Pembuatan dan pengujian kontainer semai berbahan organik pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di rumah kaca

(1)

PEMBUATAN DAN PENGUJIAN KONTAINER SEMAI

BERBAHAN ORGANIK PADA TANAMAN SENGON

(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) DI RUMAH KACA

FARHAN FATHURROHMAN H

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PEMBUATAN DAN PENGUJIAN KONTAINER SEMAI

BERBAHAN ORGANIK PADA TANAMAN SENGON

(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) DI RUMAH KACA

FARHAN FATHURROHMAN H

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Development and Testing of Organic Container Seedlings on the Growth of Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) in the Greenhouse

by:

Farhan Fathurrohman H and Sri Wilarso Budi R

Introduction. Organic Container Seedlings (OCS) is a container made from organic materials which serves as container seedling growth. OCS have advantages compared to polybags because in addition to functioning as a container seedling growth also environmentally friendly. This study tried to develop and test OCS added with natural tannin adhesive and tapioca their possibility for forest trees planting stock production in the green house.

Materials and methods. This study used Completely Randomized Experimental design with 2 factors experiment, namely raw material composition and natural adhesive. The observed variables were shape and strength of container, seedling growth, seedling height, seed diameter, top root ratio and biomass plants. The data obtained were analyzed with F test (Analysis of Variance). If there was variable which showed significant difference between treatments, further test was performed with Duncan multiple range test.

Results and Conclusions. According to results of Analysis of Variance, the interaction between raw material composition and natural adhesive had highly significant effect on sengon growth in greenhouse. Treatment given tannin adhesive has a best shape and strength of container with value indicators 96%. Factor of natural adhesive, raw material composition and interaction between them had highly significant effect on sengon growth. K3 treatment (Pulp+compos+tannin) has increase the sengon growth by 96,42% of the control. Tannin adhesives increase sengon growth by 33,42% of the control and composs media composition has increase the sengon growth by 31,96% of the control. The best adhesive is tannin which increase diameter growth by about 9,09% of the control. Factor of raw material composition has highly significant effect on top root ratio and biomass plant of sengon especially for m3 treatment (compos), it has 0,65 gram of biomass.

Keywords: sengon growth, organic container, raw material composition, natural adhesive.


(4)

Farhan Fathurrohman H. E 44051958. Pembuatan dan Pengujian Kontainer Semai Berbahan Organik pada Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Rumah Kaca Dibimbing oleh Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS

RINGKASAN

Kontainer semai berbahan organik adalah suatu wadah semai yang berfungsi sebagai wadah pertumbuhan bibit tanaman yang dibuat dari bahan baku organik. Kontainer berbahan organik mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan polybag karena selain media tumbuh tanaman juga ramah lingkungan. Penelitian ini mencoba untuk membuat kontainer semai berbahan dasar organik yang dicampur dengan perekat alami tapioka dan tanin sehingga dapat tahan dirumah kaca dan ramah lingkungan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kontainer semai berbahan organik dan perlakuan perekat terhadap pertumbuhan tanaman sengon di rumah kaca.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor yaitu komposisi media dan perekat. Parameter yang diukur adalah bentuk dan kekuatan kontainer, tinggi bibit, diameter bibit, nisbah pucuk akar dan biomasa tanaman sengon. Data yang diperoleh kemudian dianalisis. Apabila terdapat peubah yang berbeda nyata dari nilai rataan umumnya, maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberi perekat tanin mempunyai bentuk dan kekuatan yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya dengan nilai indikator 96 % sedangkan yang terburuk ialah dengan nilai indikator 66 % terdapat pada perlakuan b3 (koran+kompos+tapioka).

Faktor perekat, komposisi media dan interaksi diantara keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit sengon pada selang kepercayaan 95 %. Perlakuan k3 (koran+kompos+tanin) memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit sengon yaitu meningkatkan tinggi sebesar 96,42 % terhadap kontrol. Faktor perekat tanin meningkatkan pertumbuhan tinggi sengon sebesar 33,42 % terhadap perlakuan tanpa perekat sedangkan faktor komposisi media kompos meningkatkan pertumbuhan tinggi sengon sebesar 31,96 % terhadap perlakuan tanpa komposisi media.

Perlakuan perekat memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan diameter bibit sengon pada taraf uji 95 %. Perekat terbaik yaitu tanin, memberikan peningkatan pertumbuhan diameter sebesar 9,09 % terhadap perlakuan tanpa perekat.

Faktor komposisi media berpengaruh sangat nyata terhadap nisbah pucuk akar dan biomasa bibit sengon pada selang kepercayan 95 % terutama pada perlakuan m3 (Koran+kompos) memiliki rasio 4,60 dengan biomasa tertinggi yaitu sebesar 0,65 gram pada umur 3 Bulan Setelah Penyapihan.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan dan Pengujian Kontainer Semai Berbahan Organik pada Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Rumah Kaca adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011 Farhan F H E44051958


(6)

Judul Skripsi : Pembuatan dan Pengujian Kontainer Semai Berbahan Organik pada Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Rumah Kaca

Nama : Farhan Fathurrohman H

NIM : E44051958

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS NIP 19620210 198803 1 003

Mengetahui :

Plh. Ketua Departemen Silvikultur,

Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si NIP. 19660921 199003 2 001


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah Pembuatan dan Pengujian Kontainer Semai Berbahan Organik pada Tanaman Sengon di Rumah Kaca. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta sahabat-sahabat dan pengikut setia beliau hingga akhir zaman.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS selaku Pembimbing dan sekaligus pemberi masukan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua, kakak dan adik tercinta serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis berharap karya ilmiah ini berguna bagi semua pihak dan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Bogor, Mei 2011

Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Juni 1987 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Drs. H. Qomaruddin S, MA dan Hj. Yayah B, Spd (almh). Pendidikan SD sampai SMA ditempuh di Bogor. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Mayor Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Program Studi Minor Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai staf HRD International Association of Student in Agricultural and related Sciences (IAAS), International Forestry Student Association (IFSA), dan anggota informasi dan media pada himpro Departemen Silvikultur Tree Grower community (TGC). Penulis juga pernah melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Indramayu dan Linggarjati. Praktek Pengelolaan Hutan dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi. Praktek Kerja Profesi (PKP) dilaksanakan di Desa Parung Panjang, KPH Bogor selama 2 bulan (Februari-Maret 2010).

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pembuatan dan Pengujian Kontainer Semai Berbahan Organik pada Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Rumah Kaca dibimbing oleh Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS.


(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah Pembuatan dan Pengujian Kontainer Semai Berbahan Organik pada Tanaman Sengon di Rumah Kaca. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta sahabat-sahabat dan pengikut setia beliau hingga akhir zaman.

Pelaksanaan penelitian ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian hingga penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada :

1. Kedua orang tua penulis (H. Qomaruddin S, MA dan almh Hj. Yayah B, S.pd), aa, teteh dan adik-adikku serta seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dan memberikan semangat serta doa kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS selaku Pembimbing dan

sekaligus pemberi masukan dalam pelaksanaan dan penyusunan karya ilmiah ini.

3. Seluruh Staf pengajar dan administrasi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang selama ini telah membekali ilmu pengetahuan dan memperlancar studi penulis.

4. Para sahabat serta teman-teman Departemen Silvikultur 42 yang selalu memberikan dukungan. Khususnya kepada Intan A Utami, Dina, Imam, Dayat, Ahmad, Mareta, Putri, Fidri, Rifa, dan Tatik, serta semua teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah ikut membantu, menyemangati dan atas dukungan yang selalu diberikan.

5. Rekan-rekan FAHUTAN dan Silvikultur 43, 44, 45, dan 46 atas bantuan dan kerjasamanya.

6. Teman-teman kosan serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) ... 4

2.1.1 Aspek Botanis ... 4

2.1.2 Daerah Penyebaran... 5

2.1.3 Pemanfaatan sengon ... 6

2.1.4 Tempat tumbuh dan persyaratan tumbuh ... 6

2.2 Polybag ... 8

2.2.1 Bahan Dasar ... 8

2.2.2 Dekomposisi ... 8

2.2.3 Potensi Pencemaran ... 8

2.3 Bahan Organik ... 9

2.3.1 Kertas Koran ... 9

2.3.2 Serasah ... 9

2.3.3 Kompos ... 10

2.4 Perekat Alami ... 11

2.4.1 Tanin ... 11


(11)

BAB III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat ... 15

3.2 Bahan dan Alat ... 15

3.3 Prosedur Penelitian... 15

3.3.1 Penyiapan Bubur Kertas ... 15

3.3.2 Penyiapan Bahan Baku ... 15

3.3.3 Pencampuran ... 16

3.3.4 Pemberian Perekat dan Pencampuran ... 16

3.3.5 Pencetakan... 16

3.4 Penyiapan Benih Sengon ... 17

3.4.1 Perkecambahan Benih ... 17

3.4.2 Penyapihan Semai ... 17

3.4.3 Pemeliharaan ... 18

3.4.4 Pemanenan Bibit Sengon ... 18

3.5 Pengamatan Pertumbuhan ... 19

3.6 Rancangan Penelitian ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 21

4.1.1 Bentuk dan Kekuatan Kontainer ... 21

4.1.2 Pertumbuhan Tinggi Bibit Sengon ... 23

4.1.3 Pertumbuhan Diameter Bibit Sengon ... 25

4.1.4 Nisbah Pucuk Akar Bibit Sengon ... 27

4.1.5 Berat Kering Total... 29

4.1.6 Analisis Kimia ... 30

4.2 Pembahasan ... 31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 39

5.2 Saran ... 39

BAB VI DAFTAR PUSTAKA ... 40


(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kriteria penilaian kualitatif terhadap bentuk dan kekuatan kontainer organik ... 21 2. Penilaian kualitatif terhadap bentuk dan kekuatan kontainer organik

selama 3 bulan di rumah kaca ... 22 3. Uji lanjut Duncan pengaruh interaksi antara perekat dan komposisi

media terhadap pertumbuhan tinggi sengon di rumah kaca (cm) ... 23 4. Uji Duncan pengaruh perekat terhadap pertumbuhan tinggi bibit

sengon ... 23 5. Uji Duncan pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan tinggi

bibit sengon ... 24 6. Sidik ragam pengaruh komposisi media dan perekat terhadap

rata-rata pertumbuhan diameter bibit sengon umur 3 BSP di rumah kaca.. 25 7. Uji Duncan pengaruh faktor perekat pada pertumbuhan diameter

bibit sengon ... 25 8. Sidik ragam pengaruh bahan baku kontainer terhadap NPA bibit

sengon ... 27 9. Uji Duncan pengaruh faktor komposisi media terhadap nisbah pucuk

akar sengon ... 27 10. Sidik ragam pengaruh bahan kontainer terhadap biomasa bibit

sengon ... 29 11. Hasil analisis kimia pada media kontainer ... 30 12. Hasil analisis serapan hara pada tanaman sengon ... 31


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pencetakan kontainer; pengovenan (a), perapihan (b) ... 19 2. Penilaian kualitatif terhadap bentuk dan kekuatan kontainer (A), baik

(B), sedang (C) ... 22 3. Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap pertumbuhan tinggi

bibit sengon selama 10 Minggu di rumah kaca ... 24 4. Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap pertumbuhan diameter

bibit sengon selama 10 Minggu di rumah kaca ... 26 5. Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap BKP dan BKA bibit

sengon umur 3 BSP di rumah kaca ... 28 6. Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap NPA bibit sengon

umur 3 BSP di rumah kaca ... 28 7. Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap Berat Kering Total


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Analisis sidik ragam pertumbuhan tinggi bibit sengon umur 3 BSP di rumah kaca ... 43 2. Rekapitulasi hasil analisis kimia pada tanaman sengon ... 44


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Saat ini, kondisi hutan alam tropis indonesia sangat mengkhawatirkan yang disebabkan oleh adanya laju kerusakan yang tinggi. Pada kurun waktu 1980-1990 laju kerusakan hutan mencapai 1,7 juta hektar per tahun yang meningkat menjadi 2 juta hektar per tahun setelah tahun 1996 (FWI 2002). Hal ini membawa konsekuensi akan perlunya upaya rehabilitasi hutan.

Luas lahan yang harus direhabilitasi dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga membutuhkan bibit yang semakin banyak. Pada tahun 2010 pemerintah mencanangkan program penanaman 1 milyar pohon dengan motto “One Billion Indonesian Trees for the World” (Masyhud 2010), sehingga dibutuhkan sekitar 1,2 milyar bibit. Untuk memproduksi bibit sebanyak itu diperlukan polybag sekitar 2 juta kilogram atau 2000 ton.

Kegiatan pembibitan tanaman kehutanan sampai saat ini masih menggunakan polybag karena harganya relatif murah, tahan karat, tahan lama, ringan, dan mudah diperoleh. Namun plastik yang digunakan saat ini merupakan polimer sintetik dari bahan baku minyak bumi yang terbatas jumlahnya dan tidak dapat diperbaharui. Plastik ini tidak dapat terdegradasi oleh mikroorganisme di lingkungan karena mikroorganisme tidak mampu mengubah dan mensintesis enzim yang khusus untuk mendegradasi polimer petrokimia Akibatnya plastik yang tertimbun dalam tanah akan mempengaruhi kualitas air tanah serta dapat memusnahkan kandungan humus yang menyebabkan tanah menjadi tidak subur (Gumanti 2011).

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan penggunaan kontainer semai berbahan organik, yaitu wadah pembibitan tanaman yang dibuat dari limbah organik yang dapat ditanam bersamaan dengan bibit di lapangan penanaman sehingga lebih praktis dan efisien. Kontainer ini dibuat dari limbah bahan organik seperti serasah, kompos, kertas Koran, dan perekat alami.

Adapun kelebihan dari kontainer semai berbahan organik dibandingkan dengan wadah plastik (polybag) adalah kontainer semai berbahan organik sangat praktis karena dapat langsung ditanam ke dalam tanah tanpa harus membuka


(16)

bungkusnya, proses dekomposisinya cepat dan ramah lingkungan serta mampu meningkatkan produktivitas bibit tanaman.

Agar kontainer berbahan organik lebih kuat maka diperlukan pencampuran perekat, dewasa ini perekat yang umum digunakan merupakan perekat sintetis yang berasal dari hasil pengolahan minyak bumi dimana sumber dayanya bersifat tidak dapat dipulihkan (non renewable) dan cenderung semakin tidak ekonomis, sehingga perlu dicari alternatif pengganti bahan sintetis tersebut, diantaranya adalah tanin dan tapioka.

Tapioka yang terbuat dari ubi kayu adalah sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri, bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan. Sedangkan tanin adalah suatu senyawa polifenol alami dan terdapat dalam konsentrasi tinggi pada beberapa jenis tumbuhan, seperti akasia, eukaliptus, bakau, dan tusam.

Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keefektifan dari kontainer semai berbahan organik dan perlakuan perekat terhadap pertumbuhan tanaman sengon di rumah kaca.


(17)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh perlakuan bahan baku kontainer dan perekat terhadap pertumbuhan bibit sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)di rumah kaca.

2. Mengetahui jenis perekat terbaik untuk pembuatan kontainer organik yang lebih kuat.

1.3 Hipotesis

1. Kontainer organik mempengaruhi pertumbuhan bibit sengon di rumah kaca

2. Interaksi bahan baku kontainer dan perekat berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit sengon di rumah kaca.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi kepada masyarakat akan kegunaan limbah organik untuk pembuatan kontainer semai yang ramah lingkungan.

2. Memberikan alternatif solusi untuk menggantikan fungsi polybag dengan kontainer ramah lingkungan sebagai media tumbuh semai yang praktis dan efisien.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) 2.1.1 Aspek botanis

Paraserianthes falcataria (L) Nielsen atau biasa disebut dengan sengon, merupakan tumbuhan asli di kepulauan Indonesia Timur, Maluku, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Pada tahun 1870-an sengon menyebar ke seluruh kawasan Asia Tenggara mulai dari Myanmar sampai Filipina. Pada tahun 1871 tanaman ini mulai dimasukkan ke Jawa di Kebun Raya Bogor. Dari Kebun Raya Bogor kemudian sengon disebarkan ke berbagai daerah mulai dari Sumatra hingga Irian Jaya. Karena pohon ini mudah tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan maka saat ini sengon sudah tersebar luas hingga Srilanka, India, Malaysia, Filipina, Fiji, dan Samoa (Atmosuseno 1998).

Sengon memiliki beberapa nama daerah, di Pulau Jawa, disebut jeungjing, albasia (Jawa Barat), sengon laut, mbesiah (Jawa Tengah), tedehu pute (Sulawesi) sedangkan di Maluku dikenal dengan nama rawe, seka, sika, tawasela. Di Irian Jaya sengon dikenal dengan nama bae, bai wahogon, wai atau wikie (Atmosuseno 1998). Klasifikasi morfologi sengon (P. falcataria (L) Nielsen) ialah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosales Famili : Leguminoceae Sub Famili : Mimosoidae Genus : Paraserianthes

Spesies : Paraserianthes falcataria (L) Nielsen

P. falcataria (L) Nielsen merupakan salah satu jenis anggota genus

paraserianthes yang termasuk dalam golongan kayu komersial utama. Pertumbuhannya sangat cepat, dalam kurun waktu 25 tahun tingginya dapat mencapai 45 m dengan diameter batang 100 cm oleh karena itu sengon dijuluki


(19)

sebagai miracle tree. Pada umur 6 tahun sengon sudah dapat menghasilkan kayu bulat sebanyak 372 m3/ha (Atmosuseno 1998).

Pohon sengon memiliki tajuk berbentuk perisai, agak jarang dan selalu hijau, berbatang lurus, tidak berbanir, kulit berwarna kelabu keputih-putihan, licin, tidak mengelupas, dan memiliki batang bebas cabang mencapai 20 m. Berat jenis kayu rata-rata 0,33 dan termasuk kelas awet IV – V (Atmosuseno 1998).

Sengon berdaun majemuk ganda dan pada intensitas cahaya rendah, anak daun mudah terkulai. Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus kedalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol kepermukaan tanah. Akar rambutnya berfungsi untuk menyimpan zat nitrogen, oleh karena itu tanah disekitar pohon sengon menjadi subur sehingga pohon ini cocok untuk dijadikan pohon utama dalam program penghijauan dan rehabilitasi lahan kritis (Atmosuseno 1998).

Bunga berkelamin ganda, kelopak, dan mahkota bunga berbentuk lonceng dan memiliki benang sari yang banyak serta kepala sari sangat kecil. Di Jawa, biasanya tanaman sengon berbunga pada bulan Maret-Juni dan Oktober-Desember. Pohon sengon kadang-kadang mulai berbunga sejak umur 3 tahun. Buah polong sengon matang sekitar 2 bulan setelah pembungaan dan ketika matang, polong terbuka dan biji akan terpancar keatas tanah (Steenis 1981).

Sengon memiliki buah yang lurus berbentuk polong, pipih, dan tipis, berisi banyak biji. Pada waktu muda, biji berwarna hijau dan ketika sudah tua berwarna cokelat tua kekuningan. Biji sengon berbentuk pipih dengan kulit tebal, tidak bersayap, tanpa endosperma dengan lebar 3-4 mm dan panjang 6-7 mm. Pada bagian tengah terdapat garis melingkar berwarna hijau dan cokelat. Jumlah biji kering per kilogram berkisar 38.000-40.000 butir dengan daya kecambah rata-rata 80 %. Biji sengon termasuk jenis biji yang ortodoks (Atmosuseno 1998).

2.1.2 Daerah penyebaran

Sengon tumbuh alami di Sumatera, Jawa, Bali, Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Australia. Sengon dapat tumbuh pada ketinggian 0-1600 m dpl, dan tumbuh pada tanah berpasir dan laterit dengan drainase yang cukup baik (Sutisna et al. 1998).


(20)

Sengon dibudidayakan secara luas di wilayah humid tropis; Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Sri lanka di Asia. Kamerun, Pantai Gading, Malawi dan Nigeria di Afrika. Meksiko di Amerika Tengah serta Hawai dan Samoa di Pasifik (Nair 2002).

2.1.3 Pemanfaatan sengon

Tanaman sengon memiliki banyak manfaat diantaranya dapat memperbaiki kualitas lingkungan dan menyuburkan tanah karena sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Keberadaan nodul akar ini dapat membantu porositas tanah dan penyediaan unsur nitrogen dalam tanah (Atmosuseno 1998).

Daun sengon dapat dijadikan pakan ternak dan pupuk karena mengandung protein yang tinggi, sementara itu tajuknya yang berbentuk perisai dapat dijadikan sebagai peneduh (Atmosuseno 1998).

Bagian yang memberikan manfat ekonomi paling besar adalah batang kayunya, diataranya digunakan sebagai papan pembuat peti, papan penyekat, industry korek api, papan partikel, bahan baku industry pulp, papan serat, kayu lapis, kayu pertukangan hingga kayu bakar (Atmosuseno 1998).

2.1.4 Tempat tumbuh dan persyaratan tumbuh

Tanaman sengon dapat tumbuh di berbagai jenis tanah mulai dari yang berdrainase jelek hingga baik. Sengon dapat tumbuh lebih baik pada tanah ultisol dan oxisol dibandingkan tanah histosol. Ultisol adalah tanah masam yang mempunyai ciri adanya penimbunan liat di lapisan bawah, tanah ini disebut juga podsolik merah kuning yang banyak terdapat di Indonesia. Oxisol merupakan tanah tua sehingga mineral yang mudah lapuk tinggal sedikit, kandungan liatnya tinggi tetapi tidak aktif sehingga daya tukar kationnya rendah. Di lapang tanah ini menunjukkan batas-batas lapisan yang tidak jelas. Tanah ini dahulu disebut tanah latosol atau tanah laterik (Atmosuseno 1998).

Sengon menyukai pH tanah yang netral hingga basa dan membutuhkan fosfat dalam jumlah banyak. Sengon cocok di tempat yang beriklim basah hingga agak kering berkisar antara 20-33°C mulai dari dataran rendah hingga ke


(21)

pegunungan pada ketinggian 1500 m dpl. Namun suhu terbaik untuk sengon berkisar antar 22-29 °C. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga untuk pertumbuhannya memerlukan kelembapan udara antara 50-75% (Atmosuseno 1998).

Sengon tumbuh baik pada topografi tanah yang relatif datar, namun demikian sengon masih dapat ditanam pada tanah dengan kemiringan hingga 25%. Pada tanah dengan kemiringan diatas 25% sengon dapat ditanam dengan system terasering untuk mengurangi run off pada saat hujan (Atmosuseno 1998).

Permudaan alami tanaman sengon jarang terjadi karena kulit benihnya tebal dan liat sehingga sukar tumbuh. Maka sebelum disemaikan, biji sengon perlu disiram air mendidih dan dibiarkan terendam selama 24 jam. Setelah itu dapat disemaikan dalam bedengan, dan dipindahkan ke lapangan setelah berumur 2-3 bulan. Anakan pohon di atas 3 bulan dapat dipindahkan dalam bentuk stump (Atmosuseno 1998).

Biji-biji sengon perlu dikeringkan di udara selama sekitar 10 hari sebelum disimpan. Benih sengon dapat juga disimpan di ruangan ber AC dengan suhu 20-22°C dan RH 50-60% atau di ruang kamar dengan suhu 25-28°C dan RH 70%. Selama penyimpanan benih perlu dijaga kadar air, suhu, dan kelembapan ruangan dalam keadaan konstan agar daya kecambah benih tetap tinggi dan tahan hingga 5 tahun (Atmosuseno 1998).

Media yang digunakan untuk pertumbuhan bibit sengon dapat berupa top soil (lapisan atas tanah), kompos, media yang terbuat dari serbuk sabut kelapa. Namun media yang cukup baik untuk pertumbuhan bibit sengon yaitu top soil meskipun memiliki kekurangan jika untuk pengusahaan sengon dalam skala besar, maka untuk penanaman sengon dalam skala besar digunakan meida yang terbuat dari serbuk sabuk kelapa (Atmosuseno 1998).

Umumnya Sengon ditanam dalam jarak 2m × 2m hingga 4m × 4m. Untuk keperluan produksi kayu, pada umur 4-5 tahun tegakan sengon dilakukan penjarangan menjadi 250 batang/ha, dan pada umur 10 tahun menjadi 150 batang/ha. Untuk produksi pulp, sengon biasa dipanen lebih awal, yakni pada umur 8 tahun (Soerianegara 2002).


(22)

2.2 Polybag

2.2.1 Bahan Dasar

Polybag merupakan media tumbuh tanaman yang terbuat dari plastik. Bahan dasar polybag ini terbuat oleh polyethylene, yaitu molekul polimer yang sangat panjang dan besar serta terikat dengan sangat kuat sehingga sulit dipisahkan atau diasimilasi oleh bakteri decomposer (Hosen 2010).

2.2.2 Dekomposisi

Dalam penggunaannya sebagai media tanam, polybag bersifat sementara karena hanya digunakan ketika di rumah kaca saja, setelah di lapangan akan dibuang dan menjadi sampah sehingga menjadi masalah lingkungan yang amat serius. Masalah yang timbul ialah bahan plastik yang tidak dapat terurai dengan mudah karena akan membutuhkan puluhan tahun agar dapat terdegradasi secara sempurna. Apabila plastik dihancurkan dengan cara dibakar akan menghasilkan zat berbahaya yang dapat merusak kesehatan dan lingkungan (Gumanti 2011).

2.2.3 Potensi Pencemaran

Sampah plastik yang terkumpul dalam tanah akan membentuk lapisan kedap air, sehingga mengganggu masuknya air ke dalam tanah. Gangguan masuknya air ke dalam tanah bisa mengakibatkan banjir di musim hujan. Sementara jika lapisan sampah palstik berada dibawah tanah yang ditumbuhi tanaman akan menyebabkan tanaman tersebut kesulitan untuk mendapatkan air sehingga pertumbuhannya terganggu (Marzoeki 1995).

Pencemaran plastik secara kimiawi akan terjadi bila ada pembakaran sampah plastik. Bahan plastik yang mengandung klorin, misalnya polivinilklorida (PVC) jika dibakar akan mengeluarkan asap pedas yang mengandung bahan-bahan organoklorin yang membahayakan kesehatan, seperti gas hydrogen klorida (HCl) dan dioksin. Gas HCl bila terhisap paru-paru bersama butir-butir air yang ada di udara akan menghsilkan asam klorida cair yang sangat korosif. HCl juga bisa bereaksi dengan bahan-bahan campuran dalam PVC yang ikut terurai ketika dibakar (Marzoeki 1995).


(23)

2.3. Bahan Organik 2.3.1 Kertas Koran

Kertas Koran adalah kertas yang dibuat khusus untuk mencetak surat kabar. Spesifikasi kertas koran harus memenuhi beberapa ketentuan yaitu komposisi lembaran mengandung pulp mekanis atau pulp bagas rendemen tinggi minimal 65 % dan mempunyai gramatur berkisar antara 45-55gr/m2 (Anonimous 1980 dalam Akhir 2005).

Menurut Arlov (1997) dalam Akhir (2005), kertas koran biasanya mengandung 80-85 % pulp mekanis dan 15-20 % pulp kimia yang ditambahkan untuk meningkatkan kekuatan kertas yang dihasilkan, sehingga tidak mudah putus. Sedangkan Macdonald dan Frankin dalam Akhir (2005), menyebutkan bahwa kertas koran dibuat dari pulp mekanis dengan jumlah 75-80 %. Kertas koran dapat dibuat dari kayu, bagase, merang, bambu dan bahan-bahan berserat.

Menurut Kleinau (1987) dalam Akhir (2005), kertas bekas biasanya mengandung beberapa material asing seperti tinta, bahan pelapis, kotoran yang menempel, klip kertas dan lainnya. Oleh karena itu proses yang utama dalam pendaur ulangan kertas bekas adalah menghilangkan material yang mengkontaminasi kertas, sehingga serat selulosa yang terdapat didalam kertas bekas dapat diolah kembali.

Keterbatasan sumber serat yang ada di alam mengakibatkan serat sekunder sebagai bahan baku kertas semakin meningkat. Serat sekunder dapat diperoleh dari hasil pengolahan kembali kertas bekas. Serat sekunder dapat digunakan 100 % karena mengandung serat pendek dan serat panjang. Untuk industri yang terintegrasi, penggunaan serat sekunder akan mengurangi biaya pengadaan bahan baku serat.

2.3.2 Serasah

Serasah merupakan materi organik mati yang terdapat di lantai hutan, sebagian besar tersusun atas tumbuhan mati dan potongan organ, sehingga produksi serasah dapat didefinisikan sebagai berat material yang mati dalam luas area tertentu per satuan waktu. Perkiraan jumlah dan komposisi guguran serasah diperlukan untuk mengetahui siklus nutrient, produksi primer dan menentukan


(24)

struktur dan fungsi ekosistem sehingga studi kualitatif jatuhan serasah diperlukan dalam ekologi hutan. Meskipun begitu rata-rata produksi hutan diseluruh dunia bervariasi menurut struktur vegetasi, umur tegakan, kondisi geografis (kemiringan) dan perubahan iklim musiman. Mann (1986) dalam Akhir (2005), mengemukan bahwa daun-daun di atas tersusun dari 16 % berat kering bebas abu sebagai protein dan yang baru jatuh kandungan proteinnya sekitar 3,1 %, sedangkan yang terdekomposisi menjadi partikulat detritus, mengalami peningkatan kandungan protein mencapai 22 %. Detritus ini merupakan sumber makanan yang bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis hewan.

Serasah yang jatuh ke permukaan tanah merupakan bagian dari komponen tumbuh-tumbuhan yang telah mati, yang tidak mengalami proses pertumbuhan lagi dan akhirnya mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi. Komponen-komponen yang penting dari serasah adalah daun, ranting yang berukuran diameter lebih kecil atau sama dengan 2 cm, kulit pohon, alat reproduksi seperti bunga dan buah (Proctor 1983 dalam Akhir 2005).

2.3.3 Kompos

Sejak ribuan tahun yang lalu kompos telah lama digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik. Secara ilmiah, kompos diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif.

Kompos dapat dibuat dari bahan yang mudah dijumpai seperti sampah rumah tangga, dedaunan, jerami, alang-alang, rerumputan, jagung, sekam batang hingga kotoran hewan.

Kompos sangat berperan bagi tanah karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Diantara manfaat kompos adalah mampu memperbaiki produktivitas tanah, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kesuburan tanah (Djuarnani et al. 2005).

Kompos merupakan salah satu jenis pupuk organik yang terbuat dari bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme yang bekerja didalamnya. Bahan-bahan organik


(25)

tersebut dapat berupa sampah, dedaunan, rumput, jerami, sisa ranting, dahan, kotoran hewan, kembang, dan lain lain. Di alam terbuka kompos dapat terjadi dengan sendirinya, melalui proses alamiah. Namun proses tersebut berlangsung sangat lama hinga puluhan tahun.

Penggunaan kompos sebagai pupuk dapat memberikan beberapa manfaat seperti menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, menyimpan air tanah lebih lama dan menjadi alternatif pengganti pupuk kimia (Murbandono 2000).

Kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah dan dapat meningkatkan penyerapan unsur hara oleh tanaman. Struktur tanah menjadi lebih baik dan daya ikat air menjadi lebih tinggi (Djuarnani et al. 2005).

Kompos digunakan dengan cara disebarkan di sekeliling tanaman atau dibenamkan ke dalam tanah. Kompos yang layak digunakan adalah yang sudah matang, ditandai dengan menurunnya temperatur kompos dibawah 40°C.

Secara umum kompos yang sudah matang mempunyai beberapa ciri diantaranya berwarna cokelat tua hingga hitam dan remah, tidak larut alam air tapi larut dalam alkali, memiliki kapasitas tukar kation dan penyerapan air yang tinggi, tidak berbau, dan memiliki temperatur yang sama dengan temperatur udara.

Komponen kompos yang paling berpengaruh terhadap sifat kimiawi tanah adalah kandungan humusnya. Humus dalam kompos mengandung unsur hara yang diperlukan bagi tanaman. Humus yang menjadi asam humat dapat melarutkan zat besi (Fe) dan alumunium (AL) sehingga dapat diserap tanaman. Selain itu humus dapat mempertahankan unsur hara untuk tanaman karena humus dapat menyangga kation. Humus yang terdapat dalam kompos dapat memecah tanah liat menjadi lebih remah dan dapat melonggarkan partikel tanah yang merupakan saluran bagi air dan udara (Djuarnani et al. 2005).

2.4 Perekat Alami 2.4.1 Tanin

Menurut Buchanan (1952) dalam Soetjipto (1999) tanin dapat didefinisikan sebagi fenol polihidrat majemuk yang besar dan bentuk molekulnya dapat larut dalam air.


(26)

Tanin jarang dijumpai pada tumbuhan tingkat rendah seperti ganggang, lumut, dan paku-pakuan. Juga jarang dijumpai pada monokotil kecuali palem. Umumnya tanin terdapat pada tumbuhan dikotil. Pada skala dunia tumbuhan yang banyak mengandung tanin berasal dari suku Leguminosae misalnya akasia hitam, suku Anacardiaceae, Rhizophoraceae, dan Combretaceae (Soetjipto 1999).

Tanin nabati merupakan bahan dari tumbuhan, rasanya pahit dan kelat. Tannin dapat bereaksi dengan protein. Tanin dapat menyamak jala, tali, kulit, dan layar. Setelah disamak peraltan pancing dapat menjadi lebih tahan terhadp air laut. Tanin digunakan juga sebagai perekat, bahan pewarna, dan mordan. Tanin juga secara luas digunakan sebagi pengobatan (Soetjipto 1999).

Tanin nabati biasa digunakan untuk menyamak kulit yang berat seperti kulit sepatu, sabuk pengaman, ikat pinggang, dan kulit samak mekanik. Untuk meyamak kulit sepatu diperlukan waktu selama 2 bulan atau lebih. Tanin nabati membuat kulit sepatu sulit terkena jamur, lebih ringan dan tahan lama. Tanin nabati dapat diperoleh dalam bentuk serbuk (Soetjipto 1999).

Tanin adalah suatu senyawa polifenol alami dan terdapat dalam konsentrasi tinggi pada beberapa jenis tumbuhan seperti akasia, eukaliptus, bakau dan tusam. Jenis pohon yang berbeda menghasilkan struktur tanin yang berbeda pula (Achmadi dan Aryetti 1993 dalam Hindriani 2005).

Beberapa Negara telah mencoba menggunakan perekat berbahan dasar tanin pada tingkat percobaan untuk tahap produksi secara komersial. Sementara di Indonesia telah diteliti pembuatan perekat tanin dari kulit pohon akasia, bakau dan tancang dalam skala laboratorium untuk kayu lapis (Brandts 1953 dalam Hindriani 2005).

Salah satu dari sekian banyak senyawa yang dominan terdapat dalam tumbuhan jenis mangium adalah tanin dengan kadar tertinggi terdapat di bagian kulit dan kadar tanin biasanya bertambah seiring dengan bertambahnya umur dan tebal kulit (Soeparno 1984 dalam Hindriani 2005).

Berbagai jenis tumbuhan mengandung tanin dengan kadar dan kualitas berbeda. Beberapa tanaman penghasil tanin antara lain akasia, bakau, dan beberapa jenis pinus (Santoso et al. 1997 dalam Hindriani 2005).


(27)

Di Indonesia, sumber tanin yang paling potensial adalah bakau-bakau dan akasia. Luas hutan bakau di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 3,8 juta hektar dan 2,9 juta hektar diataranya terdapat di Propinsi Irian Jaya (Sumadiwangsa et al. 1988 dalam Henny 2005).

Penelitian penggunaan tanin sebagai perekat kayu diawali pada tahun 1950, namun dilakukan secara intensif setelah 20 tahun kemudian pada saat terjadi krisi energi sekitar tahun 1970 (Widarmana 1986 dalam Hindriani 2005).

Diketahui bahwa lebih dari 90% dari total produksi tanin komersial dunia adalah tanin terkondensasi, yang secara kimia maupun ekonomis lebih cocok digunakan untuk perekat dan resin. Ekstrak tanin komersial dibuat dari tanin terkondensasi dan prazat flavonoidnya terdistribusi secara luas di alam terutama terkondensasi dalam kayu dan kulit dari berbagai jenis pohon seperti jenis akasia, schinopsis, tsuga, dan berbagai jebis ekstrak kulit pinus (Hindriani 2005).

2.4.2 Tapioka

Tapioka merupakan tepung yang terbuat dari bahan dasar ubi kayu. Tapioka banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain. Ampas tapioka banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak (Radiati & Agusto 1990).

Ubi kayu dalam keadaan segar tidak dapat dimakan. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu yang lama, ubi kayu harus diolah dulu menjadi bentuk lain yang lebih awet, seperti gaplek, tapioka (tepung singkong), tapai, peuyeum, keripik singkong dan lain-lain (Radiati & Agusto 1990).

Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu adalah sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri, bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang dan terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih (Radiati & Agusto 1990).


(28)

Tapioka yang diolah menjadi sirup glukosa dan destrin sangat diperlukan oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, pengalengan buah-buahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian (Radiati & Agusto 1990).

Pada umumnya masyarakat kita mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus. Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran ubi kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi. Kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Warna tepung; tepung tapioka yang baik berwarna putih.

2. Kandungan air; tepung harus dijemur sampai kering benar sehingga kandungan airnya rendah.

3. Banyaknya serat dan kotoran; usahakan agar banyaknya serat dan kayu yang digunakan harus berumur kurang dari 1 tahun karena serat dan zat kayunya masih sedikit dan zat patinya masih banyak.

4. Tingkat kekentalan; usahakan daya rekat tapioka tetap tinggi. Untuk itu hindari penggunaan air yang berlebih dalam proses produksi (Radiati & Agusto 1990).


(29)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium dan rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan 7 bulan, mulai April 2009 sampai Oktober 2009.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : oven, calliper, ember, tong, kompor, wajan, alat pencetak kontainer, timbangan analitik, cat, gunting, saringan, seperangkat alat ukur, alat tulis, dan kamera digital.

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : semai sengon berumur 2 minggu (benih berasal dari laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB), koran bekas, arang sekam, pasir, perekat, serasah, dan kompos. Perekat yang digunakan yaitu tapioka dan tanin dari sari kulit Acacia mangium.

.

3.3 Prosedur Penelitian

Bahan dasar dalam pembuatan kontainer organik ini adalah koran bekas, serasah, kompos, tepung tapioka (kanji) dan tanin.

3.3.1 Penyiapan Bubur Kertas.

Kertas koran terlebih dahulu di sobek-sobek menggunakan gunting. Selanjutnya direndam dalam tong berisi air selama satu minggu dan dilakukan pengadukan serta penggantian air setiap 2 hari sekali. Setelah terlihat seperti bubur kertas maka dilakukan penyaringan untuk mengurangi kadar air dan dibiarkan semalam.

3.3.2 Penyiapan Bahan Baku.

Bahan pencampur yang digunakan adalah kompos dan serasah daun yang berasal dari jenis jati. Keduanya dilakukan pengukuran kadar air awal dan akhir


(30)

sehingga didapatkan kadar air standar. Hal ini untuk memudahkan pengadukan dengan kertas koran.

3.3.3 Pencampuran

Pencampuran antara pulp atau bubur kertas dengan bahan pencampur lain, dengan persentase sebagai berikut :

1. Kertas koran 100%

2. Kertas koran 100% + Perekat Tanin 5% 3. Kertas koran 100% + Perekat Tapioka 5% 4. Kertas koran + Serasah (50:50)

5. Kertas koran + Serasah (50:50) + Perekat Tanin 5% 6. Kertas koran + Serasah (50:50) + Perekat Tapioka 5% 7. Kertas koran + Kompos (50:50)

8. Kertas koran + Kompos (50:50) + Perekat Tanin 5% 9. Kertas koran + Kompos (50:50) + Perekat Tapioka 5%

3.3.4 Pemberian Perekat dan Pencampuran

Perekat yang diberikan berasal dari tepung tapioka dan tanin dengan konsentrasi 5%. Semua bahan pada langkah 3 dilakukan pencampuran dengan langkah 4. Pengadukan dilakukan secara manual dan diharapkan dalam pengadukan semerata mungkin agar media dan perekat benar-benar menyerap. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah perbandingan kadar air agar tidak terjadi kelebihan dalam pemberian air terhadap perekat maupun pada koran.

3.3.5 Pencetakan

Sebelum dilakukan pencetakan dilakukan pengukuran untuk berapa gram kira-kira dibutuhkan bahan untuk membuat satu kontainer. Untuk itu dilakukan penimbangan terhadap media yang akan diisi, tetapi dalam hal ini hanya digunakan beberapa sampel untuk masaing-masing perlakuan sehingga dari sample tersebut didapatkan nilai rata-rata gram untuk satu container. Setelah selesai pencetakan kontainer dikeringkan dan dijemur, selanjutnya di oven selama 2 hari pada suhu 600C (Gambar 1a), setelah itu dilakukan perapihan dengan memotong bagian bawah kontainer agar dapat berdiri (Gambar 1b)


(31)

Gambar 1 Pencetakan kontainer; pengovenan (a), perapihan (b)

3.4 Penyiapan Benih Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)

Untuk mengecambahkan benih sengon terlebih dahulu benih tersebut direndam selama satu hari. Setelah perendaman benih ditabur di media semai.

3.4.1 Perkecambahan Benih

Media yang digunakan dalam pengecambahan adalah pasir halus, sedangkan untuk media sapih digunakan media dengan komposisi tanah (subsoil) dicampur dengan arang sekam dengan perbandingan 1:1.

Benih sengon yang dikecambahkan berasal dari laboratorium silvikultur Fakultas Kehutanan IPB Dramaga. Benih sengon (P. falcataria (L) Nielsen) sebanyak 1 kg disebar secara merata pada bak kecambah berukuran ± 25 cm x 30 cm. Sebelum benih ditabur dapat dicampur dengan pasir halus agar tersebar merata. Perbandingan benih dan pasir adalah 1:1 (v/v). Pemeliharaan selama pengecambahan yaitu dengan menyiram dua kali sehari, pagi dan sore.

3.4.2 Penyapihan Semai

Setelah benih sengon tumbuh menjadi semai dan memiliki 2-3 pasang daun selebar, semai dipindahkan kedalam kontainer semai organik yang berisi media campuran berupa tanah (subsoil) sebanyak 2/3 volume dari kontainer semai organik, dan arang sekam. Ada 9 jenis campuran kontainer semai organik yaitu:

1. KKO = kertas koran

2. KKSrO = kertas koran serasah 3. KKKO = kertas koran kompos 4. KKTp5 = kertas koran kanji


(32)

5. KKSrTp5 = kertas koran kanji serasah 6. KKKTp5 = kertas koran kanji kompos 7. KKTn5 = kertas koran tanin

8. KKSrTn5 = kertas koran tanin serasah 9. KKKTn5 = kertas koran tanin kompos

Teknik penyapihan semai sengon dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Persiapan media penyapihan. Media yang digunakan berupa campuran

tanah subsoil dan arang sekam dengan perbandingan 1:1. Ditempatkan dalam kontainer semai organik dan disiram sampai jenuh.

b. Pencabutan semai dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak akar. Sebelum semai dicabut, media pengecambahan disiram sampai basah, tujuannya agar mempermudah semai untuk dicabut. Saat pencabutan, media pengecambahan diusahakan terbawa agar akar tetap utuh dan tidak rusak.

c. Penanaman dalam kontainer semai organik dengan cara melubangi tanah sedalam ±2,5 cm lalu semai ditanam dalam lubang tersebut hingga bagian akar terbenam, kemudian dilakukan penyiraman secara hati-hati agar semai yang baru ditanam tidak roboh.

Jumlah semai yang digunakan untuk setiap perlakuan adalah 50 kali ulangan.

3.4.3 Pemeliharan

Pemeliharaan semai meliputi pembersihan media dari rumput (gulma), penyiraman tanaman yang dilakukan setiap hari (pagi dan sore), dan pemupukan.

Pemupukan dilakukan setiap 1 minggu sekali dimulai ketika semai berumur 1 BSP (bulan setelah penyapihan). Pupuk yang digunakan berupa pupuk daun (gandasil-D) dengan dosis 1 gram untuk 1 liter air.

3.4.4 Pemanenan Bibit Sengon

Pemanenan dilakukan dengan cara menghancurkan kontainer semai organik kemudian memisahkan tanaman dengan tanah. Hal ini dilakukan dengan hati-hati agar akar tanaman tidak ikut tercabut ketika dipisahkan dengan tanah. Setelah itu bagian pucuk dan akar tanaman dipisahkan menggunakan pisau carter kemudian masing-masing bagian ditimbang.


(33)

3.5 Pengamatan pertumbuhan

Parameter yang diamati dalam pengamatan uji ketahanan kontainer semai organik adalah :

1. Tinggi semai ; diukur 2 minggu sekali selama 3 bulan (12 minggu) menggunakan penggaris. Batas bawah mulai dari tanah dan pucuk sebagai batas atas pengukuran tinggi.

2. Diameter semai; diukur pada awal dan akhir pengamatan (±2cm dari permukaan tanah) dengan menggunakan caliper.

3. Berat Basah Pucuk (BBP) dan Berat Basah Akar (BBA); diperoleh dengan memisahkan bagian pucuk dan akar semai setelah pemanenan lalu masing-masing bagian ditimbang dengan alat timbangan digital (neraca Ohauss).

4. Bobot Kering Total (BKT); dihitung pada akhir pengamatan. Akar dan pucuk dipisah lalu dioven pada suhu 105ºC selama 1 hari (24 jam) ditimbang dengan neraca Ohaiss. Didapat bobot kering pucuk dan akar. Berat Kering Total (BKT) adalah jumlah dari berat kering pucuk dan akar.

5. Penghitungan Nisbah Pucuk Akar (NPA) : NPA =

) (

) (

gram gAkar BeratKerin

gram gPucuk BeratKerin

6. Analisis kandungan hara (N, P, K) dan pH pada media tumbuh (sesudah dan sebelum perlakuan) dilakukan di Laboratorium Analisis Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.

3.6 Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan faktorial sebagai berikut :

Faktor 1 (bahan baku / komposisi media) :

Kertas Koran 100% (KM1)

Kertas Koran 50% + Serasah 50% (KM2) Kertas Koran 50% + Kompos 50% (KM3)


(34)

Faktor 2 (perekat) :

Tanpa perekat 0% (merah) Tanin 5% (kuning)

Tapioka 5% (biru)

Model persamaan umum rancangan penelitian ini adalah Yijk = µ + Ai + Bj + AiBj +

ε

ijk

Keterangan :

Y

ij = nilai respon pengamatan

µ

= nilai Rata-rata umum

Ai = pengaruh faktor perlakuan bahan baku (i = 0, 1, 2) Bj = pengaruh faktor perlakuan perekat (j = 0, 1, 2)

AiBj = pengaruh interaksi antara penggunaan bahan baku dan perekat

ε

ijk = pengaruh kesalahan perubahan dari penggunaan bahan baku ke-I, dan perlakuan perekat ke-j pada ulangan ke-k

k = ulangan

Bentuk hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

H0: P. falcataria. dapat tumbuh dan tahan dalam kontainer seedling berbahan organik

H1: P. falcataria. tidak dapat tumbuh dan tahan dalam kontainer seedling berbahan organik

Kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah: Jika F hitung ≤ F table, maka terima H0

Jika F hitung > F table, maka terima H1

Apabila hasil uji menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut yaitu Uji Duncan.


(35)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Bentuk dan Kekuatan Kontainer Organik

Penilaian bentuk dan kekuatan kontainer berdasarkan pengamatan di rumah kaca. Pengujian kualitatif terhadap bentuk dan kekuatan kontainer dilakukan pada bibit sengon umur 3 BSP (Bulan Setelah Penyapihan) di rumah kaca. Tabel 1 dan Gambar 2 menunjukkan kriteria penilaian kualitatif terhadap bentuk dan kekuatan kontainer. Sedangkan hasil penilaian kualitatif kekuatan kontainer disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Kriteria penilaian kualitatif terhadap bentuk dan kekuatan kontainer di rumah kaca

Kriteria Kualitatif Bobot Skor Keterangan Bentuk

-Baik 3

Bentuk Rapih, kerucut seperti cone, alas dan

ketebalan rata, dapat berdiri

-Sedang 2

Bentuk kerucut cone, ketebalan tidak rata,

dapat berdiri

-Buruk 1

Alas dan ketebalan tidak rata, agak tipis,tidak

dapat berdiri

Kekuatan

-Baik 3

Keras, kokoh, dan kuat (tidak rusak ketika

dipindahkan)

-Sedang 2 Lembek, tidak berair

-Buruk 1

Lembek, berair, mudah rusak/hancur jika diangkat(dipindahkan)


(36)

Gambar 2 Penilaian kualitatif terhadap bentuk dan kekuatan kontainer (A), baik (B), sedang (C), buruk.

Tabel 2 Hasil Penilaian kualitatif terhadap bentuk dan kekuatan kontainer selama 3 bulan di rumah kaca

Bahan Baku Kode

Jumlah Kontainer (%)

Total Skor (%)

Nilai (total skor/skor maksimum) Baik Sedang Buruk

Koran m1 20 70 10 210 0,7

Koran+Serasah m2 80 15 5 275 0,92

Koran+Kompos m3 85 12 3 282 0,94

Koran+Tanin k1 90 9 1 289 0,96

Koran+Serasah+Tanin k2 89 10 1 288 0,96

Koran+Kompos+Tanin k3 89 10 1 288 0,96

Koran+Tapioka b1 10 85 5 205 0,68

Koran+Serasah+Tapioka b2 8 88 4 204 0,68

Koran+Kompos+Tapioka b3 3 91 6 197 0,66

Tabel 2 menunjukkan secara rata-rata penilaian kualitatif kontainer organik. Hasil pengamatan selama di rumah kaca menunjukkan bahwa perlakuan yang diberi perekat tanin mempunyai bentuk dan kekuatan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini terlihat dari Tabel 2 bahwa perlakuan yang diberi perekat tanin mempunyai nilai paling tinggi yaitu 96 %.

Penentuan skor dihitung berdasarkan penjumlahan dari jumlah kontainer dikalikan dengan bobot skor, untuk m1 maka (20x3)+(70x2)+(10x1)=210%. Sedangkan nilai didapat dari total skor dibagi dengan skor maksimum yaitu 300%. Untuk m1 maka 210% dibagi 300% hasilnya 0,7 artinya nilai indikatornya 70%.


(37)

Dari hasil pengamatan dan peniliaian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberi perekat tanin mempunyai bentuk dan kekuatan yang lebih baik diantara perlakuan lainnya, yaitu k1, k2 dan k3 dengan nilai diatas 0,9 atau 90%. Sedangkan yang terburuk adalah yang diberi perekat tapioka dengan nilai kurang dari 70%.

4.1.2 Pertumbuhan Tinggi Bibit Sengon Selama 10 Minggu di Rumah Kaca

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam Lampiran 1a diketahui bahwa faktor perekat, faktor komposisi media dan interaksi diantara keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi bibit sengon pada taraf uji 1%. Pengaruh interaksi antara perekat dan komposisi media disajikan pada Tabel 3. Pengaruh faktor-faktor tersebut diuraikan dalam uji Duncan pengaruh perekat (Tabel 4), pengaruh komposisi media (Tabel 5).

Dari uji lanjut Duncan Tabel 4 diketahui bahwa faktor perekat tanin memberikan pengaruh yang lebih baik yaitu 33,42% dibandingkan dengan perlakuan tanpa perekat.

Tabel 3 Uji lanjut Duncan pengaruh interaksi antara perekat dan komposisi media terhadap pertumbuhan tinggi sengon di rumah kaca (cm)

Perekat Komposisi Media

KM1 KM2 KM3

Tanpa perekat 7,28 c 6,85 c 8,12 cb

Tapioka 5% 9,23 b 7,30 c 8,53 cb

Tanin 5% 6,96 c 8,43 cb 14,30 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada

taraf uji F0,05

Tabel 4 Uji lanjut Duncan pengaruh perekat terhadap pertumbuhan tinggi bibit sengon

Perlakuan Rata-rata (cm)

Peningkatan terhadap perlakuan tanpa

perekat (%)

Tanin 5% 9,90 a 33,42

Tapioka 5% 8,35 b 12,53

Tanpa perekat 7,42 b 0

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada


(38)

Tabel 5 Uji lanjut Duncan Pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan tinggi bibit sengon

Perlakuan Rata-rata (cm) Peningkatan terhadap perlakuan koran(%)

Koran 50% Kompos 50% (KM3) 10,32a 31.96

Koran 50% Serasah 50% (KM2) 7,52 b -3.83

Koran 100% (KM1) 7,82 b 0

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada

taraf uji F0,05

Berdasarkan uji lanjut Duncan Tabel 5, diketahui bahwa faktor komposisi media kompos memberikan pengaruh yang lebih baik yaitu 31,96% dibandingkan dengan perlakuan koran saja (KM1). Berdasarkan uji lanjut Duncan Tabel 3

perlakuan terbaik terdapat pada k3 (Koran+kompos+tanin).

Tinggi bibit diukur setiap 2 minggu sekali. Perlakuan bahan baku kontainer memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tinggi bibit seperti terlihat pada Gambar 3.

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 2 4 6 8 10

Minggu pengamatan T in g g i (c m ) m1 m2 m3 k1 k2 k3 b1 b2 b3 kontrol

Gambar 3 Pengaruh perlakuan bahan baku kontainer terhadap pertumbuhan tinggi bibit sengon selama 10 Minggu di rumah kaca.

Pada Gambar 3 menunjukkan pengaruh perlakuan bahan baku kontainer terhadap pertumbuhan tinggi bibit sengon selama 10 minggu di rumah kaca, dimana pada umur 4 minggu pertumbuhan tertinggi terdapat pada perlakuan k2 (Koran+Serasah+Tanin) sebesar 7,1 cm, sedangkan pertumbuhan terendah terdapat pada perlakuan b1 (Koran+Tapioka) dan b2 (Koran+Serasah+Tapioka) sebesar 5,94 cm dan 5,72 cm. Dan pada umur minggu terakhir pertumbuhan


(39)

tertinggi dan tercepat terdapat pada perlakuan k3 (Koran+Kompos+Tanin) sebesar 14,3 cm. Sebelumnya diketahui bahwa pada perlakuan k3 pertumbuhan tinggi bibit sengon hingga minggu ke 4 masih relatif sedang, namun setelah minggu ke 6 hingga terakhir terjadi pertumbuhan tinggi yang signifikan. Sedangkan pertumbuhan terendah dan terlambat terdapat pada perlakuan m2 (Koran+Serasah) sebesar 6,85 cm.

4.1.3 Pertumbuhan Diameter Bibit Sengon Selama 10 Minggu di Rumah Kaca

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa faktor komposisi media dan interaksi antara komposisi media dan perekat tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan diameter bibit sengon pada selang kepercayaan 95% sedangkan faktor perekat memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95%.

Tabel 6 Sidik ragam pengaruh komposisi media dan perekat terhadap rata-rata pertumbuhan diameter bibit sengon umur 3 BSP di rumah kaca

Sumber Keragaman Db Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F hitung P

Perekat (A) 2 0,372 0,186 5,65** 0,0045

Komposisi media (B) 2 0,041 0,020 0,63 tn 0,5352

A*B 4 0,305 0,076 2,32 tn 0,0605

Galat 126 4.145 0,032

Total 134 4,864

Keterangan : ** : berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,05

tn : tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F0,05

Tabel 7 Uji lanjut Duncan pengaruh faktor perekat terhadap pertumbuhan diameter bibit sengon

Perlakuan Rata-rata (cm)

Peningkatan terhadap perlakuan tanpa

perekat (%)

Tanin 5% 1,20a 9,09

Tapioka 5% 1,08 b -1,81

Tanpa perekat 1,10 b 0

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada


(40)

Dari uji lanjut Duncan Tabel 7 diketahui bahwa kontainer yang diberi perekat memiliki nilai rata-rata pertambahan diameter bibit sengon lebih besar daripada kontainer yang tidak diberi perekat. Faktor perekat tanin memberikan pengaruh yang lebih baik ditunjukkan pada Tabel 7 bahwa kontainer yang diberi perekat tanin mengalami peningkatan sebesar 9,01% terhadap perlakuan tanpa perekat.

Pengukuran diameter bibit sengon dilakukan setiap 2 minggu sekali. Perlakuan bahan baku kontainer organik memberikan pengaruh yang berbeda terhadap diameter bibit seperti terlihat pada Gambar 4.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

0 2 4 6 8 10

Minggu Pengamatan D ia m e te r (c m ) m1 m2 m3 k1 k2 k3 b1 b2 b3 kontrol

Gambar 4 Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap pertumbuhan diameter bibit sengon selama 10 Minggu di rumah kaca.

Pada Gambar 4 menunjukkan pengaruh perlakuan bahan baku kontainer terhadap pertumbuhan diameter bibit sengon selama 10 minggu di rumah kaca, dimana perlakuan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan diameter tertinggi terdapat pada perlakuan k3 (Koran+Kompos+Tanin) sebesar 0,83 cm, dan yang terendah terdapat pada perlakuan b1 (Koran+Tapioka) sebesar 0,62 cm, sedangkan pada perlakuan yang lainnya tidak berbeda nyata, yaitu sebesar 06,2 cm.


(41)

4.1.4 Nisbah Pucuk Akar Bibit Sengon

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 8 diketahui bahwa nilai NPA dipengaruhi oleh faktor komposisi media sedangkan perlakuan perekat dan interaksi antara perekat dan komposisi media memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap nisbah pucuk akar pada selang kepercayaan 95%. Pengaruh faktor komposisi media diuraikan dalam uji lanjut Duncan pada Tabel 9.

Tabel 8 Sidik ragam pengaruh bahan baku kontainer terhadap NPA bibit sengon

Sumber Keragaman Db Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F hitung P

Perekat (A) 2 0,0113 0,0056 0,00tn 0,9954

Komposisi media (B) 2 70,65887 35,3294 28.66** <0,0001

A*B 4 11,4443 2,8610 2.32tn 0,0604

Galat 126 155,3001 1,2325

Total 134 237,4146

Keterangan : ** : berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

tn : tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F0,05

Tabel 9 Uji lanjut Duncan pengaruh faktor komposisi media terhadap nisbah pucuk akar sengon

Perlakuan Rata-rata rasio

Peningkatan terhadap perlakuan koran(%)

Koran 50% Kompos 50% (KM3) 4,18a 67,2

Koran 50% Serasah 50% (KM2) 2,85 b 14,0

Koran 100% (KM1) 2,50 b 0

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada

taraf uji F0,05

Dari Tabel 9 uji lanjut Duncan diketahui bahwa faktor komposisi media terbaik terhadap NPA (Nisbah Pucuk Akar) adalah K3 yaitu kompos, dengan peningkatan sebesar 67,2%. Sedangkan komposisi media yang lainnya tidak berbeda nyata.

Nisbah Pucuk Akar (NPA) adalah perbandingan antara Berat Kering Pucuk terhadap Berat Kering Akar. Berat Kering Pucuk (BKP) dan Berat Kering Akar (BKA), diperoleh dengan memisahkan bagian pucuk dan akar sengon setelah pemanenan, lalu masing-masing bagian ditimbang dengan alat timbangan digital (neraca Ohauss). Hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.


(42)

0.068 0.166 0.075 0.168 0.116 0.534 0.077 0.184 0.106 0.316 0.112 0.435 0.097 0.258 0.088 0.276 0.123 0.464 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 B K ( g ra m )

m1 m2 m3 k1 k2 k3 b1 b2 b3

Jenis Perlakuan

BKP BKA

Gambar 5 Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap BKP dan BKA bibit sengon umur 3 BSP di rumah kaca.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

m1 m2 m3 k1 k2 k3 b1 b2 b3

Jenis Perlakuan N il a i N P A NPA

Gambar 6 Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap NPA bibit sengon umur 3 BSP di rumah kaca.

Pada Gambar 6 diketahui bahwa perlakuan bahan baku kontainer memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap nilai NPA. Adapun NPA tertinggi umur 3 BSP di rumah kaca di rumah kaca terdapat pada perlakuan m3 (Koran+Kompos) dan k3 (koran+kompos+tanin) sebesar 4,60 dan 3,88 sedangkan terendah terdapat pada perlakuan m2 (Koran+Serasah) yang memiliki rata-rata rasio pucuk akar sebesar 2,24.


(43)

4.1.5 Berat Kering Total Bibit Sengon

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1b faktor perekat dan interaksi antara perekat dan komposisi media tidak berpengaruh nyata terhadap biomasa bibit sengon pada selang kepercayaan 95% namun komposisi media berpengaruh sangat nyata terhadap biomasa bibit sengon pada selang kepercayan 95%. Uji Duncan pengaruh faktor komposisi media disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Uji lanjut Duncan pengaruh komposisi media terhadap biomasa

Perlakuan Rata-rata (gram)

Peningkatan terhadap perlakuan koran(%)

Koran 50% Kompos 50% (KM3) 0,59a 110,7

Koran 50% Serasah 50% (KM2) 0,34 b 21,42

Koran 100% (KM1) 0,28 b

0

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada

taraf uji F0,05

Berat Kering Total atau biomasa diperoleh dengan menjumlahkan berat kering pucuk dan akar tanaman. Biomasa digunakan sebagai parameter pertumbuhan tanaman karena dianggap sebagai hasil dari semua proses fotosintesis dalam pertumbuhan tanaman.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

m1 m2 m3 k1 k2 k3 b1 b2 b3

B K T ( g ra m ) Biomasa

Gambar 7 Pengaruh perlakuan bahan kontainer terhadap Berat Kering Total bibit sengon umur 3 BSP.

Gambar 7 menunjukkan penggunaan media kompos cenderung memiliki biomasa tertinggi yaitu pada perlakuan m3 (Koran+Kompos), b3


(44)

(Koran+Kompos+Tapioka) dan k3 (Koran+Kompos+Tanin) masing-masing sebesar 0,65 gram, 0,58 gram, dan 0,54 gram. Sedangkan biomasa terendah teradapat pada m1 (Koran) dan m2 (Koran+Serasah) sebesar 0,23 dan 0,24 gram.

4.1.6 Analisis Kimia

Analisis kimia kontainer dilakukan di Laboratorium Analisis Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil analisis kimia pada media kontainer Jenis

Perlakuan

C N P K Ca Mg Fe Cu Zn

(%) (%) (%) (%) (%) (%) (ppm) (ppm) (ppm) m1 54,51 0,42 0,05 0,04 2,3 0,46 660 20 40 m2 52 0,63 0,11 0,11 9,9 1,38 1,100 40 60 m3 46,54 0,7 0,21 0,25 4,63 3 2,755 45 80 k1 54,21 0,28 0,07 0,1 5,74 0,73 1,345 15 30 k2 51,98 0,66 0,1 0,14 8,88 1,38 1,395 35 55 k3 37,34 1,15 0,33 0,38 6,43 2,95 5,155 40 75 b1 55,15 0,35 0,06 0,07 4,63 0,81 549 15 40 b2 52,62 0,91 0,15 0,12 8,23 1,86 1,475 30 68 b3 35 1,18 0,39 0,33 6,2 2,60 6,480 35 75

Berdasarkan hasil analisis Tabel 11 dapat diketahui kandungan unsur nitrogen (N) terbanyak terdapat pada perlakuan b3 (Koran+Kompos+Tapioka), k3 (Koran+Kompos+Tanin) dan m3 (Koran+Kompos) sebesar 1,18%, 1,15% dan 0,7% sedangkan terendah terdapat pada perlakuan k1 (Koran+Tanin), b1 (Koran+tapioka) dan m1 (Koran) sebesar 0,28%, 0,35%, dan 0,42%. Kandungan unsur pospor (P) tertinggi juga terdapat pada perlakuan b3 dan k3 sebesar 0,39% dan 0,33%, sedangkan terendah terdapat pada perlakuan m1 (Koran), b1 (Koran+Tapioka), dan k1 (Koran+Tanin) sebesar 0,05%, 0,06%, dan 0,07%. Dapat disimpulkan bahwa faktor komposisi media sangat mempengaruhi jumlah kandungan unsur hara pada kontainer.


(45)

Tabel 12 Hasil analisis serapan hara pada tanaman sengon Jenis

Perlakuan

N P K Ca Mg

(gram)

m1 0,0052 0,0005 0,0031 0,0009 0,0005

m2 0,0053 0,0005 0,0028 0,0011 0,0007

m3 0,0200 0,0022 0,0099 0,0014 0,0021

k1 0,0064 0,0006 0,0036 0,0012 0,0007

k2 0,0106 0,0011 0,0065 0,0016 0,0012

k3 0,0172 0,0016 0,0098 0,0007 0,0016

b1 0,0094 0,0008 0,0051 0,0016 0,0012

b2 0,0111 0,0012 0,0058 0,0009 0,0012

b3 0,0179 0,0018 0,0093 0,0007 0,0017

Berdasarkan hasil analisis serapan hara pada Tabel 12 diketahui bahwa pada tanaman sengon yang terdapat di perlakuan k3 (Koran+Kompos+Tanin), b3 (Koran+Kompos+Tapioka) dan m3 (Koran+Kompos) menyerap jumlah unsur nitrogen (N) lebih banyak dibandingkan perlakuan lain yaitu berturut-turut 0,0172 gram, 0,0179 gram dan 0,0200 gram. Adapun terendah terdapat pada perlakuan m1 (Koran) dan m2 (Koran+Serasah) sebesar 0,0052 gram dan 0,0053 garm. Unsur pospor (P) paling banyak diserap oleh tanaman sengon terdapat pada perlakuan m3 dan b3 yaitu 0,002 gram dan 0,0018 gram sedangkan terendah terdapat pada perlakuan yang tidak menggunakan faktor media seperti m1 (Koran), b1 (Koran+Tapioka), dan k1 (Koran+Tanin). Rekapitulasi data dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.1 Pembahasan

Berdasarkan pengamatan secara kualitatif menunjukkan bahwa perlakuan yang menggunakan perekat tanin mempunyai bentuk dan kekuatan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini terbukti oleh perlakuan yang diberi perekat tanin memiliki nilai skor paling tinggi yaitu sebesar 96% dibandingkan perlakuan yang tidak diberi perekat tanin. Hal ini dikarenakan sifat


(46)

perekat tanin yang tahan air dan mampu mengikat bahan baku menjadi lebih kuat dan tidak mudah retak dibandingkan perlakuan tanpa perekat tanin.

Penempatan kontainer selama 3 bulan di rumah kaca secara rata-rata belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Berdasarkan pengamatan, perlakuan yang tidak diberi perekat tanin dan yang diberi perekat tapioka lebih cepat rusak dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini diduga karena molekul perekat tapioka yang digunakan tidak mampu berikatan secara kuat dengan kontainer setelah beberapa hari di rumah kaca, karena ikatan tapioka menjadi lemah setalah kontainer terkena penyiraman air sehingga tidak ada ikatan yang membuat kontainer menjadi kuat. Kerusakan ini juga dikarenakan sifat koran yang higroskopis yaitu sangat mudah menyerap dan melepaskan air, sehingga ketika dilakukan penyiraman, kontainer menjadi cepat lembab dan rusak oleh air.

Berdasarkan pengamatan secara visual perlakuan k1 (Koran+Tanin), k2 (Koran+Serasah+Tanin), serta k3 (Koran+Kompos+Tanin) memiliki kekuatan dan ketahanan yang lebih baik. Perlakuan ini sangat kuat dan tidak mudah lembek meskipun disiram air. Hal ini diduga karena adanya kandungan lignin dan lemak yang masih tinggi dari komposisi media dan penggunaan perekat tanin yang telah menyebabkan kontainer tersebut menjadi tahan lama bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Dari uji lanjut Duncan perlakuan terbaik terdapat pada interaksi antara bahan baku kompos dan perekat tanin yang memiliki rata-rata tinggi sebesar 14,30 cm yang terdapat pada perlakuan k3 yaitu koran+kompos+tanin dengan peningkatan tinggi sebesar 96, 42 % terhadap kontrol. Dari uji lanjut Duncan diketahui bahwa perlakuan kompos memberikan peningkatan tinggi sengon sebesar 31.96 % dibandingkan perlakuan yang tidak diberikan kompos sedangkan perekat tanin memberikan peningkatan pertumbuhan tinggi yang lebih baik yaitu 33,42 % dibandingkan dengan perlakuan tanpa perekat.

Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan kuantitatif selama siklus hidup tanaman yang bersifat irreversible atau tidak terbalikan. Pertumbuhan dapat bertambah besar atau bertambah berat akibat adanya perubahan struktural dan penambahan unsur-unsur struktural yang baru akibat pembelahan dan pembesaran sel, misalnya pembelahan jaringan maristem pada tanaman tersebut yaitu suatu


(47)

situasi dimana sel-sel maristematik berkembang. Seperti menurut Davis dan Jhonson (1987) pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial growth), sedangkan pertumbuhan kesamping (diameter) disebut pertumbuhan sekunder (secondary growth). Tinggi tanaman merupakan salah satu aspek dalam perkembangan tanaman. Tinggi merupakan pertumbuhan dari tanaman secara vertikal dan setiap harinya mengalami perubahan. Pada usia awal pertumbuhan tanaman, pertumbuhan sel-sel secara aktif berkembang pada bagian terujung dari tanaman, ini disebut sebagai daerah pertumbuhan primer atau promaristem.

Pertumbuhan merupakan suatu perkembangan yang progresif dari suatu organisme. Pertumbuhan tanaman yang baik dapat tercapai bila faktor yang mempengaruhi pertumbuhan berimbang dan menguntungkan. Bila faktor-faktor tersebut tidak seimbang maka dapat menghentikan pertumbuhan (Hakim et al. 1986).

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh tempat tumbuh tanaman tersebut, kondisi tempat tumbuh tanaman yang ideal bagi perkembangan tanaman adalah tempat tumbuh pada tanah yang subur. Tanah dikatakan subur apabila menngandung 55 % zat organik, 45 % zat non organik, 25 % air, dan 25 % udara. Tanah yang mengandung zat organik tinggi akan mempunyai daya serap yang baik terhadap unsur hara. Namun tanpa air dan udara zat-zat tersebut tidak akan berarti bagi tanaman. Air berfungsi melarutkan ion-ion yang dapat diserap tanaman. Sedangkan udara mendukung sirkulasi dan pertumbuhan bakteri yang berada pada akar tanaman sehingga membantu pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, antara lain sinar matahari, suhu, udara, air dan unsur hara yang terkandung dalam tanah.

Pengamatan selama 3 bulan setelah penyapihan (3 BSP), menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi bibit sengon terlihat sangat signifikan khususnya pada perlakuan k3 (Koran+Kompos+Tanin) dimana pada umur 0 minggu tinggi mula-mula yaitu 3,2 cm kemudian pada umur 2 BSP meningkat menjadi 8,74 cm dan pada umur 3 BSP menjadi 14,3 cm. Pertumbuhan tertinggi juga terdapat pada perlakuan m3 (Koran+Kompos) dan b3 (Koran+Kompos+Tapioka) yaitu pada umur 3 BSP sebesar 12,37 cm dan 10,13 cm. Pada ketiga perlakuan tadi yakni k3,


(48)

m3 dan b3 memiliki faktor media kompos. Pada kompos terdapat unsur hara yang diperlukan tanaman untuk tumbuh. Suatu tanaman akan tumbuh subur apabila segala unsur yang dibutuhkannya tersedia dan terdapat dalam bentuk yang sesuai untuk diserap tanaman. Hasil analisis membuktikan bahwa pada perlakuan kontainer yang mengandung kompos memiliki unsur hara makro N, P, K lebih banyak dibandingkan pada perlakuan yang tidak diberi kompos.

Menurut Novizan (2002) peranan pupuk kompos yaitu dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kandungan kompos didominasi oleh bahan organik, walaupun kandungannya relatif sedikit namun kompos memiliki jumlah jenis unsur hara yang paling lengkap.

Kompos adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi mikro organisme yang bekerja didalamnya (Murbandono 2000).

Pengaruh kompos terhadp sifat fisik tanh lebih baik dibandingkan dengan pengaruh pupuk anorganik. Tanah lempung berat akn menjadi cepat jenuh air sehingga akan menghalangi air dan udara yang masuk. Penambahan kompos pad tanh dapat membantu melonggarkan partikel tanah dengan cara membuka pori-pori tanah yang merupakan saluran bagi udara dan air (Djuarnani 2005).

Tanaman akan menyerap unsur hara dalam bentuk ion yang terdapat disekitar daerah perakaran. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman dibagi menjadi 2 yaitu unsur hara makro dan mikro.

Selain faktor media kompos, faktor perekat tanin juga mempengaruhi dalam pertumbuhan tinggi bibit sengon, dari uji lanjut Duncan Tabel 4 diketahui bahwa faktor perekat tanin memberikan pengaruh yang lebih baik yaitu 33,42 % dibandingkan dengan perlakuan tanpa perekat. Hal ini diduga karena sifat perekat tanin yang tahan air dan media yang diberi tanin mampu menampung lebih banyak air, sehingga tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur hara dan air dari dalam tanah.

Agar tanaman dapat melakukan proses fisiologisnya dengan baik maka diperlukan media tumbuh yang cocok dengan keadaan lingkungan fisik dan kimianya. Sebagai medium tumbuh, tanah harus mempunyai persyaratan tertentu untuk mendukung pertumbuhan tanamn. Syarat tumbuh tanaman pada dasarnya


(49)

ditentukan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti adanya unsur hara di dalam tanah, tersedianya air di dalam tanah, tersedianya udara di luar dan dalam tanah, adanya sinar matahari yang tembus ke permukaan tanah dan suhu tanah yang optimum bagi pertumbuhan tanaman.

Adapun Pertumbuhan tinggi sengon terendah terdapat pada perlakuan m2 (Koran+Serasah) sebesar 6,85 cm pada umur 3 BSP. Hal ini bisa disebabkan karena pada perlakuan m2 tidak terdapat kompos dan kekurangan unsur hara khususnya unsur nitrogen (N), salah satu fungsi unsur nitrogen adalah untuk merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan dan merangsang pertumbuhan vegetatif seperti warna hijau pada daun. Sedangkan jika kekurangan nitrogen maka pertumbuhan tanaman menjadi lambat atau kerdil, daun-daun tua cepat menguning dan mati. Berdasarkan hasil analisis serapan hara pada tanaman sengon, diketahui bahwa unsur nitrogen (N) dan kalium (K) terendah terdapat pada tanaman sengon yang berada di kontainer m2 (Koran+Serasah) sebesar 0,0053 gram dan 0,0028 gram. Unsur hara kalium (K) berfungsi dalam proses fotosintesa, pengangkutan hasil asimilasi, enzim dan mineral termasuk air. Padahal proses fotosintesis sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Jika tanaman kekurangan unsur hara kalium maka pertumbuhan akan terhambat dan tidak tahan terhadap penyakit. Itulah sebabnya pada perlakuan m2 tanaman sengon lambat dalam pertumbuhannya.

Berbeda halnya dengan pertumbuhan tinggi bibit sengon, perlakuan komposisi media ternyata tidak memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan diameter bibit sengon. Hal ini karena pertumbuhan diameter semai merupakan pertumbuhan sekunder sehingga pertumbuhannya jauh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan tinggi semai. Menurut Pandit dan Ramdan (2002), pertumbuhan sekunder dipengaruhi oleh aktivitas kambium yang salah satunya dipengaruhi oleh adanya zat auksin yang paling banyak terdapat pada bagian tumbuhan yang sedang aktif berkembang atau meristem apical.

Dari uji lanjut duncan Tabel 7 diketahui bahwa kontainer yang diberi perekat tanin memiliki nilai rata-rata pertambahan diameter bibit sengon lebih besar daripada yang tidak diberi perekat yaitu sebesar 1,20 cm.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Interaksi antara bahan baku kontainer kompos dan perekat tanin (Koran+Kompos+Tanin) meningkatkan pertumbuhan tinggi sengon sebesar 96,42 % terhadap kontrol selama 3 BSP di rumah kaca.

2. Bahan dasar yang diberi perekat tanin mempunyai kekuatan yang lebih baik dengan nilai indikator sebesar 96 %.

5.2 Saran


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS, Aryetti. 1993. Keragaan Tanin Acacia mangium Dibandingkan Tanin Mimosa sebagai Perekat Kayu Lapis. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Hal 2.

Akhir J. 2005. Pembuatan dan Pengujian Wadah Semai Ramah Lingkungan di Rumah Kaca dan Lapangan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. IPB. Atmosuseno BS. 1998. Budidaya, Kegunaan, dan Prospek Sengon. Jakarta:

Penebar Swadaya.

Brandts THG. 1953. Mangrove Tannin Formaldehyde Resin as Hot Press Plywood Adhesives. Pengumuman No. 37. LPHH. Bogor.

Davis LS, Jhonson KN. 1987. Forest Management. New York : Mc Graw-Hill Book Company.

Djuarnani N, Kristian, Setiawan BS. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Forest Watch Indonesia. 2002. The state of the forest: Indonesia. Bogor, Indonesia and Washington, DC: Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch.

Gumanti DL. 2011. Bioplastik yang Ramah Lingkungan. http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2011/05/15/bioplastik-yang-ramah-lingkungan [28 Mei 2011].

Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Penerbit Universitas Lampung

Henny H. 2005. Sintetis dan Pencirian Kopolimer Tanin Fenol Formaldehida dari Ekstrak Pohon Mangium (Acacia mangium) serta Aplikasinya sebagai Perekat Papan Partikel [Tesis]. Departemen kimia. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hosen AM. 2010. Penggunaan Biobag sebagai Pengganti Polybag. http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=Njk2Ng== [1 Juni 2011].

Marzoeki A. 1995. Daur Ulang Plastik. Suara Muhammadiyah, No. 24 Th. Ke-80, 16 – 31 Desember 1995. http://achmadmarzoeki.blogspot.com/2008/ 03/daur-ulang-plastik.html [27 Mei 2011].

Masyhud. 2010. Sukseskan Penanaman 1 Milyar Pohon Tahun 2010. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6269 [24 Mei 2011].

Murbandono LHS. 2000. Membuat Kompos (Edisi Revisi). Jakarta: Penebar Swadaya.


(3)

Nair KSS. 2002. Pest Outbreaks in Tropical Forest Plantation : Is there a greater Risk for Exotic Tree Species?. Bogor: Center For International Forestry Research.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta: Agro Media Pustaka. Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Antomi Kayu : Pengantar Sifat Kayu Sebagai

Bahan Baku. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB

Proctor J. 1983. Tropical Forest Litterfal Problem of Data Comparison, In:Tropical Rain Forest, Ecological and management, Special Publication No. 2 of British Ecological Society. Blackwell Scientific Publication. Radiyati T, Agusto WM. 2011. Tepung Tapioka (perbaikan). Subang: BPTTG

Puslitbang Fisika Terapan – LIPI, 1990 Hal. 10-13.

http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=6&doc=6b30 [27 Mei

2011]

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid II. Bandung: Penerbit ITB.

Santoso A, Achmadi SS, Sudohadi Y, Sujanto. 1997. Pengaruh Penambahan Tanin pada Fenol Formaldehida terhadap Keteguhan Rekat Kayu Lapis. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Soeparno. 1984. Variasi Kandungan Tanin pada pohon Cepat Tumbuh Akasia. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Hal 3-6.

Soerianegara I, Lemmens RHMJ, editor. 2002. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 5(1): Pohon penghasil kayu perdagangan yang utama. Jakarta: PROSEA – Balai Pustaka.

Soetjipto NW, Lemmens RHMJ, editor. 1999. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 3: Tumbuh-tumbuhan Penghasil Pewarna dan Tanin. Jakarta: PROSEA – Balai Pustaka.

Steenis, Van CGGJ. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Hal. 214-215 (sebagai Albizzia falcàta Backer).

Sutisna U, Titi K, Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di

Indonesia. Bogor: yayasan PROSEA, dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM. Widarmana S. 1986. Penelitian Pemanfaatan Tanin sebagai perekat Papan


(4)

(5)

Lampiran 1 Analisis sidik ragam pertumbuhan tinggi bibit sengon umur 3 BSP di rumah kaca

Lampiran 1a Sidik ragam pengaruh komposisi media dan perekat terhadap rata-rata pertumbuhan tinggi bibit sengon umur 3 BSP di rumah kaca. Sumber Keragaman Db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F hitung P Perekat (M) 2 141,16 70,58 13,35** <,0001 Komposisi media (K) 2 211,43 105,71 20,00** <,0001

M*K 4 281,64 70,41 13,32** <,0001

Galat 126 666,18 5,28

Total 134 1300,43

Keterangan : ** : berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Lampiran 1b Sidik ragam pengaruh bahan kontainer terhadap biomasa bibit sengon

Sumber Keragaman Db Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F hitung P

Perekat (M) 2 0,0809 0,04048 0,83tn 0,4385

Komposisi media (K) 2 2,4604 1,23024 25,22** <,0001

M*K 4 0,3716 0,09291 1,90tn 0,1137

Galat 126 6,1463 0,04878

Total 134 9,0594

Keterangan : ** : berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01 tn : tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F0,05


(6)

Lampiran 2 Rekapitulasi hasil analisis kimia pada tanaman sengon Jenis

Perlakuan

N P K Ca Mg Pb

(%) (%) (%) (%) (%) (ppm)

m1 2,24 0,21 1,345 0,415 0,245 5,6

m2 2,21 0,225 1,165 0,455 0,305 2,6

m3 3,09 0,345 1,525 0,22 0,33 4,7

k1 2,47 0,235 1,38 0,475 0,29 6,9

k2 2,53 0,26 1,555 0,38 0,3 3,9

k3 3,15 0,31 1,8 0,145 0,305 2,6

b1 2,655 0,23 1,455 0,47 0,34 6,05

b2 3,065 0,345 1,59 0,26 0,345 4,75

b3 3,065 0,31 1,595 0,135 0,295 6

Hasil analisis serapan hara pada tanaman sengon Jenis

Perlakuan

N P K Ca Mg

(gram)

m1 0,0052 0,0005 0,0031 0,0009 0,0005

m2 0,0053 0,0005 0,0028 0,0011 0,0007

m3 0,0200 0,0022 0,0099 0,0014 0,0021

k1 0,0064 0,0006 0,0036 0,0012 0,0007

k2 0,0106 0,0011 0,0065 0,0016 0,0012

k3 0,0172 0,0016 0,0098 0,0007 0,0016

b1 0,0094 0,0008 0,0051 0,0016 0,0012

b2 0,0111 0,0012 0,0058 0,0009 0,0012