1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penyakit kardiovaskular telah menjadi penyebab kematian terhadap 17 juta angka kematian, yang juga menyebabkan 151 juta disability adjusted life years
lost DALYs. WHO memproyeksikan angka kematian oleh sebab penyakit kardiovaskular secara global akan meningkat dari 17 juta pada tahun 2004
menjadi 23,4 juta angka kematian di tahun 2030.
1
Pada tahun 1992 penyakit kardiovaskular telah menjadi penyebab kematian tertinggi pertama kelompok usia
lebih dari 45 tahun yaitu sebanyak 16,4.
2
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS tahun 2007, penyakit jantung memiliki prevalensi sebesar
7,2, dengan angka kematian akibat penyakit kardiovaskular pada semua kelompok usia adalah sebesar 5,1.
3
Sindrom Koroner Akut SKA yang merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas tersebut, walaupun telah dilakukan diagnosis dan terapi yang
adekuat. Rupturnya plak pada arteri koroner SKA akan memberikan gambaran gejala angina pektoris tidak stabil dan bahkan infark miokrad akut, baik dengan
elevasi segmen-ST maupun tanpa elevasi segmen ST, melalui trombosis yang berbentuk akibat agregasi trombosit yang menyebabkan oklusi menjadi semakin
parah, sehingga plak yang tidak stabil dianggap sebagai penyebab utama pada perjalanan terjadinya SKA.
4
Kejadian Major Adverse Cardiac Events MACE terdiri atas kematian kardiovaskular dan non kardiovaskular, infark miokard berulang, stroke, serta
intervensi koroner perkutan berulang di rumah sakit. Sedangkan menurut data dari intensive care unit rumah sakit Cipto Mangunkusumo didapati angka mortalitas
pasien SKA selama perawatan di rumah sakit pada tahun 2010 sebesar 17,5.
5
. Walaupun laju mortalitas pada pasien SKA mengalami penurunan, masih banyak
ditemukan angka kematian dalam 48 jam awal perawatan pada fase akut.
6
Walaupun pasien SKA telah mendapat terapi preventif yang agresif dalam rangka mencegah terjadinya MACE, masih sering ditemukan komplikasi MACE pada
pasien SKA. Sehingga sangat dibutuhkan penilaian prediksi awal terjadinya
komplikasi MACE pada pasien SKA agar dapat menekan terjadinya MACE pada pasien SKA.
7
Penilaian faktor risiko terjadinya MACE pada pasien SKA sangat penting, untuk membedakan pasien yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi dan risiko
rendah, sehingga penanganan yang lebih intensif dapat dilakukan untuk menekan terjadinya MACE. Untuk itu faktor-faktor risiko harus terus dicari, untuk
membantu dalam penilaian prognosis pada pasien SKA.
7,8
Rendahnya nilai hemoglobin dan tingginya hitung leukosit sangat menarik untuk dibahas, karena
kedua hal ini merupakan unsur hematologi yang cukup sering diperiksa ketika admisi pasien, belum lagi biaya pemeriksaan yang tidak terlalu mahal serta
keberadaan kedua pemeriksaan ini yang mudah bahkan dapat dilakukan di bagian emergensi sekalipun, yang akan menjadikan kedua jenis pemeriksaan ini sebagai
penanda yang efisien dan efektif. Anemia telah disebut-sebut dapat memperburuk keadaan pasien SKA.
Ennezat dkk, dalam studinya menemukan bahwa anemia dapat memberikan informasi prognostik tambahan yang independen pada GRACE score dengan
Hazard Ratio HR 3,008, 95 confidence interval CI 2,137-4,234. Mereka bahkan mendapatkan nilai prediktif yang lebih halus dengan menggabungkan
anemia dengan GRACE score.
9
Correin dkk, dalam studinya juga menemukan bahwa nilai hemoglobin secara independen dapat digunakan sebagai faktor
prediktor terhadap terjadinya MACE, bahkan nilai nilai hemoglobin dapat digunakan sebagai prediktor independen terhadap kejadian MACE pada pasien
SKA dengan Odd Ratio OR 3,9 95 IK 1,2-1,3.
10
Beberapa penelitian menghubungkan leukositosis dengan adverse cardiac events ataupun angka kematian yang terjadi pada jangka panjang maupun jangka
pendek. Furman dkk, menemukan pada studinya peningkatan jumlah leukosit yang signifikan, yang menunjukkan korelasi dengan kejadian MACE serta hitung
leukosit dapat digunakan sebagai prediktor independen untuk terjadinya MACE pada pasien SKA dengan OR 2,8 95 IK, 2,1-3,6.
11
Kedua faktor di atas sangat layak untuk dipertimbangkan dalam penilaian risiko terjadinya MACE pada pasien SKA. Sehingga diperlukan pembuktian
kemampuan kedua faktor ini dalam memprediksi terjadinya MACE. Sehingga
dapat membantu dalam pengambilan keputusan dalam penatalaksanaan SKA, karena penatalaksanaan SKA sudah seharusnya dilakukan dengan berdasar pada
setimasi terjadinya MACE untuk menekan terjadinya MACE, tanpa adanya underestimation ataupun overestimation pada penilaian pasisen SKA. Oleh karena
itu penelitian ini dianggap penting untuk dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai kemampuan leukositosis dan anemia sebagai faktor prediktor
independen terhadap terjadinya MACE.
1.2. Perumusan Masalah