Fungsi Sosial-Budaya Multifungsi Lahan Sawah .1 Fungsi Kelestarian Sumberdaya Tanah

38 dan pemerintah, dan 2 sistem non kelembagaan yang berkembang secara alami dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan tentang konversi lahan Nasoetion dan Winoto, 1996. Sumaryanto et al. 2001 mengklasifikasikan konversi lahan sawah berdasarkan pada pelaku konversi dan prosesnya. Ditinjau dari pelaku konversi, konversi lahan dilakukan melalui dua cara: secara langsung oleh pemilik lahan dan pengalihan penguasaan. Yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan didasarkan pada 3 motif tindakan: a untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, b peningkatan pendapatan melalui alih usaha, c kombinasi a dan b , yaitu untuk membangun rumah tinggal sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi ini berdampak pada jangka panjang. Yang melalui pengalihan penguasaan, pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah atau kepada makelar. Pola konversi lahan sawah seperti ini terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi, umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi, dan dampaknya berlangsung cepat dan nyata. Apabila ditinjau prosesnya, konversi lahan sawah dapat terjadi secara gradual dan seketika. Konversi lahan secara gradual umumnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal akibat rusaknya saluran irigasi atau usaha tani padi tidak menguntungkan. Konversi lahan secara seketika umumnya terjadi di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi daerah permukiman atau kawasan industri. Pasandaran 2006 mengemukakan bahwa paling tidak ada tiga faktor sebagai penyebab terjadinya konversi lahan, yaitu kelangkaan sumberdaya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Rustiadi et al. 2008, konversi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent lebih tinggi. Lebih lanjut Isa 2006 menjelaskan bahwa faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian terdiri dari faktor kependudukan, kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian, faktor ekonomi nilai sewa lahan , faktor sosial budaya fragmentasi lahan karena keberadaan hukum waris, degradasi lingkungan, otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih 39 tinggi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD, dan lemahnya penegakan hukum. Hingga saat ini konversi lahan baik yang direncanakan melalui sistem kelembagaan maupun non kelembagaan secara alami masih terus berlangsung. Dugaan ini terbukti dengan adanya rencana pembangunan jalan tol trans Jawa sepanjang 625 km dari Jawa Barat hingga Jawa Timur Gambar 15, yang berpotensi memicu konversi lahan sawah produktif sekitar 4.264 ha Litbang Kompas, 2008. Konversi lahan yang semakin marak ini sulit dihindari karena faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya land rent lahan untuk pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain Irawan, 2004. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1: 500 untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan Nasoetion dan Winoto, 1996. Adimihardja 2006 berpendapat bahwa rendahnya persepsi masyarakat terhadap multifungsi lahan sawah mengakibatkan lahan sawah mudah terkonversi, selain faktor eksternal, yaitu pembangunan sektor non-pertanian yang memilih lahan yang umumnya bertopografi relatif datar yang siap pakai dari karakteristik biofisik dan aksesibiltas. Menurut Tambunan 2008, umumnya konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri banyak terjadi di wilayah-wilayah sentra produksi beras yang posisinya dekat dengan jalan raya atau tol, seperti di Jawa Barat Karawang, Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, dan Cirebon, Jawa Tengah Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Adapun menurut Pasandaran 2006, permintaan lahan cenderung tinggi pada kawasan pertanian yang sudah berkembang dengan sasaran konsumen di daerah pinggiran kota. Secara keseluruhan, konversi lahan sawah untuk perumahan hampir 58.7 dan untuk industri, perkantoran, dan pertokoan sekitar 21.8, sedangkan di luar Jawa, hampir 49 untuk perkebunan, dan 16.1 untuk perumahan. Dari hasil pemantauan penutup lahan yang diinterpretasi dari citra Landsat ETM tahun 2000 dan 2005 Poniman dan Nurwadjedi, 2008, konversi lahan sawah menjadi permukiman dan industri mencapai 26,770.10 ha atau 5,354.02 hatahun. Penyusutan lahan sawah tersebut diikuti oleh penyusutan hutan seluas 4,975.26 ha, perkebunan 94.44 ha, dan ladang 64,707.32 ha, lahan