerja.

Secara sistematis, bentuk dari Kurva Phillips yang diusulkan oleh Samuelson dan Solow dapat dinyatakan sebagai berikut:

∆ Pt = f (Ut)

Ut↓ → Pt ↑ (cateris paribus)

Dimana Pt adalah laju inflasi pada waktu t, dan Ut adalah tingkat

pengangguran dalam periode yang sama. Persamaan di atas menggambarkan Kurva Phillips sebagai berikut:

Gambar 2.7 Simple Phillips Curve ∆P PC

UE1 UE0 Pengangguran

P0


(62)

2.3.2 Pandangan Mengenai Hubungan Antara Inflasi dengan Pengangguran

a. Adopsi Kaum Keynesian: Kurva Phillips Jangka Pendek (Short Run Phillips Curve)

Hasil temuan A.W. Phillips diadopsi oleh ekonom Keynesian untuk menjelaskan adanya trade off antara tingkat inflasi dan pengangguran. Apabila ingin mengurangi tingkat pengangguran, maka harga yang harus dibayar adalah meningkatnya inflasi. Kaum Keynesian tidak percaya adanya suatu trade off antara inflasi dengan pengangguran dalam jangka panjang, namun mereka percaya bahwa hal itu terjadi dalam jangka pendek.

Hubungan inflasi dengan pengangguran seperti yang diungkapkan Phillips dan diadopsi kaum Keynesian, dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis kurva AD-AS seperti ditunjukkan pada diagram berikut:

Gambar 2.8

Kurva Phillips Berdasarkan Analisis Kurva AD-AS

P Inflasi (%/tahun)

AS0 AS1 AS2

P2 C

P1 B I2 Kurva Phillips

P0 A AD2 I1

AD1 Io

AD0 Y Pengangguran

0 Y0 Y1 Y2 0 U2 U1 U0


(63)

Asumsi dari analisis kurva AD-AS dalam gambar 2.8 di atas adalah analisis jangka pendek. Faktor produksi umumnya bersifat tetap (fixed input). Karena itu, pertumbuhan penawaran agregat (kurva AS) tidak bisa secepat pertumbuhan permintaan agregat (kurva AD). Tenaga kerja merupakan input tetap, dalam jangka pendek, jumlahnya tidak mudah ditambah.

Diagram 2.8.a menunjukkan apa yang terjadi jika perekonomian terus bertumbuh. Karena penawaran agregat (kurva AS) tidak bisa bertumbuh lebih cepat dari permintaan agregat (kurva AD), maka pertumbuhan ekonomi jangka pendek diikuti oleh inflasi. Dalam diagram 2.8.a titik-titik keseimbangan A, B, C menunjukkan bahwa output menjadi lebih besar (Y2 > Y1 > Y0), tetapi

harga-harga umum juga menjadi lebih tinggi (P2 > P1 > P0).

Jika dianggap ada hubungan yang tetap antara kesempatan kerja (N) dengan tingkat output (Y), misalnya N = αY, di mana α > 0, maka bertambahnya output akan menambah kesempatan kerja (N2 > N1 > N0). Karena jumlah tenaga

kerja juga dianggap tetap, maka penambahan kesempatan kerja akan mengurangi pengangguran (U), sehingga U2 < U1 < U0. Untuk menderivasi Kurva Phillips,

yang perlu dilihat adalah hubungan antara P dan U. Jika P↑ maka U↓. Hasilya adalah seperti pada gambar 2.8 (b) Kurva Phillips dalam gambar 2.8 (b) diturunkan berdasarkan analisis jangka pendek, sehingga disebut kuva Phillips Jangka Pendek (Short Run Phillips Curve,disingkat SPC).

Selain itu, kaum Keynesian juga percaya bahwa penggunaan kebijakan moneter ekspansif merupakan upaya mempertahankan tingkat pengangguran di bawah tingkat alamiah akan membutuhkan waktu beberapa tahun. Demikian juga apabila kebijakan moneter yang kontraktif digunakan untuk mengurangi inflasi,


(1)

Rahardja, Prathama dan Mandala M. 2004. Teori Ekonomi Makro : Suatu

Pengantar. Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI.

Setyawan, Aris B. 2005. Ekonomi Moneter : Inflasi. Bahan Perkuliahan Bab 6:

Inflasi.

Setyawati, Yunita. 2006. Analisis Kausalitas Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

(Kasus Perekonomian Indonesia) dengan Metode ECM. Yogyakarta : FE

Universitas Islam Indonesia.

Solikin. 2003. Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia. Jakarta:

Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan.

Sukirno, Sadono, 2004. Makroekonomi : Teori Pengantar. Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada.

Sukirno, Sadono. 2007. Makroekonomi Modern. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada.

diakses pada Agustus 2009.


(2)

Lampiran I

Data Variabel Tingkat Inflasi dan Tingkat Pengangguran Indonesia

Tahun

Inflasi

Tingkat Pengangguran Terbuka

1980

17.7

1.66

1981

12.6

2.70

1982

9.3

3.01

1983

11.9

2,0

1984

10.4

2,0

1985

5.66

2.14

1986

8.84

2.6

1987

8.9

2.55

1988

5.47

2.81

1989

5.97

2.87

1990

5.97

2.51

1991

9.52

2.59

1992

4.94

2.71

1993

9.77

2.80

1994

9.24

4.40

1995

8.64

7.24

1996

6.47

4.89

1997

11.05

4.68

1998

77.63

5.46

1999

2.01

6.36

2000

9.53

6.08

2001

12.55

8.10

2002

10.03

9.06

2003

5.06

9.50

2004

6.4

9.86

2005

17.11

10.26

2006

6.6

10.40

2007

6.59

9.11


(3)

Lampiran II

Augmented Dickey Fuller Unit Root Test on Inflation (INFLASI)

(Level)

Null Hypothesis: INFLASI has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.660154 0.0001

Test critical values: 1% level -3.689194

5% level -2.971853

10% level -2.625121

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI) Method: Least Squares

Date: 03/04/10 Time: 18:07 Sample (adjusted): 1981 2008

Included observations: 28 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

INFLASI(-1) -1.099812 0.194308 -5.660154 0.0000

C 12.32824 3.388318 3.638456 0.0012

R-squared 0.552013 Mean dependent var -0.217857

Adjusted R-squared 0.534782 S.D. dependent var 19.88164

S.E. of regression 13.56064 Akaike info criterion 8.120970

Sum squared resid 4781.167 Schwarz criterion 8.216127

Log likelihood -111.6936 F-statistic 32.03735


(4)

Lampiran III

Augmented Dickey Fuller Unit Root Test on Rate of Unemployment (UN)

(First Diference)

Null Hypothesis: D(UN) has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.936821 0.0005

Test critical values: 1% level -3.699871

5% level -2.976263

10% level -2.627420

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(UN,2)

Method: Least Squares Date: 03/04/10 Time: 18:12 Sample (adjusted): 1982 2008

Included observations: 27 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(UN(-1)) -0.993093 0.201160 -4.936821 0.0000

C 0.208835 0.201748 1.035129 0.3105

R-squared 0.493642 Mean dependent var -0.065185

Adjusted R-squared 0.473388 S.D. dependent var 1.388844

S.E. of regression 1.007857 Akaike info criterion 2.924717

Sum squared resid 25.39439 Schwarz criterion 3.020704

Log likelihood -37.48367 F-statistic 24.37220


(5)

Lampiran IV

Hasil Uji Kausalitas Granger

Pairwise Granger Causality Tests Date: 03/04/10 Time: 21:09 Sample: 1980 2008

Lags: 4

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

UN does not Granger Cause INFLASI 25 8.28464 0.00081


(6)

Lampiran V

Hasil Uji Kointegrasi

Null Hypothesis: RESID01 has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.819811 0.0007

Test critical values: 1% level -3.711457

5% level -2.981038

10% level -2.629906

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID01) Method: Least Squares

Date: 03/04/10 Time: 21:57 Sample (adjusted): 1983 2008

Included observations: 26 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RESID01(-1) -1.001175 0.207721 -4.819811 0.0001

C -0.003573 0.201830 -0.017703 0.9860

R-squared 0.491855 Mean dependent var -0.039034

Adjusted R-squared 0.470682 S.D. dependent var 1.413599

S.E. of regression 1.028453 Akaike info criterion 2.967792

Sum squared resid 25.38518 Schwarz criterion 3.064569

Log likelihood -36.58130 F-statistic 23.23057