45
BAB III KETENTUAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN TANPA IZIN
A. Subjek Hukum Dalam Perspektif Hukum Pidana Nasional
Hukum pidana sebagai hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa
saja yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam ketentuan Hukum Pidana.
Hukum menentukan bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan
dari segi yang bersangkut – paut atau mempunyai arti hukum. Dalam hubungan ini bisa terjadi bahwa hukum menentukan pilihannya sendiri tentang manusia –
manusia mana yang hendak diberinya kedudukan sebagai pembawa hak dan kewajiban. Hal ini berarti, bahwa hukum bisa mengecualikan manusia atau
segolongan manusia tertentu sebagai mahkluk hukum. Sekalipun mereka adalah manusia, namun hukum bisa tidak menerima dan mengakuinya sebagai orang
dalam arti hukum. Bila hukum menentukan demikian, maka tertutuplah kemungkinan bagi orang – orang tersebut untuk bisa menjadi pembawa hak dan
kewajiban.
55
Keperluan hukum adalah mengurusi kepentingan manusia. Oleh karena kepentingan yang demikian itu hanya ada pada manusia yang hidup, maka konsep
orang dalam hukum itu tidak membedakan antara manusia yang hidup dan orang dalam arti khayal, yaitu sebagai suatu konstruksi hukum. Menurut pendapat ini,
55
Muhammad Ekaputra, Dasar – dasar Hukum Pidana, Medan, USUPress, 2010, Hal. 21
55
keduanya diterima sebagai orang oleh hukum. Karena hukumlah yang mengangkatnya sebagai demikian. Mengingat terjadi perubahan sosial di berbagai
bidang kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah Natural Person tetapi mencakup pula korporasi
legal person.
56
1. Manusia Sebagai Subjek Hukum Pidana
Manusia Sebagai Subjek Hukum natural person adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban.
Menurut KUHP yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah natuurlijke person, atau manusia. Hal itu dapat dilihat dalam tiap – toap Pasal KUHP, Buku II
dan buku III. Sebagian besar kaidah – kaidah hukum pidana di dalam kuhp dimulai dengan kata barangsiapa sebagai terjemahan dari bahasa belanda hiij.
Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini tersimpulkan antara lain dari
57
a. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah:
Barangsiapa, warganegara Indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan lain sebagainya. Penggunaan istilah – istilah tersebut selain daripada yang
ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, dapat ditemukan dasarnya pada Pasal 2 – 9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam Pasal
2, 3dan 4 KUHP digunakan istilah een ieder dengan terjemahan “setiap orang”
:
56
Ibid, Hal. 22
57
Ibid, Hal. 23
56
b. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur, terutama
dalam Pasal 44, 49 KUHP, yang antara lain mensyaratkan kejiwaan dari petindakpelaku.
c. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP terutama
mengenai pidana denda. Hanya manusialah yang mengerti nilai uang. Namun terdapat beberapa ahli yang tidak setujukontra terhadap
penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana, dengan beberapa alasan sebagai berikut
58
a. Menyangkut masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
hanya terdapat pada para persona alamiah :
b. Bahwa tingkah laku materiil yang merupakan syarat dapat dipidananya
beberapa macam delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah mencuri barang, menganiaya orang dan sebagainya
c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak
dapat dikenakan terhadap korporasi. d.
Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinyaa mungkin menimpa orang yang tidak bersalah.
e. Bahwa dala prakteknya tidak mudah menentukan norma – norma atas
dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua – duanya harus dituntut dan dipidana.
58
Ibid, Hal. 23- 24
57
2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum rechtpersoon, dan badan hukum itu sendiri merupakan terminology yang
erat kaitannya dengan bidang hukum perdata. Dalam bahasa belanda, korporasi disebut corporatie, inggris menyebutnya dengan kata corporation, serta dalam
bahasa jerman disebut corporation. Kata – kata ini berasal dari bahasa latin yaitu ”corporatio”. Corporatio merupakan kata benda yang berasal dari kata kerja
corporare. Corporare itu sendiri berasal dari kata corpus, yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporatio itu berarti
hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap
badan manusia, yang terjadi menurut alam.
59
Berdasarkan uraian tersebut, ternyata korporasi adalah suatu badan hasil cipta hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur
fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan
hukum, maka kecuali penciptanya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.
60
Sebagaimana diketahui bahwa pada awalnya hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia belum mengatur tentang korporasi sebagai subjek hukum
pidana, karena KUHP sebagai hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia
59
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana, 2010, Hal. 24
60
Ibid, Hal. 25
58
hanya menentukan bahwa subjek hukum pidana adalah hanya orang pribadi alami. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan KUHP yang pada saat itu
banyak dipengaruhi doktrin atau pandangan yang berpegang teguh pada adagium bahwa badan hukum tidak dapat dipidana universitas delinquere nonprotest
dengan anggapan bahwa: a.
Korporasi tidak mempunyai mens rea keinginan untuk berbuat jahat b.
Korporasi bukan seorang pribadi meskipun korporasi dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasanya dilakukan oleh orang pribadi.
c. Korporasi tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan aktual no soul
to be damned and no body to be kicked. d.
Korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu korporasi, hal tersebut sudah
pasti merupakan perbuatan di luar anggaran dasar dari korporasi yang bersangkutan, sehingga dalam hal seperti itu maka yang bertanggungjawab
adalah direksinya secara pribadi atau secara bersama – sama dengan direksi lain, tetapi bukan korporasi yang harus bertanggung jawab doktrin
ultra vires.
61
Namun demikian, seiring dengan meningkatnya peran korporasi dalam lalu lintas transaksi keuangan dan perdagangan di Indonesia dan diterimanya
doktrin yang mengatakan korporasi dapat dimasukkan dalam functioneel daderschap, maka berarti korporasi dapat menjadi subjek hukum pidana.
62
61
Rufinus Hotmaulana, Penanggulangan kejahatan korporasi melalui pendekatan restoratif suatu terobosan hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Hal. 22
62
Ibid
59
S.R. Sianturi
63
a. Sumber keuangan Negara Perpajakan, bea impor, dan ekspor barang
dan lain sebagainya mengatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana
selanjutnya, bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subjek, tetapi juga badan hukum terutama dalam hal – hal yang menyangkut:
b. Pengaturan perekonomian pengendalian harga, penggunaan cek,
pengaturan perusahaan, dan sebagainya c.
Pengaturan keamanan Subversi, keadaan bahaya, dan lain sebagainya
Pada bagian lebih lanjut dikemukakan oleh sianturi, bahwa singkatnya penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subjek tindak pidana adalah
karena suatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan, perekonomian, dan keamanan Negara, yang disesuaikan dengan perkmbangan peradaban dan ilmu
pengetahuan manusia. Namun pada hakikatnya manusia yang merasakan atau menderitakan pemidanaan itu.
Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana mulai dikenal sejak tahun 1951, yaitu sejak diberlakukannya Undang Undang Penimbunan Barang –
Barang yang kemudian dikenal lebih luas dalam UU No. 7 Drt. Tahun 1995 tentang tindak pidana ekonomi. Namun ternyata bahwa sebelum UU No. 7 Drt
Tahun 1995 tentang penimbunan barang – barang dinyatakan berlaku, telah terdapat berbagai Undang – undang yang sudah mengatur tentang korporasi
63
Rufinus Hotmaulana, Ibid, Hal. 23 Lihat juga S.R Sianturi, Op.Cit Hal. 218 – 219
60
sebagai subjek atau pelaku tindak pidana sebagaimana terlihat dalam beberapa ketentuan berikut
64
a. Undang – undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang pajak peredaran
yang diumumkan tanggal 18 maret 1950 dan berlakunya ditentukan oleh Menteri Keuangan Pasal 63 ayat 1, kemudian dinyatakan berlaku tanggal
1 Januari 1951 berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang – undang Darurat Nomor 36 Tahun 1959.
:
b. Undang – undang Darurat Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pinjaman
Darurat, yang mulai berlaku tanggal 19 Maret 1950. c.
Undang – undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen Stbl. 1948 No. 17 dan
Undang – undang RI dahulu No. 8 Tahun 1948 yang mulai berlaku tanggal 4 September 1951.
d. Undang – undang Darurat Nomor 13 Tahun 1951 tentang Bursa yang
mulai berlaku tanggal 8 September 1951. e.
Undang – undang Darurat Nomor 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mulai berlaku pada tanggal 17 September
1951. Sebagai subjek dalam hukum pidana di Indonesia, pemidanaan terhadap
korporasi yang berdiri sendiri sebagai pelaku harus diberlakukan. Pengaturan pidana dan pemidanaan dalam ketentuan perUndang – undangan adalah
merupakan penerapan dari asas legalitas yang dianut dalam sistem hukum pidana
64
Rufinus Hotmaulana, Op.Cit, Hal. 24 - 25
61
di Indonesia, yang bertujuan untuk memastikan bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan adalah benar – benar merupakan suatu perbuatan yang dilarang
oleh Undang – undang. Walaupun pengaturan tentang pidana dan pemidanaan terhadap korporasi
telah diatur di berbagai peraturan perUndang – undangan, namun penyusunan tentang perumusannya tidak terlepas dari teori dan pandangan tentang tujuan
dipidananya korporasi dan jenis jenis sanksi apa saja yang dapat diancamkan atau dijatuhkan, serta bagaimana model pengaturannya.
Friedmann di dalam Rufinus Hotmaulana mengatakan bahwa pengaruh utama dan kegunaan dari pendakwaan tindak pidana yang dikenakan terhadap
sebuah korporasi tidak dapat dilihat baik dalam setiap kerugian personal apa pun atau dalam banyak kasus dalam kerugian di bidang finansial, tetapi atas
penghinaan publik dan stigma yang melekat dalam dakwaan itu
65
Untuk membuat perumusan terhadap Pidana Korporasi, Marshall B. Cilnnard dan Peter C. Yeager dalam Rufinus Hutmaulana mengemukakan perlu
suatu kriteria bilamana suatu sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi yaitu
. Hal ini berarti tujuan dari pemidanaan suatu korporasi ini sangat berkaitan erat dengan
kepentingan di masyarakat, bukan hanya dilihat dari kerugiannya saja.
66
a. Derajat kerugian terhadap publik
:
b. Tingkat keterlibatan oleh jajaran manajer korporasi.
c. Lamanya pelanggaran
65
Ibid, Hal. 92
66
Ibid, Hal. 92 – 93
62
d. Frekuensi pelanggaran oleh korporasi
e. Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran
f. Alat bukti pemerasan misalnya dalam kasus suap
g. Derajat pengetahuan publik tentang hal – hal negative yang
ditimbulkan oleh pemberitaan media. h.
Yurisprudensi i.
Riwayat pelanggaran serius oleh korporasi j.
Kemungkinan Pencegahan k.
Derajat kerjasama korporasi yang ditujukan oleh korporasi Pemidanaan telah diatur didalam KUHP yaitu Pasal 10 yang terdiri dari
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sementara pidana tambahan terdiri
dari pencabutan hak – hak tertentu, perampasan barang – barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Berhubungan dengan pemidanaan terhadap korporasi, Sudarto di dalam Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan
67
67
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, Hal. 157 – 158
: “ Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana,
maka pidana yang dapat diterapkan mengingat sifat korporasi. Dalam sistem hukum pidana Inggris korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum.
Secara teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasannya. Delik – delik yang tidak dapat dilakukan korporasi adalah delik –
delik:
63
a. Yang satu – satunya ancaman pidananya hanya bisa dikenakan kepada
orang biasa, misalnya pembunuhan murder, menslaughter b.
Yang bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigamy, pemerkosaan.”
Adapun Suprapto dalam Muladi dan Diwdja Priyatno menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan pada perusahaan adalah
68
a. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum untuk
waktu tertentu. :
b. Pencabutan seluruh atau sebagian falsiliteit tertentu yang telah atau
dapat diperolehnya dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu.
c. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan selama waktu tertentu.
Menurut Muladi dan Diwdja Priyatno, maka pidana penjara, dan pidana mati tidak dapat dijatuhkan dan dikenakan pada korporasi. Sanksi yang dapat
dijatuhkan pada korporasi adalah
69
a. Pidana denda
:
b. Pidana Tambahan berupa pengumuman putusan pengadilan
c. Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan,
tindakan administrative berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan dan tindakan
tata tertib berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib.
68
Ibid, Hal. 158 – 159
69
Ibid, Hal. 162
64
d. Sanksi perdata ganti kerugian
B. Ketentuan Sanksi Pidana Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa