10,64 dan OR3,76 pada short term mortality
23
; tekanan darah sistolik yang rendah setiap turun 20mmHg meningkatkan risiko terjadinya MACE denga OR
1,351,27-1,45; frekuensi jantung yang tinggi akan meningkatkan risiko setiap 30xmenit dengan OR 1,201,10-1,40; peningkatan enzim jantung saat admisi
juga meningkatkan risiko terjadinya MACE dengan OR 1,501,26-1,90; peningkatan kadar kreatinin serum admisi setiap 1mgdl juga memberikan risiko
dengan OR 1,231,14-1,34; gambaran deviasi segmen ST pada admisi juga meningkatkan risiko dengan OR 1,801,33-2,40; Nilai Kelas Killip yang
cenderung tinggi juga akan menigkatkan risiko MACE setiap naik satu kelas dengan OR 1,971,76-2,23.
7
2.1.4.1. Hitung Leukosit
Belakangan ini telah banyak pembuktian yang menyatakan keterlibatan inflamasi pada perkembangan atherosklerosis dan perkembangan pathogenesis
trombosis koroner. Telah banyak penelitian yang menghubungkan antara kadar jumlah sel darah putih ini dengan adverse cardiac events ataupun meningkatnya
angka kematian yang akan terjadi baik pada jangka panjang maupun jangka pendek.
24,25
Julio Nunez dkk, melakukan penelitian terhadap 1118 pasien yang masuk rumah sakit dengan diagnosis infark miokard akut, 569 pasien IMA tanpa
elevasi ST dan 549 dengan IMA ST elevasi. Mereka mengukur kadar jumlah sel darah putih 24 jam setelah masuk rumah sakit, dan membaginya menjadi 3 grup:
WBC1 kadarnya 10x103 selmL, WBC2 kadarnya, l0-14,9x 103 selmL, WBC3 kadarnya, 14,9x 103 selmL. Lalu mereka mengikuti pasien-pasien itu
selama 8-12bulan, hingga mereka dapatkan bahwa kadar jumlah sel darah putih dapat digunakan sebagai faktor prediktor MACE. Pada penelitian tersebut Julio
Nunez dkk mendapatkan pada longterm mortality terdapat total angka kematian 214 pasien 19,9; 105 18,5 pasien pada pasien IMA tanpa elevasi ST dan
109 19,9 pasien pada pasien IMA dengan elevasi ST. Pada analisis bivariat mereka pun membuktikan terjadi peningkatan mortalitas yang proporsional antara
kelompok WBC pada setiap tipe IMA baik pada kematian jangka pendek maupun jangka panjang. Mereka juga menernukan hazard ratioHR pada grup WBC3 dan
WBC2 dibandingkan WBC1 pada pasien IMA tanpa elevasi segmen ST adalah
2,07 1,08-3,94; p=.027 dan 1,61 95IK 1,03-2,51; p=0,036. Sedangkan perbandingan pada IMA dengan elevasi ST 2,07 and 2,22 95IK 1,35-
3,63;p=0,002. Dari analisis Kaplan-Meier terdapat juga pemisahan pada kelompok-kelompok WBC. Pada IMA tanpa elevasi ST menunjukkan faktor risiki
kematian kadar jumlah sel darah putih dimulai dari 10x10
3
selmL sedangkan pada IMA dengan elevasi ST risiko kematiannya dimulai dari diatas 10x10
3
selmL.
26
Gambar2.2 Kurva survival Kaplan-Meier pada pasien STEMI dan non- STEMI berdasarkan kategori kelompok jumlah sel darah putih.
26
Pada gambar kurva diatas menunjukkan bahwa kadar jumlah sel darah putih pada beberapa jam awal pada pasien IMA adalah prediktor mortalitas jangka
panjang. Peningkatan kadar jumlah sel darah putih pada pasien juga dapat dihubungkan dengan meningkatnya insidensi dan komplikasi yang mengikuti
AMI, seperti gagal jantung dan mortalitas, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Beberapa mekanisme dapat menjelaskan hal ini, seperti resistensi
terhadap obat trombolitik karena perubahan mikrosirkulasi, hiperkoagulabilitas yang meningkat, fenomena no-reflow akibat leukosit, kardiotoksisitas indirek
yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi, meningkatnya daerah cedera iskemia- reperfusi, ekspansi infark miokard akut. Berkenaan dengan poin terakhir ini, harus
kita ingat bahwa respon leukosit setelah IMA adalah titik inti respon reparative
inflamation yang diinisiasi untuk menggantikan jaringan nekrosis dengan jaringan parut. Semakin besar luas wilayah infark, maka semakin tinggi kadar jumlah sel
darah putih.
26
Furman MI dkk juga menemukan bahwa pada pasien sindrom koroner akut kadar hitung leukosit dapat digunakan sebagai faktor prediktor kematian di
rumah sakit
dan perkembangannya
menjadi gagal
jantung. Mereka
menghubungkan antara kadar hitung leukosit saat masuk rumah sakit dengan mortalitas di rumah sakit dan gagal jantung pada 8269 pasien yang didiagnosis
sindrorn koroner akut. Hubungan ini diperiksa secara terpisah pada pasien IMA dengan elevasi ST dan IMA tanpa elevasi ST dan angina pectoris tidak stabil.
Mereka membagi sampel mejadi 4 grup Q: Q16.000, Q2= 6.000-9.999, Q3=10.000-11.999, Q4= 11.999. Akhimya mereka menemukan bahwa
peningkatan hitung leukosit berhubungan secara signifikan dengan angka kematian di rumah sakit odds ratio OR 2.8, 95IK 2.1-3.6 untuk Q4
dibandingkan Q2 pada pasien dengan sindrom koroner akut. Hubungan ini terlihat pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST dengan OR kematian di rumah sakit
3.2, 95IK 2.1-4.7; OR untuk gagal jantung 2.4 95IK 1.8-3.3. Sedangkan pada IMA tanpa elevasi segmen ST OR untuk kematian di rumah sakit 1.9
95IK 1.2-3.0; OR untuk gagal jantung 1.7, 95IK 1.1-2.5. Sedangkan pada angina pektoris tidak stabil OR untuk kematian di rumah sakit 2.8 95IK 1.4
— 5.5; OR untuk gagal jantung 2.0, 95IK 0.9-4.4.
11
2.1.4.2. Nilai Hemoglobin