Pembagian Teanteanan Dalam Masyarakat Batak Toba

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Pembagian Teanteanan Dalam Masyarakat Batak Toba

Dalam pembagian teanteanan, yang mendapatkan warisan adalah anak laki- laki karena masyarakat Batak menganut sistem kekeluargaan patrilineal, sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orangtua suaminya, atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Akan tetapi, bukan berarti anak perempuan tidak mendapat bagian dari harta warisan. Pembagian teanteanan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena pembagian teanteanan atau harta warisan tersebut ada kekhususan, yaitu anak laki-laki bungsu atau dalam bahasa bataknya disebut Siampudan, dan dia yang mendapatkan warisan yang khusus.Harta warisan yang dimaksud di sini yaitu harta peninggalan orangtua yang bersih dari hutang, dan siap untuk dibagi oleh para ahli waris. Pada zaman dahulu, jika pewaris tidak memiliki anak laki-laki, maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya dongan sabutuha.Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orangtua.Akan tetapi, dengan syarat saudara ayah dongan sabutuha yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga. Seperti bunyi filsafat orang Batak: Molo ni arit tarugi sai pir doi jala pora Molo tinean uli Teanon ma dohot gora Artinya: Jika dikikis lidi ijuk Selalu saja suka patah Kalau sesuatu diemban Bersiaplah menanggung resiko Maksudnya: Kalau kita menerima harta warisan karena meninggalnya sesorang, maka kita harus turut juga bertanggung jawab atas kesejahteraan rumah tangga anak-anak yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal tersebut pewaris. Akan tetapi, pernyataan ini pun sudah mulai bergeser karena adanya faktor era globalisasi. Pada saat ini pembagian teanteanan dalam masyarakat Batak Toba khususnya di kecamatan Onan Runggu, dimana jika pewaris tidak memiliki anak laki-laki, maka harta warisan tersebut langsung dibagi oleh anak perempuannya berdasarkan keadilan dan kasih sayang. Kalau pewaris yang meninggal itu tidak mempunyai keturunan, istilah Batak pupur, maka harta warisan jatuh kepada hahanggi saudara pewaristerdekat.Akan tetapi, biasanya orang Batak tidak suka mewarisi harta orang yang pupur, karena takut kalau penyakit pupur itu menular kepadanya.Maka, harta warisan orang pupur itu biasanya dihabiskan saja dengan mengadakan pesta-pesta.Istilah Batak untuk itu ialah digalegalehon, artinya dibuat oranglah patung kayu menyerupai orang pupur itu, yang dinamai oleh orang Batak sigale-gale dan dibuatlah patung itu menari-nari manortor. Pada waktu pembagian teanteanan dipanggillah raja huta penetua adat, tulang paman, namboru saudara perempuan ahli waris, dan orang yang ada di kampung tersebut, dengan tujuan agar ada yang mendengar dan menjadi saksi. Para saksi ini akan diberi ingot-ingot berupa uang sebagai tanda bahwa harta warisan itu sudah sah dibagi oleh para ahli waris sesuai dengan norma adat Batak Toba. Segala macam harta benda pewaris tersebut, seperti tanah, rumah, dan ternak merupakan milik ripe-ripe oleh ahli waris laki-laki. Anak bungsu merupakan ahli waris yang mendapat bagian yang paling banyak, seperti rumah induk, tanah, dan bahkan jika ada kedudukan atau jabatan dari pewaris, maka jabatan itu diberikan kepada anak yang bungsu. Dengan alasan, bahwa anak yang bungsu yang lebih lama tinggal dengan orangtuanya, dan wajar kalau anak bungsu yang mendapatkannya. Akan tetapi, anak sulung sihahaan juga berhak atas keistimewaan tambahan hasurungan, dia mendapatkan tanah yang disebut dengan hauma panggoaran, karena sebagai anak lelaki yang paling tertua, dia telah memberi hak kepadanya untuk menyandang gelar yang begitu didambakan Ompu ni N. Pada masyarakat Batak Toba, telah menjadi kebiasaan untuk memberikan tanah kepada anak perempuan yang sudah menikah dan kepada anak pertama yang dilahirkan olehnya.Dalam ruhut-ruhutni adat Batak Peraturan Adat batak jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu: Tanah Hauma pauseang, Nasi Siang Indahan Arian, warisan dari Kakek Dondon Tua, tanah sekadar Hauma Punsu Tali. Harta pauseang ini diberikan oleh saudara laki-laki ahli waris tersebut ibotona, akan tetapi ini semua bukan menjadi hak anak perempuan, melainkan hanya pemberian. Akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat Batak, khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba khususnya di kecamatan Onan Runggu, saat ini sudah hampir mengikuti aturan hukum di Indonesia. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari adat Batak Toba tersebut yaitu anak laki-laki harus bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku Batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang Batak berada, adat istiadat partuturan tidak akan pernah hilang. Jenis harta warisan yang paling umum pada masyarakat Batak Toba yaitu: 1. Tano tanah Tanah yang dimaksud disini yaitu: sawah, ladang, dan kebun. Dalam masyarakat Batak Toba, khususnya yang tinggal di Desa Rinabolak Kecamatan Onan Runggu Kabupaten Samosir, tanah dibagi rata oleh semua ahli waris, dan ahli waris yang paling banyak mendapatkannya adalah anak bungsu.Hal ini disebabkan karena anak bungsu yang lebih lama tinggal bersama orangtua nya patuahon ama dan anak bungsu yang berhak tinggal di kampung tersebut, dan juga si bungsu lah yang menjadi ahli waris yang paling banyak. Akan tetapi, anak laki-laki yang tertua pun mendapat tanah yang disebut dengan tanah tambahan atau haumahasurungan yang tidak bisa diganggu gugat oleh ahli waris lainnya. Hal ini terjadi karena anak sulung yang memberi gelar kepada pewaris Ompu ni N, dan harta ini pun harus diteruskan oleh cucunya di kemudian hari. Suatu pemberian yang khusus ini diberikan kepada anak sulung agar dialah yang menjadi penyandang sahala para leluhur, dan tanah ini biasanya tanah yang terletak di bagian hulu. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa anak perempuan juga sudah mendapat bagiannya berupa sawah yang disebut dengan hoban. Akan tetapi semua ini terjadi jika ahli waris laki-laki setuju dengan pernyataan itu.Hoban ini pun sudah menjadi bagian warisan untuk anak perempuan di kecamatan Onan Runggu. Jika para ahli waris sepakat untuk tidak membagi teanteanan tersebut, maka harta peninggalan itu pun akan diletakkan di bawah kepemilikan bersama ripe-ripean, hatopan. Bagian dari harta peninggalan seperti ini biasanya berupa tanah tegalan yang tidak bisa dibagi-bagi, karena bisa saja tanah itu barang kali pada awalnya merupakan tanah yang ditanami di sekeliling kampung yang didirikan oleh leluhur dan pada akhirnya ditinggalkan. Harta semacam ini tidak bisa dibagi-bagi karena harta milik bersama. Seperti pepatah mengatakan: tung na so boi impul iba di ugasan ni dongan na marripe-ripe, artinya kita tidak bisa serakah terhadap apa yang menjadi milik bersama. Contohnya: di belakang rumah bapak Sirait, terdapat pohon durian yang sudah sangat lama umurnya, dan sampai sekarang masih berbuah. Berdasarkan pengakuan bapak Sirait bahwa durian itu merupakan milik bersama ripe-ripe, meskipun durian tersebut tumbuh di dekat rumahnya. 2. Jabu rumah Sesuai dengan hasil penelitian, bahwa rumah diberikan kepada anak bungsu siampudan, karena si bungsu lah yang akan tinggal di kampung tersebut, dan juga si bungsu lah yang menjadi pengganti pewaris dalam bidang apapun di kampung tersebut. Rumah tidak bisa diganggu gugat oleh ahli waris yang lainnya, kecuali ada mufakat yang lain dari para ahli waris. Jika pada suatu ketika ada diantara ahli waris lainnya berkehendak rumah itu, boleh juga asal dia mampu memberi uang semacam ganti rugi kepada saudara-saudaranya atau sesuai dengan mufakat keluarga tersebut.Hal ini serupa disebut dengan istilah bahasa Batak “manantani”.Akan tetapi, semua itu hanya terjadi jika anak bungsu setuju atas permintaan tersebut. Jika pewaris tidak mempunyai anak laki-laki maka anak perempuan sulung pun sudah bisa mendapatkan rumah tersebut, dengan alasan supaya ada yang menjaga kampung tersebut.Jika anak perempuan yang paling bungsu ingin rumah itu boleh juga, sesuai dengan mufakat ahli waris tersebut. Berdasarkan adat Batak kuno, barang yang sering dipakai oleh pewaris seperti: hujur pedang, piso pisau, gajut tempat tembakau, hohos ikat pinggang , semua itu di berikan kepada cucu laki-laki yang tertua, dan ulos yang dipakai oleh yang pewaris tersebut diberikan kepada menantunya yang laki-laki yang sulung helana. Jika pewaris mempunyai kedudukanjabatan semasa hidupnya, maka jabatan tersebut turun kepada ahli waris laki-laki bungsu. Akan tetapi, pembagian teanteanan atau harta warisan di kecamatan Onan Runggu sudah mulai bergeser, di mana perhiasan dari pewaris itu dominannya diberikan kepada ahli waris perempuan. Hal ini sudah sering terjadi sewaktu pembagian teanteanan di kecamatan tersebut, dengan alasan bahwa perhiasan wajar diberikan kepada anak perempuan, karena harta pusaka sudah milik ahli waris laki-laki, dan juga anak perempuan yang mengurus orangtuanya semasa hidupnya, misalnya: jika pewaris sakit sewaktu hidupnya, maka yang paling banyak mengurus hanya anak perempuan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, bahwa keluarga besar Rus Samosir telah melakukan pembagian teanteanan akhir tahun 2014, mereka yang berjumlah 10 orang bersaudara 7 laki-laki dan 3 saudara perempuan. Mereka mendapat bagian tanah masing-masing, anak bungsu laki-laki mendapatkan tanah lebih banyak, dan anak sulung mendapatkan tanah khusus, yang disebut tanah hasurungan, dan anak paitonga ditengah juga mendapat tanah sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat oleh para ahli waris.Sisa tanah tersebut diberikan kepada anak perempuan.Rumah khususnya diberikan kepada anak laki- laki bungsu. Jika pewaris memiliki harta seperti perhiasan, maka harta tersebut di berikan kepada anak perempuan.Dari pernyataan ini, bahwa laki-laki dan perempuan sudah mendapat bagian masing-masing. 4.2 Kedudukan Anak Perempuan Batak Toba 4.2.1 Kedudukan dalam keluarga