HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUJIAN

28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUJIAN

AKTIVITAS ANTIMIKROBA BAKTERI ASAM LAKTAT TERHADAP BAKTERI PATOGEN BAL merupakan mikroorganisme yang bersifat anaerob fakultatif sehingga dapat melakukan metabolisme sumber energinya tanpa adanya oksigen dan sebagai hasilnya bahan baku energi ini hanya sebagian yang dipecah. BAL umumnya menghasilkan sejumlah besar asam laktat, asam asetat, dan etanol serta sejumlah kecil asam organik volatil lainnya dari fermentasi substrat energi karbohidrat Buckle et al., 1987. Senyawa organik inilah yang diketahui merupakan senyawa antimikroba yang penting. Tahap pengujian aktivitas antimikroba BAL bertujuan untuk menyeleksi isolat berdasarkan aktivitas senyawa antimikrobanya dan pengaruhnya terhadap beberapa bakteri uji yang patogen. Seleksi awal ini dilakukan dengan metode difusi agar dengan bakteri uji yang digunakan terdiri dari bakteri Gram positif yaitu Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif yaitu Salmonella sp dan Escherichia coli. Bakteri ini digunakan karena umumnya mengkontaminasi makanan. Keseluruhan isolat yang diuji pada tahap ini yaitu 21 isolat yang berasal dari Air Susu Ibu ASI dan bersifat homofermentatif dengan asam laktat sebagai produk utama hasil metabolismenya. Gambar hasil pengamatan mikroskop beberapa isolat ASI dapat dilihat pada Lampiran 1. Sembilan isolat di antaranya yaitu A3, A4, A36, A38, B1, B6, B17, R12, dan R14 telah diujikan sebelumnya oleh Nuraida et al. 2007 terhadap bakteri uji B. cereus, S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp. Menurut Lindgren dan Dobrogosz 1990, selain senyawa organik utama seperti asam laktat dan asam asetat, BAL juga diketahui menghasilkan senyawa lainnya yang juga bersifat antagonistik dan memilki spektrum penghambatan yang cukup luas. Senyawa tersebut dihasilkan dalam jumlah lebih sedikit, diantaranya asam format, asam lemak bebas, amonia, etanol, hidrogen peroksida, diasetil, antibiotik, enzim yang bersifat bakteriolitik, dan 29 bakteriosin. Oleh karena itu melalui tahapan ini diharapkan, isolat dengan penghambatan yang cukup besar terhadap bakteri uji, kemungkinan juga menghasilkan senyawa antimikroba lain terutama bakteriosin. Gambar 5 memperlihatkan aktivitas antimikroba 12 isolat ASI yaitu R12, R13, R14, R31, R32, A3, A4, A36, A38, B1, B6, dan B17 terhadap bakteri patogen Gram positif dan Gram negatif. Besarnya aktivitas penghambatan dapat diketahui dari besarnya zona bening yang terbentuk. Hasil pengujian tersebut jelas memperlihatkan bahwa aktivitas antimikroba seluruh isolat menghambat lebih besar pertumbuhan bakteri uji Gram positif dengan rata-rata penghambatan sebesar 6.2 mm dibanding dengan bakteri uji Gram negatif dengan rata-rata penghambatan 3.6 mm. Penghambatan terbesar terutama terhadap L. monocytogenes dengan rata-rata 10.7 mm, kemudian terhadap S. aureus sebesar 4.2 mm, dan terhadap B. cereus sebesar 3.8 mm. Sedangkan pada bakteri uji Gram negatif, penghambatan terhadap E. coli sebesar 3.4 mm dan terhadap Salmonella sp sebesar 3.9 mm. Gambar 5. Aktivitas antimikroba 12 isolat ASI terhadap bakteri uji Gram positif dan Gram negatif Pelczar dan Chan 1986 menyatakan penyebab rentannya sel bakteri Gram positif karena adanya perbedaan pada senyawa penyusun struktur dinding sel antara Gram positif dan Gram negatif. Dinding sel bakteri Gram 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0 R12 R13 R14 R31 R32 A3 A4 A36 A38 B1 B6 B17 Z o n a P e n g h a m b a ta n m m B.cereus S.aureus L.monocytogenes E.coli Salmonella 30 positif tersusun terutama oleh lapisan peptidoglikan yang tebal dengan kandungan asam amino yang bersifat polar dan asam teichoic. Dinding selnya mengandung lipid yang lebih rendah 1-4 dan hanya berlapis tunggal. Sedangkan pada dinding sel bakteri Gram negatif mengandung lipid yang lebih tinggi 11-22 dan berlapis rangkap berupa lapisan lipopolisakarida yang terdiri atas membran dan lapisan peptidoglikan yang tipis terletak pada periplasma di antara lapisan luar dan membran sitoplasmik. Kedua faktor inilah yang menyebabkan bakteri Gram positif lebih rentan terhadap masuknya senyawa antimikroba melalui dinding selnya dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Asam organik sebagai komponen utama senyawa antimikroba merupakan asam karboksilat yang tergolong polar Hart et al., 2003. Asam organik akan melakukan penetrasi yang lebih baik pada dinding sel bakteri Gram positif yang tersusun oleh asam amino polar dibanding dengan dinding sel bakteri Gram negatif yang bersifat nonpolar dikarenakan tingginya ketebalan lapisan lipid. Hasil penelitian Hartanti 2007 mengenai aktivitas antimikroba dari isolat ASI juga menunjukkan bahwa dari 12 isolat yang diuji yaitu R12, R14, R21, R22, R23, R24, R25, R26, R27, R28, R32, dan R34, seluruhnya mempunyai aktivitas penghambatan yang kuat terhadap bakteri Gram positif. Pada penelitian tersebut bakteri uji Gram positif yang digunakan adalah Staphlococcus aureus dan Bacillus cereus dan penghambatan tertinggi terjadi pada Bacillus cereus. Pada pengujian ini, seluruh isolat BAL ASI yang digunakan dalam penelitian ini memperlihatkan aktivitas penghambatan yang besar terhadap bakteri Gram positif terutama L. monocytogenes. Gambar 6 memperlihatkan besarnya aktivitas antimikroba 21 isolat BAL ASI terhadap L. monocytogenes. Rata-rata penghambatan pada L. monocytogenes sebesar 10,7 mm maka isolat dengan penghambatan sama dengan atau lebih dari 10 mm yaitu R11, R12, R13, R15, R18, R20, R30, R32, R36, A4, A36, dan A38 akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya untuk menyeleksi lebih lanjut isolat yang berpotensi menghasilkan bakteriosin. Hasil lengkap dari aktivitas penghambatan seluruh isolat uji Gram negatif dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Gambar 6. Aktivitas a Pada tahap ini, memperlihatkan peranan pemilihan isolat berdasarkan bakteri uji Gram positif, yang berpotensi untuk dari senyawa antimikroba adalah memiliki kemampuan secara filogenetik dekat 2005 sehingga sangat bakteri Gram positif a lainnya. Selain itu bakteriosin BAL, belum diketahui penambahan zat aktif negatif Salminen selanjutnya digunakan terhadap bakteri Gram 13.5 10.5 11.1 9.2 13.3 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0 R 1 1 R 1 2 R 1 3 R 1 4 R 1 5 Z o n a P e n gh a m b a ta n m m penghambatan dari 10 seluruh isolat baik terhadap bakteri uji Gram positif da gatif dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. . Aktivitas antimikroba isolat ASI terhadap bakteri L.monocytogenes tahap ini, aktivitas antimikroba yang ditunjukkan oleh n peranan asam organik sebagai komponen utamanya. isolat berdasarkan semakin besarnya aktivitas antimikroba Gram positif, dapat memperbesar kemungkinan diperolehnya berpotensi untuk menghasilkan bakteriosin. Bakteriosin sebagai antimikroba yang dihasilkan BAL, memiliki sifat salah lah memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang filogenetik dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin Jack sehingga sangat mungkin bahwa bakteriosin dari BAL yang merupakan positif akan lebih mudah menghambat jenis bakteri Gram Selain itu bakteriosin yang dihasilkan bakteri Gram positif diketahui dapat menghambat bakteri Gram negatif zat aktif yang dapat merusak membran terluar dari bakteri Salminen et al., 2004. Oleh karena itu pada pengujian digunakan isolat yang menunjukkan penghambatan kteri Gram positif. 13.3 9.7 12.0 8.2 8.3 11.9 13.9 9.2 13.2 13.8 8.8 13.1 13.914.1 9.1 R 1 5 R 1 7 R 1 8 R 1 9 a -2 R 1 9 b R 2 R 3 R 3 1 R 3 2 R 3 6 A 3 A 4 A 3 6 A 3 8 B 1 penghambatan kurang dari 10 mm penghambatan lebih dari 10 mm 31 ositif dan bakteri L.monocytogenes kan oleh BAL utamanya. Namun antimikroba terhadap diperolehnya isolat sebagai bagian sifat salah satunya mikroorganisme yang bakteriosin Jack et al., yang merupakan ri Gram positif Gram positif seperti Gram negatif tanpa dari bakteri Gram pengujian tahap penghambatan terbesar 9.1 8.4 7.9 B 6 B 1 7 penghambatan lebih 32 B. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA SEBAGAI SELEKSI UNTUK MEMPEROLEH ISOLAT BAL YANG BERPOTENSI MENGHASILKAN BAKTERIOSIN 1. Pengaruh Netralisasi Senyawa Antimikroba terhadap Listeria monocytogenes dengan Metode Kontak Pada tahap ini, dilakukan pengujian kuantitatif menggunakan metode kontak. Metode ini bertujuan untuk mengetahui perubahan jumlah bakteri uji di dalam media yang mengandung senyawa antimikroba dari BAL. perubahan tersebut dapat berupa pertumbuhan yang ditandai dengan kenaikan jumlah bakteri uji atau kematian bakteri uji berupa penurunan jumlahnya. Kultur bakteri uji yang telah disegarkan akan mengalami kontak langsung dengan senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL. Oleh karena itu kultur BAL berumur 24 jam harus terlebih dahulu disentrifugasi untuk memisahkan sel sehingga diperoleh supernatan yang hanya mengandung senyawa antimikroba. Supernatan yang diperoleh kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu supernatan bebas sel yang dinetralisasi dengan basa kuat sementara yang lain tidak dinetralisasi. Penetralan ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh asam organik sebagai komponen utama senyawa antimikroba dari BAL sehingga jika terjadi penghambatan oleh supernatan bebas sel yang telah dinetralisasi maka terdapat kemungkinan adanya senyawa antimikroba selain asam organik. Ada tidaknya penghambatan oleh senyawa antimikroba akan terlihat pada pertumbuhan bakteri uji dalam supernatan selama periode kontak 8 jam. Melalui pengamatan selama 8 jam diharapkan, jika terdapat senyawa penghambat dalam supernatan selain asam, maka laju pertumbuhan dari bakteri uji akan menurun. Penurunan laju pertumbuhan tersebut sangat berpengaruh terhadap jumlah bakteri uji sehingga diharapkan keberadaan senyawa penghambat dapat dideteksi dengan perbedaan jumlah bakteri uji pada laju pertumbuhan normal dan jumlah bakteri uji pada saat adanya senyawa penghambat. Jumlah bakteri uji pada 33 jam ke-0 dan jam ke-8 dinyatakan dengan nilai logaritma dan besarnya peningkatan atau penurunan jumlah bakteri uji juga dinyatakan dari perbedaan logaritma selama selang waktu tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh pada tahap sebelumnya, pada tahap ini akan dilakukan penentuan aktivitas antimikroba yang dipengaruhi proses penetralan, terhadap L. monocytogenes. Berdasarkan penelitian Jaya 2004, isolat BAL yang digunakannya yaitu galur M-16 menghasilkan senyawa antimikroba berupa bakteriosin yang juga memiliki daya penghambatan yang besar terhadap L. monocytogenes. Bakteri tersebut bersifat patogen yang dapat mengkontaminasi pangan dan menjadi perhatian utama pada industri pangan akibat kemampuannya menimbulkan penyakit listeriosis pada manusia Faber dan Peterkin, 1991. Oleh karena itu, pengujian isolat penghasil bakteriosin terhadap L. monocytogenes penting dilakukan untuk mengetahui aktivitas bakteriosin yang berpotensi sebagai biopreservatif untuk pangan. Isolat-isolat bakteri yang dilanjutkan hingga tahap ini adalah 12 isolat dengan penghambatan di atas 10 mm yaitu R11, R12, R13, R15, R18, R20, R32, R36, R30, A4, A38, dan A36 Gambar 7. Setelah waktu kontak 8 jam, pertumbuhan bakteri uji dalam tiap supernatan menunjukkan angka Gambar 7. Pengaruh supernatan bebas sel terhadap pertumbuhan bakteri uji Listeria monocytogenes 1.2 0.6 0.014 0.7 1.0 0.9 1.0 1.0 1.2 0.1 1.2 0.2 -2.7 -2.2 -5.0 -4.1 -4.2 -4.2 -1.9 -4.6 -1.8 -3.5 -4.0 -2.9 1.3 -6.0 -5.0 -4.0 -3.0 -2.0 -1.0 0.0 1.0 2.0 Lo g N t N Netralisasi Tidak dinetralisasi 34 yang bervariasi. Namun jelas terlihat bahwa supernatan yang tidak dinetralisasi mampu menurunkan jumlah awal bakteri uji sedangkan pada supernatan netral terjadi sebaliknya yaitu tidak mampu menahan pertumbuhan bakteri uji Gambar 8. Keseluruhan supernatan yang tidak dinetralisasi menurunkan jumlah awal bakteri uji, rata-rata sebanyak 3.4 log dengan penurunan terbanyak pada supernatan R13 sebesar 5.0 log dan paling sedikit pada supernatan R36 sebesar 1.8 log. Hasil selengkapnya dari pengujian dengan metode kontak antara seluruh isolat BAL dengan bakteri uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai pH dari masing-masing supernatan tidak dinetralisasi tersebut berkisar antara 3.85 hingga 4.46. Hasil tersebut menjelaskan keberadaan asam organik sebagai komponen utama senyawa antimikroba. Perubahan pH disebabkan karena terbentuknya asam-asam organik oleh isolat BAL dalam media Djaafar et al., 1996. Menurut Davidson dan Brannen 1993, mekanisme penghambatan bakteri oleh asam-asam organik berhubungan dengan keseimbangan asam- basa, perubahan proton dan produksi energi oleh sel. Keseimbangan asam basa pada sel mikroba ditunjukkan dengan pH yang mendekati normal. Asam akan menyebabkan penurunan pH di bawah kisaran pH pertumbuhan bakteri dimana asam-asam ini dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat berdifusi secara pesat ke dalam sel mikroorganisme. Menurut Haller et al. 2001, hal tersebut dikarenakan pH yang rendah membuat asam organik dapat larut dalam lipid liposolluble yang merupakan komponen penyusun membran sel hingga mencapai sitoplasma sel. Berdasarkan pengaruh supernatan yang tidak dinetralisasi terhadap bakteri uji menunjukkan tidak adanya korelasi positif antara besarnya nilai pH dengan besarnya aktivitas penghambatan Gambar 8. Isolat dengan pH supernatan yang tinggi belum tentu membunuh lebih banyak bakteri uji dibanding dengan supernatan dengan pH yang lebih rendah. Seperti pada Isolat A36 yang memiliki nilai pH supernatan paling rendah yaitu 3.85 35 namun memiliki kemampuan penghambatan yang lebih rendah dibanding isolat R32 dengan nilai pH supernatan 4.25. Begitu juga dengan isolat yang memiliki nilai pH supernatan yang relatif sama namun dengan aktivitas penghambatan yang berbeda seperti pada isolat R36 dan R13 dimana aktivitas penghambatan supernatan R13 lebih besar dibanding supernatan R36. Gambar 8. Nilai derajat keasaman pH supernatan tidak dinetralisasi dan pengaruhnya terhadap jumlah bakteri uji L. monocytogenes Menurut Ouwehand dan Vesterlund dalam Salminen 2004, asam laktat sebagai senyawa utama asam organik BAL memiliki peranan selain sebagai inhibitor yaitu sebagai agen pereduksi pH. Inhibitor utama adalah komponen-komponen selain asam laktat dalam senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL. Komponen tersebut dapat berupa asam organik selain asam laktat seperti asam asetat atau asam propionat ataupun juga diharapkan terdapat bakteriosin yang meskipun terdapat dalam jumlah atau konsentrasi yang kecil namun memiliki aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap mikroorganisme lain. R11 R12 R13 R15 R18 R20 R30 R32 R36 A4 A36 A38 -5.5 -5.0 -4.5 -4.0 -3.5 -3.0 -2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 P e nur una n Lo g pH supernatan 36 Berbeda dengan supernatan yang tidak dinetralisasi, pada supernatan yang dinetralisasi dengan NaOH 1 N terjadi kenaikan pertumbuhan bakteri uji pada semua media tersebut. Rata-rata kenaikan pertumbuhan bakteri uji adalah 0.8 log dengan kenaikan terbanyak yaitu pada supernatan R11 yaitu 1.2 log dan pada supernatan R13 kenaikan hanya 0.014 log. Sebanyak 5 isolat yaitu R30, R32, A36, R36, R11, dan R18 menyebabkan kenaikan sama atau lebih dari satu log sedangkan sisanya sebanyak 6 isolat yaitu A38, A4, R13, R12, R15, dan R20 hanya menyebabkan kenaikan kurang dari satu log. Hasil lengkap dari pengujian supernatan dengan metode kontak ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Dalam pengujian ini, digunakan kontrol bakteri L. monocytogenes yang ditumbuhkan dalam media MRSB steril tanpa pertumbuhan BAL. Setelah 8 jam, terjadi kenaikan pertumbuhan sebesar 1.3 log. Pengujian statistik melalui ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan terhadap nilai kenaikan log pertumbuhan bakteri uji dalam supernatan yang dinetralisasi, diperoleh hasil bahwa sebanyak 7 isolat yaitu R12, R13, R15, R20, R32, A4, dan A38 memiliki nilai lebih rendah dari kontrol dan berbeda nyata dengan kontrol dalam taraf signifikansi 0.05 atau tingkat kepercayaan 95. Sedangkan nilai log pertumbuhan bakteri uji dalam supernatan yang dinetralisasi dari 5 isolat yang tersisa yaitu R30, A36, R36, R11, dan R18 tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hasil uji statistik tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. Peningkatan jumlah bakteri uji yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol mengindikasikan besarnya kemungkinan bahwa pada supernatan yang dinetralisasi terdapat senyawa antimikroba selain asam organik yang mampu menahan pertumbuhan bakteri uji. Senyawa ini kemungkinan adalah hidrogen peroksida, diasetil, dan bakteriosin. Kemungkinan terdapatnya CO 2 sangat kecil karena berdasarkan penelitian Nuraida et al. 2007 isolat BAL yang digunakan bersifat homofermentatif yang tidak menghasilkan CO 2 dengan hasil metabolismenya 95 persen berupa asam organik terutama asam laktat. Demikian juga dengan keberadaan diasetil yang dapat diabaikan karena 37 Ouwehand dan Vesterlund dalam Salminen et al. 2004 menyatakan bahwa metabolisme heksosa dapat menekan pembentukan diasetil. Selain itu diperlukan sitrat sebagai substrat untuk menghasilkan diasetil dan sitrat tidak terkandung dalam media yang digunakan pada tahap ini. Salminen et al. 2004 menyatakan keberadaan hidrogen peroksida dalam BAL diawali dari kondisi aerob yang memungkinkan enzim-enzim seperti oksidase yang mengandung flavoprotein, NADH oksidase, dan superoksida dismutase untuk bekerja dan menghasilkan hidrogen peroksida. Ouwehand dan Vesterlund 2004 menyatakan bahwa meskipun BAL tidak memiliki katalase untuk menghilangkan hidrogen peroksida, BAL memiliki enzim lain seperti peroksidase, flavoprotein, dan pseudokatalase yang dapat mencegah akumulasi hidrogen peroksida. Selain itu menurut Ray dan Daeschel 1992, hidrogen peroksida bersifat bakterisidal pada konsentrasi 20-22 µgml terhadap Staphylococcus aureus sedangkan produksinya pada media pepton seperti media MRS cair hanya 8-9 µgml setelah diinkubasi selama 2 hari pada suhu 30 o C. Oleh karena itu, meskipun terdapat hidrogen peroksida, jumlahnya terlalu sedikit untuk bersifat antagonis terhadap bakteri uji sehingga keberadaan hidrogen peroksida dapat diabaikan. Bakteriosin merupakan senyawa aktif membran yaitu dapat berinteraksi dengan reseptor spesifik pada membran sel target. Bakteriosin menyebabkan ketidakstabilan atau depolarisasi membran hingga terbentuknya lubang pada membran yang pada akhirnya akan membawa pada kebocoran sel dan sel bakteri yang sensitif akan proses tersebut akan mati Engelke et al., 1992. Keberadaan bakteriosin juga dimungkinkan karena bakteriosin tidak hanya bersifat bakterisidal atau membunuh secara keseluruhan mikroorganisme lain namun dapat bersifat bakteriostatik seperti yang dinyatakan oleh Magdalena 2009 bahwa bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus fermentum 2B2 yang diisolasi dari daging, bersifat bakteriostatik yang hanya menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Berdasarkan sifat bakteriostatik tersebut dapat diduga bahwa bakteriosin tidak membunuh bakteri uji namun dapat menghambat pertumbuhannya. 38 Berdasarkan hasil tersebut maka perlu pembuktian lebih lanjut akan adanya senyawa antimikroba selain asam organik khususnya bakteriosin. Ketujuh isolat yang mampu menahan kenaikan pertumbuhan bakteri uji dan berdasarkan hasil statistik berbeda nyata dengan kontrol yaitu R12, R13, R15, R20, R32, A4, dan A38 dilanjutkan ke tahap penentuan kurva pertumbuhan untuk mengetahui waktu yang diperlukan bagi BAL untuk mencapai fase akhir logaritmik yang sangat berkaitan dengan sintesis senyawa antimikroba terutama bakteriosin.

2. Penentuan Waktu Inkubasi Berdasarkan Kurva Pertumbuhan

Sintesis bakteriosin oleh BAL bersifat growth associated atau terkait dengan pertumbuhan BAL itu sendiri Schnell et al., 1998. Oleh karena itu melalui tahapan ini akan diperoleh kurva pertumbuhan masing- masing isolat BAL yang akan menunjukkan waktu yang diperlukan untuk fase-fase pertumbuhannya terutama fase logaritmik dan fase stasioner yang erat kaitannya dengan sintesis bakteriosin. Pertumbuhan bakteri asam laktat akan mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu inkubasi. Peningkatan ini berlangsung secara logaritma. Meningkatnya jumlah biomassa akan menyebabkan jumlah bakteriosin yang dihasilkan juga akan meningkat dan kemudian menurun setelah mencapai fase stasioner Boe, 1996. Rattanachaikunsopon dan Phumkhachorn 2006 menyatakan bahwa bakterisiosin yang dihasilkan L. plantarum N014 dihasilkan selama fase logaritma dan mencapai kadar tertinggi saat bakteri penghasil memasuki fase stasioner. Pertumbuhan yang melewati fase stasioner akan menurunkan aktivitas bakteriosinnya yang dapat disebabkan terbebasnya protease dari sel saat sel memasuki fase kematian. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui interval fase dari pertumbuhan masing-masing isolat untuk menghindari waktu inkubasi yang berlebihan hingga fase stasioner terlewati. Pada tahap ini, pengukuran massa sel dilakukan dengan metode turbidimetri yaitu pengukuran berdasarkan kekeruhan kultur dengan 39 spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Cahaya yang mengenai sel-sel mikroorganisme di dalam sampel suspensi akan dihamburkan sedangkan cahaya yang diteruskan setelah melewati sampel akan mencatat persen transmitan yang dapat diubah menjadi nilai absorbansi. Nilai absorbansi akan berkorelasi postif dengan jumlah sel yang terdapat dalam media Hadioetomo, 1993. Jumlah sel bakteri kemudian dinyatakan dalam nilai logaritma. Nilai absorbansi yang semakin tinggi menyatakan pertumbuhan sel yang semakin meningkat atau bertambah banyak. Hal ini diperlihatkan dengan semakin curamnya kurva dan dapat mengindikasikan terjadinya fase logaritma. Fase stasioner dinyatakan dengan kurva yang semakin mendatar dikarenakan nilai absorbansi yang stabil atau tetap. Media yang digunakan adalah MRSB sebagai media pokok pertumbuhan BAL. Menurut Kusmiati dan Malik 2002, media MRS merupakan media yang mengandung nitrogen dan karbon sebagai sumber nutrisi dan merupakan media terbaik bagi pertumbuhan dan produksi bakteriosin dari Lactobacillus plantarum dan Leuconostoc mesenteroides. Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi sepanjang waktu inkubasi BAL diketahui bahwa masing-masing isolat memiliki interval fase pertumbuhan yang berbeda-beda. Fase awal dari kurva pertumbuhan yaitu fase lag yang terdiri dari fase adaptasi dan fase pertumbuhan awal. Pada fase tersebut pertumbuhan sel berjalan lambat atau bahkan tidak terjadi pertambahan sel yang berarti dikarenakan sel harus terlebih dahulu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mempersiapkan pertumbuhan sel selanjutnya dengan menambah senyawa intraseluler komposisi kimiawi dan memperbesar ukuran sel Pelczar dan Chan, 1986. Fase awal tersebut terjadi pada selang waktu dari jam ke-0 hingga jam ke-3 untuk isolat A4 Gambar 14 dan A38 Gambar 15 sedangkan pada isolat R12 Gambar 9 dan R32 Gambar 13 terjadi hingga jam ke-4, R20 Gambar 12 hingga jam ke-5, R13 Gambar 10 hingga jam ke-6, dan R15 Gambar 11 hingga jam ke-7. Fase logaritma dimana pertumbuhan sel berjalan dengan cepat terjadi setelah fase lag yaitu pada selang waktu hingga jam ke-13 untuk 40 R12, A4 dan A38. Pada R13 terjadi hingga jam ke-11 dan pada R32 terjadi hingga jam ke-15. Sedangkan pada R15 dan R20 terjadi hingga jam ke-21. Pada fase logaritma, sel mengalami aktivitas metabolik yang konstan sehingga sel membelah dengan laju yang konstan dan jumlah sel menjadi dua kali lipat Pelczar dan Chan, 1986. Hasil pengukuran kurva pertumbuhan dari isolat R12, R13, R15, R20, A4, dan A38 dapat diketahui bahwa isolat R13 memasuki fase stasioner pada jam ke 11 Gambar 10, isolat R12, A4, A38 memasuki fase stasioner pada jam ke 13 Gambar 9, 14 dan 15, isolat R32 pada jam ke-15 Gambar 13, isolat R15 pada jam ke 19 Gambar 11, dan isolat R20 pada jam ke 21 Gambar 12. Fase stasioner merupakan fase setelah fase logaritmik dimana pada fase tersebut mulai terjadi penumpukan metabolit beracun dan terjadi penurunan kadar nutrisi dalam media. Akibatnya jumlah populasi sel menjadi konstan dikarenakan jumlah sel yang mati sama dengan jumlah sel yang tetap membelah. Gambar 9. Kurva pertumbuhan isolat R12 0.1 1 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 O D 6 6 nm Waktu Inkubasi jam 41 Gambar 10. Kurva pertumbuhan isolat R13 Gambar 11. Kurva pertumbuhan isolat R15 0.1 1 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 O D 6 6 n m Waktu Inkubasi jam 0.1 1 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 O D 6 6 nm Waktu Inkubasi jam 42 Gambar 12. Kurva pertumbuhan isolat R20 Gambar 13. Kurva pertumbuhan isolat R32 0.01 0.1 1 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 O D 6 6 n m Waktu Inkubasi jam 0.01 0.1 1 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 O D 6 6 nm Waktu Inkubasi jam 43 Gambar 14. Kurva pertumbuhan isolat A4 Gambar 15 . Kurva pertumbuhan isolat A38 0.01 0.1 1 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 O D 6 6 n m Waktu Inkubasi jam 0.1 1 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 O D 6 6 n m Waktu Inkubasi jam 44 Data lengkap pengukuran absorbansi dari kurva pertumbuhan tiap isolat dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil pengukuran kemudian dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu untuk mengetahui pengaruh waktu inkubasi dimana tiap isolat akan diinkubasi selama waktu yang diperlukannya untuk mencapai fase stasioner yang erat kaitannya dengan sintesis bakteriosin.

3. Pengaruh Waktu Inkubasi terhadap Aktivitas Antimikroba

Setelah mengetahui berapa lama waktu inkubasi hingga mencapai akhir fase logaritmik atau awal fase stasioner dari masing-masing isolat, tahapan selanjutnya adalah untuk menguji apakah dengan waktu inkubasi yang telah ditentukan Tabel 2, berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas senyawa antimikroba yang dihasilkan terutama bakteriosin. Hasil positif diperoleh apabila supernatan yang dihasilkan dan kemudian dinetralisasi, dapat menghambat bakteri uji melalui pengujian dengan metode difusi agar. Tabel 2. Waktu inkubasi berdasarkan kurva pertumbuhan tiap isolat BAL Isolat BAL Waktu Inkubasi Berdasarkan Awal Fase Stasioner jam R12 13 R13 11 R15 19 R20 21 R32 15 A4 13 A38 13 Kultur BAL yang telah disegarkan kemudian dipindahkan sebanyak 2 dari media MRS cair 50 ml dan diinkubasi sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Pada tahap ini selain L. monocytogenes, digunakan juga bakteri uji lain yaitu B. cereus dan S. aureus. Hal ini mengingat bahwa bakteriosin BAL bersifat menyerang sel lain yang memiliki kedekatan filogenetik atau sesama Gram positif. 45 Berdasarkan pengamatan pada seluruh sumur dari tiap isolat, tidak ditemukan zona penghambatan berupa areal bening sebagai aktivitas antimikroba dari supernatan bebas sel yang telah dinetralisasi Lampiran 8 dan 9. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa dalam supernatant dari tiap isolat tersebut, senyawa antimikroba selain asam organik khususnya bakteriosin tidak memiliki aktivitas yang optimum. Jumlah dan konsentrasi yang terlalu rendah dapat berdampak pada aktivitas penghambatan yang lemah terhadap bakteri uji Permanasari, 2009. Rendahnya konsentrasi bakteriosin yang terdapat pada 50 µl supernatan mungkin menjadi penyebab tidak terbentuknya zona penghambatan. Oleh karena itu untuk mengevaluasi kembali kemungkinan terdapatnya bakteriosin perlu dilakukan uji kuantitatif dengan metode kontak, berbeda dengan difusi agar yang bersifat kualitatif. Dengan semakin banyak supernatan diharapkan akan semakin banyak senyawa bakteriosin sehingga daya penghambatan terhadap bakteri uji juga semakin besar. Pada uji kontak tahap ini hanya digunakan dua isolat yaitu A4 dan A38. Supernatan kedua isolat ini pada uji kontak tahap pertama diketahui mampu menahan pertumbuhan L. monocytogenes. Dalam media supernatan netral A4 dan A38 hasil inkubasi 24 jam, bakteri uji tersebut hanya mengalami kenaikan pertumbuhan berturut-turut sebesar 0.1 dan 0.2 log Gambar 6. Berdasarkan kurva pertumbuhannya, keduanya memerlukan waktu sebanyak 13 jam untuk mencapai akhir fase logaritmik dan menuju awal fase stasioner. Hasil uji kontak tersebut Gambar 16 menunjukkan bahwa supernatan yang diperoleh dari inkubasi selama 13 jam, memiliki aktivitas penghambatan yang lebih rendah dibandingkan supernatan hasil inkubasi 24 jam Gambar 7. Supernatan 13 jam dari kedua isolat ini tidak mampu menahan laju pertumbuhan bakteri uji yang mengalami kenaikan sebesar 1.4 log pada supernatan A4 dan kenaikan sebesar 1.2 log pada supernatan A38. Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 10. 46 Gambar 16. Pengaruh supernatan netral hasil inkubasi BAL dengan waktu yang berbeda terhadap pertumbuhan L. monocytogenes Melalui pengujian stastistik dengan ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan Lampiran 11 diperoleh hasil bahwa kenaikan pertumbuhan bakteri uji pada supernatan netralisasi hasil inkubasi hingga awal fase stasioner dari isolat A4 dan A38 tidak berbeda nyata dengan kontrol atau dapat dianggap sama dengan kontrol pada taraf signifikansi 0.05 atau tingkat kepercayaan 95. Hasil tersebut sangat berbeda dengan uji statistik sebelumnya terhadap supernatan netralisasi dari inkubasi 24 jam kedua isolat yang diketahui berbeda nyata dengan kontrol dimana pertumbuhan bakteri uji lebih rendah dibanding kontrol. Hasil tersebut menandakan bahwa jumlah atau konsentrasi senyawa antimikroba selain asam organik khususnya bakteriosin hasil inkubasi 13 jam atau sesuai dengan awal fase stasioner, tidak sebanyak pada supernatan yang dinetralisasi hasil inkubasi 24 jam. Dengan demikian dapat dijelaskan mengapa aktivitas penghambatannya lebih rendah dibandingkan dengan hasil inkubasi 24 jam. Penelitian Karthikeyan dan Santhosh 2009 menyatakan bahwa bakteriosin yang dihasilkan dari isolat BAL yang diuji yaitu Lactobacillus acidophilus, justru dihasilkan secara optimum yaitu memiliki aktivitas tertinggi pada akhir fase stasioner yaitu selama 14 jam waktu inkubasi. Hal 1.4 1.2 1.3 0.1 0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 A4 A38 Kontrol Lo g N t N supernatan 13 jam supernatan 24 jam 47 tersebut menjelaskan mengapa supernatan yang dinetralisasi dari isolat yang sama namun dengan waktu inkubasi berbeda menghasilkan aktivitas penghambatan yang berbeda pula. Dalam kaitannya dengan sintesis bakteriosin, dapat dikatakan bahwa periode sintesis bakteriosin berbeda- beda, tidak selalu pada akhir fase logaritmik atau awal fase stasioner dan sangat bergantung pada jenis dan karakteristik dari masing-masing bakteri.

4. Konfirmasi Pengujian Bakteriosin

Tahap konfirmasi ini bertujuan untuk mengekstraksi bakteriosin yang berpotensi dihasilkan isolat BAL dalam media pertumbuhannya yaitu MRSB. Bakteriosin yang merupakan protein akan diendapkan dengan penambahan garam ammonium sulfat ke dalam media. Isolat BAL yang digunakan adalah A4 dan A38 dimana supernatan hasil inkubasi 24 jam dan dinetralisasi dari kedua isolat ini mampu menahan kenaikan pertumbuhan bakteri uji. Prinsip kerja garam ammonium sulfat mengendapkan protein yaitu dengan mengurangi kelarutan protein dalam media cair. Kelarutan protein bergantung pada kekuatan ion dalam larutan seperti media MRSB. Protein dalam larutan sangat terhidrasi atau terikat kuat dengan molekul air. Namun ketika garam seperti ammonium sulfat ditambahkan ke dalam larutan protein, ion-ion garam akan mengikat dan menarik molekul air dari protein. Maka semakin banyak garam yang ditambahkan akan semakin banyak protein yang terpisah dari air dan lebih cenderung berikatan dengan sesamanya dan mulai mengendap. Pada tahap ini, untuk mengekstraksi bakteriosin digunakan media yang lebih banyak dibanding tahap-tahap sebelumnya dengan asumsi bahwa jumlah media pertumbuhan BAL berpengaruh juga terhadap jumlah senyawa antimikroba yang dihasilkan. Selain itu, jika terbentuk endapan yang diduga bakteriosin setelah penambahan ammonium sulfat, diperlukan juga pengujiannya terhadap bakteri uji dengan metode difusi agar untuk mengetahui aktivitas penghambatannya sebagai molekul bakteriosin. 48 Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa setelah penambahan amonium sulfat, terbentuk endapan dari media. Namun ketika hasil endapan tersebut diuji aktivitas penghambatannya terhadap bakteri uji L. monocytogenes, B. cereus, dan S. aureus, tidak terbentuk zona penghambatan. Melalui hasil tersebut belum dapat dipastikan apakah isolat BAL yang diuji, tidak menghasilkan bakteriosin dikarenakan terdapat kekurangan dalam metode yang digunakan diantaranya tidak seragamnya jumlah media yang digunakan untuk menumbuhkan isolat BAL. Pada saat pengukuran kurva pertumbuhan digunakan 150 ml MRSB sedangkan pada saat proses pengujian bakteriosin hanya digunakan 50 dan 60 ml MRSB. Selain itu, larutan buffer fosfat yang digunakan untuk melarutkan endapan bakteriosin, diperkirakan terlalu banyak sehingga konsentrasi bakteriosin dalam larutan buffer dianggap terlalu rendah. Kedua hal tersebut menyebabkan rendahnya aktivitas penghambatan molekul protein bakteriosin terhadap bakteri uji. Tagg et al. 1976 menyatakan bahwa semua anggota dari Eubacteria dan Archaea yang diambil dari ekosistem alamiahnya pasti menghasilkan bakteriosin. Namun, jika tidak ditemukan bakteriosin disebabkan karena penelitinya yang belum menemukan kondisi yang tepat yang menunjukkan bacteriosinogenicity in vitro. Parada et al. 2007 juga menyatakan perlunya tahapan optimasi terhadap suhu, pH, dan jenis nutrisi dalam media untuk menstimulir produksi bakteriosin dari mikroba. Menurut Guyonnet et al. 2000 metode ekstraksi bakteriosin menggunakan ammonium sulfat dapat digunakan untuk mengendapkan protein namun tidak memberikan tingkat pemurnian yang tinggi. Media kultur BAL yang digunakan umumnya mengandung kompleksitas nutrisi yang tinggi dan terdapat kemungkinan peptida-peptida di dalamnya mempengaruhi hasil pemurnian dan menunjukkan kesalahan positif yaitu terdapatnya endapan yaitu molekul protein selain bakteriosin yang tidak memiliki aktivitas penghambatan. Mackay et al. 1997 menyatakan tingkat kemurnian bakteriosin yang lebih baik dapat diperoleh dengan memfokuskan pada metode pemurnian berdasarkan prinsip isoelektrik yang dikombinasikan dengan pemisahan kromatografi seperti cation exchange, 49 filtrasi gel, hydrophobic interaction, dan reverse-phase liquid chromatograph. 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN