Perencanaan Kebutuhan Obat di UPT BKIM

Perencanaan kebutuhan obat tidak terlepas dari analisis masalah dan situasi yang ad adi rumah sakit, termasuk keadaan pemakaian obat tahun sebelumnya. Kebanyakan rumah sakit masih menggunakan cara manual untuk membuat catatan tentang inventori mereka, sehingga menghasilkan proses dokumentasi yang buruk. Dengan dokumentasi mengenai inventori yang buruk, nantinya dapat mengakibatkan informasi yang kurang akurat dan tidak dapat diandalkan. Padahal, informasi mengenai inventori yang benar sangat dibutuhkan untuk menyusun strategi perlakuan terhadap item-item inve ntori tersebut

5.1.1. Perencanaan Kebutuhan Obat di UPT BKIM

Unit pelayanan kesehatan dalam hal ini adalah Balai Kesehatan Indera Masyarakat termasuk didalamnya pelayanan kesehatan mata dan THT, serta pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Kusta. Tanggung jawab pelayanan obat-obatan ddi setiap unit pelayanan kesehatan adalah instalasi Farmasi atau apotik unit layanan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan perencanaan kebutuhan obat, antara lain bahwa di BKIM dalam merencanakan kebutuhan obat masih mengacu pada dokumen rencana kebutuhan obat tahun sebelumnya, dan ada kecenderungan tidak dilakukan analisa yang selektif terhadap kebutuhan obat untuk tahun berikutnya. Keadaan ini tercermin dari pemahaman petugas perencanaan BKIM bahwa dokumen perencanaan yang dibutuhkan hanya data-data tentang pemakaian obat tahun sebelumnya saja, sementara data kecenderungan penyakit tidak diperhatikan. Hal ini mencerminkan Universitas Sumatera Utara bahwa proses perencanaan belum terintegrasi secara utuh mulai dari analisis masalah sampai pada keputusan penyusunan kebutuhan obat yang efektif, efesien dan tepat sasaran. Selain itu secara aktual dapat dilihat bahwa analisa data perencanaan obat yang telah dilakukan cenderung tidak sesuai dengan peruntukkan kebutuhan obat, hal ini dapat dilihat dari proporsi obat berdasarkan kategori A sebesar 19,6, sementara standar yang direkomendasikan adalah 20-40 untuk obat kategori A dari seluruh obat yang di investasikan, demikian juga dengan proporsi obat kategori C justru hanya 50, sementara rekomendasinya adalah 60 dari total obat yang diinvestasikan. Persoalan lain adalah masih besarnya proporsi obat-obat non generik dibandingkan dengan obat yang terdapat dalam formularium. Hal ini akan berdampak terhadap kemampuan pasien untuk memperoleh obat tersebut. Fenomena lain ditemukan di UPT BKIM, adalah adanya fluktuasi kunjungan pasien ke BKIM, dan cenderung tidak stabil, sehingga berimplikasi terhadap banyaknya obat-obat yang tidak dapat digunakan, dan sisa stok lebih banyak, dan masih belum tersistematisnya ketersediaan data dan laporan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh UPT BKIM, karena ada kecenderungan program-program BKIM dilakukan di luar gedung, sehingga berdampak terhadap ketersediaan data dan informasi pemakaian obat pasien yang diselaraskan dengan dokumen perencanaan kebutuhan obat. Hal ini menjadi suatu persoalan juga, mengingat di BKIM secara kuantitas sudah memiliki SDM yang memadai untuk mengelola obat. Universitas Sumatera Utara Fenomena ini justru berbeda dengan konsideran yang normatif dalam mengumpulkan data dan dokumen yang dibutuhkan seperti anjuran dalam pedoman pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI 2008, bahwa data yang dibutuhkan sebelum dilakukan analisis kebutuhan obat adalah data tentang DOEN, data morbiditas, data penggunaan obat sebelumnya, dan data harga obat yang berlaku.

5.1.2. Perencanaan Kebutuhan Obat di UPT RSK Lau Simomo