Faktor Biofisik Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Penataan Ruang

184 lain. Adapun penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan tanaman padi dimaksudkan untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan pengairan dengan teknik berselang intermitten, yaitu teknik pengairan dengan mengatur kondisi sawah tergenang dan kering secara bergantian dalam periode tertentu. Pada zona C S1IP100 dengan nilai rata-rata IKLS 0.30 kurang berkelanjutan, pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang meliputi pembangunan irigasi dan penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan air, rendahnya C-organik, N-total, K-tersedia, P-tersedia, dan kondisi irigasi. Pembangunan irigasi di zona C S1IP100 yang merupakan lahan sawah tadah hujan sangat berpotensi untuk meningkatkan produksi padi di zona ini, mengingat kesesuaian lahannya termasuk kategori sangat sesuai S1. Seperti di zona A S1IP300 dan zona B S1IP200, pengelolaan lahan sawah di zona C S1IP100 adalah dengan melakukan penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia. Kandungan C-organik tanah yang rendah dapat diatasi dengan pemberian bahan organik berupa sisa tanaman jerami padi, kotoran hewan, pupuk hijau dan kompos. Kandungan N-total, P-tersedia, dan K-tersedia yang rendah dapat diatasi dengan pemupukan anorganik berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona D S2IP300 dengan nilai rata-rata IKLS 54 cukup berkelanjutan dapat dilakukan melalui penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C- organi, N-total, K-tersedia, dan P-tersedia. Masalah ketersediaan air di zona D S2IP300 ini tidak menjadi kendala karena zona ini memiliki debit air tanah yang besar, yaitu 10 literdetha, yang dapat mensuplai ketersediaan air untuk kebutuhan air lahan sawah sepanjang tahun. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona E S2IP200 dengan nilai rata-rata IKLS 0.49 kurang berkelanjutan dapat dilakukan melalui konservasi tanah dan penambahan unsur hara berimbang. Konservasi tanah dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan 185 lahan sawah yang disebabkan oleh indikator bahaya banjir yang memiliki nilai indeks 0.55, sedangkan penambahan unsur hara berimbang dimaksudkan untuk mengatasi rendahnya kandungan unsur hara tanah C-organik tanah, P dan K. Indikator ketiga unsur hara tanah ini memiliki nilai indek 0.50 kurang berkelanjutan. Konservasi tanah di zona E S2IP200 ini perlu dilakukan di DAS bagian hulu yang mengalami penggundulan hutan. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya, bencana banjir akibat penggundulan hutan ini sering dialami di kecamatan Panti Kabupaten Jember yang terletak wilayah DAS Bedadung Lereng G.Argopuro. Konservasi tanah di bagian DAS hulu dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan metode vegetatif seperti yang dijelaskan oleh Arsyad 2006, 2008, yaitu dengan melakukan penanaman tumbuhan hutan penghutanan. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona F S2IP100 yang merupakan sawah tadah hujan dan memiliki nilai rata-rata IKLS 0.32 kurang berkelanjutan meliputi pembangunan irigasi, penambahan unsur hara dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, serta pengendalian hama penyakit tanaman terpadu. Pembangunan dan perbaikan irigasi adalah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator kondisi irigasi, yang memiliki nilai IKLS 0.08. Penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimun untuk pertumbuhan padi dimaksudkan untuk mengatasi masalah ketersedian air IKLS: 0.50 dan unsur hara tanah C-organik IKLS: 0.25, N-total IKLS: 0.27, K-tersedia 0.26, dan P-tersedia IKLS: 0.54. Adapun pengendalian hama penyakit tanaman terpadu adalah untuk mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman, terutama hama tikus sawah, keong emas, wereng coklat, penggerek batang padi, penyakit tungro dan hawar daun bakteri. Seperti halnya di zona D S2IP300, pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona G S3IP300 juga dapat dilakukan melalui penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-organik, N-total, K-tersedia, dan P-tersedia. Faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah ini dicerminkan oleh nilai IKLS dari keempat unsur hara tanah yang rendah 0.40 – 0.55. 186 Besarnya debit air irigasi 10 literderha dari air tanah di zona G S3IP300 ini memungkinkan penanaman padi dapat dilakukan 3 kali dalam setahun IP300. Di zona H S3IP200 yang memiliki nilai IKLS 0.41 kurang berkelanjutan, pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dapat dilakukan melalui pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air menimum untuk pertumbuhan padi, dan pengendalian hama penyakit tanaman secara terpadu. Pengelolaan lahan sawah dengan pembangunan dan perbaikan irigasi didasarkan pada indikator utama ketersediaan air dan kondisi irigasi, yang sama-sama memiliki nilai IKLS 0.55 cukup berkelanjutan. Berdasarkan survei lapangan dan data sekunder, ketersediaan air di zona H S3IP200 yang memiliki tipe agroklimat C3 periode bulan basah 5 – 6 bulan dan debit air irigasi dari air tanah 2.5 – 10 literdetha masih dapat dikategorikan cukup untuk dapat menerapkan penanaman padi sawah dengan IP200. Namun demikian, pengelolaan lahan sawah dengan menerapkan penyediaan air minimum untuk pertumbuhan padi dinilai masih cukup penting untuk mengefisiensikan penggunaan air, mengingat musim kemarau panjang sebagai dampak perubahan iklim global Susandi, 2009 masih sering menerpa Indonesia pada umumnya dan pulau Jawa pada khususnya. Seperti halnya di zona F S2IP100, pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona I S3IP100 yang merupakan sawah tadah hujan dan memiliki nilai rata-rata IKLS 0.25 keberlanjutan buruk juga dapat dilakukan melalui pembangunan irigasi, penambahan unsur hara dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi. Pengelolaan lahan sawah dimaksud adalah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator utama ketersediaan air IKLS: 0.04 , C-organik IKLS: 0.26, N-total IKLS: 0.28 , K-tersedia IKLS: 0.25, P-tersedia IKLS: 0.33, P-total IKLS: 0.40, K-total IKLS: 0.40, dan kondisi irigasi IKLS: 0.04. Pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh nilai IKLS dari indikator faktor biofisik ini adalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UUPR, yaitu Pasal 3 butir a penyelenggaraan penataan ruang harus harmonis antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, Pasal 3 butir b keterpaduan dalam penggunaan 187 sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia, dan Pasal 3 buitir c terwujudnya perlindungan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

5.4.2.2 Faktor Ekonomi

Hasil kajian pengelolaan lahan untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah disajikan pada Tabel 41. Secara keseluruhan, faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah di hampir semua zona agroekologi pada umumnya dicerminkan oleh indikator utama keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan. Berdasarkan nilai IKLS indikator- indikator utama tersebut, pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi keberlanjutan lahan sawah dapat melalui peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit kredit usahatani, revisi peta RTRW, serta pemberian insentif dan disinsentif. Pengelolaan lahan sawah dengan peningkatan posisi tawar petani dan pemberian subsidikredit usahatani merupakan faktor kunci untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator utama keuntungan yang diperoleh petani IKLS: 0.10 – 0.50, modal usahatani 0.19 – 0.48, dan akses pupuk 0.13 – 0.50. Revisi peta RTRW provinsi atau kabupaten serta pemberian insentif dan disinsentif dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh konversi lahan sawah. Permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator keuntungan yang diperoleh petani IKLS: 0.10 – 0.50 dan modal usahatani IKLS: 0.19 – 0.48 merupakan masalah mendasar yang dihadapi oleh petani padi sawah di Jawa. Kedua indikator utama ini berperan esensial dalam menentukan keberlanjutan lahan sawah. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, rendahnya keuntungan yang diperoleh petani dan keterbatasan modal usahatani membuktikan adanya kegagalan mekanisme pasar yang dipicu oleh sifat lahan sawah yang multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai barang publik dan ketidakberpihakan pemerintah kepada petani. Oleh karena itu, penataan ruang untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan mustahil akan dapat 188 terwujud apabila pemerintah tetap tutup mata terhadap keterpurukan kehidupan ekonomi para petani. Tabel 41. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah IKLS dari faktor ekonomi ZAELS Nilai IKLS Indikator Utama Sebagai Faktor Penghambat Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang A S1IP300 IKLS:0.47 Keuntungan,, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit usahatani B S1IP200 IKLS:0.37 Modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan Pemberian subsidikredit usahatani, dan revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif C S1IP100 IKLS:0.32 Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit usahatani D S2IP300 IKLS:0.36 Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif E S2IP200 IKLS:0.27 Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif F S2IP100 IKLS:0.38 Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit usahatani G S3IP300 IKLS:0.39 Keuntungan, modal usahatani, konversi lahan Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif H S3IP200 IKLS:0.39 Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit usahatani I S3IP100 IKLS: 0.33 Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidikredit usahatani Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat Pengelolaan lahan sawah dengan melakukan revisi peta RTRW provinsi atau kabupaten serta pemberian insentif dan disinsentif adalah untuk mengatasi ancaman keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator konversi lahan. Indikator utama ini mengancam keberlanjutan lahan sawah di zona B S1IP200, zona D S2IP300, zona E S2IP200, dan zona G S3IP300. Nilai IKLS indikator konversi lahan sawah di ZAE-ZAE berkisar antara 0.31 dan 0.50. Berdasarkan penelitian ini, timbulnya ancaman keberlanjutan lahan sawah oleh konversi lahan disebabkan oleh rencana sistematis melalui mekenaisme RTRW Isa, 2006 dan tuntutan kebutuhan hidup petani. Untuk mengatasi ancaman konversi lahan sawah karena mekanisme RTRW, peta RTRW provinsi dan kabupaten mutlak dilakukan. Ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah 189 karena RTRW ini sebenarnya tidak boleh terjadi karena hal ini melanggar undang-undang penataan ruang itu sendiri. Menurut Rustiadi et al. 2008, di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas- aktivitas yang land rent lebih tinggi. Alih fungsi lahan merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Karena lahan sawah memiliki sifat multifungsi, maka konversi lahan sawah menjadi non sawah karena pergeseran nilai land rent tidak selalu dapat membawa keuntungan bagi petani karena ada nilai fungsi lahan sawah yang tidak ditransaksikan di pasar, seperti fungsi sosial-budaya dan kelestarian sumberdaya tanah. Adanya kegagalan pasar ini harus dikendalikan oleh institusi non-pasar. Oleh karena itu, pengelolaan lahan sawah melalui pemberian insentif dan disinsentif kepada petani dinilai penting agar petani tidak begitu mudah menjual lahan sawahnya karena hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi semata. Upaya pengelolaan lahan sawah melalui pemberian insentif dan disinsentif ini sesuai dengan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dalam UUPR, yaitu bab 3 Pasal 35 dan Pasal 38.

5.4.2.3 Faktor Sosial-Budaya

Berdasarkan nilai rata-rata IKLS dari indikator utama sosial-budaya yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan, pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang meliputi pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani Poktan dan reforma agraria Tabel 42. Penentuan pilihan pengelolaan lahan sawah tersebut merujuk pada permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator utama pada Gambar 67a, 67b, dan 67c yang memiliki nilai IKLS ≤ 0. 50, yaitu persepsi petani terhadap harga padi HPP nilai IKLS: 0,06 – 0,50, penguasaan lahan IKLS: 0.10 – 0.50, fragmentasi lahan IKLS: 0.17 – 0.49, pendidikan petani IKLS: 0.13 – 0.48, usia petani IKLS: 0.47 – 0.50, dan budaya lokal IKLS: 0.07 – 0.46. Hasil penelitian ini bermakna bahwa permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh faktor sosial-budaya terjadi di hampir semua zona agroekologi.