Untuk Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional Indonesia telah diusulkan perumusan : apabila kewarganegaraan suami isteri sama adanya
atau berbeda, jika kewarganegaraannya sama, maka diusulkan : hukum harta benda perkawinan antara suami isteri diatur menurut hukum nasional pada
perkawinan dilangsungkan. Mengenai harta benda suami dan isteri apabila di antara mereka tidak diadakan perjanjian perkawinan akan dikuasai oleh hukum
nasional. Apabila kewarganegaraan suami isteri berbeda : Hukum yang berlaku untuk harta benda perkawinan dari suami isteri yang berbeda kewarganegaraan
adalah hukum yang ditunjuk oleh para pihak sendiri.
136
Apabila para pihak tidak menentukan hukum untuk harta benda perkawinan
mereka itu, maka hukum intern dari negara dimana para pihak telah untuk pertama kali setelah perkawinan mempunyai kediaman de facto, adalah yang berlaku.
137
B. Pengaturan Pembagian Harta Bersama Suami Isteri menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974
Masalah harta gono-gini ini sering menjadi isu hangat di masyarakat Indonesia. Pasangan suami isteri yang telah bercerai justru semakin diributkan dengan masalah
pembagian harta gono-gini yang memang terkenal rumit. Bahkan, keributan itu selalu berujung pada semakin panasnya sidang-sidang perceraian di pengadilan.
138
Penyelesaian masalah pembagian harta gono-gini jarang sekali diselesaikan secara tuntas dan memuaskan karena banyak pasangan suami isteri yang tidak
membuat perjanjian perkawinan sebelum menikah. Padahal, perjanjian ini sangat penting sebagai pedoman jika suatu saat nanti pasangan suami isteri terpaksa harus
136
Ibid, hal. 254
137
Ibid, hal. 255
138
Happy Susanto. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta : Visimedia, 2008, hal.iii
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
bercerai karena permasalahan rumah tangga mereka yang tidak bisa diselesaikan secara damai.
139
Tidak adanya bukti perjanjian perkawinan menyebabkan pasangan suami isteri yang tengah bercerai dalam proses perkara pengadilan bisa saja memanipulasi
bahwa “harta ini” dan “harta itu” merupakan miliknya.
140
Harta gono-gini tidak membedakan asal-usulnya yang menghasilkan. Artinya, harta dari siapa pun yang menghasilkannya atau diatasnamakan siapapun di antara
mereka, asalkan harta itu diperoleh selama masa perkawinan kecuali hibah, dan warisan, maka tetap dianggap sebagai harta gono-gini.
141
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memuat beberapa pasal tentang harta benda perkawinan, tepatnya dalam Bab VII Pasal 35
sampai dengan Pasal 37. Apabila melihat peraturan yang mengatur tentang harta benda perkawinan,
dapat dikaji dalam Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 : a.
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing- masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
139
Ibid, hal.iii
140
Ibid, hal.6
141
Ibid, hal.13
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Yang dimaksud dengan ruang lingkup harta bersama yaitu uraian yang memberikan penjelasan bagaimana cara menentukan apakah suatu harta termasuk
atau tidak dalam kategori sebagai objek harta bersama antara suami isteri dalam suatu perkawinan. Dalam pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 maupun yurisprudensi, memang telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama, namun
secara In-konkrito tidaklah sesederhana itu dalam penerapannya. Pada praktik di peradilan, ketentuan tentang batasan harta bersama tidak mudah
dan sesederhana seperti bunyi pasal-pasalnya. Perkembangan yang pesat bidang ekonomi dan perdagangan membuat harta yang diperoleh dalam kehidupan rumah
tangga semakin beragam.
142
Melalui pendekatan yurisprudensi dan putusan pengadilan, ada 5 lima hal atau patokan yang menentukan, termasuk dalam lingkup harta bersama.
143
a. Harta yang dibeli selama perkawinan
Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk dalam kategori objek harta bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan pembelian.
Jadi, setiap pembelian suatu barang yang dilakukan selama dalam ikatan perkawinan, maka harta atau barang tersebut menjadi harta bersama. Hal yang demikian tanpa
mempersoalkan, apakah suami atau isteri yang membeli, apakah harta itu
142
NM. Wahyu Kuncoro, Op.Cit., hal. 140
143
M. Yahya Harahap [3]. Op.Cit., hal.303-306
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
tercatatterdaftar atas nama suami atau isteri. Dengan kata lain, apa saja yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan otomatis menjadi harta bersama.
b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta
bersama Untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek harta bersama adalah
ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun sesudah terjadi perceraian.
Gambaran tentang patokan kedua ini adalah misalnya suami isteri mempunyai simpanan di bank yang dikuasai suami atau isteri sebagai harta bersama. Kemudian
terjadi perceraian, tapi tidak sempat dibagi harta bersama tersebut. Namun, suami atau isteri yang menguasai simpanan itu membeli barang atau bangunan dengan uang
simpanan tersebut, maka barang yang dibeli atau bangunan itu menjadi harta bersama. c.
Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan Patokan yang ketiga adalah sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni
bahwa semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan adalah harta bersama. Namun patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang temasuk objek harta
bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan melalui pembuktian. Sebab hak kepemilikan bisa dialihkan berdasarkan atas hak pembelian,
warisan atau hibah. d.
Penghasilan harta bersama dan harta bawaan Patokan keempat ini menentukan bahwa baik penghasilan yang tumbuh dari
harta bersama, maupun penghasilan yang tumbuh dari hasil pribadi atau isteri.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dengan demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi
mutlak berada di bawah kekuasaan pemilikinya, namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Dengan kata lain, barang pokoknya memang
tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh daripadanya, jatuh menjadi harta bersama.
e. Segala penghasilan pribadi suami istri
Patokan yang kelima ini menentukan bahwa sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi
penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum sepanjang suami isteri tidak menentukan lain yang
didasarkan atas perjanjian perkawinan. Selanjutnya Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa : 1
Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
2 Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. “Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta
bersama dalam perkawinan adalah suami dan isteri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu”.
144
Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
145
Aturan-aturan pasal tersebut pada dasarnya telah memberikan gambaran yang cukup jelas. Namun secara implisit apabila di analisis lebih lanjut ternyata ungkapan
pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan bahwa yang dimaksud dengan: “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.
Pembagian menurut hukum masing-masing ini yang akan menjadi benturan dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict of law karena
pengaturan harta benda perkawinan dan pembagian harta bersama pasca perceraian menurut hukum agama dan hukum adat berbeda yang memiliki aturan masing-masing.
Memperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan dan penjelasannya, ternyata Undang-Undang Perkawinan ini tidak memberikan keseragaman hukum
positif tentang bagaimana penyelesaian harta bersama apabila terjadi perceraian. akibatnya timbul kesulitan bagi pihak penyelenggara hukum untuk menyelesaikan
perkara yang berhubungan dengan harta bersama. Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, maka
Undang-Undang memberikan jalan pembagian sebagai berikut :
144
Surojo Wognjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Djambatan, 1973, hal. 56
145
M. Yahya Harahap [3], Op.Cit., hal. 259
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian. 5.
Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang
bersangkutan. 6.
Atau hukum-hukum lainnya.
146
Hukum-hukum lainnya yang dimaksud di sini yang harus diperhatikan adalah bagi umat Islam berlaku Kompilasi Hukum Islam dalam pembagian harta gono-gini,
sedangkan bagi penganut agama lainnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek tentang masalah harta bersama dalam perkawinan.
147
Pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa apabila suami isteri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian pisah harta di antara
mereka maka akibat dari perkawinan itu adalah pencampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan milik berdua bersama-sama dan bagian masing-masing
dalam kekayaan bersama itu adalah separuh.
148
Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri
sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 139-154 KUH Perdata. Adapun berkaitan dengan pembagian
146
Ibid, hal. 125
147
Happy Susanto. Op.Cit., hal.39
148
R.Wirjono Prodjodikoro [2], Op.cit ., hal. 107
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
harta bersama, Pasal 128 KUH Perdata menetapkan bahwa “Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara
para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.”
Dengan demikian, Undang-Undang Perkawinan membuka peluang hukum lainnya mengatur harta bersama tersebut. Pengaturan tersebut sangat abstrak dan
umum serta tidak bersifat rinci. Undang-Undang bagaimana tentang harta bersama dan juga tidak menentukan tata cara pembagiannya serta jumlah masing-masing.
Menghadapi permasalahan dan kesulitan dalam pelaksanaan undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 itu diperlukan langkah-langkah memadai dari
aparat pelaksana undang-undang khususnya hakim, untuk mengisi kekosongan- kekosongan yang ada dari hukum itu agar Undang-Undang Perkawinan nomor 1
Tahun 1974, dapat berjalan efektif di tengah-tengah masyarakat. Dalam mengisi kekosongan hukum, peranan hakim sangat menentukan, yaitu
melalui putusan-putusannya. Undang-undang pada hakikatnya memang dimaksudkan melindungi baik individu maupun masyarakat, tetapi pembentuk undang-undang
kiranya mustahil dapat memperhitungkan, memperhatikan, dan menuangkan segala ragam bentuk kehidupan masyarakat dalam suatu Undang-Undang. Pembentuk
undang-undang yang hanya dapat memberi ketentuan yang bersifat umum. Oleh
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
sebab itu, tidak mungkin mengatur segala-galanya secara perinci, sehingga perlu sebagian tugas diserahkan pada hakim.
149
Melalui putusan-putusannya, hakim menilai dan memberikan interpretasi pada ketentuan-ketentuan tersebut dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dalam
masyarakat. Dengan demikian, walaupun undang-undang mengatur secara abstrak dan umum, nilai keadilan dalam masyarakat harus tetap diperhatikan.
Menurut pendapat M Yahya Harahap : Pikiran pembuat Undang-Undang mengenai penyelesaian pembagian harta
bersama diserahkan kepada kehendak dan kesadaran masyarakat dan Hakim yang akan mencari dan menemukan dalam kesadaran hukum masyarakat untuk
dituangkan sebagai hukum objektif. Pendapat kedua ia menyatakan pembuat Undang-Undang tidak usah ditentukan one way traffic sebagai satu saluran
hukum positif sebab berdasarkan kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, tentang hal ini masih menuju perkembangan bentuk yang
lebih serasi sebagai akibat meluasnya interaksi antara segala unsur kesadaran yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia. Namun berdasarkan yurisprudensi
pada keputusan-keputusan Pengadilan tentang pembagian harta bersama pasca perceraian, harta bersama yang diperoleh selama perkawinan harus dibagi dua
bersama antara suami dan istri.
150
Secara umum pembagian harta bersama, baik menurut hukum agama, hukum
adat, KUH Perdata, dan KHI menetapkan bahwa masing-masing suami isteri memiliki hak yang sama terhadap harta bersama, yaitu separuh dari harta bersama.
Ada kecondongan masing-masing dari pasangan tersebut mendapat bagian yang sama. Artinya, pasangan yang tidak bekerja tetap mendapatkan bagian. Pembagian seperti
149
Sudikno Mertokusumo [2]. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993, hal.
150
M. Yahya Harahap [3], Op.Cit., hal. 126
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
ini berlaku tanpa harus mempersoalkan pihak yang berjerih payah untuk mendapatkan harta kekayaan selama perkawinan. Harta bawaan dan harta perolehan
tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing-masing.
151
Berdasarkan ketentuan ini, harta gono-gini dapat dibagi dengan tidak memperhatikan dari mana asal barang-
barang itu. Yang pasti, masing-masing pihak mendapatkan 50 dari harta gono-gini itu. Sementara itu utang-utang yang merupakan bagian dari kebersamaan harta
kekayaan dipikul secara bersama dengan jumlah 50.
152
Putusan Mahkamah Agung RI No. 1448 KSip1974, tanggal 9 Nopember 1976 menyatakan: “Sejak berlakunya UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama harus dibagi sama rata antara bekas suami
isteri.” Seperti pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian di kalangan
Warga Negara Indonesia keturunan pribumi beragama non muslim, khususnya pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI Nomor 100 KSip1967 tanggal 4 Januari 1968 juncto Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 831965 tanggal 2 Nopember 1966: Janda berhak
mendapatkan separuh dari harta bersama, dan sisanya diwariskan kepada janda dan anak-anak pewaris dengan bagian yang sama besarnya.
153
Begitu juga pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan parental di Jawa, dalam Putusan
151
Happy Susanto, Op.Cit., hal.37
152
Ibid hal.23
153
Runtung. Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia, makalah, tt, hal. 74
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Mahkamah Agung Nomor 387 KSip1958 tanggal 25 Pebruari 1959 yang menyatakan hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, bahwa seorang janda layak
mendapat separoh dari harta gono-gini.
154
Bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam juga dengan berlakunya Kompilasi Hukum Islam pada pasal 97 menyatakan bahwa : “Janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
155
Sebelum harta bersama dibagi antara mantan suami dan mantan isteri, perlu melakukan inventarisasi dan penentuan status semua harta yang ada dalam
perkawinan. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah keberadaan perjanjian yang menyangkut harta kekayaan dalam perkawinan perjanjian pra nikahperjanjian
pemisahan harta. Jika ada perjanjian yang menentukan status harta kekayaan dalam perkawinan maka isi perjanjian tersebut dijadikan pedoman untuk menentukan harta
bersama.
156
Apabila dalam perkawinan tidak ada perjanjian tersebut, maka harus ditentukan harta benda yang merupakan harta pribadi dan harta perkawinan yang termasuk harta
bersama. Setelah dapat ditentukan dan disepakati maka dihitung jumlah harta tersebut beserta kewajiban utang serta piutang yang ada selama perkawinan. Setelah
154
Ibid, hal. 80
155
H.A Damanhuri HR. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Bandung : Mandar Maju, 2007, hal. 34
156
NM. Wahyu Kuncoro, Op.Cit, hal. 154
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
penghitungan harta dan utang piutang diselesaikan, harta bersama dibagi dua, setengah untuk mantan suami dan setengah untuk mantan isteri.
157
Namun praktiknya, pembagian harta gono-gini perlu didasarkan pada aspek keadilan untuk semua pihak yang terkait. Pembagian dengan komposisi dibagi dua
atau dengan persentase 50:50 pun belum tentu sepenuhnya dianggap adil dan keputusannya juga tidak mutlak. Jika ternyata suami menganggur total, tetapi tidak
mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan harta gono gini dibagi dua akan menjadi pertanyaan besar. Apakah pembagian ini bisa dikatakan adil? Pihak
pengadilan dapat memutuskan persentase lain dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya, atas dasar pertimbangan siapa yang mengurus dan membiayai
anak, siapa yang berkontribusi terhadap harta gono-gini lebih besar, dan siapa yang ternyata mampu membiayai hidup sendiri.
C. Pengaturan Pembagian Harta Bersama dalam Hukum Keluarga