Kajian Lanskap Budaya Lingkar Danau Maninjau Kabupaten Agam, Sumatera Barat

(1)

IZNILLAH FADHOLI ARHAM

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

KAJIAN LANSKAP BUDAYA LINGKAR DANAU MANINJAU KABUPATEN AGAM, SUMETERA BARAT

adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka skripsi ini.

Bogor, April 2012

IZNILLAH FADHOLI ARHAM A44070054


(3)

RINGKASAN

IZNILLAH FADHOLI ARHAM. Kajian Lanskap Budaya Lingkar Danau Maninjau Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN.

Asal-muasal masyarakat Maninjau berasal dari perantau yang turun dari puncak Gunung Marapi. Masyarakat ini merupakan sebagian dari suku Minang yang sampai ke Puncak Lawang di atas Maninjau. Sebelum memanfaatkan kekayaan alam dan memulai hidup di sekitar Danau Maninjau, mereka meninjau kelayakan kekayaan alam dengan hati-hati dan sangat bijak. Interaksi masyarakat dengan lanskap alami lingkar Danau Maninjau semakin tinggi dari masa ke masa. Faktor pendorongnya yaitu, laju konversi penggunaan lahan, pembangunan fisik yang tidak seimbang, dan penurunan kualitas budaya masyarakat semakin cepat. Hal ini mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan (alam dan budaya). Kualitas lingkungan yang menurun ini terkait erat dengan pola aktivitas budaya masyarakat yang berkembang saat ini.

Masyarakat di lingkar Danau Maninjau saat ini sudah jauh meninggalkan akar

budaya „meninjau alam‟ yang dulu dilakukan oleh para pendahulu, contohnya budidaya ikan dengan sistem karamba jala apung. Budidaya dengan sistem karamba jala apung menjadi trend karena komoditasnya menjanjikan secara ekonomis dalam jangka pendek tetapi dapat mengancam dan menyaingi keberlanjutan ekosistem spesies endemik di Danau Maninjau. Permasalahan tersebut sangat mempengaruhi pola sosial dan ekonomi masyarakat. Alam sebagai tempat hidup dan berpijak bagi manusia akan semakin sempit. Daya dukung lingkungan alam semakin menurun, jika tidak ada kesadaran, kontrol, dan perhatian pada aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutannya. Kekhawatiran terhadap keberlanjutan lanskap budaya di masa yang akan datang adalah latar belakang kajian lanskap budaya di wilayah lingkar Danau Maninjau ini.

Penelitian dilaksanakan selama sembilan minggu, mulai akhir bulan Februari 2011 sampai dengan April 2011, di kawasan nagari lingkar Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap berupa inventarisasi data, analisis, dan sintesis (rekomendasi). Inventarisasi data dilakukan dengan metode observasi lapangan, pengamatan, kuisioner, dan wawancara kepada elemen pemerintahan nagari serta tetua atau pemerhati adat budaya setempat. Analisis dilakukan baik secara deskriptif maupun spasial. Analisis spasial bertujuan untuk menghasilkan deskripsi karekteristik lanskap budaya lingkar Danau Maninjau dan mengetahui karakter interaksi manusia dan lanskap alami tersebut dengan unit analisis setiap nagari di dalamnya. Analisis deskriptif dilakukan dengan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Metode SWOT bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan dan merumuskan strategi pengembangan dan pelestarian lanskap budaya di Lingkar Danau Maninjau tersebut.

Wilayah lingkar Danau Maninjau secara administrasi merupakan kesatuan dari Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumetera Barat, mencakup sembilan Nagari, yaitu Maninjau, Bayur, Duo Koto, Paninjauan, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, Tanjung Sani, dan Sungai Batang. Aksesibilitas di kawasan Danau Maninjau adalah jalan provinsi kelas-II dan jalan


(4)

kabupaten kelas-III. Kecamatan Tanjung Raya termasuk dalam daerah yang terletak di ketinggian 461,5 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata antara 23°C - 31°C, kelembaban nisbi sebesar 95%, kecepatan angin 23 km/jam, dan curah hujan rata-rata mencapai 2.500-3.500 mm/tahun dengan bulan kering selama 1-2 bulan berturut-turut. Danau Maninjau juga termasuk ke dalam satuan morfologi Gunung Api Strato. Pada morfologi ini bagian puncak dan lereng bagian atas merupakan aliran permukaan atau resapan, sedangkan pada bagian kaki gunung ditafsirkan sebagai daerah akumulasi air tanah. Daerah Danau Maninjau merupakan bagian dari Sistem Patahan Besar Sumatera (The Great Sumatran Fault Sistem). Pada bagian tengah merupakan patahan utama yang aktif. Secara visual, tampak dari atas morfologi landform Gunung Maninjau tidak memperlihatkan bentuk sebuah gunungapi yang lengkap, tetapi berbentuk sebuah kerucut terpancung. Puncak-puncak bukit yang tinggi-tinggi hampir-hampir mengelilingi kaldera Maninjau, terutama di utara dan Selatan dengan ketingian mencapai 1500 m pada Puncak Gunung Rangkian di Utara dan 1252 m pada puncak Gunung Tanjung Balit di selatan. Secara ekosistem, Kawasan Danau Maninjau merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Antokan dan juga termasuk Satuan Wilayah Sungai (SWS) Anai Sualang. Fenomena hidrologi rutinan di Danau Maninjau adalah tubo balerang atau racun belerang. Endapan belerang dari dasar danau secara rutin akan naik ke permukaan disebabkan oleh pola angin darat yang juga rutin melewati Danau Maninjau. Penggunaan lahan terbaru dalam dokumen RTRW Kabupaten Agam 2010-2030 menunjukkan bahwa data penggunaan lahan di lingkar Danau Maninjau tahun 2010 sangat berubah, dengan konversi hutan atau lanskap alami menjadi lahan budidaya intensif, dibanding data tahun 2002 hutan yang masih cukup mendominasi. Pemanfaatan sumber daya alami yang berlebihan ini juga menyebabkan semakin banyaknya endapan dari buangan limbah pemukiman dan tren budidaya perikanan jala apung atau karamba yang semakin tidak terkontrol.

Jumlah penduduk Kawasan Danau Maninjau pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 30.961 jiwa atau meningkat sekitar 4,38% dari tahun 2001. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada laki-laki dan didominasi oleh kelompok umur kategori pra-produktif yang mencapai 44,4% total penduduk. Kawasan Danau Maninjau merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam perekonomian Kabupaten Agam. Kegiatan perekonomian unggulan di kecamatan ini terletak pada sektor dan sub sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, serta pariwisata. Sistem lembaga kemasyarakatan di kawasan lingkar Danau Maninjau berbeda dari wilayah lainnya di Indonesia, dengan sistem Nagari yang secara hierarki administratif berada di bawah Kecamatan. Masyarakat lingkar Danau Maninjau merupakan masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau secara tradisional telah memiliki prinsip filosofis yang mengatur konsepsi hidup dan kehidupan masyarakatnya. Filosofi adat Minang tersebut adalah Alam Takambang Jadi Guru atau filosofi ekologis. Sistem adat yang berlaku di masyarakat lingkar Danau Maninjau adalah Adat Minangkabau. Secara mendasar sistem ini tidak berbeda dengan masyarakat Minangkabau di daerah lainnya, yang membedakan hanya pada tataran metodologis dan praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Kebijakan pemerintah berupa RTRW adalah faktor eksternal yang mempengaruhi pola lanskap. Tujuan RTRW Kabupaten Agam Tahun 2010-2030 adalah, „Mewujudkan AGAM sebagai Kabupaten Industri AGRO, KELAUTAN,


(5)

dan PARIWISATA, berbasis Mitigasi Bencana serta Konservasi‟. Secara umum kebijakan ini sudah cukup baik, tetapi pada spesifik aturan tertentu perlu dikaji ulang terkait dampaknya terhadap keberlanjutan lanskap budaya setempat. Aktivitas wisata yang berkembang dianggap sebagai ancaman bagi pemerhati budaya lokal. Maka perlu ada interaksi dan komunikasi yang terbuka dari berbagai pihak terkait untuk memajukan potensi industri pariwisata Danau Maninjau tanpa harus mengurangi atau merusak nilai-nilai budaya lokal.

Secara ekologis, kawasan lingkar Danau Maninjau ini dapat diklasifikasikan melalui pendekatan derajat pengubahan manusia terhadap lanskap alami. Semakin besar pengubahan lanskap alaminya maka semakin rendah pula nilai ekologisnya. Setelah dihitung luasan masing-masing kelompok pengubahan penggunaan lanskap alami pada setiap nagari, diketahui bahwa Nagari Maninjau, Bayua, dan Duo Koto merupakan nagari-nagari yang didominasi oleh kelompok pengubahan lanskap alami intensif (nilai ekologis rendah); Nagari Tanjung Sani didominasi oleh kelompok lanskap alami transisi (nilai ekologis sedang); dan Nagari Sungai Batang, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, dan Paninjauan merupakan nagari-nagari yang didominasi oleh kelompok pengubahan lanskap alami rendah (nilai ekologis tinggi). Indikator dari aspek sosial ekonomi dalam studi ini ditinjau dari segi kepadatan penduduk. Klasifikasi kepadatan penduduk per-nagari di Kecamatan Tanjung Raya dari data sensus tahun 2007 adalah sebagai berikut: Maninjau dan Duo Koto sangat padat; Bayua, Koto Kaciak, Paninjauan cukup padat; Koto Gadang, Tanjung Sani, Sungai Batang, Koto Malintang kurang padat. Hasil penilaian aspek sejarah spiritual budaya menunjukkan bahwa Nagari Sungai Batang adalah satu-satunya nagari yang termasuk dalam kriteria nagari dengan nilai sejarah, spiritual, dan budaya tinggi, dengan jumlah situs sejarah budaya mencapai sembilan titik dan kegiatan lembaga adat kemasyarakatan cukup baik. Nagari yang termasuk dalam kelompok nilai sejarah, spiritual, dan budaya rendah adalah Nagari Koto Gadang dan Koto Malintang dengan jumlah situs sejarah budaya dan kegiatan lembaga adat kemasyarakatan yang terdata kurang dari tiga. Enam nagari lainnya termasuk dalam kelompok nilai sedang. Setelah menilai setiap komponen aspek analisis dalam analisis karakteristik lanskap budaya (ekologi, sosial ekonomi, dan sejarah spiritual budaya), total akumulasi nilai setiap nagari tersebut yaitu Nagari Sungai Batang dengan nilai karakteristik lanskap budaya tertinggi, Maninjau dan Duo Koto dengan nilai rendah, sedangkan enam nagari lainnya dengan nilai sedang.

Hasil dari analisis keberlanjutan dengan metode SWOT menunjukkan bahwa strategi yang akan disusun seharusnya berorientasi pada strategi pertumbuhan dan pengembangan (growth strategy) yang termasuk pada kuadran I diagram model strategi (Rangkuti, 2009). Tujuan strategi ini adalah mencapai pertumbuhan. Pertumbuhan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan kualitas lanskap budaya kearah keberlanjutan dengan meningkatkan kualitas sumber daya (manusia dan lingkungan alami), meningkatkan inovasi, kualitas layanan, dan akses produk (lanskap budaya via pariwisata) ke pasar yang lebih luas dengan terkontrol. Konsentrasi strategi ini dapat dicapai melalui integrasi vertikal agar terjadi hubungan baik yang mendukung pertumbuhan, membangun kerjasama dan pengembangan yang baik disektor produksi dan membangun jaringan pasar yang luas. Strategi pertumbuhan dan pengembangan ini dijabarkan dalam rekomendasi strategi keberlanjutan sesuai dengan urutan tingkat kepentingannya.


(6)

® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

KAJIAN LANSKAP BUDAYA LINGKAR DANAU MANINJAU

KABUPATEN AGAM, SUMATERA BARAT

IZNILLAH FADHOLI ARHAM

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Kajian Lanskap Budaya Lingkar Danau Maninjau Kabupaten Agam, Sumatera Barat

Nama Mahasiswa : Iznillah Fadholi Arham

NRP : A44070054

Departemen : Arsitektur Lanskap

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc NIP. 1962 0121 1986 01 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 1948 0912 1974 12 2 001


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Iznillah Fadholi Arham, dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 November 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Suratmin dan Ibu Dewi Marianti. Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1995 di TK An-Nur Pekanbaru dan lulus pada tahun 1996. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SD Negeri 036 Pandau Jaya sampai kelas dua dan melanjutkan di SD Negeri 005 Sail Pekanbaru sampai lulus 2002. Kemudian pada tahun 2002, penulis melanjutkan studi di MTs Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta dan menyelesaikannya di tahun 2004. Pada tahun 2007, penulis lulus dari SMA Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut (USMI). Dalam masa pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis juga mengambil bidang ilmu pendukung dari minor Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis juga mengikuti kegiatan-kegiatan di luar akademik, seperti menjadi pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) divisi Pemberdayaan Sumberdaya Manusia pada kepengurusan tahun 2009, Wakil Ketua urusan internal Himpunan Profesi Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada kepengurusan tahun 2010, pembentuk dan anggota Komunitas Pecinta Alam HIMASKAP (KOALA) sejak tahun 2010, pembentuk dan anggota Komunitas Fotografi HIMASKAP atau HIMASKAP Photo Club (HPC) sejak tahun 2010, pembentuk dan anggota komunitas Environmental Art (ENVO) HIMASKAP pada tahun 2010, dan menjadi asisten Mata Kuliah Analisis Tapak (ARL-310) pada Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB tahun ajaran 2011-2012.


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas rahmat dan karunia yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “Kajian Lanskap Budaya Lingkar Danau Maninjau,

Kabupaten Agam, Sumatera Barat” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini didasari oleh keinginan untuk ikut dalam upaya pelestarian kawasan dan budaya masyarakat lingkar Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, juga untuk meningkatkan rasa kepedulian dan penghargaan diri sendiri dan masyarakat terhadap keberlanjutan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau.

Pada kesempatam kali ini penulis menyampaikan apresiasi, penghargaan, dan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah terlibat dan berkontribusi dalam proses penelitian serta penyelesaian penulisan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Dewi Marianti, SPd. dan Suratmin selaku kedua orang tua, serta keluarga besar yang amat dicintai atas doa, dukungan, kepercayaan, semangat, dan bantuan yang diberikan kepada penulis sampai saat ini.

2. Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan dan arahannya selama penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Setia Hadi, MS. sebagai pembimbing akademik atas arahan dan bimbingan selama penulis menjalani kuliah.

4. Ir. Qodarian Pramukanto, MS. dan Dr. Ir. Tati Budiarti, MS. selaku dosen penguji atas masukan, kritik, dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 5. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten

Agam, Kecamatan Tanjung Raya, dan seluruh Kenagarian (Maninjau, Bayur, Duo Koto, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, Tanjung Sani, Sungai Batang, dan Paninjauan) selingkar Danau Maninjau atas bantuannya dalam pengumpulan data selama penelitian.

6. Sahabat seperjuangan Arsitektur Lanskap IPB angkatan 44 atas persahabatan, bantuan, doa, dukungan, dan motivasinya.


(11)

7. Keluarga besar di Departemen Arsitektur Lanskap IPB angkatan 40, 41, 42, 43, 45, 46,47 dan seluruh civitas akademik atas sukacita bersama dan motivasinya.

8. Seluruh pihak yang telah memberikan motivasi, saran dan nasehat yang membantu penulis selama proses penyusunan laporan penelitian ini.

Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat lingkar Danau Maninjau, pemerintah setempat, dan seluruh pihak terkait, serta dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian lain yang dilaksanakan pada masa yang akan datang.

Bogor, April 2012


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat ... 3

1.4. Kerangka Pikir ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Lanskap Budaya ... 5

2.2. Lanskap Danau Maninjau ... 7

2.3. Sistem Adat Budaya Minangkabau ... 8

2.4. Keberlanjutan Lanskap Budaya ... 9

III. METODOLOGI ... 19

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19

3.2. Batasan Penelitian ... 20

3.3. Tahapan dan Metode Penelitian ... 20

3.3.1. Inventarisasi ... 20

3.3.2. Analisis ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Aspek Fisik dan Biofisik ... 25

4.1.1. Wilayah Administrasi Lingkar Danau Maninjau ... 25

4.1.2. Aksesibilitas dan Sirkulasi ... 25

4.1.3. Iklim ... 27

4.1.4. Geologi, Tanah, dan Topografi ... 28

4.1.5. Hidrologi ... 32

4.1.6. Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 35

4.1.7. Visual ... 39

4.2. Aspek Sosial Budaya ... 42

4.2.1. Demografi ... 42


(13)

4.2.3. Filosofi dan Nilai-Nilai ... 48

4.2.4. Sistem Adat dan Budaya ... 49

4.3. Pengaruh Eksternal ... 50

4.3.1. Kebijakan dan Peraturan Pemerintah - RTRW ... 50

4.3.2. Aktivitas Wisata ... 70

4.4. Analisis Karakteristik Keberlanjutan Lanskap Budaya ... 71

4.4.1. Ekologi ... 71

4.4.2. Sosial Ekonomi ... 74

4.4.3. Sejarah Spiritual Budaya... 75

4.4.4. Total Nilai Karakteristik Keberlanjutan Lanskap Budaya ... 77

4.5. Analisis Keberlanjutan ... 78

4.5.1. SWOT ... 78

4.5.2. Rekomendasi Keberlanjutan ... 83

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

5.1. Simpulan ... 85

5.2. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(14)

DAFTAR TABEL

1 Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Internal ...14

2 Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal ...14

3 Formulir Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ...15

4 Formulir Matriks IFE ...16

5 Formulir Matriks EFE ...16

6 Formulir Matriks SWOT ...18

7 Formulir Penentuan Peringkat Alternatif Strategi ...18

8 Jenis dan Sumber Data ...21

9 Data Sensus Penduduk Kecamatan Tanjung Raya (BPS, 2007) ...43

10 Perbedaan Konsepsi Nagari dan Desa ...46

11 Penilaian Karakteristik Keberlanjutan Lanskap Budaya ...77

12 Tingkat Kepentingan Faktor Internal ...79

13 Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal ...80

14 Pembobotan Faktor Internal ...80

15 Pembobotan Faktor Eksternal ...80

16 Skor Pembobotan Faktor Internal ...81


(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2 Sistem Adat Minangkabau ... 9

3 Kuadran Strategi ...17

4 Lokasi Penelitian ...19

5 Tahapan Penelitian ...20

6 Peta Aksesibilitas ...26

7 Peta Iklim Tipe Oldeman ...28

8 Peta Geologi dan Tanah ...30

9 Peta Topografi dan Kemiringan Lahan ...31

10 Peta Daerah Aliran Sungai ...34

11 Perubahan Tutupan Lahan ...37

12 Peta Penggunaan Lahan tahun 2010 ...38

13 Lanskap Danau Maninjau dari Kelok-44 ...40

14 Lanskap Bagian Utara Danau Maninjau ...40

15 Lanskap Bagian Tenggara Danau Maninjau ...41

16 Lanskap Bagian Selatan Danau Maninjau ...42

17 Lanskap Bibir Pantai dan Tebing Danau Maninjau ...42

18 Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Maninjau ...61

19 Persentase Persepsi Masyarakat tentang Aktivitas Wisata ...71

20 Klasifikasi Ekologis ...72

21 Ilustrasi Penampang Danau ...74


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Surat Rekomendasi Permohonan Data Penelitian ...89

2 Surat Rekomendasi Izin Penelitian / Observasi ...90

3 Kuisioner Persepsi dan Preferensi Masyarakat ...91

4 Draft Wawancara Sejarah Asal-usul Kampung ...92


(17)

Budaya dan lanskap Indonesia saat ini adalah gabungan dari berbagai interaksi warisan alam, budaya, dan sejarah yang sangat beragam. Pembentuk keragaman ini tidak hanya dari akar budaya lokal atau nasional, tetapi juga dari dinamisnya intrusi beragam etnis pendatang dari berbagai negara yang membawa trend budayanya masing-masing. Kekayaan ini menyumbangkan berbagai karakter dari berbagai aspek khususnya nilai karakter lanskap budaya. Suatu kebudayaan dari masyarakat atau komunitas lokal akan semakin sulit diidentifikasi karakternya apabila terjadi penurunan nilai budaya atau sejarah dan juga nilai fisik alami yang terkandung, mengingat interaksi antar beragam kelompok manusia dan lanskap semakin intensif dan beragam bentuknya. Oleh karena hal di atas, penting untuk dilakukan kajian mengenai interaksi manusia dan lanskap, yang selanjutnya disebut sebagai lanskap budaya, sebagai bahan dasar pengembangan berkelanjutan dan upaya pelestarian dari berbagai nilai yang terkandung didalamnya.

Danau Maninjau di Sumatera Barat merupakan danau vulkanik yang berada di ketinggian 461,5 meter di atas permukaan laut. Luas Danau Maninjau sekitar 99,5 km² atau 9950 Ha, dengan kedalaman rata-rata 157 m, volume air 10.4 km³, dan keliling 66 km. Danau Maninjau berbentuk cekungan yang dikelilingi oleh bukit-bukit yang tersusun seperti dinding. Kekayaan yang tersimpan di alam Maninjau beserta danaunya membuat hubungan antara manusia dan alam semakin dekat. Lahan subur, iklim yang nyaman, sumber makanan dan air yang berlimpah, serta banyak kekayaan lainnya. Kebutuhan akan sumber daya alam di sini pada awalnya terbentuk hanya atas alasan bertahan hidup, tetapi perkembangan zaman membuat pola hidup terus berkembang dan membentuk beragam alasan lainnya. Hal tersebut membentuk beragam karakter lanskap budaya yang tumbuh dan berkembang di lingkar Danau Maninjau hingga saat ini.

Asal-muasal masyarakat Maninjau berasal dari perantau yang turun dari puncak Gunung Marapi. Masyarakat ini merupakan sebagian dari suku Minang yang sampai ke Puncak Lawang di atas Maninjau. Sebelum memanfaatkan kekayaan alam dan memulai hidup di sekitar Danau Maninjau, mereka meninjau


(18)

kelayakan kekayaan alam dengan hati-hati dan sangat bijak. Filosofi dasar „Alam takambang jadi guru‟ dipegang dan diaplikasikan dengan baik dalam bertindak. Mereka meninjau cukup lama dari bukit-bukit yang tinggi di batas luar Maninjau, meninjau alam di bawah apakah akan layak dihuni dan tidak membahayakan kehidupannya. Hanya lahan-lahan yang cukup datar dipilih sebagai lahan budidaya. Hutan primer di bukit-bukit terjal yang mengelilingi danau dijaga agar tidak terjadi longsor. Sumber protein dari danau telah cukup melimpah dengan beragam spesies endemik akan meledak populasinya pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat dengan mudah dipanen tanpa perlu budidaya atau interaksi intensif pada danau, sehingga kejernihan danau tetap terjaga. Ekosistem darat dan danau saling mendukung.

Pola budaya yang sangat berbeda terasa saat ini. Masyakat di lingkar Danau Maninjau saat ini tampaknya sudah jauh meninggalkan akar budaya „meninjau

alam‟ yang dulu dilakukan oleh para pendahulu. Intensitas interaksi (derajat pengubahan lanskap alami) oleh masyarakat terhadap lanskap lingkar Danau Maninjau semakin tinggi dari masa ke masa. Pemukiman dan lahan-lahan budidaya dikembangkan pada lahan-lahan curam bekas hutan yang menyangga tebing dan pada bibir danau. Interaksi langsung tidak hanya dilakukan di daratan tetapi juga pada danau, dengan budidaya sistem jala apung atau keramba yang semakin intensif dilakukan. Hal ini mengakibatkan akumulasi unsur hara berlebihan pada air danau dan menyaingi populasi spesies endemik Danau Maninjau. Inilah potret lanskap budaya di lingkar Danau Maninjau saat ini dan keberlanjutannya sangat mengkhawatirkan. Permasalahan tersebut sangat mempengaruhi pola sosial dan ekonomi masyarakat. Alam sebagai tempat hidup dan bepijak bagi manusia akan semakin sempit. Daya dukung lingkungan alam semakin menurun, jika tidak ada kesadaran, kontrol, dan perhatian pada aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutannya.

Kekhawatiran terhadap keberlanjutan lanskap budaya di masa yang akan datang adalah latar belakang kajian lanskap budaya di wilayah lingkar Danau Maninjau ini. Sangat penting untuk mengetahui berbagai karakter dan menilai keberlanjutan lanskap budaya yang terbentuk dan berkembang sebagai dasar pedoman atau rekomendasi pemerintah, masyarakat, dan semua pihak terkait


(19)

dalam menentukan arah perencanaan dan pengembangan lanskap lingkar Danau Maninjau secara berkelanjutan.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi unit lanskap budaya di lingkar Danau Maninjau, 2. Menganalisis keberlanjutan lanskap budaya tersebut,

3. Menyusun rekomendasi pengembangan dan pelestarian lanskap di lingkar Danau Maninjau yang berkelanjutan.

1.3. Manfaat

Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah:

1. Menjadi bahan masukan dan rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten Agam, atau pemerintah setempat, beserta pihak-pihak yang terkait dalam merencanakan, mengembangkan, dan mengelola lanskap Danau Maninjau 2. Sebagai informasi yang melengkapi pengetahuan dan menambah wawasan

tentang lanskap badaya Danau Maninjau dan membuka kesadaran untuk menjaga atau memelihara keberlanjutannya.

1.4. Kerangka Pikir

Lanskap alami Danau Maninjau, suatu dasar ekologis suatu ekosistem yang akan berkembang didalamnya, tidak akan pernah lepas dari sentuhan-sentuhan manusia dengan aspek-aspek sosial ekonomi dan budaya spiritual yang dibawanya. Aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan spiritual budaya merupakan tiga pilar keberlanjutan yang juga dijadikan dasar oleh Global Ecovillage Network (GEN) sebagai acuan dalam metode Penilaian Keberlanjutan Masyarakat yang umumnya dikenal dengan Community Sustainability Assessment (CSA). Hasil interaksi antara manusia dan alam ini disebut sebagai lanskap budaya. Lanskap budaya Danau Maninjau seiring perkembangan zaman dan pertumbuhannya akan terus membawa dampak terhadap keberlanjutannya. Dampak yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah penurunan kualitas budaya dan juga kualitas fisik lanskapnya. Hal tersebut akan menjadi dasar kajian pada penelitian ini. Hasil analisis atau kajian ini berupa rekomendasi dasar pertimbangan pengembangan,


(20)

pelestarian, dan juga pengelolaan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau yang berkelanjutan (Gambar 1).


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Budaya

Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan berbagai karakteristik yang terdefinisi secara harmoni menurut seluruh indra manusia (Simonds,2006). Definisi umum ini membuat pengertian lanskap dapat terdiferensiasi menurut skala tertentu, mulai dari skala mikro sebatas taman kantong sampai skala makro dalam tataran regional dan universal.

Budaya merupakan kesatuan makna dari hasil cipta, karya, dan karsa, yang dalam hal ini, manusia. Budaya pasti bersifat dinamis karena pada dasarnya kebudayaan merupakan hasil peradaban dari setiap masa. Hal ini tersimpulkan dari tulisan Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (1986) yang isinya sebagai berikut, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia paling sedikit menyangkut lima hal, yaitu:

1. hakekat dari hidup manusia 2. hakekat dari karya manusia

3. hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu 4. hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya 5. hakekat dari hubungan manusia dengan sesama manusia.

Lanskap budaya sering diartikan sebagai sinonim dari lanskap buatan atau lanskap hasil rancangan, seperti taman, boulevard, kampus, rekayasa tapak, penanaman dan sebagainya. Lanskap budaya, menurut Plantcher dan Rossler (1995), merupakan sebuah model interaksi antara manusia, sistem sosial, dan cara mereka mengorganisasi ruang. Beberapa definisi lain mendefinisikan lanskap budaya sebagai wujud fisik dari setting perkotaan atau kawasan yang diciptakan oleh suatu etnis atau ras tertentu. Menurut Longstreth (2008) ketepatan dasar arti dari konsep lanskap budaya adalah perbedaan atau pembeda dari suatu tempat yang tidak cukup dinilai hanya dari lingkup kecil skala halaman rumah. Thisler (dalam Nurisjah dan Pramukanto, 2001) mendefinisikan lanskap budaya sebagai suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu.


(22)

Identitas atau karakter lanskap budaya dapat dijabarkan melalui tiga kelompok komponen, yaitu konteks, organisasi, dan elemen (Melnick, 1983). Penjabaran dari masing-masing kelompok komponen tersebut antara lain sebagai berikut:

1. lanskap budaya dalam kelompok konteks a. sistem organisasi lanskap budaya

b. kategori penggunaan lahan secara umum c. aktivitas khusus dari penggunaan lahan 2. lanskap budaya dalam kelompok organisasi

a. hubungan bentuk bangunan dangan elemen mayor alami b. sirkulasi jaringan kerja dan polanya

c. batas pengendalian elemen d. penataan tapak

3. lanskap budaya dalam kelompok elemen

a. hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan b. tipe bangunan dan fungsinya

c. bahan dan teknik konstruksi d. skala kecil dari elemen

e. makam atau situs simbolik sejenisnya f. pandangan sejarah dan kualitas persepsi.

Lanskap sejarah budaya memiliki nilai yang penting sebagai jatidiri dan kebanggaan suatu bangsa. Menurut Goodchild (1990), lanskap sejarah harus dikonservasi karena :

1. sesuatu yang penting dan merupakan bagian integral dari warisan budaya 2. menyediakan fakta fisik dan arkeologi dari warisan sejarah dan budaya 3. memberi kontribusi untuk kesinambungan perkembangan budaya 4. memberi kontribusi pada keragaman yang ada

5. memberikan kenyamanan bagi masyarakat, beristirahat, bersenang-senang, menyegarkan jiwa, atau menemukan inspirasi

6. mermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kenyamanan masyarakat serta dapat meningkatkan dan mendukung kegiatan wisata.


(23)

2.2. Lanskap Danau Maninjau

Danau merupakan suatu istilah untuk salah satu jenis ekosistem perairan darat. Menurut Suwigno (dalam Ubaidillah dan Maryanto,2003) perairan dikatakan bertipe danau, apabila perairan tersebut dalam dengan tepian curam. Danau cenderung memiliki kejernihan air yang lebih baik dibanding rawa dan sungai. Tumbuhan air pada danau terbatas hanya pada tepian. Pada umumnya danau bercirikan sebagai berikut: memiliki kecuraman tinggi atau terjal, kedalaman lebih dari 100 m, fluktuasi permukaan air + 1-2 m, daerah tangkap hujan sempit, jumlah teluk sedikit, garis pantai pendek, masa simpan air lama, dan pengeluaran (outlet) air dari atas. Ciri-ciri tersebut membedakan kondisi ekologis danau dan sekelilingnya dengan kondisi ekologis perairan tergenang di darat lainnya seperti rawa, situ, dan waduk.

Salim (1968) menggambarkan Danau Maninjau sebagai nikmat yang tak ternilai dan tergantikan, karena tak ada tempat lain yang menyamainya. Semburan kilat cahaya matahari berpadu dengan biru lagit tampak pada permukaan danau, refleksi yang membuat seolah-olah daratan dan bukit-bukit di lingkar danau ini melayang. Sebelum memasuki Nagari Maninjau, akses utama yang dilalui adalah kelok 44 dari setiap tikungan atau kelok yang dilalui akan terlihat pemandangan jernihnya air danau yang membiru. Dilihat dari dekat, semakin jelas jernihnya air danau pada dasar yang dangkal terlihat jelas.Bunyi riak air dan angin membentuk buih-buih ombak yang seolah menghibur masyarakat di sekitarnya. Seniman dan para pujangga akan banyak mendapat bahan inspirasi dari pemandangan Danau Maninjau ini, bahkan mungkin akan kehabisan warna untuk melukiskan keindahannya. Berbagai keindahan tersebut disampaikan sebagai gambaran umum kondisi Danau Maninjau pada masa lampau.

Kondisi Danau Maninjau akhir-akhir ini, menurut Badjoeri (dalam Setyawan, 2004), telah mengalami berbagai macam degradasi dan gejala-gejala penurunan kualitas alaminya. Hasil analisis Badjoeri menunjukkan bahwa Danau Maninjau telah mengalami eutrofikasi, telah terjadi penumpukan bahan organik dan ketidakseimbangan proses dalam siklus karbon pada dasar danau, dan terjadi perputaran arus atau turbulensi pada sistem perairan yang menyebabkan oksigen terdapat sampai ke dasar perairan atau disebut juga nitrifikasi pada dasar danau.


(24)

Penurunan kualitas air Danau Maninjau ini juga disebabkan oleh pembuatan bendungan PLTA di Batang Antokan sebagai outlet Danau Maninjau yang menyebabkan pembalikan massa air dari kolom air bagian bawah yang anaerobik dan mengandung gas beracun, pembuatan karamba budidaya ikan, dan peningkatan aktivitas-aktivitas berlimbah domestik disekitar danau, seperti pertokoan, hotel, cafe, rumah makan, rekreasi masal, pasar, dan sebagainya. Penurunan kualitas jasa lingkungan ini merupakan akibat dari semakin intensifnya tekanan aktivitas sosial ekonomi masyarakat saat ini.

2.3. Sistem Adat Budaya Minangkabau

Menurut Ismael dalam Rasyid (2008), Minangkabau memiliki hierarki sistem adat yang terdiri dari unsur inti (core element) dan unsur turunan (peripheral element). Masing-masing unsur ini terbagi lagi menjadi dua tingkatan. Unsur inti (core element) adat terbagi menjadi adat nan sabana adat (adat yang benar-benar adat) pada tingkat filosofis dan adat nan diadatkan (adat yang diadatkan) pada tingkat teoritis. Unsur inti (core element) dari adat ini tidak dapat diubah dalam kondisi apapun karena merupakan dasar atau acuan dari sistem adat tersebut. Tataran di bawahnya, elemen adat turunan (peripheral element) terbagi menjadi adat nan teradat (adat yang teradat) pada tingkat metodologis dan adat istiadat (adat yang terlihat) pada tingkat praktis. Elemen turunan ini dapat disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan aktual masyarakat dan umumnya berfungsi praktis dalam menjaga hubungan antar masyarakat, kekeluargaan internal, momen-momen atau kejadian penting, dan kehidupan sehari-hari. Skema sistem adat ini digambarkan dalam diagram di bawah (Gambar 2).

Unsur inti dari piramida sistem adat Minangkabau bersifat tetap dan mutlak. mencakupi tataran filosofis dan metodologis, adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan. Adat nan sabana adat adalah filosofi kepastian alami, acuan terhadap ketentuan-ketentuan alam, yang berlaku sepanjang waktu. Masyarakat Minangkabau dituntut menjadikan alam sebagai guru yang menyiratkan ilmu pengetahuan. Adat nan diadatkan pada tataran teoritis merupakan adat yang disusun dan diwariskan oleh nenek moyang pendahulu Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Bentuk dari adat nan diadatkan ini adalah pola


(25)

adat dari dua keselarasan induk suku Bodi Caniago dan Koto Piliang yang berupa sistem garis keturunan matrilineal.

Gambar 2. Sistem Adat Minangkabau (Ismael dalam Rasyid, 2008)

Unsur turunan dari tataran filosofis dan teoritis pada sistem adat Minangkabau ini adalah tataran metodologis dan praktis, adat nan teradat dan adat istiadat. Adat nan teradat adalah peraturan kesepakatan dari para penghulu pemimpin suku atau kaum dari setiap nagari. Bentuk dari adat nan teradat ini adalah kata-kata adat, adat salingka nagari, harato salingka kaum (adat berlaku dalam nagari, harta pusaka berlaku selingkar kaum). Segmen metodologis ini berlaku pada skala nagari, sehingga kesepakatan dari masing-masing internal nagari tidak mutlak sama, disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan hak otonomi setiap nagari. Adat istiadat merupakan kebiasaan dan ciri khusus dalam aspek-aspek praktis kehidupan sehari-hari, kesenian, permainan rakyat, bentuk pakaian, tatacara dalam pembangunan rumah, penggunaan rumah adat, upacara-upacara adat, dan sebagainya.

2.4. Keberlanjutan Lanskap Budaya

Suatu keberlanjutan dapat dijelaskan dari sisi kualitatif secara deskriptif yang berwujud kenaikan secara eksponensial dari kehidupan seseorang atau organisme dalam suatu sistem (Wikipedia 2010). Pembangunan berkelanjutan dalam Laporan Burtland tahun 1987 (dalam Basyir, 2008) dijelaskan sebagai


(26)

pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa harus berkompromi dengan kemampuan generasi masa depan agar tetap terpenuhi kebutuhannya. Menurut Basyir (2008), konsep keberlanjutan berkaitan dengan ekosistem, penggunaan sumber daya lingkungan, serta pertumbuhan populasi. Analisis ekosistem dan penilaian siklus hidup perlu dilakukan dalam upaya pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai pertumbuhan populasi penduduk dan kebutuhannya pun harus mengusung konsep keberlanjutan.

Newman dan Jennings (2008) menyebutkan bahwa, keberlanjutan adalah tujuan bersama. Tujuan bersama harus diwujudkan dengan terintegrasi dan jangka panjang. Visi jangka panjang adalah titik awal pemicu perubahan positif ke arah keberlanjutan. Beberapa kata kunci yang harus diperhatikan dan terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan antara lain, intergenerasi, sosial, keseimbangan politik, dan setiap individu. Tujuan ini seharusnya mengekpresikan aspirasi bersama dari semua pihak agar dapat dicapai keseimbangan atau keadilan. Akses seimbang untuk setiap sumberdaya baik manusia dan alam, sebaik mungkin berbagi dalam tanggung jawab bersama menjaga nilai-nilai untuk generasi mendatang. Visi keberlanjutan akan memotivasi masyarakat, pemerintah, pelaku bisnis, dan semua yang memiliki tujuan bersama. Landasan untuk strategi pengembangan, program aksi, dan semua proses untuk mewujudkan tujuan tersebut akan terbentuk dengan sendirinya jika memiliki visi yang sama.

Keberlanjutan merupakan istilah sebagai representasi dari suatu roda kehidupan yang terkait dengan dimensi waktu. Keberlanjutan dapat dikaitkan dengan suatu lanskap atau bentang alam (ekologis), sosial-ekonomi, dan spiritual budaya masyarakat. Keberlanjutan dapat dipahami sebagai kata sifat yaitu berkelanjutan. Lanskap yang berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya yang juga menjunjung nilai-nilai keberlanjutan. Keberlanjutan lanskap budaya dapat disimpulkan sebagai tingkat atau nilai hasil dari interaksi sosial ekonomi budaya masyarakat dan lanskapnya. Lanskap budaya yang berkelanjutan seharusnya dapat memenuhi berbagai kebutuhannya dan menuangkan segala potensi terbesarnya di masa ini untuk persiapan masa depan,


(27)

dengan tetap menjaga kelestarian pendukung kehidupan masa depannya yaitu lanskap sebagai wadah ekosistem.

Penilaian keberlanjutan masyarakat telah berkembang di negara-negara yang tergabung dalam jaringan global desa berkelanjutan atau dikenal dengan Global Ecovillage Network (GEN). Penilaian keberlanjutan masyarakat yang dikenal dengan Community Sustainability Assessment (CSA) ini merupakan suatu cara atau alat untuk mengevaluasi tingkat keberlanjutan lanskap budaya melalui pendekatan yang dimulai dari penggalian pemahaman masyarakat terhadap masing-masing parameter keberlanjutan dari tiga pilar atau aspek keberlanjutan. Tingkat keberlanjutan masyarakat dilihat dari tiga pilar ecovillage menurut GEN yaitu aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan spiritual budaya. Kriteria-kriteria untuk setiap aspek telah ditetapkan oleh GEN sebagai parameter tingkat keberlanjutan masyarakat yang akan diteliti.

Berdasarkan GEN, parameter keberlanjutan yang digunakan untuk setiap aspek antara lain sebagai berikut:

1. Aspek Ekologis, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika:

a. Masyarakat memiliki ikatan mendalam dengan tempat tinggal mereka, batas-batas, kekuatan, kelemahan, dan irama kehidupan yang selaras menjadi bagian dari total ekosistem

b. Kehidupan alami beserta proses dan sistemnya dihormati, termasuk margasatwa dan habitat tumbuhan

c. Gaya hidup manusia yang lebih meningkatkan integritas lingkungan dan tidak mengurangi atau merusaknya

d. Pangan utama diperoleh dari sumber lokal dan kawasan alami, organik, bebas zat pencemar, dan memberi keseimbangan gizi

e. Struktur-struktur dirancang dengan memadukan dan untuk melengkapi lingkungan alami, material, bahan, dan metode yang ramah lingkungan, konsep bioregional dan ekologis (dapat diperbaharui dan tidak beracun) f. Konservasi dipraktikan dalam berbagai metode dan sistem transportasi g. Konsumsi dan penghasil limbah diminimalkan

h. Tersedia air bersih yang dapat diperbaharui, dengan masyarakat yang menghormati dan waspada dalam memelihara sumbernya


(28)

i. Limbah manusia dan air limbah didaur ulang untuk manfaat lingkungan j. Sumber energi yang tidak beracun dan dapat diperbaharui dimanfaatkan

sebaik mungkin, teknologi inovatif tidak dieksploitasi atau dibiarkan tetapi digunakan untuk kebaikan bersama.

2. Aspek Sosial-Ekonomi, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika: a. Terdapat suatu kestabilitasan sosial dalam dinamika kehidupan

bermasyarakat, aman dan bebas dalam mengekspresikan diri untuk kepentingan bersama

b. Tersedia ruang dan sistem yang mendukung dan memaksimalkan komunikasi, relasi, dan produktivitas

c. Terdapat peluang atau teknologi yang cukup untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas secara tepat

d. Bakat, keterampilan, dan sumber daya masyarakat lainnya dipertukarkan secara bebas dan ditawarkan sebagai daya jual dan pelayanan terhadap masyarakat luar

e. Keragaman dihormati sebagai sumber kesehatan mental, vitalitas, dan kreativitas di lingkungan alam dan hubungan-hubungan masyarakat f. Penerimaan, kerakyatan, dan keterbukaan sebagai pemahaman terhadap

pentingnya keragaman yang memperkaya pengalaman sosial dan lingkungan serta meningkatkan rasa keadilan

g. Pertumbuhan individu, pembelajaran, dan kreativitas dihargai dan dipelihara sebagai peluang untuk belajar dan mengajarkan yang luas dan bervariasi

h. Pilihan-pilihan untuk memperbaiki, memelihara, dan meningkatkan kesehatan (fisik, mental, emosi, dan spiritual) tersedia dan terjangkau masyarakat

i. Aliran sumber daya dalam arti memberi dan menerima modal, barang, atau jasa dapat mengimbangi kebutuhan dan keinginan masyarakat, jika kelebihan hasil saling berbagi.

3. Aspek Spiritual Budaya, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika: a. Kekuatan budaya dilestarikan melalui aktivitas seni, seremoni ritual


(29)

b. Kreativitas dan seni dilihat sebagai ungkapan kesatuan hubungan timbal balik dengan alam semesta

c. Menghargai waktu luang

d. Terdapat rasa hormat dan dukungan terhadap manifestasi kespiritualan dalam berbagai cara

e. Tersedia peluang-peluang untuk pengembangan jati diri

f. Gembira dan memiliki ekspresi yang dikembangkan melalui ritual atau perayaan

g. Kualitas kebersamaan dalam hati masyarakat memberikan kesatuan dan integritas dalam kehidupannya, hal ini merupakan suatu persetujuan dan visi bersama tentang komitmen saling berbagi

h. Adanya kapasitas dan fleksibilitas cepat tanggap dalam menghadapi suatu masalah

i. Pemahaman menyeluruh tentang keberadaan dan hubungannya dengan elemen di luar lingkungannya

j. Secara sadar masyarakat memilih berperan untuk menciptakan dunia yang damai, penuh cinta, dan lestari.

Analisis keberlanjutan dapat dilakukan secara deskriptif dengan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan dilakukan untuk mengetahui keberlanjutan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau. Metode SWOT digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari segi internal, dan mengidentifikasi peluang dan ancaman dari segi eksternal. Langkah kerja dalam melakukan analisis SWOT, antara lain:

a. Identifikasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal,

Tahap identifikasi faktor internal digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan yang sesuai dengan dasar studi. untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan antara area-area tersebut. Tahap identifikasi faktor eksternal digunakan untuk mengetahui ancaman dan peluang yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2005).


(30)

Tabel 1. Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Internal

Simbol Faktor Internal Tingkat Kepentingan Kekuatan (Strengths)

S1

S2

Sn

Kelemahan (Weaknesses) W1

W2

Wn

Sumber: David (2005)

Tabel 2. Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal

Simbol Faktor Eksternal Tingkat Kepentingan Peluang (Opportunitiess)

O1

O2

On

Ancaman (Threats) T1

T2

Tn

Sumber: David (2005)

b. Penilaian Faktor Internal dan Eksternal,

Tahap ini dilakukan pemberian simbol terhadap faktor-faktor yang telah diidentifikasi. Setelah melakukan penentuan tingkat kepentingan selanjutnya adalah penentuan bobot. Menurut David (2005), penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1-4, yaitu sebagai berikut.

 Nilai 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator vertikal,

 Nilai 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal,


(31)

 Nilai 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertikal,

 Nilai 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor vertikal.

Tabel 3. Formulir Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal

Faktor Internal/Eksternal A B C D Total Bobot

A x1 α1

B x2 α2

C x3 α3

D x4 α4

Total Sumber: Kinnear dan Taylor (1991)

Langkah selanjutnya setelah penentuan bobot adalah menentukan bobot akhir masing-masing variabel dapat ditentukan dengan menggunakan rumus (Kinnear dan Taylor, 1991):

Dengan: αi =bobot variabel ke-I, xi = nilai variabel ke-I, i = 1, 2, 3,..., n, n = jumlah variabel.

c. Pembuatan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE),

Menurut Rangkuti (1997), nilai peringkat pada faktor positif (kekuatan dan peluang) berbanding terbalik dengan faktor negatif (kelemahan dan ancaman). Pada faktor positif, nilai 4 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang sangat penting, nilai 3 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang penting, nilai 2 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang cukup penting, dan nilai 1 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang tidak penting. Penilaian faktor negatif adalah sebaliknya. Kemudian, peringkat dan bobot dari masing-masing faktor dikalikan untuk memperoleh skor pembobotan (Tabel 4 dan Tabel 5).

x

i

n

x

i

i=1

αi

=


(32)

Tabel 4. Formulir Matriks IFE

Simbol Faktor Internal Bobot Peringkat Skor

Kekuatan (Strengths)

S1 S2 Sn

Kelemahan (Weaknesses)

W1 W2 Wn

Total Sumber: Rangkuti (1997)

Tabel 5. Formulir Matriks EFE

Simbol Faktor Eksternal Bobot Peringkat Skor

Peluang (Opportunities)

O1 O2 On

Ancaman (Threats)

T1 T2 Tn

Total Sumber: Rangkuti (1997)

Dari total skor yang diperoleh dari matriks IFE dan EFE dapat diketahui posisi tapak studi pada suatu kuadran yang menyatakan kekuatan dan kelemahannya melalui matriks internal-eksternal (IE) (Gambar 3). Menurut David (2005), matriks IE memiliki sembilan kuadran yang dapat dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut:

1. Grow and build strategy (Kuadran I, II, dan III)

Diperlukan strategi yang bersifat intensif dan agresif. Fokus dari strategi ini adalah penetrasi pasar, pengembangan pasar, dan pengembangan produk.


(33)

IV V VI

tinggi sedang rendah

tinggi sedang rendah 1 2 3 4 3 2 1

Total Skor IFE

Tota

l Skor

EF

E

2. Hold and maintain strategy (Kuadran IV, V, dan VI)

Fokus strategi ini adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. 3. Harvest and divest strategy (Kuadran VII, VIII, dan IX)

Fokus strategi ini adalah perlu dilakukan manajemen biaya yang agresif saat biaya peremajaan bisnis untuk merevitalisasi bisnis tergolong rendah.

Gambar 3. Kuadran Strategi

d. Matriks SWOT

Faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi dapat dimasukkan ke dalam tabel yang sesuai dengan matriks SWOT (Tabel 6). Matriks ini menggambarkan hubungan antara kekuatan dan kelemahan dengan peluang dan ancaman. Menurut David (2005), hasil dari matriks SWOT ini adalah alternatif strategi manajemen lanskap yang dapat meningkatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan ancaman dengan empat alternatif strategi sebagai berikut.

1. Strategi SO (Strengths-Opportunities)

Strategi ini memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk menarik keuntungan dari peluang eksternal

2. Strategi ST (Strengths-Threats)

Strategi ini menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal

3. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities)

Strategi ini bertujuan memperbaiki kelemahan internal dengan cara mengambil keuntungan dari peluang eksternal

II III

VII VIII IX


(34)

4. Strategi WT (Weaknesses-Threats)

Strategi ini bertujuan mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman eksternal.

Tabel 6. Formulir Matriks SWOT Eksternal

Internal Opportunities (Peluang) Threats (Ancaman)

Strengths (Kekuatan) SO ST

Weaknesses (Kelemahan) WO WT

Sumber: David (2005)

e. Pembuatan Tabel Peringkat Alternatif Strategi

Penentuan prioritas dilakukan kepada beberapa alternatif strategi yang diperoleh dari matriks SWOT. Tahap ini dilakukan dengan cara menjumlahkan skor dari faktor-faktor penyusunnya (Tabel 7). Strategi yang memiliki skor tertinggi merupakan strategi yang menjadi prioritas utama.

Tabel 7. Formulir Penentuan Peringkat Alternatif Strategi

Alternatif Strategi Keterkaitan dengan Unsur SWOT Skor Peringkat

SO1 SO2 SOn ST1 ST2 STn WO1 WO2 WOn WT1 WT2 WTn


(35)

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan selama sembilan minggu, mulai akhir bulan Februari 2011 sampai dengan April 2011.Kegiatan penelitian ini dilakukan di kawasan nagari-nagari Lingkar Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Secara geografis Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat terletak antara 00°21' sampai dengan 00°29' Lintang Selatan dan 99°52' sampai 100°33' Bujur 'I'imur (Gambar 4).


(36)

3.2. Batasan Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian lanskap budaya yang merupakan karakteristik lanskap hasil interaksi antara budaya manusia dan lanskap alaminya. Penelitian dilakukan dengan batasan lokasi pada nagari-nagari di wilayah lingkar Danau Maninjau yang termasuk dalam kesatuan Kecamatan Tanjung Raya. Kajian yang dilakukan mencakup karakteristik fisik lanskap alami, aspek sosial-budaya, dan aspek eksternal yang terkait dengan lanskap Danau Maninjau.

3.3. Tahapan dan Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap berupa inventarisasi, analisis, dan sintesis (Gambar 5).

Gambar 5. Tahapan Penelitian

3.3.1. Inventarisasi

Tahap ini merupakan tahap pengumpulan data. Data terkait dikelompokkan sesuai jenis dan sumbernya yaitu Fisik dan Biofisik, Sosial-Ekonomi dan Spiritual Budaya Masyarakat, serta Pengaruh Eksternal yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau (Tabel 8). Data awal untuk memulai kajian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari pihak terkait seperti


(37)

Bappeda Kabupaten Agam dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Agam 2010-2030 dan Pemerintah Kecamatan dan Nagari-Nagari setempat. Selanjutnya dilakukan observasi lapangan dan verivikasi data sekunder yang telah didapatkan dengan kondisi aktual.

Tabel 8. Jenis dan Sumber Data

Jenis Data Sumber

1.Data Fisik dan Biofisik

- Wilayah Administrasi - Aksesibilitas dan Sirkulasi - Iklim

- Geologi, Tanah, dan Topografi - Hidrologi

- Penutupan dan Penggunaan Lahan

Bappeda Kab. Agam - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan

2.Sosial –Ekonomi dan Spiritual

Budaya Masyarakat - Demografi

- Lembaga Kemasyarakatan - Sistem Adat dan Budaya

- Sejarah, Filosofi, dan Nilai-nilai Spiritual Budaya

Camat, Wali Nagari, dan Tetua Adat

-BPS Kecamatan, Wali Nagari -Wali Nagari + pengamatan -Literatur, Tetua Adat, Wali Nagari -Tetua Adat, Wali Nagari+ pengamatan

3.Pengaruh Eksternal

- Kebijakan dan Peraturan Pemerintah Kabupaten-Provinsi-Nasional - Pengaruh Kegiatan Pariwisata

Bappeda Kab. Agam dan Masyarakat -Dok. RTRW Kab. Agam Survey -Kuisioner Masyarakat

Data Sosial-Ekonomi dan Spiritual Budaya Masyarakat merupakan gabungan dari data primer dan sekunder. Data Demografi (kependudukan) dan Lembaga Kemasyarakatan didapat secara sekunder dari pemerintah kecamatan dan nagari-nagari setempat. Data Sistem Adat dan Budaya dan Sejarah, Filosofi, dan Nilai-nilai Spiritual Budaya didominasi data primer yang didapatkan dari hasil wawancara dan diskusi kepada tetua serta pemerhati adat budaya setempat, dan data sekunder dari literatur terkait.

Data Pengaruh Eksternal mencakup aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya di lingkar Danau Maninjau dari luar. Termasuk di dalamnya yaitu Kebijakan dan Peraturan Pemerintah Kabupaten-Provinsi-Nasional, dan Kegiatan Pariwisata. Data Kebijakan dan Peraturan Pemerintah Kabupaten-Provinsi-Nasional merupakan data sekunder yang didapat dari Bappeda Kabupaten Agam dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah


(38)

(RTRW) Kabupaten Agam 2010-2030. Data Pengaruh Kegiatan Pariwisata didapat melalui kuisioner pendapat dari 100 orang masyarakat di lingkar Danau Maninjau yang dipilih secara acak.

3.3.2. Analisis

Data yang telah dikumpulkan pada tahap inventarisasi yang dijabarkan di atas akan menjadi bahan analisis. Analisis dilakukan dengan dua metode yaitu, spasial dan deskriptif. Analisis spasial bertujuan untuk menghasilkan deskripsi karekteristik lanskap budaya lingkar Danau Maninjau, mengetahui karakter interaksi manusia dan lanskap alami tersebut. Analisis deskriptif dilakukan dengan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Metode SWOT bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan dan merumuskan strategi pengembangan dan pelestarian lanskap budaya di Lingkar Danau Maninjau tersebut.

Analisis Karakteristik Keberlanjutan Lanskap Budaya

Kawasan lingkar Danau Maninjau ini tersatukan dalam satu Kecamatan Tanjung Raya yang terdiri dari sembilan nagari, oleh karena itu maka unit analisis spasial yang digunakan adalah unit nagari. Unit nagari merupakan satuan batas administrasi yang terukur secara spasial dan juga diakui sebagai satuan unit kontrol sosial budaya masyarakat. Komponen aspek analisis dalam analisis karakteristik lanskap budaya yaitu: ekologi, sosial ekonomi, dan sejarah spiritual budaya.

Kriteria yang digunakan dalam aspek ekologi adalah pola penggunaan lahan dan danau. Pola penggunaan lahan dan danau diklasifikasikan menurut nilai intensitas interaksinya (derajat pengubahan manusia terhadap lanskap alami). Intensitas interaksi ini terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: alami (hutan), transisi (kebun campuran dan semak belukar), intensif (sawah dan pemukiman). Luas dari masing-masing kelompok intensitas interaksi setiap nagari dipersentasikan, kemudian kelompok intensitas interaksi yang mendominasi mewakili nilai ekologisnya, semakin besar pengubahan (gangguan) lanskap alaminya maka semakin rendah pula nilai ekologisnya. Nilai masing-masing kelompok adalah: 3


(39)

untuk nagari dengan dominasi kelompok alami (hutan), 2 untuk nagari dengan dominasi kelompok transisi (kebun campuran dan semak belukar), dan 1 untuk nagari dengan dominasi kelompok intensif (sawah dan pemukiman).

Aspek sosial ekonomi dianalisis dengan menilai hubungan kriteria kepadatan penduduk per-nagari dengan kecenderungan kebutuhan lahannya. Kepadatan penduduk yang tinggi akan berdampak pada aktivitas ekonomi cenderung tinggi, dan kebutuhan terhadap lahan juga semakin tinggi. Oleh karena itu semakin tinggi kepadatan penduduknya semakin mengancam keberlanjutannya atau nilai keberlanjutannya akan semakin rendah. Menurut Undang-undang no. 56 / PRP / 1960, kepadatan penduduk dapat diklasifikasikan menjadi empat kelas, masing-masing adalah: tidak padat (1-50 jiwa/ km²), kurang padat (51-250 jiwa/ km²), cukup padat (251-400 jiwa/ km²), dan sangat padat (lebih dari 400 jiwa/ km²). Kepadatan penduduk setiap nagari dinilai berdasarkan klasifikasi tersebut dengan kriteria penilaian, 3 untuk nagari dengan kelas tidak padat sampai kurang padat (1-250 jiwa/ km²), 2 untuk nagari dengan kelas cukup padat (251-400 jiwa/ km²), dan 1 untuk nagari dengan kelas sangat padat (lebih dari 400 jiwa/ km²).

Kriteria yang menentukan klasifikasi nilai sejarah, spiritual, dan budaya adalah dari nilai sejarah perkembangan dan regenerasi budaya dan nilai pergeseran adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masing-masing nagari. Mengacu dari piramida sistem adat Minangkabau (Ismael dalam Rasyid, 2008) yang terbagi menjadi elemen inti (adat nan sabana adat– filosofis dan adat nan diadatkan– teotiris) dan elemen turunan (adat nan teradat– metodologis dan adat istiadat – praktis), klasifikasi karakteristik budaya dapat dinilai dari signifikansi perubahan adat istiadat pada tataran metodologis dan praktis. Semakin signifikan perubahan tersebut maka semakin rendah nilai budayanya. Hal tersebut mencakup nilai-nilai tata cara kehidupan sehari-hari baik yang terlihat secara fisik (tangible) seperti peninggalan fisik bangunan atau situs yang memiliki muatan sejarah dan budaya dan juga yang tidak terlihat (intangible) seperti peran lembaga adat kemasyarakatan dalam pelestarian nilai-nilai budaya. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah jumlah situs sejarah budaya dan peran lembaga adat kemasyarakat dalam pelestarian kegiatan adat kemasyarakatan dari setiap nagari yang dijabarkan dalam Lampiran 5. Kedua


(40)

kelompok parameter tersebut dinilai berdasarkan jumlah masing-masing elemen dari parameter tersebut dengan kelas nilai, 3 (baik) untuk nagari yang memiliki lebih dari lima (>5) elemen, 2 (cukup) untuk nagari yang memiliki tiga sampai lima (3-5) elemen, dan 1 (kurang) untuk nagari yang memiliki kurang dari tiga (<3) elemen. Oleh karena penilaian pada aspek ini menggunakan dua kelompok parameter maka, penilaian total dilakukan dengan konversi rentang nilai menjadi tiga kelas yaitu, 3 (tinggi) untuk nagari yang memiliki total nilai lebih dari empat (>4), 2 (sedang) untuk nagari yang memiliki total nilai tiga sampai empat (3-4), dan 1 (rendah) untuk nagari yang memiliki total nilai kurang dari tiga (<3) elemen.

Tahap selanjutnya adalah penjumlahan total nilai dari ketiga aspek untuk setiap nagari. Nilai total dikonversi menjadi tiga kelas nilai dengan rentang nilai yaitu, 3 (tinggi) untuk nagari yang memiliki total nilai lebih dari tujuh (>7), 2 (sedang) untuk nagari yang memiliki total nilai lima sampai tujuh (5-7), dan 1 (rendah) untuk nagari yang memiliki total nilai kurang dari lima (<5) elemen.

Analisis Keberlanjutan

Analisis keberlanjutan dilakukan secara deskriptif dengan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan dilakukan untuk mengetahui aspek yang mempengaruhi serta merumuskan upaya rekomendasi keberlanjutan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau. Metode SWOT digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari segi internal, dan mengidentifikasi peluang dan ancaman dari segi eksternal.

Faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan, diidentifikasi dari data pada aspek fisik-biofisik dan aspek sosial-budaya masyarakat kawasan lingkar Danau Maninjau. Faktor eksternal, peluang dan ancaman, diidentifikasi dari data pada aspek kebijakan dan peraturan pemerintah di atas tingkat kecamatan dan aspek aktivitas pariwisata yang membawa pengaruh dari luar kawasan Danau Maninjau.


(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Aspek Fisik dan Biofisik

4.1.1. Wilayah Administrasi Lingkar Danau Maninjau

Wilayah lingkar Danau Maninjau secara administrasi merupakan kesatuan dari Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumetera Barat.

Kecamatan Tanjung Raya terletak pada 100°05‟-100°16‟ Bujur Timur. Luas kecamatan ini 150,76 Km², mencakup sembilan Nagari, yaitu Maninjau, Bayur, Duo Koto, Paninjauan, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, Tanjung Sani, dan Sungai Batang (Gambar 6).

Pusat pelayanan administrasi kecamatan terletak di Nagari Maninjau. Menurut hierarkhi formal administrasi pemerintahan di bawah kecamatan adalah nagari yang dipimpin oleh Wali Nagari. Setiap nagari di kecamatan ini memiliki struktur tersebut. Konsep sistem pemerintahan nagari ini memiliki keunikan dan kompleksitas lebih dibandingkan sistem pemerintaan formal kelurahan atau desa pada umumnya di Indonesia.

Secara administratif, batas-batas Kecamatan Tanjung Raya adalah sebagai berikut:

1. Utara : Kecamatan Palembayan

2. Timur : Kecamatan Matur dan Kecamatan IV Koto

3. Selatan : Kabupaten Padang Pariaman dan Kecamatan Lubuk Basung 4. Barat : Kecamatan Lubuk Basung

4.1.2. Aksesibilitas dan Sirkulasi

Pusat Kecamatan Tanjung Raya, Nagari Maninjau, berjarak tempuh sekitar 143 kilometer dari Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Kota Bukittinggi, dan 27 kilometer dari Lubuk Basung, pusat pemerintahan Kabupaten Agam. Aksesibilitas di kawasan Danau Maninjau atau Kecamatan Tanjung Raya adalah jalan provinsi kelas-II dan jalan kabupaten kelas-III.


(42)

Gambar 6. Peta Aksesibilitas (BAPPEDA, 2010)

Jalan provinsi tersebut, jika diakses dari arah timur atau kota Bukittinggi, melewati Kelok-44, suatu atraksi lanskap yang sekaligus menunjukkan perbatasan administrasi Kecamatan Tanjung Raya dan Matur. Jalan Provinsi ini melewati nagari-nagari di bagian utara Danau Maninjau antara lain Nagari Maninjau, Bayua, Duo Koto, Koto Kaciak, Koto Gadang, dan berakhir di Koto Malintang


(43)

yang berbatasan langsung dengan pusat Kabupaten Agam, Kecamatan Lubuk Basung (Gambar 6). Secara fisik dampak dari nagari-nagari yang dilewati jalan provinsi ini adalah kecenderungan orientasi bagunan menjadi ke arah jalan, dan semakin modern atau terurbanisasi. Sedangkan akses sekunder di lingkar Danau Maninjau ini adalah jalan kabupaten yang mengelilingi bagian selatan danau. Karena intensitas pergerakan atau sirkulasi yang tidak terlalu intensif, maka nagari-nagari yang dilewati jalur sekunder ini cenderung lebih terkonservasi.

4.1.3. Iklim

Wilayah Kabupaten Agam memiliki pola curah hujan yang sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan topografinya, karena sebagian besar Kabupaten Agam terletak pada daerah pegunungan dan sebagian lagi terletak tidak jauh dari pantai Barat Sumatera. Keadaan ini membuat Kabupaten Agam sangat dipengaruhi oleh angin pegunungan dan angin laut. Kecamatan Tanjung Raya termasuk dalam daerah yang terletak di ketinggian 461,5 meter di atas permukaan laut. Hal ini membuat wilayah lingkar Danau Maninjau memiliki suhu rata-rata antara 23°C - 31°C, dengan kelembaban nisbi sebesar 95%, kecepatan angin 23 km/jam, dan curah hujan rata-rata wilayah lingkar Danau maninjau mencapai 2.500-3.500 mm/tahun dengan bulan kering selama 1-2 bulan berturut-turut.

Berdasarkan peta iklim oleh Oldeman (1979) dan hidroklimat dasar oleh Bakosurtanal (1987), Kabupaten Agam dibagi ke dalam 4 kelas curah hujan (Laporan Akhir Kegiatan Pengkajian Geografik Spesifik Produk Kabupaten Agam Tahun 2001). Klasifikasi iklim oldeman pada kecamatan Tanjung Raya terbagi tiga yaitu, Oldeman B1, B2, dan C1 (Gambar 7). Wilayah Oldeman B1 adalah wilayah yang sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal musim tanam yang baik, dan produksi tinggi bila panen pada kemarau. Oldeman B2 dapat tanam padi dua kali setahun dengan varietas umur pendek dan musim kering yang pendek cukup untuk tanaman palawija. Oldeman C1 adalah wilayah yang hanya dapat tanam padi sekali dan palawija dua kali dalam satu tahun.


(44)

Gambar 7. Peta Iklim Tipe Oldeman (BAPPEDA, 2010)

4.1.4. Geologi, Tanah, dan Topografi

Berdasarkan aspek geomorfologi, Kabupaten Agam merupakan bagian rangkaian Bukit Barisan yang memanjang dari barat laut ke tenggara dan selatan. Morfologi dataran pembentuk Danau Maninjau berupa endapan allluvium sungai dan danau yang berupa bahan-bahan lepas, berukuran dari lempung hingga


(45)

kerakal, serta endapan kipas alluvium (Gambar 8). Batuan tertua di areal wilayah Maninjau adalah batuan filit, batu gamping, granodiorit, dan diabas yang berasal dari era geologi Palaeozoik Tersier atau kurang lebih 542 sampai 251 juta tahun yang lalu. Dari singkapan-singkapan batuan di dasar sungai-sungai di sepanjang Lembah Antokan, diperoleh urut-urutan batuan vulkanik Maninjau sebagai berikut: basalt, breksi tufaan, piroksen andesit, breksi lahar dan tufa batu apung.

Selain satuan morfologi pedataran, daerah Danau Maninjau juga termasuk ke dalam satuan morfologi Gunungapi Strato, dari daerah dengan kemiringan cukup terjal hingga melandai ke arah barat sekitar Lubuk Basung dan Sungai Limau. Pada morfologi ini bagian puncak dan lereng bagian atas merupakan aliran permukaan atau resapan, sedangkan pada bagian kaki gunung ditafsirkan sebagai daerah akumulasi air tanah. Daerah Danau Maninjau merupakan bagian dari Sistem Patahan Besar Sumatera (The Great Sumatran Fault Sistem). Pada bagian tengah merupakan patahan utama yang aktif.

Sesuai dengan jenis morfologinya, Danau Maninjau juga termasuk ke dalam satuan morfologi Gunung Api Strato. Data dalam Laporan Peninjauan Danau Maninjau, Kanwil Deptamben Propinsi Sumatera Barat, DGTL, 1997, menyebutkan bahwa bagian tengah Gunung Maninjau ditempati oleh kaldera dengan ukuran panjang + 20 Km dan lebar + 8 Km. Luas Danau Maninjau + 100 Km2 dihitung dari bagian bawah kaldera.

Secara umum, fisiografis dan jenis tanah Kawasan Danau Maninjau, dalam hal ini dipresentasikan oleh Kecamatan Tanjung Raya, termasuk satuan wilayah yang berbukit. Bahan induk tanahnya terdiri dari tuff vulkanik, ada yang sedang melapuk atau belum melapuk sama sekali. Tanah yang terbentuk adalah kelompok inceptiol, entisol, dan oxisol, atau yang dikenal sebagai andosol dan latosol. Pemanfaatan lahan saat ini dominan budidaya tanaman semusim. Berdasarkan Data Pokok Pembangunan Daerah Tahun 2000 (dalam, Rencana Tata Ruang Kawasan Maninjau), jenis tanah di Kecamatan Tanjung Raya antara lain adalah : Latosol (15,432 Ha), Andosol (4,863 Ha), Latosol dan Regosol (7,708 Ha), Organiosol (1,308 Ha), dan Lain-lain (5,560 Ha). Khusus untuk kawasan Danau Maninjau, sebagian besar daerah di sekitar danau terdiri dari jenis tanah andosol


(46)

dari kaldera Maninjau. Sebagian kecil diantaranya adalah tanah jenis alluvium (Gambar 8).

Gambar 8. Peta Geologi (BAPPEDA, 2010)

Di danau Maninjau ini terdapat beberapa buah pulau kecil. Semakin ke arah bagian selatan danau, mempunyai kedalaman yang semakin tinggi dengan lereng (slope) yang semakin curam. Titik-titik terdalam dari danau ini berada di wilayah


(47)

bagian selatan. Sedangkan daerah bagian barat Danau Maninjau memiliki kedalaman lebih dari 20 meter, dengan lereng (slope) pada dasar danau yang terjal. Dinding kaldera secara keseluruhan hampir berupa tangga (undak-undak), khususnya di bagian selatan dan tenggara. Di bagian utara relatif terbuka dan landai, merupakan areal persawahan penduduk, sebaliknya di bagian selatan dan tenggara.

Gambar 9. Peta Topografi (BAPPEDA, 2010)


(48)

Secara visual, tampak dari atas morfologi landform Gunung Maninjau tidak memperlihatkan bentuk sebuah gunungapi yang lengkap, tetapi berbentuk sebuah kerucut terpancung. Puncak-puncak bukit yang tinggi-tinggi hampir-hampir mengelilingi kaldera Maninjau, terutama di Utara dan Selatan dengan ketingian mencapai 1500 m pada Puncak Gunung Rangkian di utara dan 1252 m pada puncak Gunung Tanjung Balit di selatan (Gambar 9). Kemiringan lereng di Kawasan Danau Maninjau terdiri dari:

1. Sekitar 115,51 Ha lahan berkemiringan 0-2% 2. Sekitar 32,73 Ha lahan berkemiringan 2-15% 3. Sekitar 21,80 Ha lahan berkemiringan 15-40% 4. Sekitar 73,99 ha lahan berkemiringan >40%.

4.1.5. Hidrologi

Sejumlah kecil sungai bermuara ke dalam danau, dan setelah berputar-putar akhirnya mengalir keluar melalui sungai Batang Antokan. Secara ekosistem, Kawasan Danau Maninjau merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Antokan dan juga termasuk Satuan Wilayah Sungai (SWS) Anai Sualang. Sungai yang mengalir pada kawasan tersebut adalah Sungai Batang Masang dan Batang Manggau.

Air permukaan di kawasan ini sebagian besar akan mengalir melalui pola penyaluran yang telah terbentuk. Berdasarkan data, ditemukan 88 sungai yang bermuara di Danau Maninjau, yang mana 34 sungai berair sepanjang tahun dan sisanya berair pada waktu musim hujan. Wilayah lingkar Danau Maninjau ini merupakan kesatuan Daerah Aliran Sungai Batang Antokan, yang merupakan pintu keluar air atau outlet Danau Maninjau (Gambar 10). Berdasarkan Laporan Penelitian Pencemaran dan Kerusakan Danau Maninjau, 2001, debit sungai diperkirakan mencapai 781 L/dtk.

Daerah ini memiliki sarana irigasi yang bersumber pada Batang Anai dan Batang Arau. Berdasarkan morfologi dan litologinya, keterdapatan air tanah di daerah ini merupakan akumulasi air tanah yang potensial. Kecamatan Tanjung Raya memiliki keterbatasan air tanah, karena dari struktur hidrogeologinya terlihat bahwa di beberapa daerah sekeliling danau adalah merupakan daerah


(49)

dengan ketersediaan air tanah langka. Kondisi sumber air yang justru cukup produktif tersebar di wilayah sekitar punggung luar bukit yang mengelilingi danau Maninjau. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah di balik punggung luar bukit sekeliling danau sekaligus merupakan daerah resapan air, sementara danau yang terletak relatif lebih tinggi tidak atau kurang memiliki sumber air jika dibandingkan dengan wilayah di sekeliling danau. Hal ini juga tidak terlepas dari sejarah pembentukan danau Maninjau.

Sumber air bagi danau ini pada dasarnya berasal dari air hujan, aliran perkolasi bawah tanah, dan juga dari berbagai aliran permukaan baik melalui sungai-sungai maupun saluran drainase yang ada di sekelilingnya dan bermuara di danau. sungai yang bermuara di danau memiliki perbedaan tipe. Sungai-sungai di lingkar Danau Maninjau memiliki dua pola umum yaitu linier dan dendritik. Pola Linier adalah pola sungai yang tidak bercabang, sedangkan pola dendritik adalah pola sungai yang bercabang. Artinya, di daerah yang sungainya berpola linier, keterbatasan air cenderung menjadi persoalan. Sementara di daerah berpola dendritik, pembukaan lahan cenderung lebih cepat terjadi.

Sebaran litologi akuifer juga terdapat di pesisir Danau Maninjau, dengan kelulusan dan ketebalan yang cukup. Sebagian sistem akuifer dengan aliran melaui ruang antar butir dan rekahan terdapat di Maninjau dan sekitar Lubuk Basung. Kelulusan sistem akuifer pada batuan gunung api muda seperti ini adalah sedang sampai tinggi (10-1– 10+1 m/hari) –(Todd, 1980).

Berdasarkan fluktuasi tinggi muka air danau, diketahui bahwa pola fluktuasi muka air Danau Maninjau adalah sebanding dengan pola curah hujan. Hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan yang jatuh ke danau maupun yang mengalir melalui pola penyaluran memiliki kontribusi yang cukup besar (LIPI, 2001). Fenomena rutin yang terjadi di Danau Maninjau adalah tubo balerang atau racun belerang. Endapan belerang dari dasar danau secara rutin akan naik ke permukaan disebababkan pola angin darat yang juga rutin melewati Danau Maninjau. Fenomena ini secara ekologis merupakan hal yang menguntungkan, karena biasanya terjadi pada masa ledakan populasi satwa endemik danau. Masyarakat setempat memanfaatkan fenomena ini sebagai masa panen masal. Namun akhir-akhir ini karena aktivitas budidaya ikan non endemik yang sangat intensif


(50)

membuat endapan pencemaran danau tidak lagi hanya belerang tetapi juga zat-zat yang terkandung dalam pakan ikan tersebut (eutrofikasi). Hal ini menyebabkan fenomena tubo ini tidak menentu dan merusak pola regenerasi satwa endemik yang teracuni dan mati sebelum masa panen. Hal ini mangancam keberlanjutan ekosistem danau.

Gambar 10. Peta Daerah Aliran Sungai (BAPPEDA, 2010)


(1)

92

Lampiran 4. Draft Wawancara Sejarah Asal-usul Kampung

DRAFT WAWANCARA SEJARAH ASAL-USUL KAMPUNG

Nama Kampung : ………

Tanggal Wawancara : ……… Nara Sumber

Nama : ………

Umur : ………

Pekerjaan : ………

Bagaimana asal-usul terbentuknya Kampung ini?

... ... ... ... Sejak kapan Kampung ini mulai dihuni ?

...

Siapa yang pertama kali tinggal di sini? Dari mana mereka berasal? (kampung lain/desa lain/dari luar)

………

Sejak kapan daerah ini mulai berkembang menjadi kampung?

... Bagaimana kira-kira kondisi Kampung ini sebelum dihuni?

(hutan/semak-belukar/perkebunan/sawah/tegalan/dll) ………

Dari mana Bapak/Ibu tahu mengenai hal-hal di atas? ...


(2)

(3)

(4)

RINGKASAN

IZNILLAH FADHOLI ARHAM. Kajian Lanskap Budaya Lingkar Danau Maninjau Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN.

Asal-muasal masyarakat Maninjau berasal dari perantau yang turun dari puncak Gunung Marapi. Masyarakat ini merupakan sebagian dari suku Minang yang sampai ke Puncak Lawang di atas Maninjau. Sebelum memanfaatkan kekayaan alam dan memulai hidup di sekitar Danau Maninjau, mereka meninjau kelayakan kekayaan alam dengan hati-hati dan sangat bijak. Interaksi masyarakat dengan lanskap alami lingkar Danau Maninjau semakin tinggi dari masa ke masa. Faktor pendorongnya yaitu, laju konversi penggunaan lahan, pembangunan fisik yang tidak seimbang, dan penurunan kualitas budaya masyarakat semakin cepat. Hal ini mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan (alam dan budaya). Kualitas lingkungan yang menurun ini terkait erat dengan pola aktivitas budaya masyarakat yang berkembang saat ini.

Masyarakat di lingkar Danau Maninjau saat ini sudah jauh meninggalkan akar

budaya „meninjau alam‟ yang dulu dilakukan oleh para pendahulu, contohnya

budidaya ikan dengan sistem karamba jala apung. Budidaya dengan sistem

karamba jala apung menjadi trend karena komoditasnya menjanjikan secara

ekonomis dalam jangka pendek tetapi dapat mengancam dan menyaingi keberlanjutan ekosistem spesies endemik di Danau Maninjau. Permasalahan tersebut sangat mempengaruhi pola sosial dan ekonomi masyarakat. Alam sebagai tempat hidup dan berpijak bagi manusia akan semakin sempit. Daya dukung lingkungan alam semakin menurun, jika tidak ada kesadaran, kontrol, dan perhatian pada aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutannya. Kekhawatiran terhadap keberlanjutan lanskap budaya di masa yang akan datang adalah latar belakang kajian lanskap budaya di wilayah lingkar Danau Maninjau ini.

Penelitian dilaksanakan selama sembilan minggu, mulai akhir bulan Februari 2011 sampai dengan April 2011, di kawasan nagari lingkar Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap berupa inventarisasi data, analisis, dan sintesis (rekomendasi). Inventarisasi data dilakukan dengan metode observasi lapangan, pengamatan, kuisioner, dan wawancara kepada elemen pemerintahan nagari serta tetua atau pemerhati adat budaya setempat. Analisis dilakukan baik secara deskriptif maupun spasial. Analisis spasial bertujuan untuk menghasilkan deskripsi karekteristik lanskap budaya lingkar Danau Maninjau dan mengetahui karakter interaksi manusia dan lanskap alami tersebut dengan unit analisis setiap nagari di dalamnya. Analisis deskriptif dilakukan dengan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Metode SWOT bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan dan merumuskan strategi pengembangan dan pelestarian lanskap budaya di Lingkar Danau Maninjau tersebut.

Wilayah lingkar Danau Maninjau secara administrasi merupakan kesatuan dari Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumetera Barat, mencakup sembilan Nagari, yaitu Maninjau, Bayur, Duo Koto, Paninjauan, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, Tanjung Sani, dan Sungai Batang. Aksesibilitas di kawasan Danau Maninjau adalah jalan provinsi kelas-II dan jalan


(5)

iv

kabupaten kelas-III. Kecamatan Tanjung Raya termasuk dalam daerah yang terletak di ketinggian 461,5 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata antara 23°C - 31°C, kelembaban nisbi sebesar 95%, kecepatan angin 23 km/jam, dan curah hujan rata-rata mencapai 2.500-3.500 mm/tahun dengan bulan kering selama 1-2 bulan berturut-turut. Danau Maninjau juga termasuk ke dalam satuan morfologi Gunung Api Strato. Pada morfologi ini bagian puncak dan lereng bagian atas merupakan aliran permukaan atau resapan, sedangkan pada bagian kaki gunung ditafsirkan sebagai daerah akumulasi air tanah. Daerah Danau Maninjau merupakan bagian dari Sistem Patahan Besar Sumatera (The Great Sumatran Fault Sistem). Pada bagian tengah merupakan patahan utama yang aktif. Secara visual, tampak dari atas morfologi landform Gunung Maninjau tidak memperlihatkan bentuk sebuah gunungapi yang lengkap, tetapi berbentuk sebuah kerucut terpancung. Puncak-puncak bukit yang tinggi-tinggi hampir-hampir mengelilingi kaldera Maninjau, terutama di utara dan Selatan dengan ketingian mencapai 1500 m pada Puncak Gunung Rangkian di Utara dan 1252 m pada puncak Gunung Tanjung Balit di selatan. Secara ekosistem, Kawasan Danau Maninjau merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Antokan dan juga termasuk Satuan Wilayah Sungai (SWS) Anai Sualang. Fenomena hidrologi rutinan di Danau Maninjau adalah tubo balerang atau racun belerang. Endapan belerang dari dasar danau secara rutin akan naik ke permukaan disebabkan oleh pola angin darat yang juga rutin melewati Danau Maninjau. Penggunaan lahan terbaru dalam dokumen RTRW Kabupaten Agam 2010-2030 menunjukkan bahwa data penggunaan lahan di lingkar Danau Maninjau tahun 2010 sangat berubah, dengan konversi hutan atau lanskap alami menjadi lahan budidaya intensif, dibanding data tahun 2002 hutan yang masih cukup mendominasi. Pemanfaatan sumber daya alami yang berlebihan ini juga menyebabkan semakin banyaknya endapan dari buangan limbah pemukiman dan tren budidaya perikanan jala apung atau karamba yang semakin tidak terkontrol.

Jumlah penduduk Kawasan Danau Maninjau pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 30.961 jiwa atau meningkat sekitar 4,38% dari tahun 2001. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada laki-laki dan didominasi oleh kelompok umur kategori pra-produktif yang mencapai 44,4% total penduduk. Kawasan Danau Maninjau merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam perekonomian Kabupaten Agam. Kegiatan perekonomian unggulan di kecamatan ini terletak pada sektor dan sub sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, serta pariwisata. Sistem lembaga kemasyarakatan di kawasan lingkar Danau Maninjau berbeda dari wilayah lainnya di Indonesia, dengan sistem Nagari yang secara hierarki administratif berada di bawah Kecamatan. Masyarakat lingkar Danau Maninjau merupakan masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau secara tradisional telah memiliki prinsip filosofis yang mengatur konsepsi hidup dan kehidupan masyarakatnya. Filosofi adat Minang tersebut adalah Alam Takambang Jadi Guru atau filosofi ekologis. Sistem adat yang berlaku di masyarakat lingkar Danau Maninjau adalah Adat Minangkabau. Secara mendasar sistem ini tidak berbeda dengan masyarakat Minangkabau di daerah lainnya, yang membedakan hanya pada tataran metodologis dan praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Kebijakan pemerintah berupa RTRW adalah faktor eksternal yang mempengaruhi pola lanskap. Tujuan RTRW Kabupaten Agam Tahun 2010-2030 adalah, „Mewujudkan AGAM sebagai Kabupaten Industri AGRO, KELAUTAN,


(6)

dan PARIWISATA, berbasis Mitigasi Bencana serta Konservasi‟. Secara umum kebijakan ini sudah cukup baik, tetapi pada spesifik aturan tertentu perlu dikaji ulang terkait dampaknya terhadap keberlanjutan lanskap budaya setempat. Aktivitas wisata yang berkembang dianggap sebagai ancaman bagi pemerhati budaya lokal. Maka perlu ada interaksi dan komunikasi yang terbuka dari berbagai pihak terkait untuk memajukan potensi industri pariwisata Danau Maninjau tanpa harus mengurangi atau merusak nilai-nilai budaya lokal.

Secara ekologis, kawasan lingkar Danau Maninjau ini dapat diklasifikasikan melalui pendekatan derajat pengubahan manusia terhadap lanskap alami. Semakin besar pengubahan lanskap alaminya maka semakin rendah pula nilai ekologisnya. Setelah dihitung luasan masing-masing kelompok pengubahan penggunaan lanskap alami pada setiap nagari, diketahui bahwa Nagari Maninjau, Bayua, dan Duo Koto merupakan nagari-nagari yang didominasi oleh kelompok pengubahan lanskap alami intensif (nilai ekologis rendah); Nagari Tanjung Sani didominasi oleh kelompok lanskap alami transisi (nilai ekologis sedang); dan Nagari Sungai Batang, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, dan Paninjauan merupakan nagari-nagari yang didominasi oleh kelompok pengubahan lanskap alami rendah (nilai ekologis tinggi). Indikator dari aspek sosial ekonomi dalam studi ini ditinjau dari segi kepadatan penduduk. Klasifikasi kepadatan penduduk per-nagari di Kecamatan Tanjung Raya dari data sensus tahun 2007 adalah sebagai berikut: Maninjau dan Duo Koto sangat padat; Bayua, Koto Kaciak, Paninjauan cukup padat; Koto Gadang, Tanjung Sani, Sungai Batang, Koto Malintang kurang padat. Hasil penilaian aspek sejarah spiritual budaya menunjukkan bahwa Nagari Sungai Batang adalah satu-satunya nagari yang termasuk dalam kriteria nagari dengan nilai sejarah, spiritual, dan budaya tinggi, dengan jumlah situs sejarah budaya mencapai sembilan titik dan kegiatan lembaga adat kemasyarakatan cukup baik. Nagari yang termasuk dalam kelompok nilai sejarah, spiritual, dan budaya rendah adalah Nagari Koto Gadang dan Koto Malintang dengan jumlah situs sejarah budaya dan kegiatan lembaga adat kemasyarakatan yang terdata kurang dari tiga. Enam nagari lainnya termasuk dalam kelompok nilai sedang. Setelah menilai setiap komponen aspek analisis dalam analisis karakteristik lanskap budaya (ekologi, sosial ekonomi, dan sejarah spiritual budaya), total akumulasi nilai setiap nagari tersebut yaitu Nagari Sungai Batang dengan nilai karakteristik lanskap budaya tertinggi, Maninjau dan Duo Koto dengan nilai rendah, sedangkan enam nagari lainnya dengan nilai sedang.

Hasil dari analisis keberlanjutan dengan metode SWOT menunjukkan bahwa strategi yang akan disusun seharusnya berorientasi pada strategi pertumbuhan dan pengembangan (growth strategy) yang termasuk pada kuadran I diagram model strategi (Rangkuti, 2009). Tujuan strategi ini adalah mencapai pertumbuhan. Pertumbuhan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan kualitas lanskap budaya kearah keberlanjutan dengan meningkatkan kualitas sumber daya (manusia dan lingkungan alami), meningkatkan inovasi, kualitas layanan, dan akses produk (lanskap budaya via pariwisata) ke pasar yang lebih luas dengan terkontrol. Konsentrasi strategi ini dapat dicapai melalui integrasi vertikal agar terjadi hubungan baik yang mendukung pertumbuhan, membangun kerjasama dan pengembangan yang baik disektor produksi dan membangun jaringan pasar yang luas. Strategi pertumbuhan dan pengembangan ini dijabarkan dalam rekomendasi strategi keberlanjutan sesuai dengan urutan tingkat kepentingannya.