Ekonomi Ekonomi dan Sosial-Budaya .1 Penduduk

32 Tabel 3. Nilai dan laju Produk Domestik Regional Bruto PDRB Tahun 2006 atas harga konstan tahun 2000 dalam triliun Sektor Usaha Provinsi DKI 1 Banten 2 Jabar 3 Jateng 4 DIY 5 Jatim 6 Nilai LP Nilai LP Nilai LP Nilai LP Nilai LP Nilai LP Pertanian 0.29 0.92 5.00 1.10 34.72 35.44 31.00 3.60 3.31 0.57 44.70 3.61 Pertambangan Penggalian 0.94 0.46 0.06 3.75 7.02 -14.54 1.68 15.40 0.20 0.03 5.02 9.13 Industri Pengolahan 53.65 4.68 30.55 5.43 114.30 4.19 48.19 4.52 4.08 10.17 70.64 4.62 Listrik, Gas, Air Bersih 2.09 4.55 2.51 2.19 5.76 6.69 1.26 6.49 0.38 0.06 4.43 5.73 BangunanKonstruksi 31.17 7.62 1.66 5.18 8.11 0.19 8.45 6.10 2.87 0.73 8.90 3.49 Perdagangan, hotel, restoran 67.68 7..04 11.48 7.28 50.61 9.05 7.45 5.85 5.56 1.14 74.55 9.17 Pengangkutan dan komunikasi 26.61 14.65 5.42 10.31 11.14 -0.78 7.45 6.63 3.05 0.61 14.52 4.99 Keuangan, Persewaan 94.28 4.40 1.89 8.23 7.68 1.24 5.40 6.55 2.78 0.43 12.67 7.56 Jasa 36.12 6.07 2.74 9.44 18.20 0.38 15.44 7.89 5.90 0.47 20.95 4.29 PDRB 312.71 6.61 61.32 5.53 257.54 7.27 150.68 5.33 29.42 4.20 256.37 5.84 Sumber: 1 BPS DKI 2008, BPS Banten 2008, BPS Jawa Barat 2008, BPS Jawa Tangeh 2008, BPS DI. Yogyakarta 2008, BPS Jawa Timur 2008. 33

2.3.3 Sosial-Budaya

Revitalisasi pertanian lahan sawah di Jawa tidak bisa terlepas dari faktor sosial-budaya. Gany 2006 mengemukakan bahwa berdasarkan pada pengalaman sejarah pengembangan teknologi irigasi di Indonesia harus memperhatikan faktor budaya, disamping faktor sosial, ekonomi, moral, etika, bahkan pertahanan dan keamanan. Budaya suku Jawa dan Sunda yang mendominasi masyarakat petani pedesaan di Jawa berperan penting terhadap kemajuan sistem pertanian padi sawah. Sistem sosial dan budaya dalam masyarakat pertanian telah berperan dalam membangun ketahanan pangan dan ketahanan sosial, seperti lumbung pangan, sistem arisan, dan lainnya Deptan, 2006. Gani 2006 menambahkan bahwa budaya Sistem pertanian padi sawah yang ada di Jawa saat ini tidak terlepas dari pengaruh budaya nenek moyang kita yang telah ditanamkan oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara pada abad ke-3 Yokokura, 1987, dalam Poniman, 1989 dan budaya India pada abad ke-8 hingga ke-13 Lombard, 1996b; Poniman, 1989. Dari sistem pertanian padi sawah yang ada, Poniman 1989 mengelompokkan budaya padi di Indonesia menjadi enam wilayah, yaitu wilayah Jawa-Bali, wilayah pegunungan perbukitan dan pantai luar Jawa, wilayah Aceh, wilayah Wallacea, dan wilayah Timur Indonesia. Budaya padi sawah di Jawa dan Bali dipengaruhi oleh kondisi tanahnya yang berbahan induk volkan. Disamping airnya yang cukup, tanaman padi di Jawa dan Bali dapat tumbuh dengan subur di tanah yang kaya akan unsur hara dari hasil pelapukan batuan volkan. Sistem pertanian di kedua daerah ini menggunakan sapi bajak dan cangkul untuk pengolahan tanah dan ani-ani untuk panen padi, yang merupakan warisan dari budaya India pada abad ke-8 dan budaya Dong Son pada abad ke-3 Poniman, 1989. Pengolahan tanah sawah dengan teknologi yang telah diperkenalkan oleh budaya Dong Son dan India tersebut merupakan tindakan adaptif terhadap kondisi lingkungan tanah di Jawa dan Bali yang sebagian besar terbentuk dari bahan induk volkan. Pada tanah mineral yang berbahan induk volkan, unsur hara tanaman sebagai hasil pelapukan dari mineral-mineral primer umumnya berada pada kedalaman sekitar 20-30 cm. Teknologi pengolahan tanah dengan bajak merupakan upaya untuk membalik 34 tanah yang kaya unsur hara agar tanaman padi yang ditanam dapat tumbuh seperti yang diharapkan. Soemarwoto 2008 mengemukakan bahwa pertanian padi sawah dapat dianggap sebagai adaptasi manusia terhadap lingkungan yang banyak bergunung dengan curah hujan yang tinggi. Di Jawa Tengah, pertanian padi sawah yang mengikuti garis kontur disebut nyabuk gunung, yaitu seperti ikat pinggang yang melingkari gunung, sedangkan di Jawa Barat disebut ngais pasir, yaitu ibaratnya menggendong gunung dengan selendang. Kelangsungan sistem pertanian padi sawah dengan teknologi modern selain dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, juga dipengaruhi oleh adanya budaya yang mengagungkan Dewi Padi Sang Hyang Sri mother rice. Budaya pengagungan Dewa Sang Hyang Sri ini masih dilestarikan di beberapa wilayah di Jawa, misalnya adanya cerita legenda burung dan Hainuwele sebagai asal mula tanaman padi Poniman, 1989. Penerapan budaya Dewi Padi ini merupakan ikatan sakral bagi sebagain besar masyarakat petani di Jawa dan dapat berperan sebagai faktor inherent untuk menjaga keberlanjutan pertanian padi sawah. Pengolahan tanah sawah di daerah pegunungan dan perbukitan diterapkan di daerah yang memiliki tanah-tanah berbahan induk non volkan. Sistem pertanian di wilayah ini umumnya dilakukan secara berpindah-pindah. Sistem pertanian padi sawah yang menetap seperti di Jawa dan Bali, namun demikian, juga masih diterapkan di beberapa daerah, seperti di Tapanuli Sumatera Utara. Budaya menanak nasi dan memproduksi alkohol, dan pengagungan Dewa Sang Sri juga masih di terapkan di wilayah pegunungan dan perbukitan. Budaya padi wilayah pantai diterapkan di daerah pantai Timur Sumatera, pantai Barat, Selatan, dan Timur Kalimantan. Di wilayah-wilayah ini yang tanahnya didominasi oleh tanah Gambut Organosol, sistem pertaniannya masih dilakukan secara berpindah-pindah. Penyiapan lahannya menggunakan parang dan tajak, bukan menggunakan sapi bajak seperti di Jawa dan Bali. Penanaman padi dilakukan dengan menggunakan kuku kambing dan tugal, dan panen padi menggunakan ani-ani dari peninggalan budaya Dong Son Poniman, 1989. Penyiapan lahan dengan parang dan tajak ini merupakan teknologi lokal local knowledge untuk dapat beradaptasi dengan karakteristik tanah gambut yang memiliki bahan beracun sulfidik. Masyarakat petani lokal di daerah Gambut ini 35 secara alami mengetahui bahaya beracun sulfidik yang terungkap di atas permukaan dapat mengakibatkan tanaman padi tidak dapat hidup. Sistem pertanian padi sawah Aceh hampir mirip dengan di Jawa dan Bali, yaitu dilakukan secara menetap, dan pengolahan tanah dengan bajak. Pengagungan dewa padi, seperti Hainuwele juga dikenal, namun legenda asal mula tanaman padi ini berjenis kelamin laki-laki, bukan perempuan seperti Sang Hyang Sri di Jawa dan Bali. Budaya padi sawah di wilayah Wallace diterapkan di daerah Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Sulawesi. Sistem pertanian di daerah ini umumnya dilakukan dengan cara berpindah-pindah pada lahan semak belukar bush fallow system. Namun demikian, sistem bertani dengan berpindah-pindah dan menetap juga dilakukan di sistem budaya ini. Teknologi pengolahan tanah menggunakan pak-pak, mrancah kerbau buffalo trampling, dan kadang-kadang dengan sapi Cattle Trampling. Seperti halnya di Jawa, pengagungan kepada Sang Hyang Sri dan legenda Hainuwele juga dikenal di beberapa wilayah. Budaya padi sawah wilayah Timur Indonesia berbeda dengan di Jawa. Sistem pertaniannya umum menggunakan ladang berpindah. Panen padi menggunakan pisau atau tangan. Ani-ani dan arit hampir tidak dikenal di wilayah budaya ini. Sistem pertanian berpindah juga diterapkan di beberapa daerah, walaupun tidak banyak. Pengagungan kepada dewa padi tidak dikenal, namun legenda Hainuwele tentang cerita asal mula tanaman padi dijumpai. 2.4 Multifungsi Lahan Sawah 2.4.1 Fungsi Kelestarian Sumberdaya Tanah Lahan sawah merupakan ekosistem yang stabil atau berkelanjutan. Keberlanjutan lahan sawah ini didukung oleh proses fisik, kimia, dan biologi tanah. Dari proses fisik, terbentuknya lapisan tapak bajak karena proses pelumpuran Moorman dan van Breemen, 1978; Kanno, 1978 mengurangi hilangnya air melalui seepage dan perkolasi. Selain itu, pelumpuran pada tanah sawah dapat berperan untuk pengendalian gulma. Tarigan dan Sinukaban 2001 mengemukakan bahwa tanah sawah berperan sebagai filter sedimen yang datang dari lereng atas dan diendapkan pada teras-teras. Karena posisinya di lereng