12
enzim seperti oksidase yang mengandung flavoprotein, NADH oksidase, dan superoksida dismutase untuk bekerja dan menghasilkan hidrogen
peroksida. Akumulasi dari hidrogen peroksida akan sulit dihilangkan karena BAL tidak memiliki heme yang merupakan bahan dasar
pembentukan katalase. Meski begitu, BAL diketahui dapat menekan akumulasi zat tersebut dikarenakan memiliki enzim peroksidase,
flavoprotein, dan pseudokatalase yang dapat bertindak seperti katalase. Efek
bakterisidal dari
hidrogen peroksida
dikarenakan kemampuannya sebagai oxidizing agent terhadap sel bakteri. Bagian dari
dinding sel seperti gugus sulfidryl dan lipid membran sel dapat dengan mudah teroksidasi Salminen et al., 2004. Akibatnya proses metabolisme
seperti glikolisis terhambat dan kerja enzim seperti hexokinase dan aldehid- 3-phospat juga terganggu. Selain itu, hidrogen peroksida juga diketahui
dapat mengikat oksigen oxygen scavenger sehingga dapat membuat lingkungan menjadi anaerob yang menghambat pertumbuhan bakteri
tertentu. Umumnya hidrogen peroksida bersifat bakteriostatik terhadap bakteri Gram positif dan bersifat bakterisidal untuk bakteri Gram negatif.
4. Karbon Dioksida
Karbon dioksida CO
2
terbentuk terutama pada fermentasi BAL heterofermentatif. Karbon dioksida memiliki dua sifat sebagai antimikroba
yaitu membuat lingkungan menjadi anaerob dan meningkatkan permeabilitas lipid bilayer membran Bottazi, 1983. Pada konsentrasi
rendah, CO
2
dapat menstimulasi pertumbuhan beberapa organisme namun pada konsentrasi yang tinggi, zat ini dapat menghambat pertumbuhan
Ouwehand dan Vesterland dalam Salminen et al., 2004. Bakteri Gram negatif diketahui lebih sensitif terhadap CO
2
dibandingkan bakteri Gram positif .
5. Diasetil
Diasetil 2,3-butanedion dari proses fermentasi diidentifikasi sebagai komponen flavour dan aroma. Umumnya diasetil dihasilkan oleh
13
BAL spesies Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, dan mungkin juga oleh spesies lain. Kadar diasetil akan meningkat dengan
keberadaan sitrat karena sitrat akan diubah menjadi diasetil melalui piruvat. Menurut Davidson dan Brannen 1993, diasetil lebih efektif pada pH
kurang dari 7 dan sifat antimikrobanya berlawanan dengan keberadaan glukosa, asetat, dan Tween 80. Diasetil juga diketahui lebih efektif untuk
membunuh bakteri Gram negatif, khamir, dan kapang dibandingkan bakteri Gram positif.
6. Bakteriosin
Bakteriosin adalah molekul protein yang diproduksi oleh berbagai spesies bakteri yang mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap bakteri lain
yang patogen. Bagian terpenting senyawa aktif ini merupakan protein atau peptida sehingga uji sensitifitas terhadap enzim hidrolitik yang bersifat
proteolitik cukup penting. Uji tersebut sangat penting dalam identifikasi susunan kimia suatu senyawa yang diduga bakteriosin. Sejumlah analisis
kimia menunjukkan bahwa komposisi bakteriosin dapat berupa protein sederhana atau merupakan suatu molekul yang lebih komplek yang
bersenyawa dengan asam lemak dan gula Klaenhammer, 1988. Banyak bakteri dengan taksonomi yang berbeda dan berada di
berbagai habitat, menghasilkan antimikroba senyawa antimikroba yang aktif menghambat bakteri lain. Baik bakteri Gram negatif maupun bakteri
Gram positif dapat menghasilkan bakteriosin. BAL diketahui sebagai salah satu jenis bakteri penghasil bakteriosin. Sebagian besar bakteriosin Gram
positif merupakan senyawa aktif membran yang dapat meningkatkan permeabilitas dari membran sitoplasma Jack et al., 1995. Bakteriosin
Gram positif juga memiliki aktivitas bakterisidal dengan spektrum yang lebih luas dibanding colicin bakteriosin Gram negatif yang dihasilkan oleh
E. coli. Sejumlah bakteriosin telah diisolasi dan dikarakterisasi dari BAL
dan beberapa di antaranya berpotensi sebagai bahan antimikroba karena berpotensi sebagai pengawet dan memiliki efek antagonis melawan bakteri
14
patogen yang penting. Beberapa bakteriosin yang penting di antaranya adalah nisin, diplococcin, acidophilin, bulgarican, helveticin, lactacin, dan
plantaricin Nettles dan Barefoot, 1993. Bakteriosin yang dihasilkan BAL dapat mengalami degradasi oleh
enzim proteolitik dalam pencernaan manusia dan tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. Selain itu bakteriosin juga memiliki kestabilan terhadap
pengaruh pH dan suhu. Bakteriosin tetap menunjukkan aktivitas yang stabil pada kondisi asam atau basa sehingga sangat potensial dimanfaatkan oleh
industri yang dalam prosesnya melibatkan kondisi asam maupun basa. Berdasarkan pengaruh suhu, bakteriosin tetap menunjukkan aktivitas yang
stabil setelah diberikan perlakuan pada suhu -20
o
C sampai 100
o
C sehingga sangat baik jika digunakan dalam proses pengolahan pangan.
a. Klasifikasi Bakteriosin Menurut Klaenhammer 1988, bakteriosin yang dihasilkan oleh
beberapa galur BAL mempunyai aktivitas hambat terhadap bakteri pembusuk dan patogen makanan yang dapat meningkatkan keamanan
dan daya simpan pangan. Klaenhammer mengelompokkan bakteriosin menjadi 4 yaitu: 1 Lantibiotik yaitu bakteriosin yang mengandung
cincin lantionin dalam molekulnya 5 kDa seperti nisin, Lacticin 481, Lacticin S, 2 bakteriosin kecil 10 kDa, relatif tahan panas, peptida
pada sisi aktifnya dan tidak mengadung lantionin, 3 bakteriosin bermolekul protein besar 30 kDa dengan protein tidak tahan panas,
contohnya Helvetion J dan Brevicin 27, 4 bakteriosin yang mengandung protein kompleks terdiri atas komplek karbohidrat
maupun lipid contohnya plantarisin S yang mengandung glikoprotein. Jack et al 1995 menyatakan bahwa bakteriosin memiliki
beberapa kriteria sebagai berikut: 1 mempunyai spektrum aktivitas yang relatif, terpusat di sekitar spesies penghasil secara philogenik
dekat namun ada juga yang memiliki spektrum yang luas, 2senyawa aktif terutama terdiri dari fraksi protein, 3 bersifat bakterisidal, 4
15
mempunyai reseptor spesifik pada sel sasaran, dan 5 gen determinan terdapat pada plasmid yang berperan pada produksi dan imunitas.
Tabel 1. Bakteriosin yang dihasilkan BAL dan karakteristiknya Parada et al.,
2007
Spesies Penghasil Bakteriosin
Spektrum Penghambatan
Karakteristik
Lactococcus lactis Nisin
bakteri Gram positif Kelas I Lantibiotik, 3.5
kDa, 34 asam amino, komersial
Lacticin 3147 Clostridium sp
Listeria monocytogenes Staphylococcus aureus
Streptococcus dysgalactiae
Enterococcus faecalis Propionibacterium acne
Streptococcus mutan Lactococcus lactis
subsp cremoris Lactococcin B
Lactobacillus Kelas II Bakteriosin, ± 5
kDa, spektrumnya sempit Lactobacillus
acidophilus Acidocin CH5
bakteri Gram positif kelas II bakteriosin,
membentuk aggregat dengan berat molekul
yang besar Lactobacillus
Lactacin F Lactobacillus fermentum
Kelas II bakteriosin, 6.3 kDa, 57 asam amino,
stabil terhadap panas pada 121oC selama 15
menit Enterococcus faecalis
Lactobacillus delbrueckii Lactobacillus helveticus
Lactacin B Lactobacillus delbrueckii
Kelas III bakteriosin, 6.3 kDa, stabil terhadap
panas, hanya dapat dideteksi pada media
kultur dengan pH antara 5 - 6
Lactobacillus helveticus Lactobacillus bulgaricus
Lactococcus lactis Lactobacillus
amylovorus Lactobin A
Lactobacillus acidophilus Kelas II bakteriosin, 4.8
ka, 50 asam amino, spektrum penghambatan
sempit Lactobacillus delbrueckii
Lactobacillus casei Lactocin 705
Listeria monocytogenes kelas II bakteriosin
dengan dua komponen, masing-masing 30 asam
amino, 3.4 kDa Lactobacillus plantarum
16
Tabel 1. Bakteriosin yang dihasilkan BAL dan karakteristiknya lanjutan
Spesies Penghasil Bakteriosin
Spektrum Penghambatan
Karakteristik
Lactobacillus gelidum Leucocin A
Lactobacillus Kelas II bakteriosin, 3.9 kDa,
37 asam amino, stabil pada pH rendah, bahkan setelah
pemanasan 100
o
C, 120 menit Enterococcus faecalis
Listeria monocytogenes Leuconostoc
mesenteroides Mesenterisin
Y105 Enterococcus faecalis
Kelas II bakteriosin, 3.9 kDa, 37 asam amino, stabil panas
60
o
C selama 120 menit pada pH 4.5
Listeria monocytogenes Pediococcus
acidilactici Pediocin F
bakteri Gram positif Kelas II bakteriosin, 4.5 kDa,
sensitif terhadap enzim proteolitik, tahan panas dan
pelarut organik, aktif pada kisaran pH yang luas
Pediocin PA-1 Listeria monocytogenes
Kelas II bakteriosin, 4.6 kDa, 44 asam amino
Pediocin AcH bakteri Gram positif
dan Gram negatif di bawah kondisi stress
Kelas II bakteriosin, 4.6 kDa, 44 asam amino, spektrum
penghambatan luas
Pediococcus pentosaceus
Pediocin A Lactobacillus
Kelas II bakteriosin, 2.7 kDa, sensitif terhadap enzim
proteolitik, tahan panas100
o
C, 10 menit
Lactococcus Leuconostoc
Pediococcus Staphylococcus
Enterococcus Listeria
Clostridium Enterococcus faecium
Enterocin A Listeria monocytogenes
Kelas II bakteriosin, 4.8 kDa, 47 asam amino, tahan panas
Pediococcus Lactobacillus sake
Lactocin S Lactobacillus
Kelas I bakteriosin, 3.7 kDa, aktif pada ksaran pH 4.5 - 7.5
Leuconostoc Pediococcus
Sakacin P Listeria monocytogenes
Kelas II bakteriosin, 4.4 kDa, tahan panas
Lactobacillus curvatus Curvacin A
Listeria monocytogenes Kelas II bakteriosin, 4.3 kDa
Enterococcus faecalis Lactobacillus
helveticus Helveticin J
Lactobacillus bulgaricus
Kelas III bakteriosin, 37 kDa, spektrum sempit, sensitif
terhadap enzim protelitik, aktivitas tereduksi setelah
pemanasan 100
o
C, 30 menit Lactococcus lactis
17
b. Biosintesis Bakteriosin Davidson dan Branen 1993 mengemukakan bahwa sintesis
bakteriosin oleh sel galur produsen terjadi selama pertumbuhan fase eksponensial. Pada fase tersebut, pertumbuhan bakteri asam laktat akan
mengalami peningkatan
yang berlangsung
secara logaritma.
Meningkatnya jumlah bakteriosin yang dihasilkan juga akan meningkat kemudian menurun setelah mencapai fase stasioner.
Dalam penelitiannya, Kusmiati dan Malik 2002 menyatakan bahwa L mesenteroides memiliki fase stasioner yang berlangsung
sampai 22 jam inkubasi kemudian mengalami fase kematian dan bakteriosin yang dihasilkan bakteri tersebut disintesa selama fase
pertumbuhan eksponensial. Rattanachaikunsopon dan Phumkhachorn 2006 menyatakan bahwa bakterisiosin yang dihasilkan L. Plantarum
N014 dihasilkan selama fase logaritma dan mencapai kadar tertinggi saat bakteri penghasil memasuki fase stasioner. Pertumbuhan yang
melewati fase stasioner akan menurunkan aktivitas bakteriosinnya. Penurunan tersebut dapat disebabkan terbebasnya protease dari sel saat
sel memasuki fase kematian. Menurut Griffin 1991, jenis dan jumlah sumber karbon sangat
mempengaruhi pertumbuhan bakteri yang secara tidak langsung mempengaruhi sintesa metabolit sekunder seperti bakteriosin. Tamime
dan Robinson 1999 menyatakan bahwa jumlah glukosa 2 sebagai sumber karbon pada media tumbuh Lactococcus lactis sudah cukup
untuk memproduksi bakteriosin. Dengan demikian sumber karbohidrat yang berbeda akan menghasilkan bakteriosin yang berbeda pula
Matsuaki et al., 1996. Selain nutrisi, sintesis bakteriosin juga dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan hidupnya terutama suhu dan derajat keasaman pH. Tiap jenis mikroba memiliki suhu dan pH optimum yang berbeda. Menurut
Yang dan Ray 1994, pH juga berpengaruh terhadap ekspresi gen yang mengkode sintesis bakteriosin dan aktivitas enzim yang diperlukan
untuk mengubah prebakteriosin menjadi bakteriosin aktif. Produksi
18
bakteriosin akan meningkat dengan meningkatnya pH sampai pH optimum dan kemudian mengalami penurunan. Sementara faktor suhu
mempunyai dua pengaruh yaitu sebelum mencapai suhu optimum akan meningkatkan produksi bakteriosin sedangkan di atas suhu optimum
justru akan membunuh bakteri asam laktat penghasil bakteriosin Klaenhammer, 1988. Berbagai genus bakteri Gram positif atau Gram
negatif telah dilaporkan menghasilkan bakteriosin seperti genus Lactobacillus, Micrococcus, Staphylococcus, Pseudomonas, dan
Corynebacterium Ray, 1996. c. Mekanisme Kerja Bakteriosin
Aktivitas penghambatan bakteriosin baik yang bersifat bakterisidal, bakteriostatik, maupun bakteriolisis umumnya ditujukan
terhadap dinding dan membran sel dari mikroorganisme target. Terhadap dinding sel, bakteriosin dapat menghambat biosintesis
peptidoglikan sebagai penyusun utama dinding sel. Bakteriosin juga dapat mengganggu stabilitas membran sel dengan melakukan kontak
langsung. Engelke et al. 1992 menyatakan bahwa gangguan terhadap integritas dinding dan membran sel tersebut dapat menyebabkan
terbentuknya lubang hingga sel mengalami kebocoran dan terjadi kehilangan Proton Motive Force PMF.
Kebocoran mengakibatkan terjadinya difusi keluar dan masuk molekul-molekul seluler dan hilangnya PMF akan membawa pada
penurunan pH gradient seluler. Efeknya menyebabkan pertumbuhan sel terhambat karena terhentinya biosintesis makromolekul seperti DNA,
RNA, dan protein. Oleh karena itu proses tersebut akan menghasilkan kematian pada sel yang sensitif terhadap bakteriosin Gonzales et al.,
1996.
C. BAKTERI PATOGEN