Alkaloid merupakan senyawa nitrogen heterosiklik dan memiliki efek antimikroba. Alkaloid dalam tanaman herbal biasanya diekstrak untuk
dimanfaatkan sebagai bahan dasar obat-obatan. Selain senyawa alkaloid, senyawa dalam tanaman yang biasa digunakan sebagai obat adalah senyawa
glikosida. Salah satu manfaat dari senyawa glikosida pada tanaman adalah sebagai bahan antikanker seperti senyawa yang lain seperti alkoloid. Alkaloida
merupakan racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa. Umumnya mengandung nitrogen
dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik.
Bahan glikosida dapat menghambat pertumbuhan penyakit seperti pada penelitian Jaime Rodriguez, Rita Castro dan Ricardo Riguero menunjukkan
senyawa aktif triterpen glikosida menghambat pertumbuhan tumor pada sel limfoid, sel tumor paru manusia, sel tumor serviks, dan melanoma tikus pada
kisaran konsentrasi 0,38-0,46 mgml.
C. Pengaruh Faktor Reaksi
Proses degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi glukosa dan fruktosa oleh invertase dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya suhu, pH, waktu
dan bahan inhibitor. Faktor-faktor tersebut dapat dioptimalkan sehingga laju degradasi sukrosa oleh invertase dapat dihambat. Pada penelitian ini dilakukan
interaksi antar faktor yang berpengaruh terhadap hasil degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi. Gula pereduksi hasil degradasi dianalisis dengan
metode DNS dinitrosalicylate, kemudian hasil analisis dihitung secara statistik sehingga dapat diketahui pengaruh linier dari faktor-faktor reaksi
tersebut. Hubungan faktor reaksi terhadap respon dapat diketahui melalui
serangkaian percobaan yang sistematis dan diuji melalui analisis statistika. Hubungan antara faktor reaksi dengan respon dapat disajikan dalam suatu
model atau persamaan linier. Melalui persamaan linier tersebut diketahui pengaruh linier dari suhu, pH dan konsentrasi inhibitor serta interaksi antar
dua faktor terhadap respon.
Koefisien parameter dan nilai signifikansi analisis jumlah gula pereduksi hasil degradasi sukrosa disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Parameter Koefisien dan Nilai Signifikansi
Parameter Koefisien Pengaruh
Signifikansi
Intersep 42729.000 0.9787
Suhu X
1
-949.906 0.11
0.9548 pH X
2
-2330.139 1.8
0.9969 Inhibitor X
3
-2014.881 1.8
0.9835 Waktu X
4
83.19271 0.0032
0.9810 R
2
0.9272 Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor reaksi yang
diberikan yaitu suhu X
1
, pH X
2
dan inhibitor akar kawao Millettia sericea X
3
memberikan pengaruh terhadap penurunan hasil degradasi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa, sedangkan faktor waktu tidak memberikan
pengaruh terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Ketiga faktor suhu, pH dan inhibitor akar kawaoMillettia sericea tersebut mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap jumlah gula pereduksi hasil degradasi sukrosa atau memberikan respon positif terhadap penghambatan laju degradasi sukrosa.
Data dan analisis gula pereduksi yang dihasilkan dari proses degradasi sukrosa disajikan pada Lampiran 2.
Berdasarkan Tabel 6 faktor yang paling berpengaruh adalah faktor pH pada selang kepercayaan 99,69 persen dengan memberikan pengaruh negatif
pada jumlah gula pereduksi atu memberikan respon positif terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Pengaruh negatif dari faktor pH artinya
dengan semakin meningkatnya pH pada proses reaksi menyebabkan jumlah gula pereduksinya menurun.
Penurunan laju degradasi sukrosa yang ditandai oleh penurunan jumlah gula pereduksi diakibatkan oleh menurunnya aktivitas invertase. Hal tersebut
disebabkan oleh enzim merupakan protein yang tersusun atas asam amino yang mudah rusak akibat perubahan pH. Perubahan pH dapat mengakibatkan
menurunnya aktivitas enzim karena enzim dalam bentuk protein mempunyai titik isoelektrik yaitu pada pH yang menunjukkan jumlah muatan positif dan
negatif sama dalam protein sehingga mempengaruhi proses ionisasi protein.
Perubahan kedudukan ionisasi rantai samping asam amino dapat mempengaruhi bagian sisi aktif enzim dengan adanya perubahan pH sehingga
aktivitasnya menurun karena mengganggu pengikatan substrat dengan enzim. Perlakuan pH yang diberikan dapat menurunkan laju degradasi sukrosa
karena perubahan pH yang berarti nilai pKa lingkungan juga berubah dapat merubah permukaan sisi aktif enzim sehingga mengganggu proses pengikatan
enzim dengan substrat pada sisi aktif enzim dan pada akhirnya tidak terbentuk produk. Menurut Winarno 1995 pada umumnya enzim bersifat amfolitik,
yang berarti enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada gugus residu terminal karboksil dan gugus
terminal aminonya. Perubahan keaktifan enzim diperkirakan akibat perubahan pH lingkungan disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau
komplek enzim substrat. Aktivitas enzim paling besar terjadi pada pH optimum untuk reaksinya.
Invertase pH optimumnya 4,5 dan aktif diantara pH 3.0 dan 5,5 NCBE Enzymes for Education, 2004, sedangkan pada penelitian ini diberikan
perlakuan dari pH 5 sampai pH 8 yang mengakibatkan kerusakan struktur protein invertase sehingga gula pereduksi yang dihasilkan semakin menurun
seiring meningkatnya pH. Kerusakan struktur enzim dapat disebabkan terganggunya ikatan kovalen dalam kerangka polipeptida, yaitu ikatan
hidrogen antara gugus R-residu. Menurut Martin et al 1981 perubahan enzim mempengaruhi aktivitas enzim baik perubahan struktur ataupun dengan
berubahnya fungsi akibat ikatan substrat atau katalisis. Pada kondisi basa aktivitas invertase rendah karena ion OH
-
yang berlebihan. Kelebihan ion OH
-
akan berakibat berubahnya muatan enzim sehingga mengganggu pengikatan enzim dengan substrat. Pada pH tinggi, ion
substrat SH
+
mengalami ionisasi dan kehilangan muatan positif : S H
+
S + H
+
Perubahan muatan substrat disebabkan oleh ionisasi atau protonasi, dimana pada kondisi tersebut substrat tidak dapat berinteraksi dengan enzim
Stauffer,1989. Maka dengan perlakuan pH diatas pH optimum pH 5 sampai pH basa pH 8 menghasilkan jumlah gula pereduksi yang semakin
menurun hal tersebut disebabkan oleh terganggunya interaksi antara enzim dengan sukrosa sebagai substrat untuk membentuk produk berupa gula
pereduksi. Faktor kedua yang berpengaruh terhadap jumlah gula pereduksi hasil
degradasi sukrosa oleh invertase adalah bahan inhibitor akar kawao Millettia sericea
X
3
. Pada tingkat kepercayaan 98,35 persen, akar kawao Millettia sericea
memberikan pengaruh positif terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Pengaruh dari akar kawao Millettia sericea yaitu dengan semakin
tinggi konsentrasi kawao Millettia sericea yang diberikan menyebabkan jumlah gula pereduksi menurun.
Kandungan akar kawao Millettia sericea yang diduga dapat menginhibisi atau menghambat aktivitas invertase adalah senyawa alkaloid.
Diantara beberapa jenis bahan inhibitor invertase, bentuk lainnya seperti glikoprotein, polipeptida dan alkaloid Trojonowics., et al, 2004. Proses
inhibisi terjadi apabila sisi aktif enzim yang biasa berikatan dengan substrat digantikan oleh senyawa dari kawao, maka sifat inhibisinya kompetitif. Sifat
inhibisi lain yang mungkin terjadi yaitu inhibisi non-kompetitif. Proses tersebut terjadi apabila inhibitor mengikat pada kompleks enzim substrat
sehingga mempengaruhi fungsi enzim tetapi tidak mempengaruhi ikatan dengan substrat.
Proses inhibisi invertase oleh akar kawao Millettia sericea dapat terjadi karena senyawa bioaktif dari akar kawao Millettia sericea membentuk
komplek dengan protein dalam hal ini protein enzim melalui ikatan non- spesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik sebagaimana
pembentukan ikatan kovalen. Dengan adanya komplek enzim dengan senyawa dari akar kawao Millettia sericea maka struktur dari enzim akan berubah
sehingga daya katalitik terhadap substratnya terganggu. Faktor waktu reaksi memberikan pengaruh positif terhadap laju
degradasi sukrosa pada selang kepercayaan 98,1 persen. Artinya dengan semakin lamanya waktu reaksi maka jumlah gula pereduksi yang dihasilkan
juga semakin meningkat. Hal tersebut tidak diharapkan pada proses
penghambatan laju degradasi sukrosa. Naiknya jumlah gula pereduksi yang dihasilkan mungkin terjadi karena kandungan gula yang terdapat dalam akar
kawao Millettia sericea terekstrak dengan semakin lamanya waktu reaksi. Namun pada kenyataannya akar kawao Millettia sericea tetap dapat
memberikan efek penghambatan terhadap aktivitas invertase. Pengaruh positif waktu tehadap kenaikan jumlah gula pereduksi bukan berarti akar kawao
Millettia sericea tidak bisa menghambat aktivitas enzim namun apabila waktu reaksi melebihi waktu maksimal efektivitas akar kawao Millettia
sericea sebagai inhibitor maka senyawa aktif tersebut telah rusak dan gula
dalam akar kawao semakin banyak terekstrak dan terukur sebagai gula pereduksi.
Pada selang kepercayaan 95,48 persen, suhu X
1
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Suhu reaksi
mempunyai pengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa atau memberikan respon positif terhadap penurunan laju degradasi sukrosa.
Semakin tinggi suhu reaksi yang diberikan menyebabkan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan menurun.
Enzim merupakan protein, sehingga sifat enzim sama dengan protein. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya denaturasi
protein enzim, sedangkan suhu yang rendah menyebabkan aktivitas katalitiknya rendah. Menurut Martin et al 1981 suhu yang ditingkatkan terus
menerus menyebabkan energi kinetik molekul enzim semakin besar sehingga melebihi energi penghalang untuk memecah ikatan sekunder yang mengikat
enzim atau sifat katalis aktifnya. Akibat kehilangan struktur sekunder dan tersier adalah sama dengan kehilangan aktivitas katalitik enzim. Hilangnya
struktur sekunder dan tersier enzim dapat terjadi akibat putusnya ikatan hidrogen dan hidrofobik sehingga enzim mengalami denaturasi. Pada kondisi
normal, struktur aktif enzim dijaga oleh keseimbangan nonkovalen yang berlainan, yaitu ikatan hidrogen, hidrofobik, ionik dan van der walls.
Kenaikan suhu akan menurunkan kekuatan ikatan tersebut sehingga molekul protein enzim akan terbuka Lehninger, 1993.Dengan rusaknya struktur
enzim maka enzim sudah tidak stabil atau stabilitasnya rendah.
Menurunnya jumlah gula pereduksi yang dihasilkan disebabkan oleh aktivitas invertase menurun. Aktivitas invertase rendah karena bagian
apoenzim yang tersusun atas protein rusak akibat suhu tinggi. Rusaknya struktur enzim mengakibatkan enzim kehilangan daya katalitiknya sehingga
tidak optimal untuk mengkonversi sukrosa menjadi gula-gula pereduksi. Sementara aktivitas enzim untuk mengkatalisis suatu reaksi mempunyai
kisaran suhu tertentu. Invertase biasa disebut sukrase atau sakarase memecah disakarida sukrosa menjadi monosakarida glukosa dan fruktosa. Enzim ini
aktif antara suhu 10°C dan 65°C. Inaktifasinya mulai 65°C dan enzim total tidak aktif setelah 5 menit pada suhu 90°C NCBE Enzymes for Education,
2004. Bila invertase diberikan pada suhu diatas 65°C maka enzim tersebut sudah mulai tidak aktif untuk menghidrolisis sukrosa dan menghasilkan gula
pereduksi yang rendah. Hal tersebut karena enzim telah rusak, kerusakan enzim yang merupakan protein dapat berupa berubahnya konfigurasi struktur.
Menurut Simanjuntak 2006 diatas suhu tertentu enzim akan kehilangan ikatan kuat dari struktur dalam 3 dimensi yang berguna untuk aktivitas
katalitik. Tabel 7. Parameter Interaksi, Koefisien dan Nilai Signifikansi
Parameter Koefisien Signifikansi
Interaksi X
1
dan X
2
28.979 0.9960
Interaksi X
1
dan X
3
16.393 0.9493
Interaksi X
1
dan X
4
-0.578646 0.9150
Interaksi X
2
dan X
3
126.746 0.9669
Interaksi X
2
dan X
4
-4.920139 0.9531
Interaksi X
3
dan X
4
-1.134921 0.6490
R
2
0,9272 Hasil interaksi suhu reaksi dengan pH pada Tabel 7 berpengaruh positif
terhadap laju degradasi sukrosa. Interaksi kedua faktor berpengaruh pada tingkat kepercayaan 99,6 persen. Pada Gambar 8, peningkatan pH dapat
menurunkan laju degradasi sukrosa yang ditandai dengan menurunnya jumlah gula pereduksi yang dihasilkan. Penurunan jumlah gula pereduksi disebabkan
oleh pengaruh dari pH sebagai faktor utama, yaitu berpengaruh negatif terhadap jumlah gula pereduksi. Penurunan laju degradasi sukrosa tidak terlalu
tajam terjadi saat pH dinaikan pada suhu di nilai tinggi 80°C, sedangkan penurunan laju degradasi sukrosa pada suhu di nilai rendah 60°C lebih
curam dikarenakan kenaikan pH mempunyai pengaruh negatif terhadap respon.
suhu rendah suhu rendah
suhu tinggi suhu tinggi
500 1000
1500 2000
2500
pH rendah pH tinggi
pH gul
a pe
re duk
s i
µ m
ol
Gambar 8. Interaksi antara suhu reaksi X
1
dan pH X
2
terhadap jumlah gula pereduksi
Perbedaan kemiringan pada penurunan gula pereduksi disebabkan oleh suhu tinggi 80°C. Pada suhu tinggi enzim telah mengalami denaturasi
sehingga dengan kenaikan pH tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan jumlah gula pereduksi.
pH rendah pH rendah
pH tinggi pH tinggi
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
1800 2000
inhibitor rendah inhibitor tinggi
inhibitor gul
a pe
re duk
s i
µ M
Gambar 9. Interaksi antara pH X
2
dan bahan inhibitor akar kawao Millettia sericea X
3
terhadap jumlah gula pereduksi
Interaksi pH dengan bahan inhibitor akar kawao Millettia sericea berpengaruh positif terhadap laju degradasi sukrosa. Interaksi kedua faktor
berpengaruh pada tingkat kepercayaan 96,69 persen. Interaksi faktor reaksi terhadap gula pereduksi disajikan pada Gambar 9. Gambar tersebut
menunjukkan dengan semakin tinggi konsentrasi akar kawao Millettia sericea
yang diberikan pada nilai pH rendah dapat menurunkan jumlah gula pereduksi, namun pada konsentrasi akar kawao Millettia sericea tinggi
jumlah gula pereduksi yang dihasilkan meningkat. Pada konsentrasi akar kawao Millettia sericea rendah laju penurunan degradasi sukrosa lebih besar
karena dipengaruhi oleh peningkatan pH yang dapat merusak struktur protein enzim sehingga daya katalitik enzim untuk mengkonversi sukrosa menjadi
gula pereduksi menjadi rendah. Perbedaan kemiringan antara garis pH rendah dengan garis pH tinggi
mengindikasikan adanya kenaikan gula pereduksi pada nilai inhibitor tinggi 8 seiring penambahan konsentrasi inhibitor kawao Millettia sericea.
Peristiwa tersebut mungkin disebabkan oleh senyawa bioaktif akar kawao Millettia sericea tidak stabil atau rusak pada pH tinggi sehingga tidak efektif
lagi sebagai inhibitor ataupun kandungan gula yang mungkin ada dalam akar kawao Millettia sericea terekstrak dan terhidrolisis selama proses reaksi.
Menurut Robinson 1993 saponin merupakan senyawa glikosida terpenoid atau glikosida steroid dan bersifat polar. Jadi seiring bertambahnya jumlah
akar kawao Millettia sericea yang diberikan maka gula pereduksi yang dihasilkan juga bertambah. Namun pada pH rendah dengan penambahan
inhibitor akar kawao Millettia sericea dapat menurunkan laju degradasi sukrosa yang artinya inhibitor akar kawao Millettia sericea dapat bekerja
efektif pada kisaran pH tertentu. Apabila inhibitor akar kawao Millettia sericea
digunakan diluar kisaran pH optimumnya maka akar kawao Millettia sericea
tidak efektif lagi sebagai bahan inhibitor. Interaksi faktor pH dengan waktu memberikan pengaruh negatif terhadap
laju degradasi sukrosa pada tingkat kepercayaan 95,31 persen. Interaksi kedua faktor tersebut disajikan pada Gambar 10.
pH rendah
pH rendah pH tinggi
pH tinggi
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
1800 2000
waktu rendah waktu tinggi
waktu gu
la p
e re
du k
s i µ
M
Gambar 10. Interaksi antara pH X
2
dan waktu X
4
terhadap jumlah gula pereduksi
Pada Gambar 10 dengan semakin lama waktu reaksi maka jumlah gula pereduksi yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan jumlah gula
pereduksi pada pH rendah lebih curam dibandingkan dengan pH tinggi. Hal tersebut membuktikan bahwa enzim rusak pada pH tinggi atau pH tinggi
terbukti lebih efektif terhadap penghambatan enzim. Interaksi suhu reaksi dengan inhibitor akar kawao Millettia sericea
berpengaruh positif terhadap laju degradasi sukrosa. Interaksi kedua faktor berpengaruh pada tingkat kepercayaan 94,93 persen. Interaksi faktor reaksi
terhadap gula pereduksi disajikan pada Gambar 11.
inhibitor rendah
inhibitor rendah inhibitor tinggi
inhibitor tinggi
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
suhu rendah suhu tinggi
suhu g
u la p
e re
d u
ksi µ
mo l
Gambar 11. Interaksi antara suhu X
1
dan inhibitor akar kawao Millettia sericea
X
3
terhadap jumlah gula pereduksi
Pada Gambar 11 diketahui bahwa kenaikan suhu berpengaruh pada penurunan laju degradasi sukrosa yang dibuktikan dengan menurunnya jumlah
gula pereduksi yang dihasilkan. Namun, terdapat perbedaan kemiringan antara garis inhibitor rendah dengan garis inhibitor tinggi yang mengindikasikan
adanya penurunan jumlah gula pereduksi lebih tinggi untuk nilai rendah inhibitor 0,875 g saat suhu dinaikkan. Penurunan gula pereduksi untuk
inhibitor rendah lebih curam dibandingkan dengan inhibitor tinggi seiring kenaikan suhu. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sisi aktif enzim telah
terganggu oleh adanya inhibitor dengan konsentrasi tinggi sehingga semakin meningkatnya suhu, pengaruh terhadap penurunan gula pereduksi tidak
sebesar pada konsentrasi inhibitor rendah. Penurunan laju degradasi sukrosa pada inhibitor tinggi tidak sebesar
penurunan dengan penambahan inhibitor rendah. Hal tersebut terjadi selain karena aktivitas enzim telah terganggu oleh adanya inhibitor akar kawao tetapi
juga oleh adanya kandungan gula yang ada dalam akar kawao Millettia sericea
. Dengan semakin tingginya konsentrasi akar kawao Millettia sericea yang diberikan maka kandungan gula yang mungkin terekstrak secara tidak
langsung selama reaksi dan terjadi hidrolisis dengan kenaikan suhu semakin tinggi. Kandungan gula akibat hidrolisis tersebut dapat meningkatkan nilai
pengukuran terhadap gula pereduksi akibat konversi sukrosa oleh invertase. Interaksi antara suhu dengan waktu memberikan pengaruh negatif pada
laju degradasi sukrosa. Interaksi antara kedua faktor tersebut memberikan pengaruh pada selang kepercayaan 91,5 persen. Semakin lamanya waktu
reaksi maka jumlah gula pereduksi yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan jumlah gula pereduksi pada suhu tinggi lebih landai
dibandingkan dengan kenaikan gula pereduksi pada suhu rendah. Hal tersebut disebabkan pada suhu rendah aktifitas enzim untuk mendegradasi sukrosa
lebih besar dibandingkan pada suhu rendah. Interaksi antara kedua faktor tersebut disajikan pada Gambar12.
suhu rendah suhu rendah
suhu tinggi suhu tinggi
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
1800
waktu rendah waktu tinggi
waktu gul
a pe
re duk
s i
µ M
Gambar 12. Interaksi antara suhu X
1
dan waktu X
4
terhadap jumlah gula pereduksi
D. Permukaan Respon