RANCANGAN PERCOBAAN PENYIAPAN LATEKS PEKAT

3.3. RANCANGAN PERCOBAAN

Analisis data hasil percobaan dilakukan dengan analisis statistik. Desain eksperimen yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu dosis bahan pendegradasi dan waktu reaksi depolimerisasi. Dosis bahan pendegradasi dibagi menjadi dua perlakuan yaitu variasi dosis NaNO 2 dan variasi dosis H 2 O 2 . Variasi dosis NaNO 2 terdiri atas tiga taraf, yaitu dosis 1,1,1 bsk, 1,2,2 bsk, dan 1,3,3 bsk. Sedangkan variasi dosis H 2 O 2 terdiri atas tiga taraf, yaitu dosis 1,1,1 bsk, 2,1,1 bsk, dan 3,1,1 bsk. Faktor waktu reaksi terdiri dari 4 taraf, yaitu 2, 4, 6, dan 8 jam. Faktor dosis bahan pendegradasi akan ditetapkan sebagai perlakuan ke-i, sedangkan faktor waktu reaksi akan ditetapkan sebagai perlakuan ke-j. Rancangan percobaannya yaitu : Keterangan : Y ijk : pengamatan pada perlakuan ke-i dan ke-j ulangan ke-k µ : rataan umum A i : pengaruh perlakuan dosis bahan pendegradasi ke-i B j : pengaruh waktu reaksi ke-j AB ij : pengaruh interaksi dosis bahan pendegradasi ke-i dengan waktu reaksi ke-j ε ijk : kesalahan pada perlakuan ke-i dan ke-j pada ulangan ke-k Y ijk = µ + A i + B j + AB ij + ε ijk IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. PENYIAPAN LATEKS PEKAT

Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan bahan baku awal yang akan digunakan untuk membuat lateks pekat sehingga harus selalu dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui mutu lateks kebun, sebagai kontrol, dan meminimalkan keragaman lateks. Saat baru disadap, lateks kebun yang tidak segera diproses lebih lanjut harus diberi pengawet agar tidak cepat menggumpal. Salah satu senyawa kimia yang dapat digunakan adalah amonia NH 3 . Untuk mengawetkan lateks kebun sebelum disentrifugasi, dapat ditambahkan amonia sebanyak 0,2 dari volume lateks. Konsentrasi ini dipilih karena merupakan jumlah minimal amonia dapat mencegah penggumpalan lateks dalam waktu yang tidak terlalu lama sebelum sentrifugasi. Jumlah amonia yang terlalu besar akan menyebabkan proses depolimerisasi berlangsung tidak optimal, karena kondisi keasaman pH sistem akan mempengaruhi efektifitas reaksi depolimerisasi. Mutu lateks pekat yang dihasilkan ditentukan berdasarkan spesifikasi menurut ASTM. Menurut ASTM tahun 1997, lateks pekat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan sistem pengawetan dan metode pembuatannya, yaitu : 1. Jenis I : Lateks pekat pusingan yang diawetkan dengan amonia saja atau dengan pengawet formaldehida yang kemudian dilanjutkan dengan pengawetan amonia. 2. Jenis II : Lateks pekat pendadihan yang diawetkan dengan amonia saja atau dengan pengawet formaldehida yang kemudian dilanjutkan dengan pengawetan amonia. 3. Jenis III : Lateks pekat pusingan yang diawetkan dengan kadar amonia rendah dan bahan-bahan pengawet sekunder. Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini menurut ASTM tahun 1997 termasuk ke dalam jenis I, karena menggunakan pengawet amonia sebanyak 0,2 sebelum pemekatan dan ditambahkan lagi amonia sebanyak 0,2 setelah pemekatan. Penambahan kembali amonia ke dalam lateks pekat bertujuan untuk mencegah penggumpalan selama penyimpanan lateks dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain pengawet, bahan lain yang juga harus ditambahkan adalah surfaktan, yaitu surfaktan emal dan emulgen masing-masing sebanyak 1 bsk. Surfaktan berfungsi sebagai penstabil lateks selama proses sentrifugasi. Gugus hidrofilik pada surfaktan akan berinteraksi dengan air, sedangkan gugus hidrofobiknya akan berinteraksi dengan lapisan fosfolipid pada partikel karet. Dengan demikian, dispersi partikel karet di dalam air pada sistem lateks akan lebih stabil. Penggunaan lateks pekat dalam penelitian ini bertujuan agar hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam industri yang umumnya menggunakan lateks pekat untuk menurunkan biaya pengangkutan, penyimpanan, dan pemrosesan. Pemekatan lateks kebun dilakukan dengan metode sentrifugasi menggunakan mesin centrifuge. Kadar Karet Kering KKK merupakan parameter terukur yang menunjukkan persentase jumlah karet dalam lateks. Menurut Triwijoso et al. 1989, lateks kebun segar mempunyai nilai KKK sebesar 30-34. Pada kondisi penyadapan yang sangat bagus, tidak ada hujan selama 24 jam sebelum penyadapan, cuaca cerah, maka KKK lateks kebun dapat mencapai 35. Kadar karet kering pada lateks kebun yang digunakan adalah sebesar 32,7. Nilai ini termasuk dalam kisaran lateks kebun bermutu baik, karena lebih dari 30. Lateks pekat yang dihasilkan dari sentrifugasi mempunyai nilai KKK sebesar 58,54. Menurut Triwijoso et al. 1989, KKK lateks pekat hasil sentrifugasi adalah 60 ± 2. KKK lateks pekat lebih tinggi daripada lateks kebun, karena pada saat proses sentrifugasi, bahan-bahan bukan karet telah terpisah dari lateks bersamaan dengan serum. Selain KKK, lateks pekat juga diuji viskositas Mooney-nya sebagai indikator atau pembanding yang menunjukkan kecenderungan perubahan bobot molekul karet alam. Dari hasil uji viskositas Mooney, dapat diketahui bahwa contoh lateks pekat mempunyai nilai sebesar 99,0 ML1’+4’100 C. Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa sampel karet kontrol yang digunakan memiliki sifat aliran bahan yang viskous. Nilai plastisitas Wallace Po juga digunakan sebagai pembanding dengan bobot molekul dan viskositas Mooney. Dari uji Po, dapat diketahui bahwa contoh karet kontrol mempunyai nilai sebesar 63,0. Nilai viskositas intrinsik karet kontrol dari lateks pekat adalah sebesar 541,66. Dari viskositas intrinsik ini, dapat dilakukan konversi menjadi bobot molekul karet kontrol. Hasil perhitungan bobot molekul viskositas karet kontrol ini adalah 1,18x10 6 .

4.2. DEPOLIMERISASI LATEKS PEKAT