akibat oklusi pada arteri di epikardiun, sedangkan infark subendokardial terjadi pada bagian yang lebih dalam lagi, di dekat endokardium.
13
Pada dasarnya infark yang terjadi merupakan gambaran puncak dari urutan kejadian yang diawali oleh iskemik, yang berawal dari trauma sel yang yang
reversibel menjadi kematian sel yang ireversibel. Daerah miokard yang diperdarahi langsung oleh arteri koroner yang terjadi oklusi akan mengalami
nekrosis dengan cepat, sedangkan jaringan disekitarnya tidak akan langsung mengalami nekrosis secara langsung karena masih cukupnya suplai darah dan
pembuluh tetapnya. Walaupun begitu jaringan disekitar infark lama-kelamaan akan mengalami peningkatan iskemik, karena peningkatan kebutuhan oksigen
yang tidak diimbangi oleh kemampuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tersebut akibat adanya oklusi pada pembuluh arteri koroner yang mengalami
oklusi. Terdapat lima hal yang memengaruhi jumlah jaringan yang mati akibat infark:
a. massa dari miokard yang diperdarahi arteri koroner yang mengalami
oklusi tersebut, b.
durasi dan banyaknya aliran darah arteri koroner yang terganggu, c.
kebutuhan oksigen dan daerah yang terpengaruhi, d.
kemampuan adekuasi dan pembuluh kolateral, e.
derajat respon dan jaringan yang memodifikasi proses iskemik.
13
2.1.1.3 Patogenesis Trombosis Koroner
Pada kedaan normal, tendapat mekanisme protektif yang mencegah terjadinya trombosis dan oklusi pada pembuluh darah yang sehat. Namun,
kelainan yang berhubungan dengan lesi aterosklerotik mungkin akan mempengaruhi defens tersebut sehingga dapat menyebabkan oklusi pembuluh.
Aterosklerosis benkontribusi terhadap pembentukan trombus ini melalui 1 ruptur plak yang menyebabkan tereksposnya substansi trombogenik, 2 disfungsi endotel
yang menurunkan
atau bahkan
menghilangkan mekanisme
protektif antithrombotik normal dan properti-properti vasodilator.
13
Ruptur plak aterosklerotik adalah penyebab utama pemicu trombosis koroner. Penyebab utama disrupsi plak ialah 1 faktor-faktor kimiawi yang
menyebabkan destabilisasi lesi aterosklerotik, dan 2 stress fisik pada lesi. Plak
aterosklerotik adalah plak yang terdiri dari inti lipid yang dikelilingi oleh fibrous external cap. Substansi-substansi kimiawi yang berasal dari sel-sel inflamasi
diantara plak dapat membahayakan integritas dari fibrous cap tersebut. Sebagai contoh limfosit T akan mengelaborasi interferon gama yang dapat menginhibisi
sintesis kolagen oleh otot polos, akibatnya kekuatan dari cap tesebut akan tenganggu. Selain itu lesi ateroslerotik juga menghasilkan enzim seperti
metalloproteinase yang adapat menghancurkan matriks intersitisial, yang memainkan peran penting pada stabilitas plak. Melemahnya cap yang tipis ini
merupakan bagian yang mudah untuk ruptur terutama pada bagian “shoulder”, yaitu bagian yang berbatasan langsung dengan dinding arteri yang normal baik
secara spontan ataupun tekanan fisik, seperti tekanan darah intraluminal dan torsi dari detak miokard.
13
2.1.2.
Leukositosis
Leukositosis dapat digambarkan sebagai hitung leukosit lebih besar dari 11000mm
3
. Peningkatan jumlah sel darah merupakan respon nosrmal dari sumsum tulang terhadap infeksi atau proses inflamasi. Namun terkadang
leukositosis menggambarkan kelainan pada sumsum tulang. Penyebab leukositosis dapat dibagi menjadi
a. Leukositosis dengan sumsum tulang normal, pada kasus ini leukositosis
diakibatkan oleh reaksi normal terhadap inflamasi ataupun infeksi. Pada keadaan in kebanyakan sel adalah leukosit polimorfonuklear. Selain
infeksi dapat pula muncul akibat stres emosional, pengobatan tertentu, splenektomi,
keganasan, anemia
hemolitik,dll. Eosinofilia
ialah peningkatan eosinofil yang biasa terjadi pada keganasan limfoma Hodgkin
dan non-Hodgkin serta penyakit imunologis seperti rheumatoid arthritis, alergi, infeksi parasit, dll. Basofilia merupakan peningkatan basofil yang
biasa terjadi pada reaksi alergi. Limfositosis merupakan peningkatan limfosit yang biasanya diakibatkan oleh infeksi virus, infeksi
kronik,kelainan jaringan ikat. b.
Leukositosis dengan kelainan sumsum tulang primer, seperti yang terjadi pada leukemia dan kelainan myeloploriveratif.
14
2.1.3. Anemia