Fase Farmasetik Fase Farmakokinetik

Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat menimbulkan fungsi baru dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi dan proses fisiologi Batubara, 2008. Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan Batubara, 2008. Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetik, merupakan proses kerja obat pada tubuh Katzung, 2007. Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat zat aktif, juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur atau rute pemberian obat Batubara, 2008. Menurut Katzung 2007, suatu obat harus dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan melalui intravena maupun per oral. Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh tubuh pada obat Katzung, 2007. Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya Batubara, 2008.

2.2.1 Fase Farmasetik

Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi antara lain oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Sediaan obat yang banyak dipakai adalah sediaan padat atau cair. Untuk dapat diabsorpsi obat harus dapat melarut dalam tempat absorpsinya Batubara, 2008. Menurut Banker 1994 dalam Lachman 1994, sediaan tablet merupakan bentuk sediaan farmasi yang paling banyak tantangan dalam mendesain dan membuatnya untuk memperoleh bioavailabilitas ketersediaan hayati obat penuh dan dapat dipercaya serta kekompakan kohesi yang baik dari zat amorf atau Universitas Sumatera Utara gumpalan. Walaupun obat telah baik proses pengempaannya, melarutnya, dan tidak mempunyai masalah dengan bioavailabilitas obat, masih banyak hal lain yang harus diperhatikan dalam proses farmasetik obat, mulai dari penampilan obat, pembubukan, atau pengelupasan dalam botol selama pengepakan atau penanganan. Penambahan pengikat, perekat atau peningkatan tekanan kempa dapat mempengaruhi waktu hancur tablet, kecepatan melarut tablet, dan mungkin bioavailabilitas obat.

2.2.2 Fase Farmakokinetik

Farmakokinetik mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari pengaruh tubuh terhadap obat Batubara, 2008. Proses farmakokinetik tersebut menentukan berapa cepatnya, berapa konsentrasinya, dan untuk berapa lama obat tersebut berada pada organ target Holford, 2007. a. Absorpsi Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya melalui saluran cerna mulut sampai dengan rektum, kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat per oral akan diabsorpsi melalui usus halus Setiawati dkk., 2007. Menurut Batubara 2008, kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan obat melarut pada tempat absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi darah di tempat obat melarut. Untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat melarut atau dalam bentuk yang sudah terlarut sehingga kecepatan melarut akan sangat menentukan kecepatan absorpsi. Untuk itu, sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang cukup untuk membantu mempercepat kelarutan obat Batubara, 2008. pH adalah derajat keasaman atau kebasaan jika zat berada dalam bentuk larutan. Obat yang terlarut dapat berupa ion atau non ion. Bentuk non-ion relatif lebih mudah larut dalam lemak sehingga lebih mudah menembus membran, karena sebagian besar membran sel tersusun dari lemak. Kecepatan obat Universitas Sumatera Utara menembus membran dipengaruhi oleh pH obat dalam larutan dan pH dari lingkungan obat berada. Obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus membran sel pada suasana asam, karena obat relatif tidak terionisasi atau bentuk ionnya sedikit. Sebaliknya obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah diabsorpsi di usus halus karena juga relatif tidak terionisasi Batubara, 2008. b. Distribusi Di dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah Setiawati dkk.,2007, lalu akan disebar ke jaringan atau tempat kerjanya Batubara, 2008. Obat bebas akan keluar dari jaringan ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat depotnya, ke hati obat mengalami metabolisme menjadi metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah, dan ke ginjal, dimana obatmetabolitnya diekskresi ke dalam urin Setiawati dkk., 2007. Hanya obat bebas tidak terikat yang dapat mencapai sasaran dan mengalami metabolisme sehingga lebih mudah diekskresikan. Berkurangnya obat bebas dalam tubuh karena ekskresi akan menyebabkan pelepasan obat yang terikat oleh protein. Terjadi keseimbangan yang dinamis antara obat bebas dengan obat yang terikat. Perbandingan antara obat terikat dan obat bebas akan menentukan lama kerja durasi obat Batubara, 2008. Faktor fisiologi seperti blood brain barrier atau sawar darah otak yang terdapat di lapisan kapiler serebral dapat menghalangi distribusi obat ke jaringan otak Batubara, 2008. Sel-sel endotel pembuluh darah kapiler di otak membentuk tight junction tidak ada lagi celah diantara sel-sel endotel tersebut dan pembuluh darah kapiler ini dibalut oleh astrosit otak yang merupakan lapisan-lapisan membran sel Setiawati dkk., 2007. Sawar uri placental barrier terdiri dari satu lapis sel vili dan satu lapis sel endotel kapiler dari fetus. Karena itu obat yang dapat diabsorpsi melalui pemberian oral juga dapat masuk ke fetus melalui sawar uri. Akan tetapi obat larut lemak yang merupakan substrat P-gp atau MRP Multidrug-Resistance Protein akan dikeluarkan oleh P-gp atau MRP yang terdapat pada membran sel endotel pembuluh kapiler otak. Dengan demikian P-gp Universitas Sumatera Utara menunjang fungsi sawar darah otak dan sawar uri untuk melindungi otak dan fetus dari obat yang efeknya merugikan Setiawati dkk., 2007. c. Metabolisme Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi metabolitnya Batubara, 2008. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar larut lemak menjadi polar larut air agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif jika asalnya prodrug , kurang aktif, atau menjadi toksik Setiawati dkk., 2007. Proses metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif Setiawati dkk., 2007. Reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat endogen : asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui fase II lebih dulu Setiawati dkk., 2007. Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 CYP, yang disebut juga enzim mono-oksigenase, atau MFO mixed-function oxidase , dalam endoplasmic reticulum mikrosom hati. Beberapa enzim yang penting untuk metabolisme dalam hati antara lain : CYP3A45, CYP2D6, CYP2C9, CYP1A12, CYP 2E1 Setiawati dkk., 2007. Selanjutnya reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidasi melalui enzim UDP-glukoronil-transferase UGT, terutama terjadi dalam mikrosom hati, tetapi juga di jaringan ekstrahepatik usus halus, ginjal, paru, kuit. Reaksi konjugasi yang lain asetilasi, sulfasi, konjugasi dengan glutation terjadi di dalam sitosol Setiawati dkk., 2007. Universitas Sumatera Utara d. Ekskresi Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal Setiawati dkk., 2007. Tempat ekskresi obat lainnya adalah intestinal melalui feses, paru-paru, kulit, keringat, air liur, dan air susu Batubara, 2008. Obat dieksresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus Setiawati dkk., 2007. Obat yang tidak terikat protein bentuk bebas akan mengalami filtrasi glomerulus masuk ke tubulus Batubara, 2008. Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah Setiawati dkk., 2007. Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada kecepatan filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran partikel, bentuk partikel, dan jumlah pori glomerulus Batubara, 2008. Obat yang tidak mengalami filtrasi glomerulus dapat masuk ke tubulus melalui sekresi di tubulus proksimal. Sekresi tubulus proksimal merupakan proses transport aktif, jadi memerlukan carrier pembawa dan energi Batubara, 2008. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoprotein P-gp dan MRP Multidrug-Resistance Protein yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda Setiawati dkk., 2007. Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi kembali ke sirkulasi sistemik Batubara, 2008. Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa Setiawati dkk., 2007. Kecepatan metabolisme dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari nilai waktu paruhnya T12. Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan sehingga kadar obat dalam darah Batubara, 2008 atau jumlah obat dalam tubuh tinggal Universitas Sumatera Utara separuhnya Holford dkk., 1997. Perlambatan eliminasi obat dapat disebabkan oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga memperpanjang waktu paruhnya Batubara, 2008. Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses Suyatna dkk., 2007. Selain itu, ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anestetik umum. Ekskresi dalam ASI, saliva, keringat dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi ini bergantung terutama pada difusi pasif dari bentuk non-ion yang larut lemak melalui sel epitel kelenjar, dan pada pH. Suyatna dkk, 2007. Parameter dalam proses farmakokinetik meliputi volume distribusi, bersihan clearance , bioavailabilitas, dan waktu paruh Holford, 2007. Volume distribusi V d adalah volume perkiraan obat terlarut dan terdistribusi dalam tubuh. Semakin besar nilai volume distribusi, semakin luas distribusinya Batubara, 2008. Besarnya volume distribusi ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan Setiawati, 2007. Bersihan clearance adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam tubuh atau volume plasma yang dibersihkan dari obat persatuan waktu volumewaktu. Bersihan total adalah jumlah bersihan dari berbagai organ, seperti hepar, ginjal, empedu, paru-paru, dan lain-lain Batubara, 2008. Bersihan obat-obat yang tidak diubah melalui urin merupakan bersihan ginjal. Di dalam hati, bersihan obat melalui biotransformasi obat parent drug menjadi satu atau lebih metabolik, atau ekskresi obat yang tidak diubah unchanged drug ke dalam empedu, atau kedua- duanya Holford, 2007. Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik Batubara, 2008. Untuk suatu dosis intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu Holford, 2007, atau dianggap 100 masuk ke dalam tubuh Batubara, 2008. Untuk obat yang diberikan peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100 karena absorpsi yang tidak lengkap dan eliminasi first-pass Holford, 2007. Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Fase Farmakodinamik