Zonasi Agroekologi Lahan Sawah

59 evaluasi kelayakan faktor biofisik, 2 evaluasi kelayakan status kawasan, dan 3 evaluasi kelayakan sosial-budaya. Evaluasi kelayakan lingkungan biofisik dimaksudkan untuk menilai potensi lahan dan intensitas pertanaman untuk penanaman padi sawah. Penilaian potensi lahan menggunakan metode kesesuaian lahan yang dijelaskan oleh FAO 1976 dan CSRFAO Staff 1983. Penilaian dan pendelineasian kesesuaian lahan sawah menggunakan basisdata sistem lahan, sedangkan penilaian intensitas pertanaman berdasarkan pada ketersediaan air yang dianalisis dari basisdata agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi. Penggunaan data sistem lahan untuk mendelineasi kesesuaian lahan sawah didasarkan pada karakteristik sistem lahan yang dapat menunjukkan pola pengulangan kesamaan topografi bentuklahan, tanah, vegetasi, dan iklim seperti yang dijelaskan oleh Christian dan Stewart 1968. Karena karakteristiknya tersebut, data sistem lahan memiliki keunggulan untuk dapat digunakan mengekstrapolasi data karakteristik lahan dalam hamparan lahan yang luas sehingga pemetaan kesesuaian lahan pada tingkat regional dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pemetaan kesesuaian lahan dengan pendekatan sistem lahan ini, menurut Dent dan Young 1981, tidak mengedepankan klasifikasi tanah, tetapi lebih pada upaya untuk mengklasifikasi lahan dengan mengintegrasikan faktor iklim, geologi, bentuklahan, vegetasi, dan tanah yang mempengaruhi penggunaan lahan. Tingkat akurasi pemetaan tergantung pada intensitas survei Gambar 25. Proses zonasi agroekologi lahan sawah Kelayakan Faktor Biofisik Kelayakan Status Kawasan Kelayakan Sosial-budaya Potensi Lahan Intensitas Pertanaman ZAE Lahan Sawah Kawasan Budidaya Sosial-budaya 60 tanah di lapangan. Tingkat akurasi tersebut ditentukan pada kerapatan sampel tanah yang ada di faset lahan-faset lahan yang merupakan komponen penyusun sistem lahan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 26. Penggunaan data agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi untuk analisis ketersediaan air merupakan pilihan yang tepat. Data agroklimat dapat memberikan informasi ketersediaan air secara alami dari curah hujan, sedangkan kondisi irigasi dapat memberikan informasi ketersediaan air secara antropogenik atau rekayasa manusia terhadap sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman padi sawah. Klasifikasi agroklimat Oldeman dimaksudkan untuk memetakan periode bulan basah curah hujan bulanan lebih dari 200 mm dan periode bulan kering curah hujan bulanan kurang dari 100 mm. Klasifikasi panjangnya periode bulan basah dan bulan kering ini sangat penting karena berhubungan dengan kemungkinan penanaman padi Manan et al. 1980. Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi, pembuatan irigasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan air untuk Gambar 26. Contoh sistem lahan TGM Tanggamus: kerucut gunung api dan kaki lereng, yang banyak dijumpai di Jawa Wall, 1987 61 untuk menunjang keberlanjutan sektor pertanian. Oleh karena itu, dengan adanya data agroklimat dan kondisi irigasi, informasi intensitas pertanaman untuk penanaman padi dapat diidentifikasi secara tepat. Evaluasi status kawasan dimaksudkan untuk mengetahui fungsi kawasan lahan sawah apakah termasuk dalam kawasan budidaya atau non-budidaya lindung atau permukiman. Penetapan ZAE lahan sawah dalam kawasan budidaya sebagaimana yang telah dikemukakan adalah untuk menjamin status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UUPR Pasal 5 dan Peraturan Pemerintah No. 262008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional PP-RTRWN Pasal 64. Dalam prinsip keberlanjutan lahan sawah, kondisi ekonomi, sosial, dan budaya petani perlu dikaji agar usahataninya layak secara ekonomi, manusiawi, dan berkeadilan. Aspek aspek ekonomi, sosial dan budaya yang berperan penting dalam menentukan keberlanjutan lahan sawah diantaranya adalah keuntungan, produksi, akses pupuk, adopsi teknologi, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, kearifan lokal, dan lain-lain.

3.2.3 Penghitungan Daya Dukung Lahan Sawah

Sebagai produsen beras, sumberdaya lahan sawah berperan strategis dalam menjaga ketahanan pangan nasional karena beras merupakan makan pokok bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagaimana yang telah dikemukakan, pertambahan jumlah penduduk merupakan faktor utama yang mengakibatkan penyusutan dan degradasi sumberdaya lahan sawah. Semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi tekanannya terhadap sumberdaya lahan sawah. Tekanan terhadap sumberdaya lahan sawah mengakibatkan kerusakan lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Kerusakan lingkungan biofisik ini diiindikasi telah terjadi di Jawa karena produktivitas lahan sawah telah mengalami kejenuhan atau pelandaian Adiningsih et al., 2004 sebagai akibat dari penggunaan lahan sawah yang telah berlangsung lama dan sangat intensif dengan penerapan pupuk agrokimia. Kerusakan lingkungan ekonomi dan sosial- budaya disebabkan oleh penyusutan lahan sawah karena konversi lahan sawah menjadi non-pertanian. Bagi pemilik lahan, beralih fungsinya lahan sawah 62 menjadi non-pertanian tersebut kemungkinan tidak menjadi masalah karena mereka mendapatkan ganti rugi. Sebaliknya bagi petani penggarap atau buruh tani yang mendominasi petani di Jawa menjadi tertekan hidupnya karena dapat mengakibatkan pengangguran. Sebagai akibatnya, para petani penggarap atau buruh tani migrasi ke kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain. Karena pada umumnya mereka berpendidikan rendah, mereka sulit memperoleh pekerjaan atau menjadi pengangguran di kota karena mereka tidak memiliki ketrampilan. Fenomena ini menimbulkan masalah sosial, seperti kemiskinan, kriminitalitas, prostitusi, dan lain-lain. Soemarwoto 2008 menjelaskan bahwa tingginya urbanisasi, menurunnya sanitasi, timbulnya banjir, erosi, tingginya tingkat krimininalitas, pengangguran, kemiskinan, perbudakan dan prostitusi yang banyak terjadi di kota-kota besar di Jawa merupakan indikasi daya dukung lahannya telah terlampaui. Terjadinya kerusakan lingkungan baik fisik maupun sosial-budaya tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya lahan tidak mampu lagi untuk menopang kebutuhan hidup manusia secara layak karena peningkatan jumlah penduduk. Kemampuan sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seperti yang diilustrasikan tersebut didefinisikan sebagai daya dukung lahan. Dalam penelitian ini, penghitungan daya dukung lahan sawah diarahkan untuk mengetahui tingkat kemampuan sumberdaya lahan sawah dalam memenuhi kebutuhan beras agar permasalahan yang mengancam ketahanan pangan dari aspek ketersediaan beras dapat diantisipasi sedini mungkin. Pada daya dukung lahan sawah, kemampuan sumberdaya lahan sawah untuk memproduksi padi beras ditentukan oleh kualitas lahan seperti kesuburan tanah dan ketersediaan air yang ada di setiap zona agroekologi lahan sawah. Kebutuhan beras ditentukan oleh jumlah penduduk di setiap wilayah dan konsumsi beras yang diskenariokan. Untuk mengetahui apakah daya dukung lahan sawah di suatu wilayah telah terlampaui, suplai beras yang diproduksi di setiap zona agroekologi lahan sawah dibandingkan dengan kebutuhan beras yang diperlukan penduduk di setiap wilayah setiap tahun. Penilaian tingkat daya dukung didasarkan pada besarnya nilai rasio antara suplai beras terhadap kebutuhan beras. Model penghitungan daya dukung lahan sawah tersebut mengasumsikan faktor-faktor yang 63 mempengaruhinya seperti konversi lahan, produktivitas, dan kualitas suberdaya lahan sawah dalam kondisi tetap sateris paribus. Dalam hal ini, daya dukung lahan sawah hanya merupakan fungsi dari jumlah penduduk sebagai pemicu utama ancaman kepunahan lahan sawah. Tingkat daya dukung lahan sawah diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu kondisi berlanjut sustainable, bersyarat conditional, dan terlampaui overshoot. Daya dukung lahan sawah dinilai berlanjut apabila nilai daya dukung lebih besar dari 2. Kondisi bersyarat apabila nilai daya dukung antara 1 dan 2. Kondisi terlampaui apabila nilai daya dukung kurang dari 1. Nilai daya dukung lebih dari 2 berarti terdapat cadangan beras untuk pemenuhan kebutuhan beras minimal selama satu tahun. Nilai daya dukung antara 1 dan 2 berarti produksi beras sesuai dengan kebutuhannya atau pas-pasan. Nilai daya dukung kurang dari 1 berarti produksi beras mengalami defisit. Penilaian daya dukung lahan tersebut cukup rasional dan sederhana untuk diimplementasikan dalam rangka mendeteksi status kualitas lingkungan lahan sawah di suatu wilayah.

3.3 Validasi Data

Kegiatan validasi data dilaksanakan di lapangan. Tujuan kegiatan adalah untuk memverifikasi data lingkungan biofisik dan pengambilan sampel data ekonomi dan sosial-budaya yang berkaitan dengan pertanian padi sawah. Obyek sampel yang mencakup data lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu yang berkaitan dengan kondisi faktual dan kebijakan. Pengambilan obyek sampel faktual dilakukan dengan pengamatan lapangan dan wawancara dengan petani, sedangkan obyek sampel kebijakan dikumpulkan di instansi-instansi terkait baik di tingkat pusat dan daerah dengan melakukan diskusi atau wawancara dengan para birokrat dan ahli Gambar 27. Pengelompokkan obyek sampel data tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian yang menyangkut kepada kepentingan petani dan pengambil keputusan kebijakan. Verifikasi data lingkungan biofisik dilakukan melalui pengambilan sampel tanah dan pengamatan langsung kondisi lingkungan biofisik seperti bentuklahan, jenis tanah, dan kondisi irigasi. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit pada kedalaman 0-20 cm dengan menggunakan bor