Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Caisim: Pendekatan Stochastic Production Frontier (Kasus di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor)

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia dengan berbagai keragaman memungkinkan pengembangan berbagai jenis tanaman hortikultura, baik yang beradaptasi pada iklim tropis maupun subtropis. Menurut WWF (2010), telah terdaftar sebanyak, 323 jenis komoditas hortikultura yang terdiri atas 60 jenis buah-buahan, 80 jenis sayur-sayuran, 66 jenis biofarmaka, dan 117 jenis tanaman hias1.

Pengembangan dari usaha hortikultura memiliki berbagai fungsi antara lain: (1) Fungsi ekonomi, yaitu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan perekonomian nasional, (2) Fungsi ekologi, yaitu membantu kelestarian lingkungan hidup, meminimalkan pemanasan global, serta meningkatkan kualitas kehidupan dan, (3) Fungsi sosial, meningkatkan interaksi masyarakat, memelihara kearifan lokal, mengembangkan budaya adiluhung, serta pemahaman dan penghayatan tentang manfaat hortikultura2.

Keberagaman dari produk hortikultura juga memberi kontribusi terhadap perekonomian di Indonesia. Kontribusi komoditas hortikultura terhadap perekonomian nasional dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Berikut nilai PDB hortikultur periode 2008-2009 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Bedasarkan Harga Berlaku Periode 2008-2009 No

Komoditas Nilai PDB (Milyar Rp) Δ

(%)

2008 2009

1 Sayur-sayuran 28.205 30.508 8.16

2 Buah-buahan 47.060 48.437 2.93

3 Tanaman Hias 5.085 5.494 8.04

4 Obat-obatan 3.853 3.897 1.14

Total 84.203 88.334 4.91

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010 (diolah).

1

http://www.slideshare.net/lodzi/pengembangan-hotikultura-indonesia-presentation. (diakses 15 juli 2012).

2 http://ahok.org/dpr/laporan-kerja/baleg/rapat-pleno-baleg-dengan-pengusul-ruu-hortikultura/. (diakases 11 Jui 2012)


(2)

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa dari keempat komoditi hortikultura (buahan, sayur-sayuran, tanaman hias, dan obat-obatan), buah-buahan merupakan komoditi yang memeberi kontribusi terbesar senilai Rp 48.437 Milyar dengan peningkatan sebesar 2,93 persen. Namun jika dilihat dari pertumbuhannya komoditi sayur-sayuran merupakan komoditi dengan pertumbuhan terbesar sebesar 8.16 persen selanjutnya diikuti tanaman hias, buah, dan obat-obatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja dari komoditi sayuran yang meningkatkan dan memberi kontribusi besar untuk PDB hortikultura di Indonesia.

Komoditas hortikultura khususnya sayur-sayuran berpotensi ekonomis karena permintaan yang tinggi dan pertumbuhannya yang meningkat. Setiap tahunnya, Indonesia mengimpor sayur dan buah sebanyak 60 persen dari kebutuhan dalam negeri. Belanja impor sayur dan buah mencapai Rp 15 triliun tiap tahunnya. Buah dan sayur itu kebanyakan diimpor dari negara Asia. Hal ini terjadi karena selama ini petani dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi sayur dan buah dalam negeri3.

Kementrian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura mulai menyerukan GEMA Sayuran pada tahun 2010 untuk menambah permintaan akan sayuran. Gerakan Makan Sayuran (GEMA sayuran) merupakan kegiatan promosi dan kampanye intensif untuk meningkatkan citra, apresiasi dan cinta akan produk sayuran nasional yaitu sayuran produksi petani Indonesia sehingga dapat meningkatkan konsumsi sayuran masyarakat. Peningkatan konsumsi sayuran akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dan sekaligus dapat menghela produksi sayuran dalam negeri yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani4.

Dukungan terhadap program tersebut juga dilakukan pemerintah. Sejak tahun 2010 Presiden Republik Indonesia telah berkomitmen akan mensejahterakan petani dan memperbaiki infrastruktur pertanian nasional guna menargetkan lima sampai sepuluh tahun mendatang Indonesia akan swasembada komoditas pertanian.

3

Benny Kusbini dalam http://www.kbr68h.com/berita/nasional/19158-impor-sayur-indonesia-60-persen-dari-kebutuhan-dalam-negeri. (diakses 1 Maret 2012)

4


(3)

Berdasarkan bentuk hasil yang dilaporkan (Dirjen Hortikultura, 2010), komoditas sayuran terdiri dari umbi kering panen dengan daun, umbi daun, daun segar, umbi basah, daun krop, sayuran segar, umbi dengan ganggang, polong basah (Lampiran 1). Sayuran segar meupakan salah satu bentuk hasil sayuran yang banyak dikonsumsi di Indonesia mengingat bahwa dari 25 komoditas sayuran yang paling berkontribusi terhadap produksi sayuran nasional, lima diantaranya ditempati oleh sayuran segar seperti sawi, kembang kol, kangkung, bayam dan jamur. Pada Tabel 2, dapat dilihat produksi sayuran segar di Indonesia berdasarkan urutan kontribusinya.

Tabel 2. Produksi Sayuran Segar di Indonesia Berdasarkan Urutan Kontribusi Produksi Tahun 2009-2010

Komoditi 2009 Pesentase

(%) 2010

Pesentase

(%) Δ (%)

Sawi (Ton) 562.838 45.68 583,770 46.72 3.72

Kembang Kol (Ton) 96.038 7.79 101,205 8.10 5.38

Kangkung (Ton) 360.992 29.30 350,879 28.08 -2.80

Bayam (Ton) 173.750 14.10 152,334 12.19 -12.33

Jamur (Ton) 38.465 3.12 61.370 4.91 59.55

Sumber :www.bps.go.id5

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sawi merupakan sayuran segar dengan persentase terbesar yaitu sebesar 46,72 persen pada tahun 2010 yang sebelumnya meningkat dari 45.68 persen pada tahun 2009 dari total kontribusi sayuran segar nasional. Peningkatan tersebut disebabkan peningkatan luas panen rata-rata dan produktivitas rata-rata dari usahatani sawi6. Selanjutnya kontribusi terbesar diikuti dengan persentase kangkung. Bayam, kembang kol, kemudian jamur. Dari kelima komoditi tersebut, jamur merupakan komoditi dengan laju pertumbuhan tertinggi. Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang dimanfaatkan daun atau bunganya sebagai bahan pangan (sayuran), baik segar maupun diolah. Sawi mencakup beberapa spesies Brassica yang kadang-kadang mirip satu sama lain. Di Indonesia penyebutan sawi biasanya mengacu pada sawi

5

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55&notab=20. (diakses 1 maret 2012).

6


(4)

hijau (Brassica rapa kelompok parachinensis, yang disebut juga sawi bakso, caisim, atau caisin)7.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang fokus pada program pertanian. Sejak tahun 2009, Pemerintah Kota Bogor memfokuskan program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Kegiatan tersebut akan memperoleh dua keuntungan ganda. Fokus kebijakan peningkatan ketahanan pangan akan berdampak positif pada peningkatan produksi dan produktivitas, diversifikasi sumberdaya dan bahan pangan, serta revitalisasi kelembagaan (petani). Adapun fokus pengembangan agribisnis yakni mengembangkan agribisnis yang berorientasi global dengan membangun keunggulan komparatif sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang telah tersedia di Bogor.

Menurut Syukur dalam Gopur (2009), Caisim (salah satu jenis sawi) merupakan komoditi hortikultura yang banyak diusahakan karena umur panen caisim yang relatif singkat, termasuk jenis tanaman yang tahan terhadap hujan sehingga dapat dibudidayakan sepanjang tahun (tersedia air yang cukup) dan tahan terhadap suhu yang tinggi. Caisim pada awalnya dikenal sebagai tanaman daerah iklim sedang, tetapi saat ini berkembang pesat di daerah sub-tropis. Menurut Rukman (2002), Caisim dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan suhu pada malam hari rata-rata15,6 °C dan suhu siang hari rata-rata 21,1°C dan mendapat sinar matahari 10 – 13 jam per harinya. Pada umumnya, caisim ditanam di daerah dataran tinggi, bukan berarti tanaman ini tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah karena tanaman ini cukup tahan terhadap panas.

Caisim dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun paling baik adalah jenih tanah lempung berpasir (Andosol). Caisim termasuk ke dalam famili

Curciferae merupakan tanaman yang tahan terhadap air hujan, dan dapat dipanen sepanjang tahun tidak tergantung dengan musim. Oleh sebab itu petani yang mengusahakan caisim banyak ditemukan di Jawa Barat. Produksi caisim di Jawa Barat dapat dilihat di Tabel 3 di bawah ini.

7


(5)

Tabel 3. Produksi Caisim pada Tahun 2009 – 2010 di Jawa Barat

No Kabupaten Tahun (Ton) Δ (%)

2009 2010

1 Bogor 17.211 5.421 -68.50

2 Sukabumi 20.600 17.308 -15.98

3 Cianjur 27.508 14.829 -46.09

4 Bandung 53.898 55.297 2.60

5 Garut 37.923 49.664 30.96

6 Tasikmalaya 5.191 2.807 -45.93

7 Ciamis 493 666 35.09

8 Kuningan 4.434 5.489 23.79

9 Cirebon 0 0 0.00

10 Majalengka 8.736 7.175 -17.87

Sumber :http://diperta.jabarprov.go.id/index.php.(diakses 3 Maret 2012)

Berbeda dengan peningkatan produksi nasional, peningkatan produksi pada beberapa daerah di Jawa Barat menunjukkan hasil negatif. Pada kolom laju perubahan produksi dapat dilihat bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah yang penurunan produksi caisim terbesar yaitu sebesar 68,5 persen. Penyebab dari penurunan produksi selain diakibatkan oleh penurunan luas lahan tanam sayuran, juga bisa diakibatkan oleh faktor-faktor lain diluar penurunan luas lahan seperti faktor cuaca maupun tingkat efisiensi produksi (Nugraha, 2010). Selain itu, menurunan produktivitas juga menjadi alasan dari penurunan tersebut. Produktivitas dari komoditi caisim dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Realisasi Tanam dan Produktivitas Caisim Di Kabupaten Bogor Tahun Tanam (Ha) Δ (%) Produktivitas

(ku/Ha) Δ (%)

2009 1.132 95,66

2010 974 -13.96 58,48 -38.87

Sumber : Monografi Pertanian dan Kehutanan 20108

Menurut Badan Litbang Pertanian Kementrian Pertanian, Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu sentra produksi sayuran dataran rendah di Bogor yang memproduksi sayur-sayuran dalam jumlah besar termasuk caisim. Data produksi caisim di Kecamatan Cibungbulang disajikan dalam Tabel 5.

8


(6)

Tabel 5. Produksi Sayur-sayuran (Ton) di Kecamatan Cibungbulang Tahun 2010

No Desa Cabe Tomat Terong Kangkung Bayam Sawi/ Caisim

1 Situ Udik 6 34.0 15.0 50.0 16.0 60

2 Situ Ilir 6 34.0 15.0 40.0 20.0 60

3 Cibatok 2 0 17.0 15.0 30.0 16.0 36

4 Ciaruten Udik

6 17.0 15.0 40.0 12.0 60

5 Cibatok 1 0 17.0 15.0 30.0 16.0 60

6 Sukamaju 0 17.0 15.0 40.0 12.0 60

7 Cemplang 0 17.0 7.5 30.0 16.0 48

8 Galuga 0 17.0 15.0 40.0 16.0 48

9 Dukuh 6 17.0 15.0 50.0 12.0 60

10 Cimanggu 2

6 17.0 15.0 30.0 16.0 48

11 Cimanggu 1

0 17.0 7.5 40.0 16.0 48

12 Girimulya 0 17.0 15.0 30.0 16.0 36

13 Leuweung Kolot

0 17.0 15.0 40.0 16.0 36

14 Ciaruteun Ilir

12 17.0 15.0 60.0 28.0 72

15 Cijujung 6 17.0 15.0 50.0 12.0 48

Jumlah 48 289 210 600 240 780

Sumber : Kecamatan Cibungbulang dalam Angka, 2011.

Tabel 5 menjelaskan bahwa Desa Ciaruteun Ilir merupakan salah desa dengan produksi sayuran tertinggi di Kecamatan Cibungbulang, termasuk juga untuk komoditi caisim dengan jumlah produksi sebesar 72 ton. Caisim merupakan salah satu komoditas pertanian yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, produksi caisim menjadi sangat penting. Dengan demikian, untuk mencapai produksi yang optimal maka diperlukan ketepatan kombinasi dalam penggunaan input dan output sehingga akan tercapai efisiensi. Berdasarkan hal tersebut, efisiensi produksi caisim akan menjadi objek yang menarik untuk dikaji karena efisien penggunaan faktor produksi suatu usahatani bisa mempengaruhi pendapatan petani caisim di daerah tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Guna secara terus menerus memenuhi konsumsi konsumen terhadap komoditas sayur-sayuran (salah satu upaya mendukung GEMA Sayuran 2010), diperlukan pula produksi sayur-sayuran secara kontinyu untuk memenuhi


(7)

permintaan tersebut. Selain dukungan pemerintah, maka perlu juga kesadaran petani-petani sayur-sayuran untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi tersebut diharapkan selain untuk memenuhi kebutuhan konsumen sayuran, diharapkan pula dapat meningkatkan pendapatan petani sayur-sayuran. Pendapatan petani akan meningkat salah satunya dengan menggunakan faktor-faktor produksi secara efisien.

Salah satu jenis komoditas sayuran yang banyak diusahakan khususnya di Kecamatan Cibungbulang ialah caisim. Sebagai salah satu sentra pertanian di Kabupaten Bogor, di daerah tersebut banyak tersebar petani-petani sayur caisim. Caisim dengan produksi terbesar di Kecamatan Cibungbulang berasal dari Desa Ciaruteun Ilir. Meskipun desa ini merupakan desa dengan produksi caisim terbesar, namun berdasarkan catatan Petugas Penyuluh Lapangan Kecamatan Cibungbulang menyatakan bahwa produktivitas caisim di daerah tersebut masih rendah dan masih berpotensi untuk ditingkatkan meskipun secara regional (Tabel 3) produktivitasnya berada diatas produksi rata-rata Kabupaten Bogor. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor tahun 2010, Produktivitas caisim di Desa Ciaruteun Ilir sebesar 12 ton/Ha dan masih berpotensi untuk ditingkatkan.

Mengkaji permasalahan mengenai produktivitas sebenarnya terkait dengan efisiensi teknis. Efisiensi teknis dapat mempengaruhi tingkat produksi dengan menunjukkan pada seberapa besar output maksimum dapat dihasilkan dari tiap atau kombinasi input yang tersedia. Efisisensi teknis juga berhubungan dengan beberapa hal lain yang bisa dianalisis. Petani dapat dikatakan efisien jika menghasilkan output dengan kuantitas yang sama tetapi penggunaan input yang lebih sedikit dari petani lainnya atau menggunakan kuantitas dan kombinasi yang sama tetapi menghasilkan output yang lebih banyak dari petani lainnya.

Teknik budidaya yang dilakukan petani, termasuk penggunaan dari faktor-faktor produksi mempengaruhi efisiensi teknis dari suatu usahatani. Jika semakin tinggi efisiensi petani, maka inefisiensinya semakin kecil. Adanya pengaruh inefisiensi terlihat dari kondisi terdapatnya gap atau kendala yang membuat petani tidak mampu memperoleh output yang seharusnya diperoleh dari kegiatan usahatani. Inefisiensi merupakan kendala-kendala yang datang dari sisi internal petani. Jadi, perlu mengidentifikasi faktor-faktor sumber inefisiensi untuk


(8)

kemudian dianalisis karena dengan menekan efek inefisiensi maka akan meningkatkan efisiensi usahataani. Selain itu jika efisiensi tinggi juga akan membuat pendapatan yang diterima petani semakin maksimal.

Dengan adanya kondisi seperti ini, maka sangat penting untuk mengetahui efisiensi teknis usahatani caisim di Desa Ciaruteun Ilir. Untuk mengetahui efisiensi maka sebelumnya perlu mengidentifikasi faktor faktor apa yang mempengaruhi produksi caisim dan faktor-faktor lain apa yang mempengaruhi tingkat inefisiensi sehingga hubungan tersebut dapat di hubungkan dalam bentuk model. Selanjutnya akan timbul pertanyaan mengenai berapa pendapatan petani berhubungan dengan tingkat efisiensinya dan penggunaan usahatani yang dilakukannya.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisa efisiensi teknis caisim. Tujuan penelitian secara khusus antara lain :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani caisim. 2. Menganalisis tingkat efisiensi teknis usahatani caisim di Desa Ciaruteun Ilir. 3. Menganalisis faktor-faktor inefisiensi teknis dari usahatani caisim di Desa

Ciaruteun Ilir.

4. Menganalisis pendapatan usahatani caisim di Desa Ciaruteun Ilir.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan karya ilmiah yang hasilnya sepenuhnya dipublikasikan agar dapat digunakan sebagaimanamestinya termasuk sebagai bahan masukan dan kajian. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya penelitian ini antara lain :

1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan manfaat bagi petani caisim dan dapat membantu petani membuat keputusan.

2. Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan informasi dan pengetahuan serta pengalaman bagi penulis dalam menganalisi permasalahan agribisnis.


(9)

3. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi dan sumber informasi bagi penelitian berikutnya.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian analisis efisiensi teknis caisim meliputi kegiatan yang terdiri dari analisis efisiensi secara teknis, inefisiensi dan pendapatan usahatani. Penelitian ini menggunakan pendekatan stochastic production frontier

yang terbatas hingga faktor internal (inefisiensi) dari dari produksi caism di daerah penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor karena Cibungbulang merupakan salah satu sentra produksi sayuran dan Desa Ciaruteun merupakan desa di Kecamatan Cibungbulang yang memproduksi caisim dengan jumlah terbesar di Kecamatan tersebut. Harga yang digunakan sebagai acuan merupakan harga komoditi caisim saat dilakukannya penelitian. Penelitian ini juga terdapat pelanggaran asumsi persamaan Cobb-Douglas yaitu adanya nilai koefisien atau elastisitas variabel yang negatif.


(10)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Empiris Caisim

Caisim merupakan jenis sayuran yang cukup popular di Indonesia. Dikenal pula sebagai caisin, sawi hijau atau sawi bakso, sayuran ini mudah dibudidayakan dan dapat dimakan segar (biasanya dilayukan dengan air panas) atau diolah. Bagi petani, masa panen yang singkat dan pasar yang terbuka luas merupakan daya tarik untuk mengusahakan caisin. Daya tarik lainnya adalah dan mudah diusahakan. Konsumsi caisin diduga akan mengalami peningkatan sesuai pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatnya daya beli masyarakat, kemudahan tanaman ini diperoleh di pasar, dan peningkatan pengetahuan gizi masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan teknologi budidaya yang sudah ada agar hasilnya meningkat (Gopur, 2009).

Caisim mengandung folat, mineral (mangan dan kalsium), asam amino triptofan dan juga serat pangan. Caisim juga merupakan sayuran yang bermanfaat untuk membantu mencegah dari terserangnya penyakit kanker, hal ini di sebabkan karena dalam caisim mengandung senyawa fitokimia khususnya glukosinolat yang cukup tinggi. Mengkonsumsi sawi hijau secara rutin mampu menurunkan resiko terserangnya kanker prostat (Sebayang, 2010).

Tanaman caisim dapat tumbuh baik ditempat yang berhawa panas maupun berhawa dingin. Meskipun demikian pada kenyataannya hasil yang diperoleh lebih baik di dataran tinggi. Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian 5 meter sampai dengan 1.200 meter diatas permukaan laut. Namun biasanya dibudidayakan pada daerah yang mempunyai ketinggian 100 meter sampai 500 meter dpl. Tanaman sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat ditanam sepanjang tahun (Rukmana, 2009).

Untuk memproduksi caisim yang baik, diperlukan pula benih yang baik. Kebutuhan benih caisim untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih berbentuk bulat dan kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan digunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya membeli harus diperhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga


(11)

harus memperhatikan kemasan. Kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang digunakan dari hasil penanaman sebelumnya (memperbanyak sendiri) harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi yang akan dijadikan benih terpisah dari tanaman sawi yang lain. Di harapkan lama penggunaan benih tidak lebih dari tiga tahun (Pradani dan Hariastuti, 2010).

Dari segi pengusahaan, caisim cukup menjanjikan keuntungan yang lebih baik. Sebagai contoh, pengusahaan caisim seluas dua are dengan teknik sebar benih langsung (tanpa pesemaian) dapat dihasilkan 4-5 kwintal atau rata-rata 4,5 kwintal sayur segar pada musim kemarau per periode penanaman. Dengan harga rata-rata Rp. 1500/kg maka akan diperoleh keuntungan tidak kurang dari Rp. 675. 000 (Haryanto et al, 2005)

Peningkatan teknologi pertanian juga dilakukan terhadap caisim. Misalnya dengan pemberian sungkup. Dengan pemberian sungkup berpengaruh pada peningkatan tinggi tanaman, luas daun, indeks luas daun, rasio tajuk-akar, indeks panen, dan berat segar tajuk dua minggu setelah tanam. Meski demikian pemberian sungkup plastik menyebabkan penurunan laju asimilasi bersih, berat segar akar, dan berat kering akar (Sulistyaningsih et al, 2005).

2.2 Tinjauan Empiris Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Fungsi Produksi Stochastic Frontier merupakan bentuk fungsi produksi yang menunjukkan produksi maksimum yang dapat dicapai suatu usahatani dari alokasi sumberdaya input yang ada. Sumberdaya input selanjutnya dikenal dengan faktor produksi. Produksi maksimum akan dicapai dari alokasi faktor-faktor produksi usahatani, sehingga perlu dilakukan analisis faktor-faktor-faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap kegiatan usahatani.

Pada penelitian untuk komoditi Ubi Jalar oleh Khotimah (2010) di Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menggunakan fungsi

Maximum Likelihood Estimation (MLE) dalam mengestimasi fungsi produksi

Cobb-Douglas Stochastic Frontier. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi Ubi Jalar adalah lahan, benih/lahan, tenaga kerja/lahan, pupuk P/lahan, dan pupuk K/lahan, sedangkan


(12)

pupuk N/lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi Ubi Jalar. Selanjutnya, disimpulkan bahwa usahatani Ubi Jalar di Kecamatan Cilimus telah cukup efisien dan masih terdapat peluang untuk meningkatkan produksi.

Darwanto (2010), dalam penelitian mengenai efisiensi usahatani padi di Jawa Tengah mengestimasi faktor produksi menggunakan bantuan paket komputer frontier (versi 4.1c). Input yang digunakan dalam menjalankan usahatani padi di Jawa Tengah adalah luas lahan, benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Koefisien elastisitas variabel luas lahan sebesar 0,68, koefisien elastisitas benih sebesar 0,33, variabel pupuk mempunyai nilai koefisien elastisitas sebesar 0,34, koefisien elastisitas pestisida adalah -0,68, koefisien elastisitas tenagakerja sebesar 0,87. Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari 73 responden petani yang mengusahakan tanaman padi, memiliki nilai rata-rata efisiensi teknis sebesar 0,74. Nilai efisiensi teknis yang dihasilkan tersebut mengandung arti bahwa penggunaan faktor produksi oleh para petani belum efisien dan perlu dilakukan pengurangan penggunaan faktor-faktor produksi agar tercapai kondisi yang efisien.

Untuk komoditi Jagung (di Tanah Laut, Kalimantan Selatan), efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan pengolahan tanah ditemukan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf kepercayaan 85 persen, sedangkan pupuk N dan K tidak berpengaruh nyata. Ini diduga karena penggunaan pupuk N diduga sudah berlebihan. Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien jika lebih besar dari 0.8 karena daerah penelitian merupakan sentra produksi jagung di Kalimantan Selatan. Rata-rata efisiensi teknis petani di daerah penelitian adalah 0.887.jumlah petani memiliki nilai efisiensi teknis lebih besar dari 0.8 sehingga sebagian besar usahatani jagung yang diusahakan telah efisien secara teknis. Faktor-faktor umur, pendidikan, pengalaman dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak berpengaruh secara nyata terhadap inefisiensi teknis. Hal ini karena ada kecendrungan petani untuk beralih ke usahatani lain seperti karet dan adanya pertambangan emas illegal (Kurniawan, 2008).


(13)

Dalam penelitian efisiensi usahatani padi benih bersubsidi Di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat oleh Hutauruk (2008), faktor–faktor yang mempengaruhi produksi padi di daerah penelitian sebelum penggunaan benih bersubsidi adalah lahan, benih/lahan, pupuk KCL/lahan, pupuk NPK/lahan, Tenaga Kerja Luar Keluarga/lahan dan Tenaga Kerja Dalam Keluarga/lahan. Sesudah penggunaan benih bersubsidi, faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi padi didaerah penelitian adalah lahan, pupuk KCL/lahan dan Tenaga Kerja luar Keluarga/lahan. Sesudah penggunaan benih bersubsidi, tingkat efisiensi teknis lebih rendah dibandingkan dengan sebelum penggunaan benih bersubsidi. Hal ini berkaitan dengan sumber-sumber inefisiensi teknis yang berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis.

Maryono (2008), dalam analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani padi program benih bersertifikat di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, menggunakan stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood (MLE) yang dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi, dan tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi, intersep, dan varians dari kedua komponen error. Variabel independen penduga fungsi produksi ini yaitu: luas lahan (X1), jumlah benih (X2), pupuk urea (X3), pupuk TSP (X4), obat cair (X5),dan tenaga kerja (X6). Namun demikian variabel luas lahan (X1) menimbulkan multikolinearitas pada model sehingga variabel luas lahan dijadikan pembobot pada variabel dependen maupun independen.

Untuk lebih jelasnya, hasil penelitian sebelumnya mengenai fungsi produksi stochastic frontier dapat dilihat pada Lampiran 2.

2.3 Tinjauan Empiris Analisis Pendapatan Usahatani

Menurut Maryono (2008), dalam analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani padi program benih bersertifikat di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang menyatakan bahwa biaya total yang dikeluarkan oleh petani setelah program adalah lebih besar dibandingkan dengan biaya sebelum program. Sedangkan pengeluaran tunai setelah program lebih kecil daripada sebelum program. Namun, pengeluaran total riil masa tanam II juga


(14)

mengalami penurunan dibandingkan dengan masa tanam I. Hal ini menginformasikan bahwa pada masa tanam II petani lebih hemat dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Pendapatan atas biaya total setelah program lebih besar daripada sebelum program dengan selisih Rp 2.378.024,74. Namun, pendapatan riil atas biaya tunai masa tanam II lebih rendah dibandingkan masa tanam I. Pendapatan riil atas biaya total masa tanam II juga lebih kecil dibandingkan masa tanam I. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan terjadi karena peningkatan harga, bukan karena peningkatan produktifitas. R/C rasio atas biaya tunai sebelum program sebesar 4,97 sedangkan setelah program nilai nominalnya sebesar 7,09 dan nilai riilnya sebesar 5,74. Sedangkan R/C rasio atas biaya total setelah program secara nominal menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan sebelum program, namun secara riil mengalami penurunan. R/C rasio atas biaya total sebelum program sebesar 1,64 sedangkan setelah program nilai nominalnya sebesar 1,91 dan nilai riilnya sebesar 1,62.

Penelitian efisiensi usahatani padi benih bersubsi di Di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat oleh Hutauruk (2008), dari sisi pembiayaan, penerimaan rata – rata petani turun di musim tanam kedua dikarenakan hasil produksi yang menurun dan harga gabah yang juga turun. Terjadi peningkatan biaya akibat peningkatan biaya input yang mengalami kenaikan seperti pupuk TSP, KCL, NPK dan obat cair. Secara pendapatan tunai maupun total terjadi penurunan. Ini juga ditunjukkan oleh rasio R/C atas biaya tunai dan total yang menurun. Nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1,26 dan 1,05 menunjukkan bahwa usahatani yang di daerah penelitian masih menguntungkan. Dilihat dari struktur biaya, bantuan benih bersubsidi kurang berperan dalam membantu petani karena biaya benih hanya menyumbang sebesar 1,21 persen.

Penelitian tentang komoditas caisim, Gopur (2009) dalam analisis efisiensi produksi caisim di Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, memperoleh hasil bahwa produksi perhektar sebesar 11.809,4 Kg dengan harga rata-rata sebesar Rp.1.351 per Kg. Untuk indikasi keuntungan menggunakan R/C ratio dan diperoleh hasil 2,15 atas biaya tunai dan 1.61 atas biaya total.


(15)

Selain itu, penelitian yang dilakukan Khotimah (2010) mengenai analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani Ubi Jalat di Kecamatan Cililimus, Kuningan, Jawa Barat menyebutkan bahwa usahatani di daerah tersebut menguntungkan. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dari R/C ratio yang diperoleh yaitu sebesar 1,67 dan 1,24 untuk R/C ratio atas biaya tunai dan R/C ratio atas biaya Total. Rincian dari penelitian terdahulu mengenai pendapatan usahatani dapat dilihat pada Lampiran 3.


(16)

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Bagian ini berisi mengenai konsep usahatani, teori produksi, konsep analisis efisiensi teknis, fungsi produksi frontier, faktor-faktor penentu efisiensi teknis, dan ukuran pendapatan usahatani.

3.1.1 Konsep Usahatani

Usahatani menurut A.T Mosher (1969) adalah sebagai bagian dari permukaan bumi, dimana petani atau suatu badan tertentu lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak. Usahatani dapat dipandang sebagai suatu cara hidup (away of life) atau sebagai suatu perusahaan (farm business). Sedangkan menurut Soekartawi (1986), usahatani adalah organisasi yang pelaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial baik yang terikat geneologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolanya.

Ditinjau dari tujuan pelaksanaannya, usahatani dibedakan menjadi dua yaitu subsistence farm dan commercial farm. Usahatani yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga disebut usahatani pencukup kebutuhan keluarga (subsistence farm). Sedangkan usahatani yang berjalan didasari tujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya disebut usahatani komersial (commercial farm).

Hernanto (1996) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (intern) dan faktor-faktor di luar usahatani (ekstern). Adapun faktor intern antara lain petani-petani pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah keluarga dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga. Di sisi lain, faktor ekstern yang berpengaruh pada keberhasilan usahatani adalah tersedianya sarana trasnportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga hasil, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani. Empat unsur pokok atau faktor-faktor produksi dalam usahatani (Hernanto, 1996) :


(17)

1. Lahan

Lahan merupakan faktor yang sangat langka dibanding dengan faktor produksi lain serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh sebab itu, lahan memiliki beberapa sifat yaitu : (1) luasnya relatif atau di anggap tetap, (2) tidak dapat dipindah-pindahkan, dan (3) dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya. Lahan yang digunakan dalam usahatani dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dengan membeli, menyewa, menyakap, negara, warisan, wakaf atau membuka lahan sendiri.

2. Tenaga kerja

Tenaga kerja menjadi pelaku dalam usahatani menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Tiga jenis tenaga kerja antara lain tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim, dan kondisi lahan usahatani. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja, petani mempekerjakan buruh yang berasal dari luar keluarga dengan memberi balas jasa atau upah sehingga sumber tenaga kerja dalam usahatani dapat berasal dari dalam dan luar keluarga.

Tenaga kerja berbeda karena memiliki keahlian, kekuatan, dan pengalaman yang berbeda. Karena itu dalam praktek, digunakan ukuran setara jam pria atau hari pria dengan menggunakan faktor konversi. Adapun konversi tenaga kerja adalah dengan membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu 1 HOK = 1 hari kerja pria (HKP), 1 HOK wanita = 0,7 HKP, 1 HK ternak = 2 HKP, dan 1 HOK anak = 0,5 HKP.

3. Modal

Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain menghasilkan barang-barang baru, yaitu produk pertanian. Modal dapat berupa tanah, bangunan, alat-alat pertanian, tanaman, ternak, dan ikan di kolam, bahan-bahan pertanian, piutang di bank dan uang tunai. Penggunaan modal berfungsi membantu meningkatkan produktivitas dan menciptakan kekayaan serta pendapatan usahatani. Modal dalam suatu usahatani untuk


(18)

membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, kerabat, dan lain-lain), warisan, usaha lain atau kontrak sewa. 4. Pengelolaan atau Manajemen

Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan.

3.1.2 Konsep Fungsi Produksi

Produksi dapat dipandang sebagai suatu proses transformasi dua input atau lebih menjadi satu atau lebih produk. Proses transformasi yang disebutkan di atas dapat berupa proses fisik, bioligis, kimia atau bahkan kombinasinya. Hubungan antara jumlah output (Q) dengan sejumlah input yang digunakan dalam proses produksi (X1,X2, X3, ... Xn) secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

Q = f (X1, X2, X3, ... Xn)

Keterangan : Q = output X = input

Fungsi produksi melukiskan hubungan antara konsep Average Physical Product (APP) dengan Marginal Physical Productivity (MPP) yang disebut kurva

Total Physical Product (TPP) (Beattie dan Taylor (1985)). APP menunjukkan jumlah kuantitas output produk yang dihasilkan.

Dimana :

APP = Average Phisical Product Y = output


(19)

Sedangkan MPP Mengukur banyaknya penambahan atau pengurangan total output dari penambahan input

Dimana :

MPP = Marginal Physical Productivity dY = Perubahan output

dX = Perubahan input

Selain itu, sifat fungsi produksi diasumsikan tunduk pada satu hukum yang disebut The Law of Diminishing Return atau hukum kenaikan hasil berkurang. Hukum ini menyatakan bahwa jika penggunaan satu macam input ditambah sedang input-input lainnya tetap maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang di tambah tadi mula-mula naik tapi kemudian seterusnya menurun jika input tersebut terus ditambah. Hubungan antara produk total, produk marginal, dan produk rata-rata dapat dilihat pada Gambar 1.

Lima sifat yang terdapat dalam kurva tersebut yaitu :

1. Mula-mula terdapat kenaikan hasil bertambah (garis O-A), produk marjinal semakin besar, produk rata-rata naik tetapi tetap di bawah produk marjinal. 2. Pada titik balik A terjadi perubahan dari kenaikan hasil yang bertambah

menjadi kenaikan hasil berkurang, produk maksimal mencapai maksimum (titik QA), produk rata-rata masih terus naik.

3. Setelah titik A, terdapat kenaikan hasil berkurang (garis A–B), produk marjinal menurun, produk rata-rata masih naik sebentar kemudian mencapai maksimum pada titik APL (QB), pada titik ini produk rata-rata sama dengan produk marjinal. Setelah titik APL, produk rata-rata menurun tetapi berada di atas produk marjinal.

4. Pada titik C tercapai tingkat produksi maksimum, produk marjinal sama dengan nol, produk rata-rata menurun tapi tetap positif.

5. Sesudah titik C, mengalami kenaikan hasil negatif, produk marjinal juga negatif, produk rata-rata tetap positif.


(20)

Gambar 1. Kurva Produk Total, Produk Marginal, dan Produk Rata-Rata Sumber : Doll dan Orazem (1984)

Menurut Doll dan Orazem (1984), suatu fungsi produksi dapat dibedakan menjadi tiga daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dari faktor produksi. Elastisitas produksi adalah persentase perubahan produk yang dihasilkan sebagai akibat dari persentase perubahan faktor produksi yang digunakan. Pada Gambar 1 dapat dilihat ketiga daerah tersebut yaitu elastisitas yang lebih besar dari satu (QA -QB), elastisitas diantara nol dan satu (QB-QC), dan elastisitas lebih kecil dari nol (setelah QC).


(21)

Tahapan I mempunyai nilai elastisitas produksi lebih besar dari satu (Increasing Return to Scale). Kondisi ini dicapai saat kurva produksi marjinal berada di atas kurva produksi rata – rata yang berarti bahwa setiap kenaikan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan kenaikan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum masih belum tercapai karena produksi masih bisa diperbesar dengan cara pemakaian faktor produksi yang lebih banyak. Pada Tahapan I disebut daerah irrasional.

Tahapan II mempunyai nilai elastisitas produksi antara nol dan satu (Decreasing Return to Scale) yang berarti setiap kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan kenaikan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol. Pada keadaan ini perusahaan bisa untung dan rugi sehingga perusahaan harus memilih atau menetapkan tingkat produksi yang tepat agar mencapai keuntungan maksimum. Oleh karena itu, Tahapan II disebut sebagai daerah rasional. Di sisi lain, nilai elastisitas produksi sama dengan satu terjadi saat produksi rata – rata maksimum (PM=PR). Hal ini berarti setiap kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan kenaikan produksi sebesar satu persen. Kondisi ini disebut sebagai (Constant Return to Scale). Elastisitas produksi yang nilainya sama dengan nol dicapai saat produksi total mencapai maksimum atau saat produksi marjinal sama dengan nol.

Tahapan III mempunyai nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol. Kondisi ini dicapai saat produksi total menurun atau saat produksi marjinalnya negatif. Pada daerah ini, kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah ini disebut juga daerah

irrasional.

3.1.3 Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Ada beberapa fungsi produksi yang sering digunakan dalam penelitian diantaranya fungsi produksi Cobb-Douglas, fungsi produksi linier berganda, dan fungsi produksi transendental. Fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi disebut sebagai fungsi produksi frontier. Fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi yang paling praktis atau menggambarkan produksi maksimum yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan


(22)

teknologi tertentu (Doll dan Orazem, 1984). Fungsi produksi frontier diturunkan dengan menghubungkan titik-titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Jadi fungsi tersebut mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien. Konsep frontier dan ukuran efisiensi dalam teori produksi diprakarsai oleh Farrel untuk mengukur inefisiensi teknis dan alokatif dalam kerangka deterministik parametrik. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa output dibatasi oleh fungsi produksi deterministik dengan asumsi constan return to scale. Terdapat dua metode pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi relatif suatu usahatani. Metode pertama, pendekatan stochastic frontier berkaitan dengan pengukuran kesalahan acak dimana keluaran dari usahatani merupakan fungsi dari faktor produksi, kesalahan acak dan inefisiensi. Sedangkan metode yang kedua, teknik linear programming (Data Envelopment Analysis, DEA) tidak mempertimbangkan adanya kesalahan acak sehingga efisiensi teknis dapat menjadi bias (Seinford dan Trail (1990) dalam Coelli et al

(2005))

Selanjutnya, Van Dijk dan Szirmai (2002) dalam Kurniawan (2008) menyebutkan bahwa stochastic frontier (SF) lebih baik daripada DEA. SF dapat digunakan secara langsung untuk menguji hipotesa yang terkait dengan model produksi. Model fungsi produksi stochastic frontier (stochastic production frontier) diperkenalkan Aigner, et. all. (1977). Model stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effect) di dalam batas produksi. Model fungsi produksi stochastic frontier, secara umum adalah sebagai berikut (Aigner, et. all. (1977) dalam Coelli (1996)) :

Yi = xi + (vi - ui) i=1,2,3...,n, Dimana :

Yi = produksi yang dihasilkan petani pada waktu-t

Xi = vektor masukan yang digunakan petani-i pada waktu-t = vektor parameter yang akan diestimasi

vi = variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama) sebarannya simetris dan menyebar normal (vi ~ N(0, v2)) ui = variabel acak non negatif, dan diasumsikan mempengaruhi tingkat

inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor-faktor internal dan sebaran ui bersifat setengah normal ( ui ~ | N(0, v2 | ).


(23)

Stochastc frontier disebut juga “composes error model” karena error term

terdiri dari dua unsur, dimana: i = vi –ui. Variebel i adalah spesifik error term

dari observasi ke-i. Variabel acak vi berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor diluar kontrol petani (eksternal) seperti iklim, hama dan penyakityang disebut sebagai gangguan statistik (statistical noise). Sedangkan variabel ui disebut one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi. Komponen error yang bersifat internal (dapat dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas manajerial petani dalam mengelola usahataninya direfleksikan oleh ui. Komponen ini sebarannya asimetris (one sided) yakni ui ≥ 0. Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimumnya berarti ui = 0. Sebaliknya jika ui > 0 berarti berada dibawah potensi maksimumnya. Distribusi menyebar setengah normal (ui ~ | N(o, 2u |) dan menggunakan metode pendugaan maximum Likelihood (Greene, 1982 dalam Adhiana, 2005).

Model yang dinyatakan dalam persamaan di atas disebut sebagai fungsi produksi stochastic frontier karena nilai output dibatasi oleh variabel acak yaitu nilai harapan dari xi + vi atau exp(xi + vi ). Random error bisa bernilai positif bisa juga bernilai negatif begitu pula dengan output stochastic frontier bervariasi sekitar bagian tertentu dari model frontier, exp(xi ). Struktur dari model


(24)

Gambar 2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sumber: (Coelli, et. all. 1998)

Komponen dari model frontier yaitu f(x ) yang digambarkan dengan

mengaplikasikan asumsi deminising return to scale. Pada Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa aktivitas produksi dari dua petani diwakili oleh simbol i dan j. Petani i menggunakan input sebesar xi dan memperoleh output sebesar yi. Akan tetapi output batas (frontier) dari petani i adalah yi* melampaui nilai pada fungsi produksi f(x ). Hal ini terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan, dimana variabel vi bernilai positif. Sementara itu, petani j menggunakan input sebesar xj dan memperoleh hasil aktual sebesar yj. Akan tetapi hasil batas (frontier) j adalah yj* yang berada dibawah bagian fungsi produksi. Kondisi ini terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan, dimana vi bernilai negatif. Output frontier i dan j tidak dapat diamati atau diukur karena random error dari keduanya tidak teramati. Kondisi ini menggambarkan bagian deterministik pada fungsi stokastik frontier berada diantara output frontier (Coelli et al, 1998).


(25)

3.1.4 Konsep Efisiensi dan Inefisiensi

Pelaku agribisnis (petani) akan selalu berusaha untuk dapat mengalokasikan input-input (faktor produksi) seefeisien mungkin agar dapat memperoleh produksi dan hasil maksimum. Dengan kata lain bahwa seorang petani akan berusaha untuk mencapai efisiensi sehingga mendapatkan keuntungan yang maksimal.

Efisiensi merupakan perbandingan antara output dan input yang digunakan dalam proses produksi. Menurut farrel dalam Coelli et al. (1998) mengemukakan dua konsep efisiensi yaitu efisiensi teknis (technical efficiency/TE) dan efisiensi alokatif (allocative efficiency/AE). Efisiensi teknis menggambarkan kemampuan dari usahatani untuk memperoleh output maksimal dari sejumlah penggunaan input tertentu. Sedangkan efisiensi alokatif mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marjinal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marjinalnya. Efisiensi teknis dianggap sebagai kemampuan untuk berproduksi pada isoquant batas.

Pendekatan untuk efisiensi dapat dilakukan melalui dua sisi, yaitu dari sisi input (alokasi pendekatan penggunaan input) dan sisi output (alokasi output yang dihasilkan). Pendekatan dari sisi input memerlukan ketersediaan harga input dan kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Sedangkan sisi output merupakan pendekatan yang dilakukan untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa merubah jumlah input yang digunakan.

Kondisi pendekatan berorientasi input (Gambar 3), isoquant yang

menunjukkan efisiensi penuh di gambarkan oleh kurva SS’. Jika perusahaan

menggunakan input sejumlah P untuk memproduksi satu unit output, maka nilai inefisiensi teknis dicerminkan dari jarak Q ke P. Pada jarak tersebut sebenarnya jumlah input yang digunakan dapat dikurangi untuk memperoleh jumlah output yang sama.


(26)

Keterangan : P = input

Q = efisiensi teknis dan inefisiensi alokatif

Q’ = efisiensi teknis dan efisiensi alokatif

AA’ = kurva rasio harga input

SS’ = isoquant fully efficient

Gambar 3. Efisiensi Teknis dan Alokatif (orientasi input) Sumber : Coelli et al (1998)

Menurut Daryanto (2002), terdapat dua pendekatan alternatif untuk menguji sumber-sumber inefisiensi teknis. Pertama ialah dengan prosedur dua tahap. Tahap pertama terkait dengan pendugaan terhadap skor efisiensi (efek inefisiensi) bagi individu perusahaan. Tahap kedua, pendugaan terhadap regresi inefisiensi dugaan dinyatakan sebagai fungsi dari variabel sosial ekonomi yang di asumsikan mempengaruhi efek inefisiensi. Pendekatan kedua adalah efek inefisiensi dalam stochastic frontier dimodelkan dalam bentuk variabel yang dianggap relevan dalam menjelskan inefisiensi dalam proses produksi.

3.1.5 Konsep Pendapatan Usahatani

Dilakukannya analisis pendapatan terhadap usahatani ialah bertujuan untuk menghitung seberapa besar penerimaan yang diterima petani yang kemudian dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya untuk usahatani

A

Q

A’

x

2

/y

Q’

S’

x

1

/y

P

S

0


(27)

tersebut. Selain itu dengan menganalisis pendapatan usahatani juga dapat mengukur keberhasilan usahatani. Soekartawi et al (1985) mengemukakan beberapa definisi yang berkaitan dengan ukuran pendapatan dan keuntungan:

1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani.

2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

3. Pendapatan tunai usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.

4. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan. 5. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotorusahatani

dengan pengeluaran total usahatani.

Dengan adanya analisis pendapatan usahatani petani dapat mengetahui gambaran keadaan aktual usahatani sehingga dapat melakukan evaluasi dengan perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Dalam melakukan analisis pendapatan usahatani diperlukan informasi mengenai keadaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut.

Pengeluaran usahatani adalah nilai penggunaan faktor-faktor produki dalam melakukan proses produksi usahatani. Biaya dalam usahatani dapat dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai usahatani adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani, sedangkan biaya yang diperhitungkan merupakan pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani. Biaya yang diperhitungkan dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa megeluarkan uang tunai seperti sewalahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga, penggunaan benih dari hasil produksi dan penyusutan dari sarana produksi.

Pengeluaran usahatani meliputi biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak dipengaruhi oleh


(28)

jumlah produksi yang dihasilkan. Biaya variabel adalah biaya yang sifatnya dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan, semakin besar produksi maka semakin besar pula biaya variabel. Biaya variabel meliputi biaya untuk benih, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja. Pendapatan usahatani terbagi atas pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan kotor mengukur pendapatan kerja petani tanpa memasukkan biaya yang diperhitungkan sebagai komponennya. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya tunai usahatani. Pendapatan total usahatani mengukur pendapatan kerjapetani dari seluruh biaya usahatani yang dikeluarkan. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani.

Selain analisis R/C rasio yang menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yangdikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan. Kegiatan usahatani dapat dikatakan layak apabila nilai rasio R/C lebih besar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. Sebaliknya, apabila nilai rasio R/C lebih kecil dari satu, artinya tambahan biaya menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil sehingga kegiatan usahatani dikatakan tidak menguntungkan. Sedangkan jika nilai rasio R/C sama dengan satu, maka kegiatan usahatani memperoleh keuntungan normal.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Sayur-sayuran merupakan komoditi yang permintaanya terus meningkat sebagaimana telah disampaikan sebelumnya. Permintaan yang tinggi tersebut tidak disertai dengan produksi (penawaran sayuran yang tinggi sehingga untuk memenuhi permintaan dalam negeri pemerintah melakukan impor.Terus menambah permintaan akan sayuran, Kementrian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura mulai menyerukan GEMA Sayuran yaitu kegiatan promosi dan kampanye intensif untuk meningkatkan citra, apresiasi dan cinta akan produk sayuran nasional yaitu sayuran produksi petani Indonesia sehingga dapat


(29)

meningkatkan konsumsi sayuran masyarakat dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang fokus pada program pertanian, beberapa di antanya program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis.

Caisim merupakan komoditi hortikultura yang banyak digemari untuk ditanam karena umur panen caisim yang relatif singkat, termasuk jenis tanaman yang tahan terhadap hujan sehingga dapat dibudidayakan sepanjang tahun (tersedia air yang cukup) dan tahan terhadap suhu yang tinggi. Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu sentra produksi sayuran dataran rendah di Bogor yang memproduksi sayur-sayuran dalam jumlah besar termasuk caisim. Desa Ciaruteun Ilir merupakan salah desa dengan produksi sayuran tertinggi di Kecamatan Cibungbulang, termasuk juga untuk komoditi caisim.

Tujuan utama kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani sebagai pelaku agribisnis komersial yaitu keuntungan. Keuntungan akan diperoleh tergantung dengan berbagai hal yaitu jumlah dan penggunaan input, harga input, jumlah output dan harga output. Penggunaan input dan harga input dapat diidentifikasi biaya produksi sedangkan dari jumlah output dan harga output dapat mengidentifikasi penerimaan sehingga dari keduanya dapat melihat pendapatan usahatani. Selain itu, dari sisi hubungan dari penggunaan input terhadap jumlah output yang dihasilkan dapat dilihat efisiensi teknis dimana efisiensi teknis tersebut juga dipengaruhi oleh inefisiensi (faktor lain) sehinga dari berbagai kerangka tersebut mampu menganalisis pendapatan dan efisiensi teknis usahatani caisim dan mampu memberikan rekomendasi usahatani yang efisien secara teknis dan memberikan keuntungan maksimal bagi petani.


(30)

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Caisim di Desa Ciaruteun Ilir

Produksi sayuran meningkat sehingga pendapatan petani

meningkat GEMA

Sayuran 2010

Kabupaten Bogor :program peningkatan ketahanan pangan dan pengembang an agribisnis Caisim : berkontribusi besar terhadap

produksi sayuran segar di Indonesia, dapat dibudidayakan sepanjang tahun dan relatif tahan terhadap hujan

Kecamatan Cibungbulang : Salah satu sentra produksi sayuran. Desa Ciaruteun Ilir : Desa dengan produksi caisim terbesar di

Kecamatan Cibungbulang.

Efisiensi Teknis

Rekomendasi usahatani yang efisien secara tenis dan memberikan keuntungan maksimal

Jumlah Output Harga

Input Penggunaan

input : Lahan, Bibit, Tenaga Kerja, dan lain-lain.

Harga Output

Faktor lain : Umur petani, pengalaman berusahatani, pendidikan, pendapatan di luar usahatani, umur bibit, status kepemilikan lahan.

Biaya Produksi

Pendapatan, R/C rasio


(31)

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani caisim ini dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi sayuran (caisim) di Kabupaten Bogor sehingga tersedia banyak objek-objek dan permasalahan-permasalahan yang dapat diangkat sebagai bahan penelitian. Penelitian dilaksanakan selama satu bulan yakni bulan Maret sampai April 2012.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, pencatatan, dan wawancara langsung dengan petani untuk mengetahui pengunaan input, penerimaan serta faktor-faktor produksi usahatani. Sedangkan data sekunder juga diperoleh dari petani yang meliputi luas lahan yang diusahakan, harga produk, biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung, jumlah produksi yang diperoleh selama periode siklus produksi berlangsung serta data-data lainnya yang mendukung sehingga dapat menentukan efisiensi yang diperoleh, Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Perpustakaan LSI Institut Pertanian Bogor, internet dan literatur yang relevan.

4.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari :

1. Identifikasi Langsung

Identifikasi dilakukan dengan melakukan proses pengamatan langsung terhadap kondisi yang ada di daerah penelitian. Proses identifikasi dilakukan untuk mengetahui mekanisme, proses, penggunaan dan aktivitas-aktivitas serta kondisi yang terkait dengan usahatani caisim.


(32)

2. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui pengamatan. Data dikumpulkan melalui responden yang ditentukan ditentukan berdasarkan tujuan penelitian.

4.4 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada responden petani dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap, yang pertama dengan Cluster Sampling. Melalui Cluster Sampling lokasi penelitian dibagi berdasarkan dusun, dimana dalam desa tersebut terdapat empat dusun. Kemudian setelah itu untuk menentukan jumlah responden dari masing-masing dusun ditentukan dengan metode Proportional Sampling

yaitu dilihat dari jumlah penduduk dari masing dusun yang bermata pencaharian sebagai petani. Terakhir, pengambilan sampel dengan cara (Purposive Sampling) yaitu sample dipilih secara sengaja dengan meminta rekomendasi dari kepala dusun. Sample yang ditunjuk merupakan petani yang memiliki kriteria khusus yaitu petani yang secara rutin menanam caisim, selain itu petani tersebut memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Jumlah sampel secara keseluruhan adalah sebanyak 35 orang dari populasi petani caisim. Jumlah tersebut sudah dianggap dapat mempresentasikan keadaan petani caisim di Desa Ciarutuen Ilir dan ukuran yang dapat diterima serta memenuhi syarat dari suatu metode penelitian (minimal 30 orang).

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan dua cara yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif dipaparkan dalam bentuk uraian guna mendukung data kuantitatif yang telah tersedia sebelumnya. Data yang terkumpul diverifikasi dan validasi terlebih dahulu, selanjutnya diolah dengan bantuan program computer antara lain Microsoft excel. Minitab 13 dan Frontier 4.1.

Frontier 4.1 digunakan untuk membantu mengestimasi nilai parameter dari maximum-likelihood untuk model fungsi produksi stochastic frontier. Program Frontier 4.1 terdiri dari tiga tahap yaitu :


(33)

1. Mengkalkulasi nilai estimasi dari dan s2 menggunakan OLS (Ordinary Least Square) semua nilai estimasi kecuali 0 unbias.

2. Dua frase grid search dari fungsi likelihood digunakan untuk mengevaluasi

nilai dari yang nilainya berkisar antar 0 dan 1.

3. Nilai diseleksi melalui tahap kedua digunaka sebagai nilai awal dalam prosedur iteratif untuk mengestimasi nilai akhir maximum-likelihood.

4.5.1 Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier (SF)

Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis. Data dianalisis menggunakan alat analisis fungsi produksi stochastic frontier. Analisis fungsi produksi stochastic frontier digunakan untuk mengukur efisiensi teknis dari usahatani caisim dari sisi output dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis. Dalam penelitian ini, fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Pilihan terhadap bentuk fungsi produksi ini diambil berdasarkan alasan sebagai berikut: (1) bersifat homogen sehingga dapat digunakan menurunkan fungsi biaya dual dari fungsi produksi, (2) lebih sederhana, dan (3) jarang menimbulkan masalah. Selain itu, menurut Binici dalam Kurniawan(2008), fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas telah digunakan secara luas dan teruji untuk mengkaji efisiensi produksi di negara-negara maju dan berkembang. Meski demikian, ada beberapa kelemahan fungsi

Cobb-Douglas, menurut Kurniawan (2008) diantaranya adalah: (1) tidak ada produksi (y) maksimum, artinya sepanjang kombinasi input (x) dinaikkan maka produksi (y) akan terus naik sepanjang expansion path-nya, dan (2) elastisitas produksi tetap. Kelemahan ini membuat fungsi produksi Cobb-Douglas tidak bisa menggambarkan fungsi produksi neo-klasik.

Model matematis fungsi produksi Cobb-Douglas untuk usahatani caisim dalam penelitian ini dapat ditulis sebagai berikut:

δn Y = δn 0+ 1 Ln X1+ 2 Ln X2+ 3 Ln X3+ 4 Ln X4+ 5 Ln X5 + 5 Ln X5+ 6 Ln

X6+ 7 Ln X7+ 8 Ln X8 + ( vi– ui )

Dimana :

Y = Produksi total caisim (Kg)

0= Intersep

i= Koefisien parameter penduga, dimanai = 1,β,γ,….8


(34)

X2= Benih (gr)

X3 = Unsur N (Kg)

X4= Unsur P (Kg)

X5 = Unsur K (Kg)

X6 = Pupuk kandang (Kg)

X7 = Obat (ml)

X8= Tenaga kerja (HOK)

( vi– ui ) = Error Term (ui = efek inefisiensi teknis dalam model)

0 < i< 1 (Diminishing Return)

Variabel sisa (random shock) vi merupakan variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal (independent-identically distributed/i.i.d) dengan rataan (mathematical expectation/ui) bernilai nol dan ragamnya konstan,

y 2(N(0, y 2)), serta bebas dari ui. Variabel kesalahan (residual solow) ui adalah variabel yang menggambarkan efek inefisiensi di dalam produksi, diasumsikan terdistribusi secara bebas diantara setiap observasi dan nilai vi. Variabel acak ui tidak boleh bernilai negatif dan distribusinya normal dengan nilai distribusi

ζ(μi, u2) (Coelli et al, 1998).

Adapun hipotesis awal dari koefisien ( i) dari masing-masing variabel

independen antara lain :

1. Koefisien lahan ( 1) lebih besar dari nol ( 1 > 0), semakin luas lahan yang

digunakan maka akan semakin meningkatkan produksi caisim karena lahan dilokasi penelitian merupakan lahan yang relatif subur untuk mengusahakan caisim.

2. Koefisien benih ( 2) lebih besar dari nol ( 2 > 0), semakin banyak benih yang

digunakan oleh petani maka akan semakin meningkatkan produksi karena semakin banyaknya benih akan meningkatkan populasi caisim yang dibudidayakan.

3. Koefisien unsur N ( 3) lebih besar dari nol ( 3 > 0), semakin banyak pupuk

yang digunakan maka akan semakin meningkatkan produksi. Hal ini diduga karena pupuk unsur N baik untuk pertumbuhan caisim sehingga akan meningkatkan produksi.

4. Koefisien unsur P ( 4) lebih besar dari nol ( 4 > 0), sama halnya dengan unsur


(35)

dihasilkan karena pupuk unsur N yang baik untuk caisim sehingga mampu terus meningkatkan produksi.

5. Koefisien unsur K ( 5) lebih besar dari nol ( 5 > 0), semakin banyak pupuk

unsu K yang digunakan semakin meningkatkan produksi karena tanaman caisim membutuhkan banyak pupuk untuk tumbuh baik dan unsur K bersifat baik untuk caisim.

6. Koefisien pupuk kandang ( 6) lebih besar dari nol ( 6 > 0), semakin tingginya

pupuk kandang yang digunakan diduga akan meningkatkan produksi, hal ini dikarenakan oleh pupuk kandang yang bersifat baik untuk tanaman maupun untuk unsur hara dan mikroba dalam tanah.

7. Koefisien obat-obatan ( 7) lebih besar dari nol ( 7 > 0), semakin banyak

obat-obatan digununakan diduga akan semakin meningkatkan produksi. Hal ini sesuai hasil wawancara dengan petani setempat bahwa saat dilakukannya penelitian banyak serangan hama di lokasi penelitian.

8. Koefisien tenaga kerja ( 8) lebih besar dari nol ( 8 > 0), semakin banyaknya

tenaga kerja diduga akan semakin meningkatkan prouksi. Hal ini dikarenakan oleh semakin banyak aktivitas atau kegiatan dalam proses usahatani yang dapat dilakukkan gna meningkatkan produksi caisim.

4.5.2 Analisis Efisiensi Teknis dan Inefisiensi Teknis

Efek efisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini diacu dari model efek inefisiensi yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli (1998). Dalam model ini, variabel ui yang digunakan diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N(μi, 2). Berikut adalah faktor-faktor yang yang diperkiran mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis petani caisim dan hipotesis yang digunakan untuk model inefisiensi dalam model.

1. Umur petani (Z1), semakin tua umur petani diduga menyebabkan semakin tinggi tingkat inefisiensi sebab semakin tua petani maka semakin lemah kondisi fisiknya.

2. Umur bibit (Z2), Semakin tua umur bibit diduga akan meningkatkan inefisiensi (tidak sesuai rekomendasi).


(36)

3. Pendidikan (Z3), semakin tinggi tingkat pendidikan petani diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi petani karena tingginya tingkat pendidikan bisa menunjukkan tingginya pengetahuan petani dalam mengelola usahataninya.

4. Pengalaman (Z4), semakin lama pengalaman petani dalam usahatani caisim diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi teknis karena pengalaman yang didapatkan petani dari pengalaman usahatani sebelumnya akan menjadi pelajaran untuk petani caisim.

5. Pendapatan diluar usahatani (Z5), semakin besar pendapatan diluar usahatani diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi karena tambahan pendapatan tersebut digunakan untuk modala tambahan modal usahatani.

6. Dummy Varietas (Z6), dengan dengan menggunakan varietas hibrida diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi karena dengan pengggunaan bibit hibrida usahatani akan lebih produktif.

7. Dummy status lahan (Z7), status kepemilikan diduga mempengaruhi keseriusan dalam mengelola usahatani. Petani penyewa cendrung lebih baik (efisien) dari petani yang yang tidak menyewa.

Parameter distribusi dari efek inefisiensi teknis tersebut dapat ditulis :

μi = 0+ 1 Z1 + 1 Z1 + 2 Z2 + 3 Z3 + 4 Z4 + 5 Z5 + 6 Z6 + 7 Z7 + Wit Efek inefisiensi dan fungsi stochastic frontier dapat diperoleh dari program Frontier 4.1. Kemudian, efek inefisiensi dilakukan dengan metode statistik. Hasil dari Frontier 4.1 akan memberikan nilai perkiraan varians dari parameter dalam bentuk :

s2= v2+ u2dan = u2/ s2

Nilai berada antara nol dan satu. ζilai kritis akan menentukan untuk penerimaan hipotesa. Efisiensi teknis petani ke-i adalah adalah nilai harapan dari (-ui) yang dinyatakan dalam persamaan di bawah ini :


(37)

Dimana TEi adalah efisiensi teknis petani ke-i dan yi adalah fungsi output deterministic (tanpa error term). Nilai efisiensi tersebut berbanding terbalik dengan efek inefisiensi yang juga bernilai antara nol dan satu. Nilai efisien tersebut hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data) dan tidak untuk input yang bersifat logaritmik (panel data) (Battese dan Coelli 1998).

4.5.3 Uji Hipotesis

Hasil output efek efisiensi teknis frontierakan dilakukan melalui pengujian hipotesis. Untuk mengidentifikasi apakah terdapat efek inefisiensi di dalam model menggunakan nilai LR test galat satu sisi, sedangkan untuk masing-masing variabel penduga apakah koefisien dari masing-masing parameter bebas ( i) yang digunakan secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter tidak

bebas (μi) dengan menggunakan t-hitung. Berikut Hipotesis Pertama :

H0: = 0= 1= 2= 3= 4= ………… 7 = 0 H1: = 0= 1= 2= 3= 4= ………… 7 > 0

Sumber : Coelli et al, 2005

Hipotesis nol berarti bahwa efek inefisiensi teknis tidak ada dalam model. Jika hipotesis tersebut diterima maka model fungsi produksi rata-rata sudah cukup mewakili data empiris sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square.

LR = -2{ln[L(H0)/L(H1)]}

Dimana L(H0) dan L(H1) adalah nilai dari fungsi likelihood di bawah hipotesa H0 dan H1.

Kriteria uji :

δR galat satu sisi >χ2

restriksi (Tabel Kodde dan Palm) maka tolak H0

δR galat satu sisi < χ2

restriksi (Tabel Kodde dan Palm) maka terima H0

Tabel chi-square Kodde dan Palm adalah table upper and lower bound dari nilai kritis untuk uji bersama persamaan dan pertidaksamaan restriksi.


(38)

Hipotesis Kedua : H0: 1 = 0

H1: 1≠ 0

Sumber : Coelli et al, 2005

Pada hipotesis kedua, hipotesis nol berarti koefisien dari masing-masing variabel didalam model efek inefisiensi sama dengan nol. Jika hipotesis tersebut diterima, maka masing-masing variabel penjelas dalam model efek inefisiensi tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat inefisiensi di dalam proses produksi. Maka untuk itu, uji statistik yang dgunakan yaitu :

Kriteria uji :

| t-hitung | > t-tabel t(⍺,n-k-1) : Tolak H0 | t-hitung | < t-tabel t(⍺,n-k-1) : Terima H0 Dimana :

k = jumlah variabel bebas n = Jumlah responden

S ( 1) = Simpang baku koefisien efek inefisiensi 4.5.4 Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan biaya yangtelah dikeluarkan. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua yaitu pendapatanatas biaya tunai yang disebut sebagai pendapatan tunai dan pendapatanatas biaya total atau disebut juga sebagai pendapatan total.Tingkat penerimaan total, biaya dan pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut :

TR = Py x Y TC = TFC+TVC

πtunai = TR total– TC tunai


(39)

Keterangan :

TR total = Total penerimaan tunai usahatani (Rp) TC tunai = Total biaya tunai usahatani (Rp)

π = Pendapatan (Rp) Py = Harga output (Rp) Y = Jumlah output (unit) TFC = Total biaya tetap (Rp) TVC = Total biaya variabel (Rp)

Bd = Biaya yang diperhitungkan (Rp)

Penerimaan juga dibagi menjadi dua, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, yaitu jumlah produk yang dijual kemudian dikalikan dengan harga jual produk tersebut. Berbeda halnya dengan penerimaan total yang merupakan keseluruhan produksi usahatani baik yang dijual, dikonsumsi, maupun yang dijadikan persediaan. Selanjutnya, dalam pendapatan usahatani dikenal komponen biaya. Biaya juga terbagi menjadi dua yakni biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai mengandung arti sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa untuk kepentingan usahatani. Biaya total merupakan seluruh nilai yang dikeluarkan untuk usahatani, baik yang bersifat tunai maupun tidak tunai.

Imbangan penerimaan biaya atau return cost ratio adalah perbandingan antara total penerimaan dengan biaya total yang dikeluarkan dalam suatu proses produksi usahatani. Analisis R/C ratio digunakan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan untuk usahatani tersebut. Usahatani dapat dikatakan menguntungkan apabila nilai R/C ratio lebih besar dari satu, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani memberikan penerimaan yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Semakin besar nilai R/C rasio, semakin menguntungkan usahatani tersebut. Perhitungan R/C ratio secara matematika dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :


(40)

4.5.5 Definis Operasional

Dalam mempermudah mendefinisakan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, berikut konsep dari variabel-variabel yang digunakan beserta satuan pengukurannya.

1. Produksi caisim (Y) adalah sejumlah caisim (satuan dalam Kg) yang dihasilkan dalam satu musim tanam.

2. Luas lahan (X1) adalah jumlah luasan lahan yang digunakan untuk usahatani caisim dengan satuan pengukuran hektar (Ha).

3. Benih caisim (X2) adalah benih caisim yang digunakan petani untuk satu kali musim tanam dengan satuan pengukurannya ialah gram (gr).

4. Unsur N (X3) adalah jumlah kandungan unsur N pada pupuk yang digunakan petani untuk memupuk caisim selama satu kali musim tanam. Meliputi pupuk Urea, Phonska, dan NPK. Satuan pengukurannya adalah kilogram (kg).

5. Unsur P (X4) adalah jumlah kandungan unsur P pada pupuk yang digunakan petani untuk memupuk caisim selama satu kali musim tanam. Meliputi pupuk Phonska, dan TSP. Satuan pengukurannya adalah kilogram (kg).

6. Unsur K (X5) adalah jumlah K pada pupuk yang digunakan petani untuk memupuk caisim selama satu kali musim tanam. Meliputi pupuk Phonska. Satuan pengukurannya adalah kilogram (kg).

7. Pupuk kandang (X6) adalah jumlah pupuk yang digunakan petani untuk memupuk caisim selama satu kali musim tanam. Satuan pengukurannya adalah kilogram (kg).

8. Obat-obatan (X7) adalah jumlah pestisida yang digunakan petani caisim selama satu kali musim tanam. Satuan pengukurannya ialah mililiter (ml). 9. Tenaga Kerja (X8) adalah jumlah tenaga kerja total yang digunakan dalam

usahatani caisim selama satu musim tanam. Pengukuran tenaga kerja dalam satuan HOK (Hari Orang Kerja) dengan mengabaikn apakah tenaga kerja berasal dari dalam keluarga maupun luar keluarga.

10.Umur petani (Z1) adalah umur petani saat musim tanam caisim. Satuan pengukurannya adalah tahun.

11.Umur bibit (Z2) adalah umur dari bibit yang akan di tanam di lahan produksi. Satuan pengukurannya adalah hari.


(41)

12.Pendidikan (Z3) adalah lamanya pendidikan formal yang pernah diperoleh petani. Pendidikan petani dalam penelitian ini menggunakan skala ordinal yaitu satu untuk petani yang tidak sekolah, dua untuk petani yang bersekolah hingga SD (Sekolah Dasar), tiga untuk petani yang bersekolah hingga SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan empat untuk petani yang bersekolah hingga SMA (Sekolah Menengah Atas).

13.Pengalaman berusahatani (Z4) merupakan lamanya petani dalam mengusahakan usahatani caisim, Stuan pengukuran yang digunakan adalah tahun.

14.Pendapatan di luar usahatani (Z5) adalah pendapatan yang diterima petani diluar dari usahatani dalam satu kali musim tanam. Diukur dalam satuan rupiah (Rp).

15.Varietas (Z6) adalah jenis varietas benih yang digunakan petani caisim. Varietas benih dalam bentuk dummy. Satu untuk petani yang menggunakan benih hibrida dan nol untuk petani yang menggunakan benih lokal.

16.Status kepemilikan lahan (Z7) adalah status atas kepemilikan lahan yang dugunakan (dalam bentuk dummy). Nol untuk petani yang memiliki lahan garap sendiri dan satu untuk petani dengan lahan sewa.


(42)

BAB V

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Keadaan Umum, Geografis, dan Iklim Lokasi Penelitian

Desa Ciaruten Ilir merupakan desa yang masih berada dalam bagian wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Desa

ini juga merupakan daerah dataran tinggi dengan tingkat suhu rata-rata 24 0

- 40 0

C. Curah hujan rata-rata pertahun di daerah ini sekitar 240,08 mm dengan rata-rata 14 hari hujan per bulannya. Kondisi tersebut menyebabkan Desa Ciaruten Ilir sesuai untuk budidaya sayuran.

Desa Ciaruten Ilir terdiri dari 4 Dusun, 35 RT dan 10 RW. Luas wilayah Desa Ciaruten Ilir secara keseluruhan adalah 360 Ha, yang terdiri dari 200 Ha lahan sawah, 105 Ha lahan perumahan dan pekarangan, 40 Ha ladang, 2 Ha empang, dan 13 Ha lain-lain. Jumlah penduduk Desa Ciaruten Ilir berdasarkan data terakhir dari kantor desa adalah 10.120 jiwa. Jumlah penduduk Desa Ciaruten Ilir terdiri dari 5.107 jiwa penduduk pria dan 5.013 jiwa penduduk wanita. Penduduk Desa Ciaruten Ilir lebih banyak berada pada usia produktif.

Dilihat dari struktur mata pencahariannya, penduduk Desa Ciaruten Ilir sebagian besar bekerja sebagai petani yaitu sekitar 88 persen dari jumlah penduduk yang bekerja (5.623 jiwa) atau sekitar 5.135 jiwa. Sedangkan penduduk yang lain diantara bekerja sebagai penjual jasa dan pedagang. Jenis pertanian yang diusahakan oleh petani Desa Cairuten Ilir adalah sayuran dan padi.

Batas wilayah Desa Ciaruteun Ilir adalah sebagai berikut :

 Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rumpin

 Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciampea

 Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Leuweng Kolot

 Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cijujung 5.2 Karakteristik Petani Responden

Karakteristik petani responden yang akan dijelaskan merupakan gambaran mengenai keadaan petani caisim di Desa Ciaruteun Ilir yang diwakilkan oleh 35 orang petani responden. Karakteristik tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa


(1)

Lampiran 7. Output Frontier Model Produksi Caisim Desa Ciaruteun Ilir Tahun 2012

Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal

data file = caisimarya.dta

the final mle estimates are :

Variabel coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.12661651E+01 0.75959689E+00 0.16668908E+01 beta 1 0.68870911E-02 0.26493113E-02 0.25995779E+01 beta 2 0.65515172E+00 0.19719152E+00 0.33224133E+01 beta 3 -0.63478800E-02 0.14936174E-02 -0.42500039E+01 beta 4 0.12706486E+00 0.24437182E+00 0.51996528E+00 beta 5 0.40574363E-03 0.45070766E-02 0.90023684E-01 beta 6 0.27818093E+00 0.97329068E-01 0.28581485E+01 beta 7 0.30212893E-02 0.10184542E-02 0.29665442E+01 beta 8 0.21519256E-01 0.12640323E-01 0.17024293E+01 delta 0 0.16358739E+01 0.10375710E+01 0.15766381E+01 delta 1 0.46167066E-02 0.29986351E-02 0.15396027E+01 delta 2 0.55270833E-01 0.10205842E-01 0.54156071E+01 delta 3 -0.77026555E-02 0.40716256E-02 -0.18917887E+01 delta 4 0.28271779E-01 0.21714806E+00 0.13019586E+00 delta 5 -0.25280744E-02 0.22107762E-02 -0.11435235E+01 delta 6 -0.37582157E+00 0.19977091E+00 -0.18812628E+01 delta 7 -0.10302984E-03 0.29768692E-02 -0.34610134E-01 sigma-squared 0.40170936E-01 0.11797957E-01 0.34049060E+01 gamma 0.99881339E+00 0.95068704E-02 0.10506227E+03

log likelihood function 0.14704250E+02

LR test of the one-sided error 0.30838073E+02

with number of restrictions 9

[note that this statistic has a mixed chi-square distribution]


(2)

Eff index

firm year eff.-est.

1 1 0.66046421E+00 2 1 0.94761983E+00 3 1 0.38860775E+00 4 1 0.55399653E+00 5 1 0.73022369E+00 6 1 0.92384768E+00 7 1 0.73695914E+00 8 1 0.94721968E+00 9 1 0.78568204E+00 10 1 0.65376031E+00 11 1 0.97656140E+00 12 1 0.86788008E+00 13 1 0.58039042E+00 14 1 0.55801740E+00 15 1 0.27680377E+00 16 1 0.48890491E+00 17 1 0.98842620E+00 18 1 0.71448894E+00 19 1 0.97803410E+00 20 1 0.89366726E+00 21 1 0.97970581E+00 22 1 0.52344036E+00 23 1 0.63059359E+00 24 1 0.47344117E+00 25 1 0.55339774E+00 26 1 0.40411087E+00 27 1 0.66903005E+00 28 1 0.92497054E+00 29 1 0.48051322E+00 30 1 0.77878043E+00 31 1 0.37398752E+00 32 1 0.93036910E+00 33 1 0.87411987E+00 34 1 0.55356440E+00 35 1 0.72375134E+00 mean efficiency 0.70072375E+00


(3)

Lampiran 8. Matrix Plot Hubungan Umur petani terhadap Umur Bibit di Desa Ciaruteun Ilir Tahun 2012

umur

u

m

u

r

b

ib

it

70 60

50 40

30 20

21

20

19

18

17

16

15


(4)

Lampiran 9. Nilai Penyusutan Alat Pertanian Isahatani Caisim di Desa Ciaruteun Ilir Tahun 2012

No Alat

Harga Beli (Rp)

Umur (tahun)

Jumlah penyusutan/thn

(Rp/tahun)

Jumlah penyusutan/musim tanam (Rp/tahun) 1 Cangkul 50.000 6 1.140.000,00 103.636,36

2 Koret 25.000 6 400.000,00 36.363,64

3 Garpu 65.000 5 949.000,00 86.272,73

4 Emrat 100.000 6 1.050.000,00 95.454,55

5 Sprayer 450.000 10 2.385.000,00 216.818,18 5.924.000,00 538.545,45


(5)

RINGKASAN

ARYA PRATHAMA. H34104028. 2012. Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Caisim: Pendekatan Stochastic Production Frontier

(Kasus di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor), Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Dibawah bimbingan DWI RACHMINA).

Pada umumnya produksi sayuran di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, tetapi produksi tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Kementrian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura mulai menyerukan GEMA Sayuran pada tahun 2010 yang juga dapat meningkatkan produksi sayuran. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang fokus pada program pertanian. Sejak tahun 2009, Pemerintah Kota Bogor memfokuskan program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Berbeda dengan peningkatan produksi nasional, peningkatan produksi pada beberapa daerah di Jawa Barat mununjukkan hasil negatif. Kabupaten Bogor merupakan daerah yang penurunan produksi caisim terbesar yaitu sebesar 68,5 persen. Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu sentra produksi sayuran dataran rendah termasuk caisim. Caisim dengan produksi terbesar berasal dari desa Ciaruteun Ilir. Desa ini merupakan desa dengan produksi caisim terbesar, namun produktivitas caisim di daerah tersebut masih rendah. Produktivitas caisim sebesar 12 ton/Ha yang masih dapat ditingkatkan mencapai produktivitas rata-rata maksimal nasional yaitu 14,92 ton/Ha (Dirjen Hortikultura, 2010). Adanya kondisi seperti ini, maka sangat penting untuk mengetahui efisiensi teknis usahatani dan faktor-faktor lain apa yang mempengaruhi tingkat inefisiensi sehingga hubungan tersebut dapat dihubungkan dalam bentuk model. Selanjutnya akan timbul pertanyaan mengenai pendapatan petani dari penggunaan usahatani yang dilakukannya.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis efisiensi teknis caisim. Tujuan penelitian secara khusus antara lain menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, tingkat efisiensi teknis usahatani, faktor-faktor inefisiensi teknis dari usahatani dan menganalisis pendapatan usahatani caisim di Desa Ciaruteun Ilir. Pengambilan sampel pada responden petani dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap, yang pertama dengan

Cluster Sampling, lokasi penelitian dibagi berdasarkan dusun. Kemudian setelah itu untuk menentukan jumlah responden dengan metode Proportional Sampling. Terakhir, pengambilan sampel dengan cara (Purposive Sampling) yaitu sample dipilih secara sengaja dengan meminta rekomendasi dari kepala dusun. Jumlah sampel secara keseluruhan adalah sebanyak 35 orang.

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari beberapa faktor yang mempengaruhi usahatani (luas lahan, benih. Unsur N, unsur P, unsur K, pupuk kandang, obat-obatan, dan tenaga kerja) menunjukkan bahwa lahan, benih, pupuk kandang, obat-obatan dan tenaga kerja berkorelasi positif dan nyata. Sedangkan unsur N berkorelasi negative dan nyata. Unsur P dan Unsur K juga berkorelasi positif tetapi tidak nyata. Nilai rata-rata efisiensi teknis dari petani responden


(6)

inefisiensi teknis terdiri dari usia petani, umur bibit, pendidikan formal, pengalaman usahatani caisim, pendapatan di luar usahatani, varietas benih dan status lahan. Dari seluruh variabel tersebut variabel usia dan umur bibit positif dan nyata terhadapa efek inefisiensi sedangkan pendidkan dan varietas benih berkorelasi negative dan nyata terhadapa efek inefisiensi. Adapun variabel pengalaman berpengaruh positif dan variabel pendapaatan di luar usahataani serta status lahan berkorelasi negative tidak nyata terhadap inefisiensi usahatani caisim di Desa Ciaruteun Ilir. Umur bibit dan Varietas benih memiliki koefisien yang paling besar. Hasil analisis pendapatan usahatani menunjukkan bahwa dengan tingkat efisiensi teknis sebesar 70 persen dapat memberikan keuntungan bagi petani (pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan biaya total masung-masing sebesar Rp 21.745.452,52 dan Rp 6.402.153,72) dengan melihat nilai R/C rasio atas biaya tunai (3.03) maupun R/C rasio atas biaya total (1,25) lebih besar dari satu.

Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu bahwa produksi caisim dipengaruhi lahan, benih, unsur N, unsur P, unsur K, pupuk kandang obat-obatan, tenaga kerja dan nilai rata-rata efisiensi teknis dari petani responden sebesar 0,70 atau 70 persen dari produksi maksimum. Dari 35 persen responden, masih terdapat 17 petani (48,57 persen) yang memiliki tingkat efisiensi dibawah 0,7 (belum efisien secara teknis) dan sisanya 51,43 persen sudah efisien tetapi masih dapat terus ditingkatkan. Hasil analisis pendapatan usahatani memberikan keuntungan bagi petani dengan melihat nilai R/C rasio atas biaya tunai maupun R/C rasio atas biaya total lebih besar dari satu.