Konvensi New York 1958 tersebut telah diratifikasi pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Keppres No.34 Tahun 1981 dan
ditindaklanjuti oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Perma No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
Dalam perkembangannya, tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri telah diatur undang-undang, yakni UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 juncto Pasal 3 Perma Tahun 1990
dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
64
1. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitrase atau arbiter perorangan di suatu
negara yang dengan negara Indonesia ataupun secara bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta
pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaannya didasarkan atas timbal balik resiprositas.
2. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada
putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.
3. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
65
C. Perceraian di Luar Negeri dilihat dari aspek Hukum Perdata
Internasional Seperti diketahui menurut kenyataan peraturan-peraturan cerai di berbagai
dunia ini tak sama adanya. Menurut Sudargo Gautama:
64
Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 231
65
Ibid
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Ada dua aliran yang boleh dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat satu dengan yang lain dalam hal-hal cerai ini, jika ditinjau dari betapa mudah
atau sukarnya perceraian ini. Di satu pihak dikenal ajaran dari gereja Katolik, bahwa perkawinan harus dipandang sebagai suatu sakramen, sebagai sesuatu
yang suci dan karenanya tak dapat diputuskan kecuali karena kematian. Contoh: negara Itali, Spanyol, Austria, Portugal, Eire, negara-negara Amerika Latin,
Brazil, Chili, Columbia, Paraguay. Ada pula negara-negara yang hanya mengenal perceraian atas dasar yang terbatas. Sebagai contoh : negara bagian
New York dahulu juga District Of Columbia di USA yang hanya memperkenankan perceraian atas alasan perzinahan. Sebaliknya terdapat pula
sistem-sistem hukum dimana perceraian mudah sekali diperoleh. Contoh misalnya cara-cara repudiasi atau talak yang terkenal dalam sistem-sistem
“Undang-Undang Musa” droit mosaique dan hukum Islam antara lain, seperti dianut di Indonesia dan di berbagai negara-negara Islam di dunia ini. Tanpa
memberikan alasan oleh pihak suami dapat dilakukan talak terhadap isterinya. Kini, dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan telah diperlunak. Tak dibenarkan lagi perceraian tanpa alasan-alasan perceraian, harus dilakukan di depan sidang pengadilan Pasal 39
ayat 1 dan 2. Dekat pada sistem kebebasan yang seluas-luasnya ini adalah pula sistem-sistem dari negara-negara sosialis yang mengikuti pendirian ultra
modern perundang-undangan USSR dari tahun 1944. Menurut konsepsi ini tiap mempelai diberi kesempatan untuk mengakhiri pertalian perkawinan dengan
suatu tindakan sepihak. Tidak ada turut campur atau pengaruh dari pihak negara maupun gereja dalam hal ini. Dalam kelompok ini dapat pula disebut dimana
sangat mudah untuk memperoleh perceraian, karena telah memupuk suatu “industrie” khusus, “divorce mills” atas dasar komersil. Contoh : negara-negara
di bagian Amerika Serikat : Nevada, Las Vegas, Mexico yang dikenal sebagai divorce paradises
. Karena adanya perbedaan-perbedaan yang menyolok, di satu negara perceraian sangat sukar diperoleh, tetapi di negara lain sangat mudah,
dapat ditemukan adanya apa yang dinamakan “migratory divorces” dan disini perlu mempersoalkan masalah penyelundupan hukum wetsontduiking,
hubungan prinsip domisili dan prinsip nasionalitas berkenaan dengan bipatride serta masalah perceraian.
66
Persoalan perceraian dalam bidang Hukum Perdata Internasional dapat dibagi
dalam berbagai bagian. Beberapa aspek yang menarik perhatian adalah :
67
1. Perceraian dari Warga Negara Indonesia di luar negeri
66
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 271-274
67
Ibid, hal. 270
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Perceraian ini dapat dianggap termasuk status personal seseorang seperti halnya dengan perkawinan. Republik Indonesia telah mewarisi Hukum Perdata Internasional
yang bersandarkan atas prinsip nasionalitas Pasal 16 AB.
68
Jadi suami-isteri Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, jika hendak diakui perceraiannya oleh
hakim Indonesia hanya dapat bercerai menurut dasar-dasar hukum Indonesia, hukum nasional mereka, dan tidak atas dasar-dasar cerai yang berlaku di negara domicilie
yang tak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, kecuali suami isteri tersebut mempunyai kewarganegaraan berbeda.
69
Dengan lain perkataan, status personil tetap dipertahankan dan masalah perceraian dianggap termasuk dalam lingkungan kuasa
Pasal 16 A.B.
70
Sudargo Gautama menjelaskan :
71
Warga Negara Indonesia yang hukum perdatanya takluk pada sistem yang termaktub dalam Burgerlijk Wetboek tidak akan memperoleh kesulitan jika
hendak melakukan perceraian di luar negeri. Bukankah perceraian dalam hal ini harus dilakukan dengan media suatu keputusan dari Pengadilan, sedangkan
dasar-dasar untuk bercerai echtscheidingsgronden, grounds for divorce sudah jelas tertulis dalam pasal-pasal Kitab tersebut. Dimana-mana di luar negeri akan
dapat diajukan permohonan cerai ini, dan jika dipakai ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan hukum nasional dari Warga Negara Indonesia yang bersangkutan,
akan tak menemui banyak kesulitan.
Lain halnya dengan warga negara Indonesia yang beragama Islam. Cara perceraian yang dikenal bagi mereka, sebelum berlakunya Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak melalui instansi pengadilan, melainkan dengan cara memberikan surat-talak. Kesulitan akan timbul apabila dalam
negara-negara yang bersangkutan, tidak dikenal macam perceraian sedemikian ini. Dalam negara-negara tersebut perceraian talak ini tak akan diakui, mereka
hanya mau mengenal perceraian melalui hakim, maka perceraian dengan talak
68
Ibid, hal. 276
69
Ibid, hal. 21
70
Ibid, hal. 35
71
Ibid, hal. 277 – 278
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
ini dianggap tak sah dalam negara-negara tersebut. Ratio dari pendirian seperti ini, bahwa soal-soal perceraian dianggap bersifat “ordre public”, maka tak pada
tempatnya untuk memberikan kepada orang-orang asing. Negara-negara di luar negeri mengalami kesulitan apakah mereka harus menganggap diri berwenang
untuk mengucapkan perceraian atau tidak.
Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat
dibedakan antara dua macam cerai, yakni “cerai talak” dan “cerai gugat”. Keduanya dilakukan dengan bantuan Pengadilan. “Cerai talak” yang diatur dalam Pasal 14-18
PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan khusus disediakan untuk mereka yang beragama Islam. Pengadilan Agama menyaksikan perceraian
melalui talak oleh sang suami ini. “Cerai gugat” adalah perceraian karena gugatan kepada dan keputusan dari Pengadilan Negeri. Pasal 20 PP Nomor 9 Tahun 1975.
72
2. Perbandingan Hukum Perceraian di Singapura dan di Indonesia
Perceraian dari warga negara Indonesia yang berada di luar negeri harus dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan dari hukum yang berlaku baginya menurut
sistem hukum nasionalnya. Dasar-dasar untuk perceraian yang ditentukan dalam masing-masing sistem hukumnya tetap berlaku baginya.
73
Status hukum atau hak-hak yang dimiliki seseorang suatu subjek hukum berdasarkan hukum asing itu akan diakui selama dianggap tidak bertentangan atau
melawan kepentingan hukum dan kepentingan masyarakat nasional dari forum atau selama tidak mengabaikan kaidah-kaidah hukum yang sifatnya memaksa.
74
72
Istilah “cerai gugat” ini dipakai oleh K.Wantjik Saleh, dalam “Uraian Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan
” Jakarta : PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1975, hal.35
73
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 276
74
Ibid, hal. 140
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Karena sifat putusan perceraian bersifat constitutief constitutief vonnis, tidak membutuhkan eksekusi, yakni putusan yang bersifat meniadakan keadaan hukum
yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan isteri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu timbul
keadaan hukum baru pada suami-isteri sebagai janda dan duda,
75
seharusnya putusan perceraian dari pengadilan asing dapat diterima di Indonesia.
Hal ini terkait dengan doktrin vested right, mengenai pengakuan terhadap apa yang telah dimiliki oleh, atau yang telah menjadi hak, atau yang telah melekat secara
hukum pada suatu subjek hukum. Hak dan kewajiban hukum yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu kaidah hukum asing haruslah dihormati oleh siapa saja
termasuk oleh lex fori, kecuali bila pengakuan terhadap hak-hak semacam itu akan menimbulkan akibat-akibat yang bertentangan dengan public order dari masyarakat
forum.
76
Apalagi jika ditinjau dari alasan-alasan perceraian yang terdapat pada Women’s Charter
Undang-Undang Hukum Keluarga Singapura juga menyerupai yang ada di Indonesia dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, maka keputusan
perceraian itu layak diterima. Lagipula, Undang-Undang Hukum Keluarga Singapura juga membolehkan
orang yang bukan Warga Negara Singapura untuk bercerai di negaranya asal pasangan telah bertempat tinggal atau mempunyai domisili paling sedikit 3 tahun.
75
M. Yahya Harahap [3], Op.Cit., hal. 877
76
Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional Buku Ke Satu Edisi Keempat
, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 138-139
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Alasan perceraian disebutkan dalam undang-undang perkawinan Indonesia secara limitatife, dalam Peraturan Pemerintah PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tepatnya pada Pasal 19 dijelaskan bahwa perceraian boleh dilakukan bila terdapat sejumlah
alasan penting yang mendasarinya. Jika bukan demikian, maka pengadilan tidak akan mengambil langkah bercerai sebagai solusi atas gugatan cerai yang diajukan seorang
Penggugat. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menggariskan bahwa,
perceraian dapat terjadi atau dilakukan karena alasan sebagai berikut :
77
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b.
Salah satu pihak suamiisteri meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut, tanpa mendapat izin dari pihak lain, serta tanpa alasan yang sah,
karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun, atau yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung. d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penaniayaan berat, yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suamiisteri; f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
78
Di Singapura, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Singapura diatur oleh dua peraturan, perkawinan Muslim diatur di Undang-Undang Administrasi Perkawinan
77
NM. Wahyu Kuncoro. Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Jakarta : Raih Asa Sukses, 2010, hal. 54
78
Budi Susilo, Op.Cit., hal. 21- 24
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Muslim AMLA Administration of Muslim Law Act, di luar beragama Islam diatur oleh Undang-Undang Piagam Perempuan Women’s Charter.
79
Hal dasar yang penting untuk diketahui untuk para pihak tidak dapat mengajukan permohonan perceraian di Pengadilan Keluarga jika pasangan adalah
beragama Muslim, atau menikah di bawah hukum Islam. Women’s Charter
adalah Undang-Undang dari Parlemen Singapura yang dibuat pada tahun 1961. Peraturan ini dibuat untuk melindungi hak-hak wanita dan
menjamin persamaan hukum.
80
Women’s Charter adalah suatu peraturan untuk menyediakan perkawinan monogami agar dapat diselenggarakan dan didaftar, untuk
mengkonsolidasikan hukum perceraian, hak dan kewajiban pasangan yang telah menikah, perlindungan terhadap keluarga, pemeliharaan isteri dan anak dan hukuman
bagi kejahatan terhadap wanita dan anak perempuan.
81
Undang-Undang ini akan berlaku untuk semua Warga Negara Singapura dan juga berlaku bagi semua orang
yang berdomisili di Singapura. Dasar dari hukum perceraian Singapura adalah perkawinan yang retak dan tidak
dapat diperbaiki kembali. Ada beberapa hal pendahuluan yang harus diketahui sebelum mengisi permohonan perceraian di Singapura.
Pertama, isu jurisdiksi – apakah pemohon adalah warga negara atau penduduk di Singapura yang telah menetap 3 tahun atau lebih. Orang asing yang menikah di
79
Matrimonial Law of Singapore , diakses dari http:en.wikipedia.org.wikimatrimoniallaw_ of
Singapore. htm, pada tanggal 28 Maret 2012
80
Singapore Council of Women’s Organizations SCWO, The Women’s Charter , diakses dari http:www.scwo.org.sg.index.phpresourceshtm, pada tanggal 28 Maret 2012
81
Wikipedia. Women’s Charter Singapore, diakses dari http:en.wikipedia.orgwindex. php? title=Women27s_Charter_Singaporeoldid=439887612, pada tanggal 28 Maret 2012
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
sebuah negara asing dapat memohon perceraian jika salah satu pihak mempunyai kualifikasi di bawah klausul domisili atau tempat tinggal sehari-hari habitual
residence , dengan memperhatikan juga alasan perkawinan yang retak dan tidak dapat
diperbaiki kembali. Kedua, para pihak harus telah menikah lebih dari 3 tahun. Untuk para pihak
yang telah menikah di bawah 3 tahun, izin hanya dapat diberikan pada kondisi- kondisi tertentu.
Ketiga, Pengadilan akan memberi putusan perceraian jika pasangan suami atau isteri dapat membuktikan pernikahan mereka telah retak dan tidak dapat diperbaiki
kembali, menunjukkan eksistensi salah satu dari beberapa fakta berikut yang menjadi sebab perkawinan yang retak dan tidak dapat diperbaiki lagi yang tercantum dalam
Pasal 95 ayat 3 huruf a sampai e Undang-Undang Women’s Charter :
82
a. Salah satu pasangan telah melakukan perzinahan dengan seseorang lain yang
bukan anda dan pasangan yang lain temukan itu serta tidak bisa bertoleransi untuk tinggal bersama dengannya lagi. Jika pasangan lain tersebut tetap
melanjutkan tinggal bersama dengan pasangannya selama 6 bulan atau lebih setelah menemukan perzinahan, maka pihak tersebut tidak dapat mengajukan
alasan perzinahan untuk menggugat perceraian.
b. kelakuan salah satu pasangan sedemikian rupa sehingga pihak yang lain tidak
mempunyai alasan untuk tinggal bersama dengannya contoh : kekerasan c.
Salah satu pasangan telah meninggalkan pasangan yang lain tanpa persetujuan dan alasan yang jelas untuk waktu yang berkelanjutan paling sedikit 2 tahun
sebelum memulai perkara perceraian, atau jika salah satu pasangan tanpa alasan yang jelas mengusir pasangan yang lain keluar rumah dan tidak
mengizinkan untuk masuk ke dalam keluarga selama 2 tahun
d. Pasangan suami isteri telah hidup terpisah untuk waktu yang berkelanjutan
paling sedikit 3 tahun sebelum memulai perkara perceraian, dan pasangan anda tidak melawan perceraian uncontested divorce
82
Family Court of Singapore, Divorce Law In Singapore, diakses dari http:www.international- divorce.comd-singaporehtm, pada tanggal 28 Maret 2012
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
e. Pasangan suami isteri telah hidup terpisah untuk waktu yang berkelanjutan
paling sedikit 4 tahun sebelum anda memulai perkara perceraian, dan pasangan anda melawan perceraian contested divorce
Untuk perkawinan di bawah 3 tahun, adalah lebih mudah untuk membatalkan sebuah pernikahan. Pihak yang satu dapat membatalkan sebuah pernikahan dengan
kondisi tertentu. Jika tidak, pihak tersebut harus mencoba jalan perceraian. Beberapa kondisi sebuah pernikahan dapat dibatalkan yaitu :
83
1. Ketika dalam masa pernikahan, pasangan ternyata sudah terikat perkawinan
dengan orang lain. 2.
Salah satu pasangan menolak untuk membiayai perkawinan. 3.
Pernikahan tidak dibiayai karena salah satu pihak tidak sanggup membiayainya.
4. Salah satu pasangan menderita penyakit yang dapat menular secara seksual
pada saat pernikahan, dan pihak yang lain tidak menyadarinya. Pengadilan Singapura akan menerima perceraian yang dimohonkan oleh
pasangan yang usia pernikahannya belum 3 tahun jika salah satu pihak menderita kekerasan fisik atau pasangan telah berbuat tindakan yang terlalu kejam, meliputi
ketidakyakinan pada pernikahan, kekerasan fisik, psikologis, dan emosional atau menderita ketergantungan seperti alkohol atau penggunaan narkoba. Perceraian juga
dapat dimohonkan jika salah satu pihak telah meninggalkan penggugat untuk periode
83
Singapore Council of Women’s Organizations SCWO, The Women’s Charter , diakses dari http:www.scwo.org.sg.index.phpresourceshtm, pada tanggal 28 Maret 2012
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
yang berkelanjutan lebih dari 2 tahun tanpa keinginan untuk kembali pada perkawinan.
Jika perceraian adalah satu-satunya pilihan, maka penggugat harus melengkapi dokumen-dokumen pendukung klaim terhadap hukum perceraian Singapura. Selain
surat permohonan perceraian, penggugat juga harus menyerahkan dokumen pendukung seperti laporan polisi dan sertifikat medis untuk menyatakan kekerasan
fisik telah terjadi, dan juga asli sertifikat pernikahan, akta kelahiran, daftar harta perkawinan dan sebuah rencana yang memberi detail pengasuhan anak bawah umur.
84
Untuk bercerai di Singapura, yang pertama harus dilakukan adalah mengupayakan perdamaian terlebih dahulu melalui konseling pernikahan. Jika para
pihak sudah sangat yakin untuk memulai perceraian, pengadilan akan meminta bukti bahwa usaha untuk perdamaian telah dilakukan dan membuktikan bahwa adanya
kesulitan untuk berdamai. Jika perdamaian gagal, dan para pihak tetap hendak melanjutkan proses
perceraian, mereka harus menandatangani surat pernyataan sebagai bukti dan hakim akan menentukan apakah perceraian adalah perceraian yang dilawan atau tidak.
Hakim akan memberi Putusan Sementara Interim Judgement apabila majelis hakim telah puas perkawinan telah retak dan tidak dapat diperbaiki kembali. Putusan akhir
akan terjadi apabila 3 bulan setelah masa aman, dimana ini adalah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan pernikahan sebelum memasuki perceraian. Hakim
84
The Subordinate Courts of Singapore. FAQs Frequently Asked Questions : Divorce, diakses dari : http:app.subcourts.gov.sgfamilyfaqs_printaspx?pageid3704htm, pada tanggal 28
Maret 2012
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
harus yakin pernikahan betul-betul retak sebelum memberikan perceraian, setelah melewati masa 3 bulan, sertifikat diberikan maka perceraian telah sah. Para pihak
bebas untuk menikah lagi 3 bulan setelah sertifikat perceraian dikeluarkan. Putusan Sementara ini adalah akhir dari tahap pertama perkara perceraian.
85
Putusan Sementara Interim Judgment ini tidak memutuskan tentang pengasuhan anak, property, atau pembiayaan. Tahap kedua dari prosedur perceraian
adalah gugatan tambahan. Di Singapura, perkara tentang pengasuhan anak, property, dan pembiayaan adalah gugatan tambahan. Babak kedua Gugatan Tambahan ini
dimulai dalam waktu satu bulan Putusan Sementara diberikan. Pengadilan akan mengirimkan pemberitahuan tanggal persidangan gugatan tambahan ini. Gugatan ini
bersifat tertutup. Jika para pihak telah mencapai persetujuan terhadap isi gugatan tambahan ini, Pengadilan akan memberi izin gugatan tambahan diperiksa. Para pihak
harus menandatanganinya. Jika tidak ada persetujuan, Deputy Registrar akan memeriksa kasus anda sebagai gugatan tambahan yang dibantah. Perhatikan bahwa
jika salah satu pihak mengumumkan nilai kotor dari harta benda perkawinan yang akan dibagi adalah S 1.5 juta atau lebih, kasus anda akan dipindahkan ke Pengadilan
Tinggi untuk gugatan tambahan yang dibantah. 3.
Perceraian dari orang-orang asing di Indonesia Di Indonesia, Pengadilan Negeri memiliki wewenang untuk memberi keputusan
perceraian antara orang-orang asing yang berada di wilayah Republik Indonesia,
85
How does the court divide matrimonial assets in a divorce? diakses dari: http:singaporelegaladvice.com2011.05how-does-the-court-divide-matrimonial-assets-in-a-divorce.
htm, pada tanggal 28 Maret 2012
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
bilamana kedua suami-isteri bertempat tinggal di wilayah Indonesia. Dalam jurisprudensi, untuk perceraian orang-orang asing ini selalu dipergunakan ketentuan-
ketentuan BW apabila orang-orang asing yang bersangkutan dapat digolongkan dalam orang-orang yang tunduk kepada hukum perdata barat. Penerapan asas lex fori
hukum sang hakim, karena seorang hakim tentunya lebih mengenal hukum nasionalnya sendiri daripada hukum asing.
Bagi orang-orang asing yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan Negeri dapat memberi keputusan-keputusan perceraian, bilamana kedua
mempelai bertempat tinggal di sini.
86
Suatu masalah lain ialah bagaimana kiranya harus diatur perceraian-perceraian dari orang-orang asing yang berada di Indonesia. Di samping persoalan kompetensi,
maka yang menarik perhatian terutama ialah persoalan tentang hukum yang harus dipergunakan choice of law.
87
Tentang hukum yang dalam praktik dipergunakan dalam tuntutan-tuntutan seperti ini, setidak-tidaknya menurut praktik yang dapat disaksikan di Jakarta, yang
dipakai umumnya ialah BW, apabila pihak-pihak bersangkutan bisa digolongkan dalam golongan rakyat Eropa” atau yang dipersamakan dengan mereka menurut
ketentuan pembagian penduduk dalam Pasal 163 IS.
88
86
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 280
87
Ibid
88
Pasal 163 IS ini kini harus dianggap tidak berlaku lagi, sejak adanya ketegasan dari Instruksi Presidium Kabinet dengan Keputusan no. 127IU121966 dari 27-12-1966. Tetapi dengan
tidak adanya pasal ini, peraturan-peraturan yang ada dan disandarkan pada pembagian golongan rakyat ini, tidak dengan sendirinya menjadi hilang pula. Kiranya harus dilihat dari keheranan dari seorang
Hakim wanita pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat akan dalil yang pernah diajukan dalam suatu
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Sudargo Gautama menjelaskan: Orang-orang warga negara Amerika, Jerman, atau Inggris bercerai menurut
ketentuan-ketentuan yang diperlakukan dalam BW. Rupanya prinsip nasionalitas yang juga berlaku secara analogi untuk orang-orang asing yang
berada di sini tidak diperhatikan dalam praktik-praktik perceraian. Tanpa pertimbangan lebih jauh mengenai hukum yang harus dipilih hakim dalam
praktek sehari-hari sekarang ini memakai hukum perceraian yang berlaku di Indonesia. Selalu BW lah yang dipergunakan, jika orang-orang asing
bersangkutan dapat digolongkan dalam golongan rakyat Eropa. Pemakaian hukum sang hakim sendiri BW ini dan tidak adanya pertimbangan mengenai
hukum yang harus diperlakukan, didasarkan atas pendapat bahwa jika para pihak tidak mendalilkan kewarganegaraan mereka, maka sang hakim hanya
mempergunakan hukum Indonesia belaka, tanpa menghiraukan segi-segi HPI- nya. Hanya, jika dalam soal-soal yang jarang terjadi, sekali-kali para pihak
mendalilkan, maka diperhatikan soal-soal “choice of law’ ini.
89
Suatu contoh dari diperhatikannya persoalan pilihan hukum oleh hakim
Indonesia dapat disaksikan dalam perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta tahun 1953.
90
Ada kasus perceraian Lie Kwie Hien v Tjin Tjeuw Jie. Lie Kwie Hien, menggugat cerai suaminya Tjin Tjeuw Jie di Pengadilan Negeri Jakarta. Kedua belah
pihak berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina RRC. Mereka menikah di Purwakarta pada 1950. Dalam perkara ini penggugat mendalilkan bahwa hukum yang
berlaku dalam perceraian ini adalah Undang-Undang Perkawinan RRC yang mulai berlaku pada 1 Mei 1950. Pasal 17 undang-undang tersebut mengatur persyaratan
perceraian yang lebih mudah daripada KUH Perdata Indonesia. Pasal tersebut
perkara perceraian antara para pihak suami-isteri yang kedua-duanya warga negara Jerman, bahwa harus dipakai hukum BGB Jerman. Bagi Ibu Hakim tersebut dianggap agak ganjil bahwa dalam bumi
Indonesia bisa berlaku hukum cerai negara asing.
89
Ibid
90
Sudargo Gautama [5]. Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid II Bagian Ketiga Buku ke-4
, Bandung : Alumni, 1989, hal. 24
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
menentukan bahwa perceraian harus dikabulkan jika ada persetujuan dari kedua belah pihak atau dari salah satu pihak saja jika telah dicoba untuk didamaikan pemerintah
distrik dan pejabat yustisi dan tidak berhasil. Dalam perkara ini, penggugat mendalilkan bahwa undang-undang perkawinan
RRC Tahun 1950 harus diberlakukan, karena perkawinan termasuk status personal. Menurut kaidah HPI Indonesia, yakni Pasal 16 AB, persoalan yang berkaitan dengan
status personal harus tunduk hukum nasionalnya. Oleh karena mereka merupakan warga negara RRC, maka undang-undang perkawinan RRC itulah yang berlaku.
Tetapi dalam kasus ini penerapan hukum asing tersebut masih bermasalah karena hal tersebut bersinggungan dengan ketertiban umum. Penggugat mendalilkan
untuk yang beragama Islam, perceraian dapat dicapai dengan jalan talak dari suami dengan tidak perlu disertai alasan. Dengan kondisi yang demikian itu, maka
perceraian tanpa disertai alasan, tetapi dikehendaki kedua belah pihak atau salah satu pihak sebagaimana diatur Pasal 17 Undang-Undang Perkawinan RRC, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia. Didalilkan lebih jauh bahwa dalam Hukum Indonesia sendiri sudah lama dipraktikkan perceraian dengan
persetujuan bersama ini, walaupun segala sesuatu terjadi dengan dalih-dalih terselubung. Inilah yang dikenal sebagai de grote leugen dusta yang besar dalam
acara-acara peradilan berkenaan dengan perceraian. Salah satu pihak mendalilkan “perzinaan”, sedangkan pihak tergugat tidak mengadakan perlawanan dan
menyerahkan segala sesuatu ini kepada kebijaksanaan hakim. Karena tidak menyangkal, menurut teori hukum acara perdata, maka dianggaplah terbukti apa yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
didalilkan penggugat itu, maka atas dasar ini gugatan perceraian dapat dikabulkan. Padahal kata sepakat yang demikian dilakukan adalah suatu kebohongan besar dari
kedua belah pihak dan hanya untuk memuluskan adanya perceraian.
91
Dalam kenyataannya sudah lama Pasal 208 KUH Perdata yang melarang perceraian atas persetujuan keduabelah pihak merupakan huruf mati belaka.
92
Pengadilan berpendapat, alasan penggugat tersebut salah. Tidak boleh dilupakan bahwa Indonesia sebelum pengakuan kedaulatan 1949 berlaku hukum
perdata yang berlainan bagi masing-masing golongan penduduk. Ketentuan ini masih berlaku sampai dengan perkara diadili. Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur
Asing untuk perkara perceraian ini berlaku KUH Perdata, termasuk pula Pasal 208 KUH Perdata tersebut.
Bagi Warga negara Indonesia keturunan asing, BW dan kaedah-kaedah “Hukum Barat” masih tetap dianggap hukumnya, walaupun dengan instruksi Ketua
Presidium Kabinet Ampera No.31U121966 dinyatakan Pasal 131 dan 163 IS itu harus dianggap tidak berlaku lagi. Tetapi instruksi itu juga mengatakan, bahwa
mengenai perkawinan, warisan, dan lain-lain ketentuan-ketentuan hukum perdata bagi golongan-golongan penduduk yang bersangkutan masih tetap berlaku, sehingga
kini belum tampak perubahan-perubahan yang penting dalam pelaksanaan penghapusan golongan penduduk, baik dari pihak penegak hukum Pemerintah
91
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati. Hukum Perdata : Hukum Orang Keluarga, Medan :USU Press, 2011, hal. 82
92
Begitu juga Pasal 39 2 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak dibenarkan pihak suami isteri bercerai dengan alasan memakai
prinsip kata sepakat.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
administrasi dan Peradilan, maupun dari pihak golongan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing sendiri, sebagai golongan utama yang terkena peraturan ini.
93
Sebagai alasan untuk itu dikemukakan bahwa apabila warga negara RRC menjadi warga negara Indonesia, maka mereka itu akan diklasifikasikan dalam
golongan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing yang menggunakan ketentuan hukum KUH Perdata.
Berdasar pertimbangan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta berpendapat bahwa Pasal 208 KUH Perdata harus dianggap sebagai bersifat ketertiban umum. Menurut
Pasal 208 KUH Perdata, perceraian tidak dapat diperoleh atas persetujuan belaka dari keduabelah pihak.
Dalam suatu keputusan yang dipertimbangkan secara baik, Pengadilan menganggap bahwa perceraian adalah suatu hal yang termasuk bidang openbare orde.
Oleh karena itu, perceraian hanya akan diucapkan menurut dasar-dasar yang dikenal dalam hukum Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam BW mengenai perceraian
dianggap bersifat mutlak, demikian rupa, hingga selalu harus dipergunakan oleh hakim Indonesia, dalam mengadili perceraian dari orang-orang yang berada di
Indonesia, sekalipun mereka ini berstatus asing. Oleh karena itu tidak diperkenankan perceraian atas dasar persetujuan bersama.
4. Persoalan jurisdiksi dalam perkara-perkara perceraian
93
Sunarjati Hartono [1]. Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991 , hal. 44
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Berbagai negara di dunia memiliki peraturan perceraian yang berbeda satu sama lainnya. Keadaan ini berakibat bahwa dalam masalah mengenai perceraian, tiap
negara segera pasang kuda-kuda dengan menerapkan azas ketertiban umum atau public policy
. Hampir semua perceraian internasional melibatkan kompleksitas yang membuat
perceraian ini jauh lebih menantang daripada perceraian biasa yang melibatkan warga negara dan penduduk hanya satu negara. Mungkin ada konsekuensi imigrasi atau
implikasi tentang kewarganegaraan. Dalam hampir setiap perceraian internasional, ada pertanyaan tentang yurisdiksi. Pengadilan dan hukum nasional dari setidaknya
dua negara akan terlibat, dan mungkin lebih jika pasangan tinggal di negara-negara asing lainnya juga.
Tentunya cara “melawat ke luar negeri” ke tempat-tempat buitenlandse heistellingsoorden
ini secara geografis terbatas kepada kelompok negara-negara tertentu yang letaknya berdekatan, karena hanya kadang-kadang saja, orang-orang
yang finansiilnya kuat sekali kedudukannya, yang mampu untuk melancong ke negara-negara jauh, khusus untuk memperoleh perceraian ini. Karena bertambah
mudahnya lalu lintas internasional dewasa ini kemungkinan forum shopping juga bertambah.
94
94
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 274
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Mengenai perceraian dengan segala akibat hukumnya, di dalam Hukum Perdata Internasional berkembang beberapa asas yang menyatakan bahwa hal tersebut harus
diselesaikan berdasarkan sistem hukum dari tempat :
95
1. sistem hukum tempat perkawinan diresmikan atau dilangsungkan lex loci
celebrationis 2.
sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warga negara setelah perkawinan joint nationality
3. sistem hukum dari tempat suami isteri berkediaman tetap bersama-sama setelah
perkawinan joint residence atau tempat suami berdomisili tetap setelah perkawinan.
4. tempat diajukannya perceraian lex fori
Perbedaan yang demikian besar dalam perundang-undangan perceraian dari berbagai negara, nyata pula kecondongan kepada lex fori. Persoalan perceraian dalam
Hukum Perdata Internasional ini menjadi berubah sifatnya menjadi persoalan yurisdiksi. Dengan demikian, dalam menghadapi perceraian internasional, suatu
negara cenderung untuk menyelesaikannya berdasarkan lex fori dengan mempergunakan hukum nasionalnya sendiri.
96
Pasal 3 AB hanya menentukan, bahwa selama oleh undang-undang tidak ditentukan lain, maka hukum perdata dan hukum dagang adalah sama bagi
warganegara dan orang asing.
95
Bayu Seto Hardjowahono, Op.Cit., hal. 157-158
96
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 275
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Pada umumnya kewarganegaraan tidak dipakai untuk menentukan kompetensi. Domicilie lah yang dipergunakan sebagai titik taut. Hal ini memang sejalan dengan
apa yang umum diterima dalam sistem-sistem Hukum Acara Perdata Internasional dari negara-negara lain di dunia ini.
Dalam pasal-pasal yang tersebut di atas, dipergunakan “tempat kediaman” woonplaats sebagai yang menentukan yurisdiksi pengadilan.
Bilamana hendak dipertahankan prinsip nasionalitas, maka hal ini juga dapat dilakukan dengan menerima suatu kombinasi antara prinsip domisili dan nasionalitas
ini. Misalnya dapat ditentukan bahwa prinsip nasionalitas ini akan dipertahankan terhadap orang-orang asing yang belum 2 dua tahun menetap di Indonesia. Apabila
mereka sudah lebih dari 2 dua tahun menetap di Indonesia, maka tidak akan dipakai lagi hukum nasional mereka berkenaan dengan status personal, hukum Indonesialah
yang berlaku. 5.
Pengakuan terhadap keputusan perceraian dan pisah hidup menurut Conventions on the recognition of divorces and legal separations
Hukum perceraian internasional mempunyai aturan kompetensi khusus. Persoalan kompetensi dalam perkara-perkara perceraian ini berhubungan erat dengan
masalah pengakuan terhadap keputusan-keputusan cerai yang telah dibuat di luar negeri.
97
Sesuai dengan azas kewarganegaraaan, maka suatu keputusan cerai yang diucapkan di luar negeri antara para pihak yang kedua-duanya adalah warga negara
97
Sudargo Gautama [2], Op.Cit., hal. 219
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Indonesia hanya dapat diakui oleh Hakim Indonesia, jika keputusan bersangkutan disandarkan atas alasan-alasan yang dikenal dalam Hukum Indonesia.
98
Yang perlu diatur sebaik-baiknya ialah supaya sedapat mungkin diperkecil perbedaan pendapat mengenai persoalan-persoalan hukum yang menyangkut dalam
bidang ini. Apabila hakim negara tertentu telah mengucapkan perceraian, maka seyogianya oleh hakim negara lain, putusan cerai ini diakui pula. Dengan demikian
akan dihindarkan terjadinya perceraian-perceraian pincang divorce boituex, limping divorces, hinkende echtsheidingen
. Misalnya seorang dalam negara X dianggap bercerai, tetapi tidak dalam negara Y, supaya tercapai harmoni sedemikian rupa
hingga perceraian dalam negara X diakui pula sepenuhnya dalam Y dan juga dalam negara-negara lain, maka sudah teranglah bahwa mempelai bersangkutan yang telah
bercerai ini akan mudah dapat menikah kembali remarrier, remarriage dalam negara-negara lain.
99
Kecenderungan untuk hidup bersatu adalah kodrat naluri manusia. Dalam keadaan semacam itu, norma yang mengatur ragam aktivitas tersebut tentu tidak
diserahkan kepada aturan normatif suatu negara tertentu. Hal itu disebabkan hukum nasional suatu negara berdaulat, batas berlakunya hanya di dalam teritorial negara
tersebut. Untuk itu, pengaturan tentang berbagai kepentingan bersama antar negara berdaulat, tentu akan diupayakan dalam bentuk kesepakatan bersama antar negara-
98
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 313
99
Ibid, hal. 222
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
negara yang lazimnya dituangkan dalam bentuk “perjanjian internasional.
100
Instrumen itulah yang paling mungkin untuk digunakan dalam menangani berbagai persoalan transnasional yang dihadapi bersama. Memang setiap negara merdeka dan
berdaulat memiliki sistem HPI yang berlainan satu sama lain. Untuk mengatasi kesulitan yang terjadi manakala muncul persoalan perdata dan melibatkan dua negara
atau lebih, biasanya negara-negara berupaya mengadakan kerjasama internasional dengan jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan menciptakan
unifikasi di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata. Akan tetapi upaya tersebut bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan seluruh sistem hukum intern dari
negara-negara peserta konperensi, melainkan sekedar upaya untuk menyelaraskan kaidah-kaidah HPI-nya. Selanjutnya, penyelesaian persoalan untuk masalah-masalah
hukum perdata tertentu akan dapat dilakukan oleh badan-badan peradilan masing- masing negara peserta.
101
Permasalahan perceraian internasional ini ternyata telah diupayakan penyelesaiannya pada konferensi tentang Hukum perdata Internasional ke sebelas
yang diselenggarakan di Den Haag tanggal 7 sampai 26 Oktober 1968. Pada konferensi tersebut telah diterima suatu Konvensi tentang pengakuan keputusan
perceraian dan pisah hidup Conventions on the recognition of divorces and legal
100
Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Binacipta, 1978, hal. 109-114
101
Sudargo Gautama [1], Op. cit., hal. 5.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
separations . Konferensi Den Haag inilah yang pertama kali dimana RI turut serta
pula, walau baru sebagai “observer”.
102
Konvensi mengenai pengakuan perceraian ini telah diterima setelah mengalami kesulitan dan perdebatan yang hangat. Terutama karena di antara negara-negara
anggota terdapat negara-negara yang tidak mengenal perceraian seperti Itali dan Spanyol. Di lain pihak, negara-negara yang dianggap menurut hukumnya “terlampau
mudah” memberikan “perceraian”, yakni negara-negara yang mengenal sistem talak seperti Israel, juga menimbulkan persoalan bagi berbagai negara yang mengenal
sistem lebih strict dalam meluluskan perceraian ini.
103
Menghindarkan perceraian-perceraian pincang dan memudahkan hak untuk menikah kembali inilah yang merupakan tujuan utama Konvensi Den Haag pada
Konferensi ke-11 tahun 1968 ini.
104
Konvensi ini hanya akan memakai sistem apa yang dinamakan “Convention Simple”. Pada Konvensi semacam ini maka tidaklah oleh Konvensi dibebankan suatu
peraturan kompetensi yang demikian mengikatnya hingga para hakim dari negara- negara peserta akan harus mengucapkan sendiri perceraian atau hidup terpisah, tetapi
ia hanya wajib untuk mengakui perceraian-perceraian yang telah diucapkan oleh instansi dari negara peserta lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yurisdiksi yang
telah ditentukan dalam Konvensi yang bersangkutan.
105
102
Ibid, hal. 13
103
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 318
104
Sudargo Gautama [2], Op.Cit., hal. 222
105
Ibid
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Untuk menjamin bahwa jumlah ratifikasi Konvensi ini bisa menjadi sebesar mungkin diadakan pembatasan pula dari berlakunya Konvensi yang bersangkutan,
hingga tak termasuk di dalamnya perintah-perintah yang kondemnatoir dan menyertai suatu keputusan cerai, misalnya mengenai kewajiban memberikan nafkah atau
mengenai kewajiban finansial berkenaan dengan anak-anak dan pendidikan serta pemeliharaan anak.
106
Tujuan konvensi ini ialah menjamin bahwa keputusan-keputusan cerai dan hidup terpisah dalam negara peserta yang satu dijamin pengakuannya dan realisasinya
misalnya untuk menikah lagi dalam negara-negara perserta lainnya. Hakim negara-peserta X tidak akan menguji mengenai hukum yang telah
dipergunakan oleh hakim negara Y tempat perceraian telah diucapkan. Yang hanya diperhatikan ialah kontrol secara terbatas.
Dalam rangka menjembatani dua prinsip ekstrim antara negara-negara yang sistem hukumnya sama sekali tidak mengenal perceraian seperti Italia dan Spanyol
dan negara-negara yang sistem hukumnya sangat mempermudah perceraian Israel dan negara-negara islam, dalam Konvensi Den Haag 1968 tentang pengakuan
perceraian telah berhasil disetujui perumusan-perumusan sebagai berikut :
107
Pasal 1 , mengenai keputusan perceraian dan pisah hidup yang telah diakui oleh salah satu negara peserta, akan diakui pula oleh negara peserta lainnya
Pasal 2, mengenai masalah kompetensi ditentukan bahwa keputusan perceraian dan pisah hidup yang diputuskan di salah satu negara peserta akan diakui pula
oleh negara peserta lainnya bila pada waktu dimulainya proses perkara di
106
Ibid, hal.224
107
Purnadi Purbacakara dan Agus Brotosusilo, Op.Cit., hal. 50
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
negara yang memberikan keputusan dipenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut :
1. Pihak tergugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut.
2. Pihak penggugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut, di
samping itu memenuhi salah satu syarat di bawah ini : a.
“habitual residence” tersebut telah berlangsung tidak kurang dari setahun sebelum dimulainya perkara
b. “habitual residence” terakhir suami-isteri adalah negara tersebut.
3. Kedua mempelai adalah warga negara dari negara bersangkutan, atau
4. Penggugat adalah warga negara dari negara tersebut, dengan memenuhi
salah satu syarat sebagai berikut : a.
Penggugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut b.
Penggugat telah mempunyai “habitual residence” di negara tersebut secara terus menerus selama setahun, dalam jangka waktu 2 tahun
sebelum dimulainya perkara.
5. Penggugat adalah warga negara dari negara tersebut, dan memenuhi salah
satu syarat sebagai berikut : a.
Penggugat berada dalam negara tersebut pada waktu dimulainya perkara.
b. “habitual residence” terakhir suami-isteri berada pada suatu negara,
yang pada waktu dimulainya perkara, tidak mengenal perceraian.
108
Yang merupakan pertanyaan ialah bagaimana jika tidak ada tempat tinggal bersama ini?
Apabila yang dihadapi adalah suatu perkawinan campuran suami isteri dari negara berbeda maka lazimnya tidak akan ada kediaman dalam negeri yang sama itu.
Biasanya kalau timbul percekcokan, masing-masing kembali ke negara bersangkutan. Jadi tidak dapat dipakaikan hukum yang dimaksudkan tadi. Dalam hal demikian
dipakailah lex fori. Tetapi harus diperhatikan, di sini hanya dipakai suatu ‘jalan keluar yang darurat’. Pokoknya ialah :
1. Jika ada kewarganegaraan yang sama, akan dipakai hukum nasional para
pihak;
108
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 319
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Jika kewarganegaraan berbeda, dipakai hukum dari domisili bersama
maatschappelijke woonplaats ; 3.
Jika kewarganegaraan berbeda, tidak dapat menunjuk kepada hukum nasional tertentu. Dengan demikian pihak hakim adalah bebas untuk menganut
pendirian lain. Dalam hal ini pada tempatnya untuk meletakkan titik berat atas tempat tinggal bersama yang terakhir.
109
Dengan adanya pemecahan demikian ini, tampaklah berkurang kemungkinan timbulnya perkawinan pincang hinkende huwelijken, matrimonium claudicantia
yang artinya perkawinan yang telah diputuskan dengan cerai di negara forum, tetapi masih belum terputus di negara nasional para mempelai.
Kiranya cara-cara penyelesaian yang diusulkan ini, mutatis mutandis dapat pula dipergunakan untuk penyelesaian dari perkara-perkara perceraian di Indonesia.
110
Berbagai ketentuan tersebut di atas dilakukan untuk mencegah ‘forum shopping
’ secara tidak sepantasnya. Tetapi, tendensi yang nyata ialah untuk sedapat mungkin meluaskan bidang pengakuan dari putusan-putusan cerai yang sudah
diperoleh di luar negeri.
109
Ibid, hal. 309
110
Ibid, hal. 312
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
BAB III KEKUATAN HUKUM PUTUSAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
YANG DIKELUARKAN OLEH PENGADILAN DARI NEGARA LAIN TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA
A. Tinjauan Hukum Harta Benda Perkawinan Menurut Hukum Perdata