Hitung Leukosit dan Nilai Hemoglobin Sebagai Faktor Prediktor Terjadinya Major Adverse Cardiac Events pada Sindroma Koroner Akut. 2014.

(1)

HITUNG LEUKOSIT DAN NILAI HEMOGLOBIN

SEBAGAI FAKTOR PREDIKTOR

MAJOR ADVERSE

CARDIAC EVENTS

PADA SINDROMA KORONER

AKUT

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Andika Prasdipta Hidayat

NIM: 1111103000067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya orisinil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

HITUNG LEUKOSIT DAN NILAI HEMOGLOBIN SEBAGAI FAKTOR PREDIKTOR MAJORADVERSE CARDIAC EVENTS PADA SINDROMA

KORONER AKUT

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Kedokteran (S.Ked)

Oleh

Andika Prasdipta Hidayat

NIM: 1111103000067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/2014 M


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Penelitian berjudul HITUNG LEUKOSIT DAN NILAI HEMOGLOBIN SEBAGAI FAKTOR PREDIKTOR MAJOR ADVERSE CARDIAC EVENTS PADA SINDROMA KORONER AKUT yang diajukan oleh Andika Prasdipta Hidayat (NIM 1111103000067), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 9 September 2014. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada program Studi Pendidikan Dokter.

Jakarta, 9 September 2014


(5)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, serta umatnya.

Penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dan support dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Allah SWT

2. Kedua orang tua saya Bapak Ilyas dan ibu Fatimah selaku orang tua saya serta Hj. Tiyatun selaku nenek saya, yang selalu menyayangi saya dan mendidik saya dengan nilai-nilai yang sangat baik. Serta adik saya Yoga Mukhlisyah yang telah memberikan dukungan kepada saya dalam mengerjakan penelitian ini.

3. Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjudin, SpAnd selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa membimbing dan memberi kesempatan kepada saya untuk menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen di prodi ini yang senantiasa memberi ilmu kepada saya dan teman-teman selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. dr. Femy Nurul Akbar SpPD-KGEH dan dr. Dede Moeswir SpPD-KKV selaku dosen pembimbing penelitian saya, yang senantiasa membimbing, mengajarkan serta mengarahkan dalam pengerjaan penelitian ini.


(6)

6. Untuk teman-teman kelompok riset saya yang telah dengan gigih bekerja keras meneteskan keringat bersama saya, Aditiya Bagus W., Debtia Rahmah, Siska Hestu, Puspita Muntiyarso, Vania Utami P.

7. Teman-teman satu rumah kontrakan di Pondok Hijau yang telah mendukung saya secara penuh dalam melakukan penelitian ini: Akbar S, Bentito Z, Apriangga S, Yoga E, Seflan S, Faizal R, Indra F dan Rasyad W.

8. Seluruh mahasiswa PSPD 2011 yang telah memberikan supportnya selama pendidikan saya dan peneltian ini berlangsung.

9. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Saya menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk tercapainya laporan penelitian yang lebih baik lagi.

Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Jakarta, 9 September 2014


(7)

ABSTRAK

Andika Prasdipta Hidayat. Program Studi Pendidikan Dokter. Hitung Leukosit dan Nilai Hemoglobin Sebagai Faktor Prediktor Terjadinya Major Adverse Cardiac Events pada Sindroma Koroner Akut. 2014.

Latar Belakang: Walaupun dalam penanganan pasien SKA sudah dianggap cukup adekuat, proporsi terjadinya major adverse cardiac events (MACE) tetap tinggi. Telah lama leukositosis dan anemia pada saat admisi disebut-sebut memiliki peran yang cukup besar terhadap kejadian MACE. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan leukositosis dan anemia sebagai faktor prediktor terhadap terjadinya MACE. Metode: Penelitian ini adalah penelitian retrospektif berbasis studi prognostik. Sampel dikumpulkan dari data rekam medik 467 pasien SKA sejak Januari 2012 hingga Desember 2013 di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo dan dilihat nilai hemoglobin dan hitung leukosit admisi dan dibandingkan dengan MACE selama perawatan. Analisis bivariat menggunakan uji Pearson Chi-square. Hasil: Terdapat 54 kasus MACE dengan proporsi sebesar 11,6%. Pada analisis bivariat, relative risk (RR) anemia terhadap MACE adalah 2,093 (95%IK, 1,273-3,440 , p=0,003). Sedangkan RR leukositosis terhadap MACE adalah 2,208 (95%IK, 1,267-3,847 , p=0,004). Kesimpulan:

Leukositosis dan anemia pada saat admisi merupakan faktor prediktor terjadinya MACE selama perawatan.

Kata kunci: MACE. Nilai hemoglobin. Hitung leukosit. Anemia. Leukositosis.


(8)

ABSTRACT

Andika Prasdipta Hidayat. Faculty Medicine. Leukocyte counts and hemoglobin levels as Prediction Factor of Major Adverse Cardiac Events in Acute Coronary Syndrome Patients. 2014.

Back Ground: Despite ACS patients has been adequately treated, the prevalences of major adverse cardiac events (MACE) are still high. Leukocytosis and anaemia on admission have been mentioned to have a major roles in MACE. Aim: The aim of this study is to show the ability of leukocytosis and anaemia as predictor factors in predicting MACE. Method: The medical record files of 467 ACS patients in ICCU Cipto Mangunkusumo national hospital from January 2012 until December 2013 with hemoglobin level and leukocyte count on admission data and inhospital MACE information were collected. Bivariat analysis was analyzed using Pearson Chi-Square test. Result: There are 54 cases of MACE, with proportion 11,6%. In bivariat analysis, the relative risk (RR) of anaemia in MACE is 2,093 (95%CI, 1,273-3,440 , p=0,003) and RR of Leukocytosis in MACE is 2,208 (95%CI, 1,267-3,847 , p=0,004). Conclution: Leukocytosis and anaemia

on admission are predictor factors for MACE in inhospital ACS patients.

Keywords: MACE. Haemoglobin Levels. Leukocyte counts. Anaemia. Leukocytosis


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... LEMBAR PERSETUJUAN ... LEMBAR PENGESAHAN ... KATA PENGANTAR ... ABSTRAK ... DAFTAR ISI ... Daftar GAMBAR ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ... 1.2 Rumusan masalah ... 1.3 Hipotesis ... 1.4 Tujuan penelitian ... 1.5 Manfaat penelitian ... 1.5.1 Ilmiah ... 1.5.2 Aplikatif ...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka ... 2.1.1 Sindrom Koroner Akut ... 2.1.1.1. Patogenesis SKA ... 2.1.1.2. Patofisiologi SKA ... 2.1.1.3. Patogenesis Trombosis Koroner ... 2.1.2 Leukositosis

2.1.3 Anemia

2.1.4 Major Adverse Cardiac Events (MACE)... 2.1.4.1. Definisi Kematian Kardiovaskular ... 2.1.4.2. Definisi Kematian non-Kardiovaskular ... 2.1.4.3. Definisi Kematian Tak Terdefinisikan ... 2.1.4.4. Stroke ... 2.1.4.5. Intervensi Koroner Perkutan Berulang ... 2.1.5 Faktor Prediktor Terjadinya MACE ... 2.1.3.1. Hitung Leukosit ... 2.1.3.2. Nilai Hemoglobin ... 2.2 Kerangka Teori ... 2.3 Kerangka Konsep dan Definisi Operasional ...

2.3.1. Kerangka Konsep ... 2.3.2. Definisi Operasional ...

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ... 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ...

ii iii iv v vii ix xi xi xi 1 3 3 3 3 3 4 5 5 5 6 7 8 9 9 10 11 12 12 12 12 13 15 18 19 19 19 21 21


(10)

3.3 Populasi dan Subjek Penelitian ... 3.4 Perkiraan Besar Sampel ... 3.5 Teknik Pemilihan Sampel ... 3.6 Kriteria Inklusi and Eksklusi

3.6.1. Kriteria Inklusi ... 3.6.2. Kriteria Eksklusi ... 3.7 Cara Kerja Penelitian ... 3.8 Alur Penelitian ... 3.9 Pengolahan dan Analisis Data ...

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ... 4.1.1. Karakteristik Dasar Subjek

4.1.2. Analisis Univariat 4.1.3. Analisis Bivariat

4.2 Pembahasan ... 4.2.1. Anemia ... 4.2.2. Leukositosis ...

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 5.2 Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ...

21 21 22 22 22 22 22 23 23 25 25 26 27 27 29 31 31 32 37


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ... Gambar 2.2 ... Gambar 2.3 ... Gambar 2.4 ...

6 14 16 17

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel Karakteristik Dasar ... Tabel 4.2 Tabel Univariat ... Tabel 4.3 Tabel Analisis Bivariat ...

25 26 27

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran.1. Formulir Penelitian ... Lampiran.3 Surat Izin Penelitian ... Lampiran.4. Surat Lolos Uji Etik ...

36 37 38


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Penyakit kardiovaskular telah menjadi penyebab kematian terhadap 17 juta angka kematian, yang juga menyebabkan 151 juta disability adjusted life years lost (DALYs). WHO memproyeksikan angka kematian oleh sebab penyakit kardiovaskular secara global akan meningkat dari 17 juta pada tahun 2004 menjadi 23,4 juta angka kematian di tahun 2030.1 Pada tahun 1992 penyakit kardiovaskular telah menjadi penyebab kematian tertinggi pertama kelompok usia lebih dari 45 tahun yaitu sebanyak 16,4%.2 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, penyakit jantung memiliki prevalensi sebesar 7,2%, dengan angka kematian akibat penyakit kardiovaskular pada semua kelompok usia adalah sebesar 5,1%.3

Sindrom Koroner Akut (SKA) yang merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas tersebut, walaupun telah dilakukan diagnosis dan terapi yang adekuat. Rupturnya plak pada arteri koroner SKA akan memberikan gambaran gejala angina pektoris tidak stabil dan bahkan infark miokrad akut, baik dengan elevasi segmen-ST maupun tanpa elevasi segmen ST, melalui trombosis yang berbentuk akibat agregasi trombosit yang menyebabkan oklusi menjadi semakin parah, sehingga plak yang tidak stabil dianggap sebagai penyebab utama pada perjalanan terjadinya SKA.4

Kejadian Major Adverse Cardiac Events (MACE) terdiri atas kematian kardiovaskular dan non kardiovaskular, infark miokard berulang, stroke, serta intervensi koroner perkutan berulang di rumah sakit. Sedangkan menurut data dari intensive care unit rumah sakit Cipto Mangunkusumo didapati angka mortalitas pasien SKA selama perawatan di rumah sakit pada tahun 2010 sebesar 17,5%.5. Walaupun laju mortalitas pada pasien SKA mengalami penurunan, masih banyak ditemukan angka kematian dalam 48 jam awal perawatan pada fase akut.6 Walaupun pasien SKA telah mendapat terapi preventif yang agresif dalam rangka mencegah terjadinya MACE, masih sering ditemukan komplikasi MACE pada pasien SKA. Sehingga sangat dibutuhkan penilaian prediksi awal terjadinya


(13)

komplikasi MACE pada pasien SKA agar dapat menekan terjadinya MACE pada pasien SKA.7

Penilaian faktor risiko terjadinya MACE pada pasien SKA sangat penting, untuk membedakan pasien yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi dan risiko rendah, sehingga penanganan yang lebih intensif dapat dilakukan untuk menekan terjadinya MACE. Untuk itu faktor-faktor risiko harus terus dicari, untuk membantu dalam penilaian prognosis pada pasien SKA.7,8 Rendahnya nilai hemoglobin dan tingginya hitung leukosit sangat menarik untuk dibahas, karena kedua hal ini merupakan unsur hematologi yang cukup sering diperiksa ketika admisi pasien, belum lagi biaya pemeriksaan yang tidak terlalu mahal serta keberadaan kedua pemeriksaan ini yang mudah bahkan dapat dilakukan di bagian emergensi sekalipun, yang akan menjadikan kedua jenis pemeriksaan ini sebagai penanda yang efisien dan efektif.

Anemia telah disebut-sebut dapat memperburuk keadaan pasien SKA. Ennezat dkk, dalam studinya menemukan bahwa anemia dapat memberikan informasi prognostik tambahan yang independen pada GRACE score dengan

Hazard Ratio (HR) 3,008, 95% confidence interval (CI) (2,137-4,234). Mereka bahkan mendapatkan nilai prediktif yang lebih halus dengan menggabungkan anemia dengan GRACE score.9 Correin dkk, dalam studinya juga menemukan bahwa nilai hemoglobin secara independen dapat digunakan sebagai faktor prediktor terhadap terjadinya MACE, bahkan nilai nilai hemoglobin dapat digunakan sebagai prediktor independen terhadap kejadian MACE pada pasien SKA dengan Odd Ratio (OR) 3,9 (95% IK 1,2-1,3).10

Beberapa penelitian menghubungkan leukositosis dengan adverse cardiac events ataupun angka kematian yang terjadi pada jangka panjang maupun jangka pendek. Furman dkk, menemukan pada studinya peningkatan jumlah leukosit yang signifikan, yang menunjukkan korelasi dengan kejadian MACE serta hitung leukosit dapat digunakan sebagai prediktor independen untuk terjadinya MACE pada pasien SKA dengan OR 2,8 (95% IK, 2,1-3,6).11

Kedua faktor di atas sangat layak untuk dipertimbangkan dalam penilaian risiko terjadinya MACE pada pasien SKA. Sehingga diperlukan pembuktian kemampuan kedua faktor ini dalam memprediksi terjadinya MACE. Sehingga


(14)

3

dapat membantu dalam pengambilan keputusan dalam penatalaksanaan SKA, karena penatalaksanaan SKA sudah seharusnya dilakukan dengan berdasar pada setimasi terjadinya MACE untuk menekan terjadinya MACE, tanpa adanya underestimation ataupun overestimation pada penilaian pasisen SKA. Oleh karena itu penelitian ini dianggap penting untuk dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai kemampuan leukositosis dan anemia sebagai faktor prediktor independen terhadap terjadinya MACE.

1.2.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah

1. Berapakah proporsi kejadian MACE selama perawatan pada pasien SKA di intensive coronary care unit (ICCU) Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo ?

2. Apakah anemia dan leukositosis memiliki nilai prediksi terhadap terjadinya MACE selama perawatan pada pasien SKA di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo?

1.3.

Hipotesis

Leukositosis dan anemia memiliki nilai prediksi terhadap tejadinya MACE pada pasien SKA di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo.

1.4.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan apakah anemia dan leukositosis dapat menjadi faktor prediktor terhadap terjadinya MACE pada pasien SKA selama perawatan di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo.

2. Mendapatkan proporsi kejadian MACE pada pasien SKA selama perawatan di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Ilmiah

Dengan diketahuinya data faktor-faktor risiko terjadinya major adverse cardiac events selama 30 hari pada pasien SKA, faktor risiko tersebut dapat digunakan sebagai acuan penelitian lanjutan.


(15)

1.5.2 Manfaat Aplikatif

Dengan mengetahui faktor-faktor prediktor terjadinya MACE selama 30 hari pada pasien SKA, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan identifikasi dan stratifikasi pasien SKA yang berisiko terjadinya MACE selama 30 hari oleh para petugas medis, sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang lebih adekuat guna menekan terjadinya MACE.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Sindrom Koroner Akut

2.1.1.1. Patogenesis Sindrom Koroner Akut

Sindrom koroner akut (SKA) adalah manifestasi klinis dari fase kritis penyakit arteri koroner. Kata-kata sindrom koroner akut kini lebih menggambarkan fase akut dari penyakit iskemi koroner dengan atau tanpa adanya infark miokard. 12 SKA merupakan kondisi yang mengancam nyawa, dahulu 38% dari pasien yang pemah mengalami SKA akan mengalami kematian sebagai akibat dari SKA, namun kini presentasi ini sudah sangat menurun secara drastis karena semakin majunya metode terapi dan preventif. Sindrom ini memiliki susunan mulai dari angina pektonis dengan pola tidak stabil hingga infark miokard akut. Semua SKA menunjukkan mekanisme patofisiologi inisial yang umum. Lebih dan 90% Sindrom Koroner Akut merupakan akibat dari disrupsi plak aterosklerotik yang akan berujung pada agregasi platelet dan terbentuknya trombus. Trombus akan membentuk region plak yang akan menyebabkan oklusi menjadi bertambah parah atau menjadi sumbatan total. Akibat sumbatan ini aliran darah akan berkurang yang akan menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung dan suplainya, inilah awal dari nyeri dada yang dialami pasien. SKA dalam manifestasi klinisnya akan sangat bergantung pada derajat oklusi aliran darah koroner yang terjadi. Bila oklusi belum total, maka sebagian lesi ini akan menyebabkan manifestasi klinis berupa angina pektoris tidak stabil (APTS) dan infark miokard tanpa elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tersebut sudah menyumbat secara penuh maka yang akan tampak adalah manifestasi klinis berupa infark miokard dengan elevasi segmen ST, yang disebabkan oleh iskemik yang bertambah berat dan terdapatnya lebih banyak nekrosis. Trombus pada Sindrom Kononer Akut disebabkan oleh interaksi plak aterosklerotik, endotel arteri koroner, platelet yang berada di sirkulasi, tonus vasomotor dinding pembuluh.13 Pada keadaan di klinik kita akan menggunakan “Sindrom Koroner Akut” sebagai diagnosis kerja dan setelah mendapatkan hasil


(17)

dari pemeriksaan penunjang seperti Elektro Kardio Gram (EKG) dan hasil pemeriksaan berbagai faktor yang mungkin saja meningkat pada pasien dengan sindrom koroner akut maka kita gunakan diagnosis yang lebih spesifik. Berikut bagan untuk penegakan diagnosis sindrom koroner akut:

Gambar 2.1 Bagan Diagnosis.12

Gambar 2.1 menggambarkan kedatangan pasien dengan keluhan nyeri dada tipikal, lalu klinisi akan mendiagnosis gejala tersebut sebagai SKA. Untuk memastikannya maka akan dilakukan EKG, dan dilihat apakah ada perubahan pada segmen ST, berupa elevasi atau tidak. Bila terdapat elevasi pada segmen ST maka diagnosis kerja adalah IMA dg Elevasi Segmen ST. Sedangkan bila tidak terdapat elevasi segmen ST pada gambaran EKG maka dilihat apakah terdapat peningkatan enzim jantung. Bila terjadi peningkatan enzim jantung, maka diagnosis kerja adalah IMA tanpa elevasi segmen ST. Bila tidak terjadi penigkatan, maka diagnosis kerjanya adalah angina pektoris tidak stabil.12

2.1.1.2 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

Infark miokard (baik dengan elevasi segmen-ST maupun tanpa elevasi segmen-ST) akan terjadi ketika iskemik yang terjadi pada miokard cukup parah sehingga dapat menyebabkan nekrosis pada miosit. Walaupun pada dasarnya, secara definisi, angina pektoris tidak stabil (APTS) tidak secara langsung menghasilkan nekrosis, namun infark miokard dapat saja terjadi bila patofisiologi yang paling mendasar dari APTS tersebut tidak diatasi dengan baik. Kita mengenal infark transmural dan infark subendokardial, dimana infark transmural berarti terjadinya nekrosis pada seluruh ketebalan miokard, yang merupakan


(18)

7

akibat oklusi pada arteri di epikardiun, sedangkan infark subendokardial terjadi pada bagian yang lebih dalam lagi, di dekat endokardium.13

Pada dasarnya infark yang terjadi merupakan gambaran puncak dari urutan kejadian yang diawali oleh iskemik, yang berawal dari trauma sel yang yang reversibel menjadi kematian sel yang ireversibel. Daerah miokard yang diperdarahi langsung oleh arteri koroner yang terjadi oklusi akan mengalami nekrosis dengan cepat, sedangkan jaringan disekitarnya tidak akan langsung mengalami nekrosis secara langsung karena masih cukupnya suplai darah dan pembuluh tetapnya. Walaupun begitu jaringan disekitar infark lama-kelamaan akan mengalami peningkatan iskemik, karena peningkatan kebutuhan oksigen yang tidak diimbangi oleh kemampuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tersebut akibat adanya oklusi pada pembuluh arteri koroner yang mengalami oklusi. Terdapat lima hal yang memengaruhi jumlah jaringan yang mati akibat infark:

a. massa dari miokard yang diperdarahi arteri koroner yang mengalami oklusi tersebut,

b. durasi dan banyaknya aliran darah arteri koroner yang terganggu, c. kebutuhan oksigen dan daerah yang terpengaruhi,

d. kemampuan adekuasi dan pembuluh kolateral,

e. derajat respon dan jaringan yang memodifikasi proses iskemik.13

2.1.1.3 Patogenesis Trombosis Koroner

Pada kedaan normal, tendapat mekanisme protektif yang mencegah terjadinya trombosis dan oklusi pada pembuluh darah yang sehat. Namun, kelainan yang berhubungan dengan lesi aterosklerotik mungkin akan mempengaruhi defens tersebut sehingga dapat menyebabkan oklusi pembuluh. Aterosklerosis benkontribusi terhadap pembentukan trombus ini melalui 1) ruptur plak yang menyebabkan tereksposnya substansi trombogenik, 2) disfungsi endotel yang menurunkan atau bahkan menghilangkan mekanisme protektif antithrombotik normal dan properti-properti vasodilator.13

Ruptur plak aterosklerotik adalah penyebab utama pemicu trombosis koroner. Penyebab utama disrupsi plak ialah 1) faktor-faktor kimiawi yang menyebabkan destabilisasi lesi aterosklerotik, dan 2) stress fisik pada lesi. Plak


(19)

aterosklerotik adalah plak yang terdiri dari inti lipid yang dikelilingi oleh fibrous external cap. Substansi-substansi kimiawi yang berasal dari sel-sel inflamasi diantara plak dapat membahayakan integritas dari fibrous cap tersebut. Sebagai contoh limfosit T akan mengelaborasi interferon gama yang dapat menginhibisi sintesis kolagen oleh otot polos, akibatnya kekuatan dari cap tesebut akan tenganggu. Selain itu lesi ateroslerotik juga menghasilkan enzim (seperti metalloproteinase) yang adapat menghancurkan matriks intersitisial, yang memainkan peran penting pada stabilitas plak. Melemahnya cap yang tipis ini

merupakan bagian yang mudah untuk ruptur (terutama pada bagian “shoulder”,

yaitu bagian yang berbatasan langsung dengan dinding arteri yang normal) baik secara spontan ataupun tekanan fisik, seperti tekanan darah intraluminal dan torsi dari detak miokard.13

2.1.2. Leukositosis

Leukositosis dapat digambarkan sebagai hitung leukosit lebih besar dari 11000/mm3. Peningkatan jumlah sel darah merupakan respon nosrmal dari sumsum tulang terhadap infeksi atau proses inflamasi. Namun terkadang leukositosis menggambarkan kelainan pada sumsum tulang. Penyebab leukositosis dapat dibagi menjadi

a. Leukositosis dengan sumsum tulang normal, pada kasus ini leukositosis diakibatkan oleh reaksi normal terhadap inflamasi ataupun infeksi. Pada keadaan in kebanyakan sel adalah leukosit polimorfonuklear. Selain infeksi dapat pula muncul akibat stres emosional, pengobatan tertentu, splenektomi, keganasan, anemia hemolitik,dll. Eosinofilia ialah peningkatan eosinofil yang biasa terjadi pada keganasan limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin serta penyakit imunologis seperti rheumatoid arthritis, alergi, infeksi parasit, dll. Basofilia merupakan peningkatan basofil yang biasa terjadi pada reaksi alergi. Limfositosis merupakan peningkatan limfosit yang biasanya diakibatkan oleh infeksi virus, infeksi kronik,kelainan jaringan ikat.

b. Leukositosis dengan kelainan sumsum tulang primer, seperti yang terjadi pada leukemia dan kelainan myeloploriveratif.14


(20)

9

2.1.3. Anemia

Anemia dikarakteristikkan dengan penurunan massa sel darah merah. Anemia secara khas akan berhubungan dengan penurunan kapasitas hantaran oksigen oleh darah., oleh karena itu anemia biasa dilihat dari konsentrasi hemoglobin(Laki-laki <13 mg/dl pada laki-laki dan <12mg/dl). Anemia sendiri dapat menyebabkan gejala dari hipoksia (seperti: lelah, sesak saat beraktivitas). Manifestasi lain juga dapat muncul akibat kompensasi tubuh terhadap hantaran oksigen yang berkurang (seperti: hiperventilasi, takikardia, peningkatan faktor transkripsi(HIF1)). Namun kunci dari manifestasi klinis anemia ialah hipoksia jaringan dan kompensasi tubuh terhadapnya seperti peningkatan aktivitas jantung dan peningkatan frekuensi napas serta vasokonstriksi pembuluh arteri ginjal dan kulit.15

2.1.3. Major Adverse Cardiac Events Pada Sindrom Koroner Akut

Major adverse cardiac events (MACE) merupakan end point yang paling sering digunakan didalam penelitian kardiovaskular. Kata MACE pertama kali muncul pada pertengahan 1990, waktu itu kata MACE digunakan secara terbatas hanya pada komplikasi selama perawatan yang berkaitan dengan intervensi koroner perkutaneous. Sekarang definisi MACE secara rutin digunakan dan dilaporkan untuk melaporkan evaluasi keluaran saat prosedural, jangka pendek, dan jangka panjang atau mungkin selama terapi. Secara harfiah MACE adalah end point yang didalamnya terdapat beberapa tipe kejadian klinis dengan berbagai derajat serta keterkaitan.16 Pada studi randomisasi yang ada, angka mortalitas jangka pendek pada pasien SKA yang telah mendapatkan terapi farmakologi yang agresif adalah berkisar 6,5-7,5% dimana berdasarkan data observasional didapatkan presentasi mortalitas pasien SKA di komunitas ialah 15-20%. Major adverse cardiac event merupakan hasil endpoint yang terdiri dan kematian oleh sebab apapun, infark miokard berulang, tindakan intervensi perkutaneus kononer berulang dikarenakan adanya gejala, dan stroke yang dialami pasien setelah mengalami onset SKA.17


(21)

2.1.3.1 Definisi Kematian Kardiovaskular

Kematian kardiovaskular meliputi kematian yang berasal dari infark miokard akut, kematian jantung tiba-tiba, kematian akibat gagal jantung, kematian akibat stroke, dan kematian akibat penyebab kardiovaskular lainnya.

a. Kematian akibat Infark miokard akut merujuk pada kematian oleh berbagai mekanisme (aritmia, gagal jantung, low output) selama 30 hari setelah onset IMA. Kematian yang terjadi berhubungan dengan konsekuensi imediet dan IMA, seperti gagal jantung kongesti, cardiac output yang tidak adekuat, atau aritmia yang sulit diatasi. Bila kejadian ini terjadi setelah “break”, kejadian ini menjadi bagian dan sebab

imediet.

Kematian yang diakibatkan dan prosedur intervensi koroner perkutaneus atau untuk penatalaksanaan terhadap komplikasi dan IMA juga harus dipertimbangkan sebagai kematian akibat IMA.

Kematian akibat prosedur dalam penatalaksanaan angina atau kematian akibat infark miokard yang terjadi sebagai akibat langsung dari investigasi, prosedur atau operasi harus dipertimbangkan sebagai kematian akibat sebab kardiovaskular.

b. Sudden cardiac death merujuk pada kematian yang tidak terduga, yang tidak mengikuti IMA dan termasuk kematian berikut:

a. Kematian disaksikan dan seketika tanpa adanya perburukan gejala atau gejala baru.

b. Kematian yang disaksikan diantara 60 menit dari onset perburukan gejala atu adanya gejala baru, kecuali gejala merujuk pada IMA c. Kematian yang disaksikan dan dihubungkan dengan aritmia d. Kematian setelah resusitasi cardiac arrest yang gagal

e. Kematian setelah resusitasi dan cardiac arrest yang berhasil dan tanpa adanya sebab nonkardiovaskular

f. Kematian yang tidak disaksikan tanpa sebab kematian lain

c. Kematian akibat gagal jantung atau syok kardiogenik merujuk pada kematian yang terjadi dalam konteks perburukan gejala klinis atau


(22)

11

adanya tanda gagal jantung tanpa adanya penyebab lain kematian dan tidak ada tanda diikuti IMA.

d. Kematian akibat Stroke merujuk pada kematian yang terjadi 30 hari setelah stroke atau stroke atau yang diakibatkan oleh komplikasi stroke.

e. Kematian akibat penyebab kardiovaskular lain merujuk pada kematian kardiovaskular yang tidak termasuk kategori di atas (seperti: disritmia, emboli paru, intervensi kardiovaskular, aneurisma aorta, dll).18

2.1.3.2.Kematian Non-kardiovaskular

Kematian non-kardiovaskular digambarkan sebagai kematian yang tidak terpikirkan untuk diakibatkan oleh seba kardiovaskular. Berikut daftar kematian non-kardiovaskular:

 Penyebab Non-malignan

o Paru o Ginjal

o Gastrointestinal o Hepatobiliari o Pankreatik

o Infeksi (termasuk sepsis)

o Non-infeksi (systemic inflammatory response syndrome(SIRS)) o Hemoragik, bukan intrakranial

o Kegagalan sistem organ selain kardiovaskular (contoh: gagal hati,

gagal ginjal)

o Bedah non-kardiovaskular o Kecelakaan atau trauma o Bunuh diri

o Overdosis obat

 Sebab Malignan

o Kematian akibat kanker langsung atau


(23)

o Kematian akibat penarika semua terapi.18 2.1.2.3 Kematian yang tidak terdefinisikan

Kematian yang tidak dapat ditentukan penyebabnya adalah kematian yang tidak dapat, dikategorikan kematian kardiovaskular dan kematian non-kardiovaskular. Hal ini mungkin terjadi akibat kurangnya infromasi.18

2.1.3.4. Stroke

Stroke didefinisikan sebagai episode akut dan disfungsi neurologis yang disebabkan oleh injuri vaskular fokal ataupun global pada otak, korda spina, atau retinal. Stroke dapat dklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu: stroke iskemik yang diakibatkan oleh adanya area infark pada sistem saraf pusat; stroke hemoragik yang diakibatkan oleh hemoragik pada subaraknoid, intraventrikular ataupun intraparenkimal; dan stroke yang tidak diketahui sebabnya yang mungkin diakibatkan oleh kurangnya informasi untuk menegakkan diagnosis stroke iskemik ataupun stroke hemoragik.18

2.1.3.5. Intervensi koroner perkutan berulang

Prosedur revaskularisasi koroner merupakan prosedur yang menggunakan kateter untuk memperbaiki aliran darah miokardial. Peralatan kateterisasi (balloon catheter, cutting balloons, atherectomy devices, lasers, bare metal stent, dan drug-eluting stents) digunakan untuk memperbaiki aliran darah miokardial dengan rneningkatkan area luminal pada daerah lesi koroner yang mengalami obstruksi. Tindakan prosedur intervensi koroner perkutaneus berulang harus dilakukan pada pasien dengan perburukan gejala angina.18

2.1.4. Faktor prediktor terjadinya Major Adverse Cardiac Events

Terdapat beberapa faktor prediktor terhadap terjadinya major adverse cardiac events seperti usia tua >65tahun dengan OR 3,70 (95%IK, 2,51-5,44) pada pasien usia 65-74 tahun dan terus meningkat seiring bertambah usia tua19; Jenis kelamin perempuan juga memberikan risiko terhadap kejadian MACE, dengan OR 1,90 (95%IK, 1,60-2,26)20; riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner juga meningkatkan risiko, dengan HR 1,41p=0,00921; Gula darah pada admisi >130,5mg/dl meningkatkan risiko, dengan OR 2,61 (95%IK 1,11-6,10)22; Hiperurisemia saat admisi meningkatkan risiko dengan RR 3,3(95%IK,


(24)

1,02-13

10,64) dan OR3,76 pada short term mortality23 ; tekanan darah sistolik yang rendah setiap turun 20mmHg meningkatkan risiko terjadinya MACE denga OR 1,35(1,27-1,45); frekuensi jantung yang tinggi akan meningkatkan risiko setiap 30x/menit dengan OR 1,20(1,10-1,40); peningkatan enzim jantung saat admisi juga meningkatkan risiko terjadinya MACE dengan OR 1,50(1,26-1,90); peningkatan kadar kreatinin serum admisi setiap 1mg/dl juga memberikan risiko dengan OR 1,23(1,14-1,34); gambaran deviasi segmen ST pada admisi juga meningkatkan risiko dengan OR 1,80(1,33-2,40); Nilai Kelas Killip yang cenderung tinggi juga akan menigkatkan risiko MACE setiap naik satu kelas dengan OR 1,97(1,76-2,23).7

2.1.4.1. Hitung Leukosit

Belakangan ini telah banyak pembuktian yang menyatakan keterlibatan inflamasi pada perkembangan atherosklerosis dan perkembangan pathogenesis trombosis koroner. Telah banyak penelitian yang menghubungkan antara kadar jumlah sel darah putih ini dengan adverse cardiac events ataupun meningkatnya angka kematian yang akan terjadi baik pada jangka panjang maupun jangka pendek.24,25 Julio Nunez dkk, melakukan penelitian terhadap 1118 pasien yang masuk rumah sakit dengan diagnosis infark miokard akut, 569 pasien IMA tanpa elevasi ST dan 549 dengan IMA ST elevasi. Mereka mengukur kadar jumlah sel darah putih 24 jam setelah masuk rumah sakit, dan membaginya menjadi 3 grup: WBC1 (kadarnya <10x103 sel/mL), WBC2 (kadarnya, l0-14,9x 103 sel/mL), WBC3 (kadarnya, >14,9x 103 sel/mL). Lalu mereka mengikuti pasien-pasien itu selama 8-12bulan, hingga mereka dapatkan bahwa kadar jumlah sel darah putih dapat digunakan sebagai faktor prediktor MACE. Pada penelitian tersebut Julio Nunez dkk mendapatkan pada longterm mortality terdapat total angka kematian 214 pasien (19,9%); 105 (18,5%) pasien pada pasien IMA tanpa elevasi ST dan 109 (19,9%) pasien pada pasien IMA dengan elevasi ST. Pada analisis bivariat mereka pun membuktikan terjadi peningkatan mortalitas yang proporsional antara kelompok WBC pada setiap tipe IMA baik pada kematian jangka pendek maupun jangka panjang. Mereka juga menernukan hazard ratio(HR) pada grup WBC3 dan WBC2 dibandingkan WBC1 pada pasien IMA tanpa elevasi segmen ST adalah


(25)

2,07 (1,08-3,94; p=.027) dan 1,61 (95%IK 1,03-2,51; p=0,036). Sedangkan perbandingan pada IMA dengan elevasi ST 2,07 and 2,22 (95%IK 1,35-3,63;p=0,002). Dari analisis Kaplan-Meier terdapat juga pemisahan pada kelompok-kelompok WBC. Pada IMA tanpa elevasi ST menunjukkan faktor risiki kematian kadar jumlah sel darah putih dimulai dari 10x103 sel/mL sedangkan pada IMA dengan elevasi ST risiko kematiannya dimulai dari diatas 10x103 sel/mL.26

Gambar2.2 Kurva survival Kaplan-Meier pada pasien STEMI dan non- STEMI berdasarkan kategori kelompok jumlah sel darah putih.26

Pada gambar kurva diatas menunjukkan bahwa kadar jumlah sel darah putih pada beberapa jam awal pada pasien IMA adalah prediktor mortalitas jangka panjang. Peningkatan kadar jumlah sel darah putih pada pasien juga dapat dihubungkan dengan meningkatnya insidensi dan komplikasi yang mengikuti AMI, seperti gagal jantung dan mortalitas, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Beberapa mekanisme dapat menjelaskan hal ini, seperti resistensi terhadap obat trombolitik karena perubahan mikrosirkulasi, hiperkoagulabilitas yang meningkat, fenomena no-reflow akibat leukosit, kardiotoksisitas indirek yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi, meningkatnya daerah cedera iskemia-reperfusi, ekspansi infark miokard akut. Berkenaan dengan poin terakhir ini, harus kita ingat bahwa respon leukosit setelah IMA adalah titik inti respon reparative


(26)

15

inflamation yang diinisiasi untuk menggantikan jaringan nekrosis dengan jaringan parut. Semakin besar luas wilayah infark, maka semakin tinggi kadar jumlah sel darah putih.26

Furman MI dkk juga menemukan bahwa pada pasien sindrom koroner akut kadar hitung leukosit dapat digunakan sebagai faktor prediktor kematian di rumah sakit dan perkembangannya menjadi gagal jantung. Mereka menghubungkan antara kadar hitung leukosit saat masuk rumah sakit dengan mortalitas di rumah sakit dan gagal jantung pada 8269 pasien yang didiagnosis sindrorn koroner akut. Hubungan ini diperiksa secara terpisah pada pasien IMA dengan elevasi ST dan IMA tanpa elevasi ST dan angina pectoris tidak stabil. Mereka membagi sampel mejadi 4 grup Q: Q1<6.000, Q2= 6.000-9.999, Q3=10.000-11.999, Q4= >11.999. Akhimya mereka menemukan bahwa peningkatan hitung leukosit berhubungan secara signifikan dengan angka kematian di rumah sakit odds ratio (OR) 2.8, (95%IK 2.1-3.6) untuk Q4 dibandingkan Q2 pada pasien dengan sindrom koroner akut. Hubungan ini terlihat pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST dengan OR kematian di rumah sakit 3.2, (95%IK 2.1-4.7); OR untuk gagal jantung 2.4 (95%IK 1.8-3.3). Sedangkan pada IMA tanpa elevasi segmen ST OR untuk kematian di rumah sakit 1.9 (95%IK 1.2-3.0); OR untuk gagal jantung 1.7, (95%IK 1.1-2.5). Sedangkan pada angina pektoris tidak stabil OR untuk kematian di rumah sakit 2.8 (95%IK 1.4— 5.5); OR untuk gagal jantung 2.0, (95%IK 0.9-4.4).11

2.1.4.2. Nilai Hemoglobin

Rendahnya nilai hemoglobin telah dijadikan faktor prediktor independen akan terjadinya rekurensi pada sindrom koroner akut, walaupun nilai hemoglobin yang rendah tidak dimasukkan dalam penilaian risiko pada pasien SKA. Beberapa mekanisme mungkin dapat menjelaskan nilai prediktif dari rendahnya nilai hemoglobin yang mungkin dapat menjadi faktor predisposisi terhadap terjadinya

reccurent event atau hanya sebagai penanda risiko. Rendahnya nilai hemoglobin akan memperparah iskemia dengan meningkatkan kesenjangan antara kebutuhan dan suplai terhadap oksigen jaringan. Sebagai faktor risiko, anemia dapat dihubungkan dengan berbagai faktor risiko lainya seperti penuaan atau disfungsi


(27)

ginjal, rendahnya hemoglobin sebagai prediktor terjadinya pendarahan, yang juga merupakan faktor prediktor terjadinya rekurensi pada pasien sindrom koroner akut.10

Pada penelitian Pierre Vladimir Ennezat dkk, mereka menemukan adanya hubungan antara pasien usia tua, perempuan, diabetes mellitus, riwayat penyakit jantung koroner, hipertensi dengan anemia pada saat masuk rumah sakit. Dan mereka menemukan bahwa pada pasien yang anemia sering terjadi pada pasien infark miokard tanpa ST-elevasi. Pada pasien infark miokard dengan anemia lebih sering mengalami gangguan ginjal, dengan tanda penurunan GFR serta pasien dengan anemia memiliki nilai GRACE yang lebih tinggi dibanding yang tidak. Mereka juga menemukan pada 1064 pasien infark miokard yang mereka follow up

selama enam bulan, sejak mulai masuk rumah sakit, terjadi 132 angka terjadinya MACE termasuk diantaranya kematian, sejumlah 68 kematian. Dan kebanyakan diantaranya adalah pasien dengan anemia dibanding dengan yang tanpa anemia (HR 3,008 ,95%IK 2.137-4.234; p<0.0001).9

Gambar 2.3 Kurva survival Kaplan-Meier menurut adanya anemia pada pasien infark miokard. 9

Pada kurva Kaplan-Meier tersebut, data anemia sendiri tanpa dihubungkan dengan GRACE didapatkan angka survival yang lebih rendah pada pasien infark miokard dengan anemia dibanding dengan yang tanpa anemia. Pada pasien infark miokard dengan anemia terjadi ketidakmampuan perfusi oksigen yang cukup pada


(28)

17

bagian perifer tubuh, bahkan pada lokasi jantung yang infark, sehingga hal ini akan menyebabkan semakin luasnya area infark, hipotensi serta anemia.9

Gambar 2.4 insiden kumulatif kejadian pada pasien yang diklasifikasikan dengan GRACE yang ditambah dengan anemia. A) pasien risiko rendah menurut skor GRACE(risiko<5%); B) pasien risiko sedang menurut skor GRACE (risiko 5-10%); C) pasien risiko tinggi menurut skor GRACE (risiko >10%). 9

GRACE score risiko > 10% dapat dilihat dari data di atas, anemia berhubungan 3 kali lipat dengan peningkatan risiko kematian infark miokard pada follow up selama enam bulan. Anemia dapat memberikan data tambahan bagi GRACE score, guna mempertajam penilaiannya. 9


(29)

(30)

19

2.3. Kerangka Konsep dan Definisi Operasional

2.3.1 Kerangka Konsep

2.3.2. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Pengukuran Skala

Sindrom Koroner Akut (SKA)

Spektrum sindrom klinis yang disebabkan sumbatan

mendadak pada arteri

koroner akibat ruptur plak aterosklerosis.

 Sesuai tertulis dalam rekam medis

 Diagnosis dibagi menjadi STEMI,

NSTEMI dan UAP berdasar

anamnesis, EKG dan Pemeriksaan enzim.

Infark miokard akut dengan elevasi

ST segmen (ST elevation

myocardial infarction = STEMI) Anamnesis: keluhan nyeri dada khas

EKG : Elevasi ST Segmen Lab: kenaikan enzim jantung

Infark miokard akut tanpa elevasi ST Segmen (Non ST elevation mycordial infarction = STEMI) Anamnesis : keluhan nyeri dada khas

EKG : non elevasi ST Segmen Lab : kenaiknan enzim jantung

 Angina Pektoris tak stabil (unstable angina pectoris = UAP).

Anamnesis: Keluhan nyeri dada khas


(31)

EKG: non elevasi ST segmen ST

Lab: tanpa kenaikan enzim

jantung.11

Major Adverse

Cardiac Event

(MACE)

Kejadian komplikasi

kardiovaskular berupa

infark miokard berulang, kematian kardiovaskular

dan nonkardiovaskular,

stroke, revaskularisasi

intervensi koroner

percutaneous ulang dalam

perawatab yang sama,

tindakan segera coronary

artery bypass graft

(CABG) selama perawatan

di ICCU RSCM.18

Sesuai tertulis dalam rekam medis Nominal

Nilai hemoglobin Jumlah hemoglobin dalam darah

Pemeriksaan laboratorium sesuai tertulis dalam rekam medis

Normal : nilai hemoglobin bila ≥13 mg/dl pada laki-laki dan ≥ 12mg/dl pada perempuan

Menurun : nilai hemoglobin bila <13 mg/dl pada laki-laki dan 12<mg/dl pada perempuan.27

Ordinal

Hitung leukosit Hitung leukosit dalam satu unit volume darah, setelah darah didilusi dan eritrosit dilisiskan

Pemeriksaan laboratorium Sesuai tertulis dalam rekam medis Normal: hitung leukosit bila 4-10 x 103/mm3

Leukositosis: hitung leukosit bila

≥11 x 103/mm3. 17


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif berbasis penelitian prognostik, untuk menentukan kemampuan prediksi parameter laboratorium, berupa hitung leukosit dan nilai hemoglobin, dalam memprediksi kejadian Major Adverse Cardiac Events pada pasien sindrom koroner akut. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari ICCU RSCM.

3. 2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder (rekam medis) pasien yang menjalani perawatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2014 - April 2014. Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi. Pemilihan sampel dengan cara probability sampling berupa consecutive sampling.

3.3. Populasi dan Subjek penelitian

Populasi target penelitian adalah pasien dengan sindrom koroner akut. Populasi terjangkau adalah pasien sindrom koroner akut yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2012 - Desember 2013. Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Perkiraan besar sampel minimal pada penelitian prognostik dengan analisis berjenjang dihitung menggunakan rumus besar sampel rule of thumbs, yaitu mengalikan jumlah variabel bebas dan tiap-tiap instrumen dengan angka 10 untuk menentukan jumlah luaran (Major Adverse Cardiac Events) yang diperlukan, berikut rumus besar sampelnya:

N = (10 x VB) p

N = Besar sampel

VB = Jumlah variabel bebas yang diteliti p = Prevalensi MACE pada pasien SKA


(33)

Pada penelitian ini akan diteliti 2 variabel prognostik yaitu nilai hemoglobin dan hitung leukosit. Pada studi sebelumnya diketahui prevalensi kejadian Major Adverse Cardiac Events pada pasien sindrom koroner akut adalah sebesar 4,6 % sehingga besar sampel yang dibutuhkan adalah 434 subjek.

3.5. Teknik Pemilihan Sampel

Teknik pengambilan sampel dengan cara non-probability sampling berupa

consecutive sampling dari tahun yang datanya paling aktual yaitu tahun 2013 dimulai dari data bulan Desember retrospektif ke belakang hingga bulan Januari 2012.

3.6. Kriteria inklusi dan Eksklusi Subjek Penelitian

3.6.1. Kriteria Inklusi

 Pasien dengan sindrom koroner akut yang dirawat di ICCU RSCM dari Januari 2012 - Desember 2013 yang memiliki data lengkap, terutama nilai hemoglobin dan hitung leukosit.

3.6.2 Kriteria Eksklusi

 Pasien sindrom koroner akut yang dirawat di ICCU RSCM pada tahun 2012-2013 yang rekam medisnya tidak terdapat data keterangan MACE, nilai hemoglobin dan hitung leukosit.

 Pasien SKA yang dirawat kembali di ICCU RSCM.

3.7. Cara Kerja Penelitian

Pengumpulan data sekunder berdasarkan dan rekaman catatan medis yang tersedia dan mencakup:

1. Data dasar pasien termasuk alamat lengkap dan nomor telepon yang bisa dihubungi

2. Anamnesis meliputi riwayat nyeri dada khas,

3. Pemeriksaan fisik meliputi kesadaran, tanda vital, berat badan, tekanan vena jugularis, jantung, pemeriksaan fisik abdomen dan ekstremitas. 4. Pemeriksaan laboratorium meliputi hematologi yaitu hemoglobin dan

leukosit,

5. Sampling dilakukan dengan mengambil data rekam medis pasien sindrom koroner akut dimulai dari Desember 2013 retrospektif ke belakang sampai


(34)

23

tercapai jumlah sampel yang diinginkan. Dari data tersebut kemudian keadaan pasien diikuti selama perawatan di rumah sakit untuk diketahui keluarannya (Major Adverse Cardiac Events) melalui registri data rekam medis, hasil – hasil yang didapat kemudian dicatat dan selanjutnya dilakukan analisis data.

3.8

Alur Penelitian

3.9. Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil peneltian dicatat dalam formulir penelitian yang telah diuji coba terlebih dahulu. Setelah editing mengenai kelengkapan pengisian formulir penelitian, data ini dikoding untuk selanjutnya direkam dalam komputer. Proses validasi data dilakukan untuk menjamin keabsahan data yang direkam dan selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Perhitungan nilai rata-rata hitung dan sebaran baku dilakukan untuk data yang bersifat kuantitatif, sekaligus dihitung rentangan nilainya menurut 95% interval kepercayaan (confidence interval).


(35)

Untuk menemukan sensitivitas, spesifisitas. nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif digunakan analisis dengan tabel 2x2, analisis bivariat dilakukan antara masing-masing variabel dengan kejadian major adverse cardiac events dengan analisis Chi-Square disertai dengan perhitungan relative risk (RR) dan interval kepercayaanya 95%.


(36)

BAB IV

Hasil dan Pembahasan

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Pada karakteristik dasar penelitian ini didapatkan 467 subjek penelitian terdiagnosis SKA, dengan diagnosis STEMI 127 (27,2%) subjek, NSTEMI 131 (28,1%) subjek, UAP 209 (44,8%) subjek, subjek berjenis kelamin perempuan berjumlah 155 (33,2%) subjek, 148 (31,7%) subjek berusia ≥65 tahun 134 subjek dengan tekanan darah sistolik ≤135 .

Tabel 4.1 Tabel Karakteristik Dasar

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Jenis Kelamin

Perempuan 155 33,2

Laki-laki 312 66,8

Kelompok Usia

≥65 148 31,7

<65 319 68,3

Pulsasi

≥80 213 45,6

<80 254 54,4

Tekanan Darah

≤135 334 71,5

>135 133 28,5

Riwayat Keluarga Penyakit Jantung Koroner

Ada 67 14,3

Tidak Ada 394 84,2

Tanpa Keterangan 7 1,5

Leukosit

Leukositosis 242 51,8

Normal 225 48,2

Hb

Anemia 151 32,3

Normal 316 67,7

Sindrom Koroner Akut

STEMI 127 27,2

NSTEMI 131 28,1

UAP 209 44,8

MACE

Ya 54 11,6

Tidak 413 88,4


(37)

Pada sebaran data profil hematologi terdapat 242 (51,8%) subjek yang mengalami leukositosis dan 225 (48,2%) subjek memiliki hitung leukosit normal, sedangkan 151 (32,3%) subjek mengalami anemia dan 316 (67,7%) pasien memiliki kadar Hb normal pada pemeriksaan hemoglobin. Proporsi terjadinya MACE adalah 54 (11,6%) kasus. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.1.

4.1.2

. Analisis Univariat

Pada analisis univariat didapatkan data 151(32,3%) subjek mengalami anemia, 242(51,8%) subjek mengalami leukositosis dan terjadi 54 (11,6%) kasus MACE. Selengkapnya dapat dlihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2Tabel Univariat

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Hemoglobin

Anemia 151 32,3

Normal 316 67,7

Leukosit

Leukositosis 242 51,8

Normal 225 48,2

MACE

Ya 54 11,6

Tidak 413 88,4

4.1.3

Analisis Bivariat

Pada analisis bivariat ini didapatkan anemia dan leukositosis merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian MACE. Dari analisis bivariat didapatkan proporsi terjadinya MACE 27(17,9%) kejadian pada pasien dengan anemia, relative risk (RR) Anemia terhadap MACE adalah 2,093 (IK 95%, 1,273-3,440 , p=0,003). Sedangkan analisis bivariat pada leukositosis terhadap kasus MACE terjadi 38 (70,4%) kasus MACE pada pasein dengan leukositosis, dengan RR 2,208,(IK 95%1,267-3,847 , p=0,004). Selengakpnya dapat dilihat pada tabel 4.3.


(38)

27

Tabel 4.3 Tabel Analisis Bivariat

MACE

Ya Tidak RR

(IK 95%)

p

n % n %

Kadar Hb Anemia 27 17,9 124 82,1 2,093 IK 95% (1,273-3,440)

0,003

Normal 27 8,5 289 91,5 Reff

Hitung leukosit

Leukositosis 38 70,4 204 49,4 2,208 IK 95% (1,267-3,847)

0,004

Normal 16 29,6 209 50,6 Reff

4.2 Pembahasan

4.2.1. Anemia

Pada penelitian ini didapatkan 151 (32,3%) subjek SKA mengalami anemia. Selain itu juga didapatkan 27(17,9%) subjek SKA yang mengalami anemia mengalami MACE dengan analisis bivariat RR 2,093 (IK 95% 1,273-3,440 p=0,003). Hasil ini sejalan dengan penelitian Vladimir Enezat dkk, yang mendapatkan 29% subjek penelitiannya mengalami anemia dan 22,9% mengalami MACE dengan hazard Ratio (HR) 2,262 (IK 95%, 1,331-3,843 p=0,003).9 Hasil diatas juga sejalan dengan penelitian Sabatine dkk, yang mendapatkan pada analisis multriviat peningkatkan risiko kematian, infark miokard, atau iskemi berulang pada pasien dengan Hb <11g/dl dengan odds ratio (OR) 1,45 (IK 95% 1,33-1,58, p<0,001) yang terus meningkat risikonya setiap turun 1mg/dl.30

Kadar Hb yang rendah sendiri berdasarkan analisis bivariat memberikan kemaknaan yang signifikan dalam memprediksi terjadinya MACE. Pada pasien anemia terjadi penurunan kadar Hb sehingga pembawaan oksigen ke jaringan tubuh menjadi berkurang, terutama bagian tubuh yang lebih perifer. Begitu pula pada jaringan miokard, hal ini akan menyebabkan area yang mengalami iskemi disekitar infark, pada infark miokard, ataupun bahkan daerah yang iskemi secara reversibel, pada APTS, akan mengalami kesulitan dalam resolusinya karena oksigen yang seharusnya dapat digunakan untuk pemulihan tidak memenuhi


(39)

terjadi dan area iskemik akan mengalami perburukan yang ireversibel menjadi area infark, sehingga dapat terjadi perluasan area infark. Seperti yang kita ketahui semakin luas area infark yang terjadi maka akan semakin meperburuk keadaan pasien, yang muncul akibat adanya kemungkinan semakin besarnya keparahan disfungsi ventrikel yang akan terjadi yang akan berujung pada berbagai komplikasi paska serangan SKA. Selain dampak pada perluasan luas lesi, ketidakmampuan pemenuhan supply oksigen ke otot jantung akan menyebabkan ketidakseimbangan mioelektrisitas jantung akibat tidak terpenuhinya metabolisme jantung termasuk diantaranya pompa kanal ion yang ada di miokard, sehingga berisiko untuk menimbulkan aritmia. Anemia juga telah terbukti akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Hal ini terjadi akibat sedikitnya oksigen dan Hb di sirkulasi sehingga sebagai bentuk kompensasi terhadap hal tersebut jantung akan meningkatkan volume sekuncup dan laju jantung untuk mencapai pembawaan oksigen ke seluruh tubuh yang adekuat, hal ini akan semakin memperparah jarak antara demand and supply oksigen pada seluruh miokard.30 Selain itu, rendahnya kadar Hb juga berhubungan dengan terjadinya hipotensi. Rendahnya kadar Hb tidak hanya memberikan keluaran yang buruk pada pasien SKA saja namun juga pada beberapa penyakit lain, seperti: disfungsi ginjal; gagal jantung; dan keseluruhan penyakit jantung koroner. Selain beberapa penyakit yang disebutkan tadi rendahnya kadar Hb juga merupakan penghubung dari berbagai kondisi komorbid seperti: usia lanjut, dimana pada pasien lanjut usia akan terjadi degenerasi dan akan mengalami penuruna kadar Hb; diabetes, hal ini berhubungan dengan glikosilasi yang terjadi akibat hiperglikemi sistemik pada pasien diabetes mellitus; serta disfungsi ginjal, hal ini diakibatkan karena pada pasien anemia kronik akan terjadi vasokonstriksi organ-organ perifer, terutama ginjal serta subkutan, sehingaa akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, selain itu biasanya disfungsi ginjal akan menghambat sinyal hematopoeietik sehingga akan memengaruhi kadar Hb.9

4.2.2. Leukositosis

Pada penelitian ini didapatkan 242 (51,8%) subjek mengalami leukositosis dan 38(70,4%) subjek yang mengalami MACE dengan leukositosis, dengan


(40)

29

analisis bivariat RR 2,208,(IK 95%1,267-3,847 , p=0,004). Hal ini sejalan dengan penelitian Tahir Ahmad dkk, mereka mendapatkan 40,9% kasus MACE pada subjek yang memiliki hitung leukosit >10.000, dengan HR 6,36 (p=0,016).31 Pada penelitian lain, Julio dkk, mendapatkan persentase mortalitas pada pasien SKA dengan hitung leukosit total >10.000 sebesar 56,7%. Dengan analisis multivariat OR 2,07 (IK95%, 1,08-3,94 ,p=0,027).26

Pada penelitian ini hasil analisis bivariat leukositosis terhadap MACE cukup signifikan. Kadar leukosit yang cenderung meningkat pada pasien paska serangan SKA merupakan kunci penting didalam proses resolusi. Setelah serangan SKA tubuh akan meresponnya dengan melakukan perekrutan leukosit secara besar-besaran sebagai respon inflamasi, sehingga akan didapatkan leukositosis serta peningkatan protein fase akut pada klinisnya, hal ini ditujukan untuk mengganti jaringan yang nekrosis dengan jaringan ikat. Leukositosis bahkan juga menggambarkan intensitas respon inflamasi peri-infark. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa peningkatan leukosit akan berbanding lurus dengan luas area infark, atau dapat dikatakan hitung leukosit menggambarkan tingkat keparahan luas lesi, dimana semakin luas area lesi maka semakin berat juga disfungsi ventrikel yang akan terjadi, serta semakin besar juga area jaringan parut yang akan terjadi yang dapat menyebabkan terganggunya mioelektrisistas otot jantung, yang mungkin akan berdampak pada kemungkinan munculnya aritmia.27 Selain proses resolusi yang pasti terjadi paska serangan SKA, terdapat beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan peran leukosit didalam kejadian ikutan paska SKA: pelepasan enzim-enzim proteolitik akibat degranulasi leukosit yang direkrut dan perusakan oksidatif yang diakibatkan olehnya sehingga akan menyebabkan trauma pada sel-sel endotel sehingga akan memperparah keadaan disfungsi endotel pada pasien SKA; penempelan leukosit pada dinding pembuluh darah, sebagaimana kita tahu pada proses inflamasi leukosit akan menempel pada dinding pembuluh darah sebelum masuk ke jaringan interstisial sehingga akan berdampak pada aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut, terutama yang melalui mikrovaskular; penurunan perfusi yang diakibatkan oleh proses inflamasi serta penempelan leukosit; hiperkoagulabilitas darah dengan penurunan patensi epikardial dan peningkatan beban iskemi; peningkatan ekspresi


(41)

monocytes tissue factor yang merupakan dampak dari inflamasi itu sendiri;risiko terjadinya aterosklerosis, seperti yang kita ketahui bahwa inflamasi sangat memainkan peran penting pada proses aterosklerosis serta stabilitas plak; instabilitas elektrik jantung; peningkatan formasi trombus, inflamasi memainkan peran penting didalam pembentukan trombus; serta dapat menyebabkan perluasan area infark akibat adanya pelepasan enzim proteolitik oleh leukosit yang telah direkrut yang ternyata akan berdampak pada kerusakan daerah sekitar lesi sehingga akan terjadi perluasa area lesi. Pada penelitian Ayub dkk, juga disebutkan peningkatan leukosit berhubungan dengan faktor komorbid lainnya seperti hipertensi, diabetes, merokok, dan hiperkolesterolemia. Ayub dkk juga menemukan peningkatan penanda infark miokard sejalan dengan peningkatan hitung leukosit seperti CRP, Troponin I, dan CK-MB, hal ini mungkin terjadi seiring dengan terjadi perluasan area infark.31,32 Namun perlu diingat bahwa leukositosis tidak hanya berhubungan dengan resolusi area infark, namun juga berhubungan dengan penyakit lainnya sesperti infeksi ataupun penyakit inflamasi lainnya, sehingga harus menjadi pertimbangan bagi negara-negara bekembang yang kecenderungan penyakitnya ke arah penyakit-penyakit infeksi.


(42)

BAB V

Kesimpulan dan Saran

5.1.

Kesimpulan

1. Proporsi MACE pada pasien SKA pada penelitian ini didapatkan sebesar 11,6%.

2. Leukositosis merupakan faktor prediktor terhadap tejadinya MACE pada pasien SKA di ICCU RSCM pada tahun 2012-2013 dengan RR 2,093 IK 95% (1,273-3,440) p= 0,004.

3. Anemia merupakan faktor prediktor terhadap tejadinya MACE pada pasien SKA di ICCU RSCM pada tahun 2012-2013 dengan RR 2,208 IK 95% (1,267-3,847) p= 0,003.

5.2.

Saran

1. Sebaiknya pasien dengan Hb rendah segera

dikoreksi(Laki-laki≥13mg/dl, Perempuan≥12mg/dl) untuk menekan angka

terjadinya MACE.

2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan nilai yang lebih optimal.

3. Selain faktor risiko diatas ada beberapa faktor lain yang mudah didapatkan yang berperan dalam terjadinya MACE, untuk itu perlu dilakukan penelitian terhadap faktor-faktor lain, atau dapat dibuat sistem skoring tersendiri.


(43)

Daftar Pustaka

1. WHO. The global burden of disease: 2004 update

2. SKRT. DepKes RI Jakarta. Survey kesehatan rumah tangga. 1995.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) Nasional. 2007.

4. Faliang Zhu, Qun Wang, Chun Guo, Xiaoyan Wang, Xuelei Cao, Yongyu Shi , Fei Gao, Chunhong Ma, Lining Zhang. IL-17 induces apoptosis of vascular endothelial cells –A potential mechanism for human acute coronary syndrome. Clinical Immunology 2011; 141: 152—160

5. Wawan Setyawan. Validasi skor TIMI dalam memprediksi mortalitas pasien sindrom koroner akut di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, 2011. Tesis 6. Milena Soriano Marcolino, Cihan Simsek, Sanneke P.M. de Boer, Ron 1. van Domburg, Robert-Jan van Geuns, Peter de Jaegere. Short-and-long-term major cardiac events in patients undergoing percutaneous coronary intervention with stenting for acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock. Cardiology 2012; 121:47-55

7. Christopher B. Granger, Robert J. Goldberg, Omar Dabbous, Karen S. Pieper, Kim A. Eagle, Christopher P. Cannon, et all. Predictors of hospital mortality in the global registry of acute coronary events. Arch Intern Med. 2003;163:2345-2353.

8. Luis CLC, Alexandre CS, Michael S, Mariana B, Mayara M, Guilherme G, et all. Hemoglobin level adds prognostic value to the global registry of acute coronary events score in non-ST elevation acute coronary syndromes. Cardiology 2012; 121:213-219.

9. Pierre VE, Sylvestre M, Claire P, Jonathan F, Stephanie B, Nadia B. Anaemia to predict outcome in patients with acute coronary syndromes. Archives of Cardiovascular Disease. 2013; 106:357-365.

10.Luis CLC, Alexander Cs,Michael S, Mariana B, Mayara M, Guilherme,et all. Hemoglobin level adds prognostic value to the global registry of acute coronary events score in non-ST elevation acute coronary syndromes. Cardiology 2012;121:213-219.


(44)

33

11.Furman MI, Gore JM, Anderson FA. Elevated leukocyte count and adverse hospital events in patients with acute coronary syndomes : Findings from the global registry of acute coronary events. Am Heart J 2004;147:42-48.

12.Camm, A John, Luscher, Thomas F. Serruys, Patrick W, et all. 2011. ESC Text Book of Cardiolovascular Medicine. Blackwell Publishing.

13.Lilly, Leonard, et all. 2011. Patophysiology of heart disease 5ed. China: Lippincott Wiliams & Wilkins.

14.Neil Abramson, Becky Melton. Leukocytosis: basics of clinical assessment. 2000; 62(9):2053-2060.

15. A. Lichtman, Marshall, et. all. Williams Hematology 7th ed. 2006. Mc Grawhill Medical.Lindahi B, Toss H, Siegbahn A, Venge P, Wallentin L. Markers of myocardial damage and inflammation in relation to long-term mortality in unstable coronary artery disease.

16.Kevin E. Kip, Kim Hollabaugh. Oscar C. Marroquin, David O. William. The problem with composite end points in cardiovascular study. journal of the american college of cardiology. 2008.; 51(7): 701-707.

17.Antman EM. ST-segment elevation myocardial infarction: Pathology, Pathophysiology, and clinical features. In Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P,Braunwald E, editors. Heart disease : A textbook of cardiovascular medicine. Ninth edition. Philadelphia: Elsevier, 2Ol2;p. 1087-1099.

18. Hicks KA, Hung HMJ, Mahaffey KW, Mehran R, Nissen SE, Stockbridge NL, Targum SL, Temple R. Standardized defininitions for end point events in cardiovascular trials. Circulation 2010; 20:1-37.

19.Annika Rosengren, et all. Age, clinical presentation and outcome of acute coronary syndrome in the Euroheart acute coronary syndrome survey. European Heart Journal. 2006; 27:789-795.

20.Boonchu Srichaiveth et all. Gender on treatment and clinical outcomes in acute ST elevation miokardial infarction patients in thailand. J Med Assoc Thai.2007;90:65-73.

21.Chongki Kim, et all. Impact of family history on the presentation and clinical outcomes of coronary heart disease: data from korea acute myocardial infarction registry. Korean J Intern Med. 2013;28:547-556.


(45)

22.Carolina Lourenco, et all. Predictors of adverse outcome in a diabetic population following acute coronary syndromes. Rev Port Cardiol. 2011; 30 (03):263-275.

23.Bita Omdivar, FazlolahAyatollahi, Mohammad Alasti. The prognostic role of serum uric acid level in patients with acute ST elevation myocard infarct. J Saudi Heart Assoc. 2012; 241:73-78.

24.Lindahi B, Toss H, Siegbahn A, Venge P, Wallentin L. Markers of myocardial damage and inflammation in relation to long-term mortality in unstable coronary artery disease. FRISC Study Group. Fragmin during Instability in Coronary Artery Disease. N Engi J Med. 2000; 343:1 139-47.

25.Sanchis J, Bodi V, Llacer A, Nüñez J, Facila L, Ruiz V, et at. Usefulness of C-reactive protein and left ventricular function for risk assessment in survivors of acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 2004;94:766-9.

26.Julio Nunez, Lorenzo Facila, Angel Llacer, Juan SanchIs, Vicent BodI, Vicente Bertomeu,Rafael Sanjuán, Maria L. Blasco, Luciano Consuegra, Maria J. Bosch, and Francisco J. Chorro. Prognostic value of white blood cell count in acute myocardial infarction: long-term mortality. Rev Esp Cardiol.2005;58(6):631-639.

27.Nunez J, Nunez E, Sanchis J, Bodi V, Llacer A. Prognostic value of leukocytosis in acute coronary syndrome: the Cinderella of the inflammatory markers. Curr Med Chem. 2006;13:2113–8.t

28.WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. 2011.

29.Marc S Sabatine, David A Morrow, Robert P Giu, et all. Association of haemoglobin levels with clinical outcomes in acute coronary syndromes. Circulation. 2005;111:2042-2049.

30.Marc S Sabatine, David A Morrow, Robert P Giu, et all. Association of haemoglobin levels with clinical outcomes in acute coronary syndromes. Circulation. 2005;111:2042-2049.

31.Tahir Ahmad Munir, M Nasir Afzal, Habib-ur-Rehman. Baseline leukocyte count and acute coronary syndrome: predictor of adverse cardiac events, long and short term mortality and association with traditional risk factors, cardiac


(46)

35

biomarkers, and C-RP. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2009; 21(3): 46-50. 32.Agha Fahad Jan, Sultana Habib, Khald Naseeb, Mohammad Amir Khatri,

Khan Shah Zaman. High total leukocyte count and heart failure after myocardial infarction. Pakistan Heart Journal. 2011; 44: 8-17.


(47)

Lampiran

Lampiran 1. Formulir Penelitian

Kadar Asam Urat dan Laju Filtrasi Glomerulus sebagai Faktor Prediktor Major Adverse Cardiac Events

Pada Pasien Sindrom Koroner Akut

Data dasar

Nama Lengkap Rekam Medis Usia

Jenis Kelamin

Diagnosis UAP / NSTEMI / STEMI

Pemeriksaan Laboratorium

Anemia Ya/Tidak

Leukositosis Ya/Tidak

MACE

Ya / Tidak

Jenis MACE Kematian / Infark Miokard berulang /

Revaskularisasi ulang / Stroke


(48)

37


(49)

(1)

11.Furman MI, Gore JM, Anderson FA. Elevated leukocyte count and adverse hospital events in patients with acute coronary syndomes : Findings from the global registry of acute coronary events. Am Heart J 2004;147:42-48.

12.Camm, A John, Luscher, Thomas F. Serruys, Patrick W, et all. 2011. ESC Text Book of Cardiolovascular Medicine. Blackwell Publishing.

13.Lilly, Leonard, et all. 2011. Patophysiology of heart disease 5ed. China: Lippincott Wiliams & Wilkins.

14.Neil Abramson, Becky Melton. Leukocytosis: basics of clinical assessment. 2000; 62(9):2053-2060.

15. A. Lichtman, Marshall, et. all. Williams Hematology 7th ed. 2006. Mc Grawhill Medical.Lindahi B, Toss H, Siegbahn A, Venge P, Wallentin L. Markers of myocardial damage and inflammation in relation to long-term mortality in unstable coronary artery disease.

16.Kevin E. Kip, Kim Hollabaugh. Oscar C. Marroquin, David O. William. The problem with composite end points in cardiovascular study. journal of the american college of cardiology. 2008.; 51(7): 701-707.

17.Antman EM. ST-segment elevation myocardial infarction: Pathology, Pathophysiology, and clinical features. In Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P,Braunwald E, editors. Heart disease : A textbook of cardiovascular medicine. Ninth edition. Philadelphia: Elsevier, 2Ol2;p. 1087-1099.

18. Hicks KA, Hung HMJ, Mahaffey KW, Mehran R, Nissen SE, Stockbridge NL, Targum SL, Temple R. Standardized defininitions for end point events in cardiovascular trials. Circulation 2010; 20:1-37.

19.Annika Rosengren, et all. Age, clinical presentation and outcome of acute coronary syndrome in the Euroheart acute coronary syndrome survey. European Heart Journal. 2006; 27:789-795.

20.Boonchu Srichaiveth et all. Gender on treatment and clinical outcomes in acute ST elevation miokardial infarction patients in thailand. J Med Assoc Thai.2007;90:65-73.

21.Chongki Kim, et all. Impact of family history on the presentation and clinical outcomes of coronary heart disease: data from korea acute myocardial infarction registry. Korean J Intern Med. 2013;28:547-556.


(2)

22.Carolina Lourenco, et all. Predictors of adverse outcome in a diabetic population following acute coronary syndromes. Rev Port Cardiol. 2011; 30 (03):263-275.

23.Bita Omdivar, FazlolahAyatollahi, Mohammad Alasti. The prognostic role of serum uric acid level in patients with acute ST elevation myocard infarct. J Saudi Heart Assoc. 2012; 241:73-78.

24.Lindahi B, Toss H, Siegbahn A, Venge P, Wallentin L. Markers of myocardial damage and inflammation in relation to long-term mortality in unstable coronary artery disease. FRISC Study Group. Fragmin during Instability in Coronary Artery Disease. N Engi J Med. 2000; 343:1 139-47.

25.Sanchis J, Bodi V, Llacer A, Nüñez J, Facila L, Ruiz V, et at. Usefulness of C-reactive protein and left ventricular function for risk assessment in survivors of acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 2004;94:766-9.

26.Julio Nunez, Lorenzo Facila, Angel Llacer, Juan SanchIs, Vicent BodI, Vicente Bertomeu,Rafael Sanjuán, Maria L. Blasco, Luciano Consuegra, Maria J. Bosch, and Francisco J. Chorro. Prognostic value of white blood cell count in acute myocardial infarction: long-term mortality. Rev Esp Cardiol.2005;58(6):631-639.

27.Nunez J, Nunez E, Sanchis J, Bodi V, Llacer A. Prognostic value of leukocytosis in acute coronary syndrome: the Cinderella of the inflammatory markers. Curr Med Chem. 2006;13:2113–8.t

28.WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. 2011.

29.Marc S Sabatine, David A Morrow, Robert P Giu, et all. Association of haemoglobin levels with clinical outcomes in acute coronary syndromes. Circulation. 2005;111:2042-2049.

30.Marc S Sabatine, David A Morrow, Robert P Giu, et all. Association of haemoglobin levels with clinical outcomes in acute coronary syndromes. Circulation. 2005;111:2042-2049.

31.Tahir Ahmad Munir, M Nasir Afzal, Habib-ur-Rehman. Baseline leukocyte count and acute coronary syndrome: predictor of adverse cardiac events, long and short term mortality and association with traditional risk factors, cardiac


(3)

biomarkers, and C-RP. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2009; 21(3): 46-50. 32.Agha Fahad Jan, Sultana Habib, Khald Naseeb, Mohammad Amir Khatri,

Khan Shah Zaman. High total leukocyte count and heart failure after myocardial infarction. Pakistan Heart Journal. 2011; 44: 8-17.


(4)

Lampiran

Lampiran 1. Formulir Penelitian

Kadar Asam Urat dan Laju Filtrasi Glomerulus sebagai Faktor Prediktor Major Adverse Cardiac Events

Pada Pasien Sindrom Koroner Akut

Data dasar

Nama Lengkap

Rekam Medis

Usia

Jenis Kelamin

Diagnosis UAP / NSTEMI / STEMI

Pemeriksaan Laboratorium

Anemia Ya/Tidak

Leukositosis Ya/Tidak

MACE

Ya / Tidak

Jenis MACE Kematian / Infark Miokard berulang / Revaskularisasi ulang / Stroke


(5)

(6)