Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang terletak di Desa Beganding, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo merupakan perwujudan dari sifat kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat Karo pada masa lampau. Rumah adat Sepuluh Dua Jabu biasa juga disebut Rumah Persada Ari, yang menurut informan peneliti artinya “Rumah Persatuan”. Dari artinya saja sudah dapat dilihat bahwa rumah tersebut penuh dengan nilai-nilai luhur dalam kebersamaan suatu kelompok masyarakat. Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan pada tahun 1958, namun beliau tidak mengetahui pasti tanggal dan bulan berapa Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan.namun, dari penuturan orangtuanya dahulu, Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan pada tahun 1958 akhir. Pada awalnya Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu hanya lah rumah kecil milik satu keluarga saja yaitu dari keluarga Merga Ginting. Setelah keluarga tersebut memiliki anak, dan kemudian tumbuh dewasa anak-anak mereka tadi pun menjadi dewasa dan berumah tangga. Setelah anak-anaknya menikah, keluarga dari Marga Ginting memutuskan untuk mengajak sanak saudara dan keluarganya untuk tinggal bersama dalam satu rumah. Gagasan tersebut pun dimusyawarahkan di dalam satu pertemuan, dimana didalam pertemuan tersebut hadir pihak-pihak dari 5 merga yang terdiri dari : Universitas Sumatera Utara 6. Merga Ginting 7. Merga Sitepu 8. Merga Tarigan 9. Merga Sembiring 10. Merga Sinuhaji Akhirnya pembangunan rumah pun dilakukan dengan bergotong-royong. Pembangunan rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini memakan waktu selama hampir satu tahun. Rumah adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan dengan bentuk yang cukup besar dan juga tinggi ke atas. Hal ini dilakukan untuk mengakomodir kegiata-kegiatan adat seperti pesta pernikahan ataupun Kerja Tahun, dimana pada masa itu belum ada Zambur balai acara untuk tempat mengadakan pesta. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu semuanya bersumber dari hutan. Menurut bapak Sitepu pada zaman dahulu, pekerjaan membangun Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu dianggap sebagai pekerjaan besar, karena untuk menyelesaikan pembangunan satu rumah adat seperti Rumah Sepuluh Dua Jabu ini memakan waktu sampai satu tahun. Oleh karenanya, dalam tahapan mendirikan rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut dilakukan secara bertahap dan selalu dilakukan secara bergotong-royong. Suku Karo mempunyai bangunan yang tradisional yang Sebuah kesain kepanghuluan pada umumnya terdiri dari beberapa buah rumah adat, yaitu jambur, lesung, dan geriten. Rumah adat merupakan tempat tinggal bersama antara beberapa keluarga. Penghuninya terdiri dari keluarga terdekat. Ruangan di dalam rumah dibagi dua bagian oleh sebuah jalur yang memanjang dari Timur ke Universitas Sumatera Utara Barat, dan seluruh ruangan dibagi atas delapan bagian jabu. Dalam setiap proses pembangunan, pembuatan ornament-ornamen selalu mengandung arti yang berhubungan dengan keselarasan hidup orang Karo. Banyak sekali tata cara atau aturan-aturan hidup yang mengatur kehidupan penghuni rumah Sepuluh Dua Jabu. Salah satunya adalah apabila anak laki-laki sudah berumur 10 tahun ke atas maka dia tidur di bagian atas lumbung padi. Seorang duda juga tidak diperkenankan tidur di dalam rumah adat. Bapak Terang Ukur Sitepu mengatakan alasan aturan tersebut dibuat adalah untuk menjauhkan para penghuni rumah dari prasangka buruk tetangga. Kemudian hal tersebut juga penting dilakukan guna menghindarkan ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Bukan hanya anak laki-laki saja yang diatur tata cara hidupnya di rumah tersebut, tetapi anak perempuan juga tidak luput dari aturan-aturan. Salah satu aturan diantaranya adalah apabila anak perempuan sudah menginjak usia dewasa, maka anak perempuan tersebut harus tidur bersama temannya sesama gadis. Oleh karena tiap unit di dalam rumah adat adalah kecil dan terbuka maka terdapat kesulitan bagi anak sekolah untuk belajar, bahkan penerangan pada malam hari juga tidak terlalu memadai. Sehingga anak-anak sekolah mengakalinya dengan cara belajar pada waktu siang atau sore hari. Kehidupan sosial dalam rumah adat mempunyai ciri-ciri hubungan yang intensif dari hari ke hari dan hampir tidak adanya kesendirian privacy. Penghuni rumah mungkin bertemu di dekat tangga, di dekat pintu dan juga melihat dari dalam rumah. Orang dapat berbicara bersahut-sahutan dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya di dalam rumah. Bahkan pada saat memasak para isteri di pagi Universitas Sumatera Utara hari dapat berbiacara satu sama lain lewat tungku perapian yang mereka miliki bersama tetangganya. Keseluruhan pola hidup keluarga yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut tidak terlepas dari adat Karo dan bentuk rumah adat tersebut. Hal ini sangat menarik dilihat bagaimana kehidupan keluarga yang hidup di dalamnya menyesuaikan dengan bagaimana bentuk rumah tersebut.

5.2. Saran