Kajian hadis tentang konsep ikhtiar dan takdir dalam pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish madjid: (studi kasus komparasi pemikiran)

(1)

KAJIAN HADIS TENTANG KONSEP IKHTIAR DAN TAKDIR DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN

NURCHOLISH MADJID; (Studi Komparasi Pemikiran)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Theologi Islam

Oleh

MU’AMMAR NIM: 105034001213

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadhirat Allah SWT, karena tanpa izin ridha-Nya, penulisan skripsi ini mungkin tidak dapat saya selesaikan tepat pada waktunya seperti sekarang ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepad Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga, shahabat, dan seluruh umat manusia di muka bumi ini, semoga kita semua mendapat syafa’at Nabi baik hidup di dunia dan akhirat kelak dan kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT.

Setelah melalui proses yang panjang dan sedikit melelahkan di kampus hijau pembaharu ini, akhirnya penulisan skripsi untuk meraih gelar formal kesarjanaan Starata-1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat saya selesaikan dengan berbagai dinamika yang dilalui. Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa skripsi ini hanyalah sekedar simbol saja, mungkin semacam pembuktian diri sejauh mana anak Adam yang hina ini mampu berfikir dan menganalisa sebuah objek penelitian secara ilmiah. Harapan penulis jelas, semoga upaya yang dilakukan ini tidak hanya berhenti dengan penulisan skripsi ini, yang dalam dunia intelektual kita mungkin belum mampu memberikan kontribusi dan sumbangsih pemikiran berharga sebagaimana yang diharapkan.

Meski demikian, penulis menyadari bahwa semua ini tidak mungkin saya raih tanpa bantuan pihak-pihak tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang terlibat dalam “jerih payah” penulisan skripsi ini. Karenanya, di yang tiada tara.


(5)

iv

Secara khusus saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin beserta jajaran dekanat.

2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kalstum, M.Ag, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

3. Bapak Masykur Hakim, MA, Ph.D selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu yang berharga dalam membimbing skripsi ini hingga selesai.

4. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang telah memberikan fasilitas kepada saya dalam studi kepustakaan. 5. Para Dosen dan karyawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah

banyak memberikan ilmu pengetahuan serta membimbing saya.

6. Ayahanda tercinta, Midan dan Ibunda tersayang, Murtiam, yang tidak pernah lelah ”menuntun langkahku” dan terus mencurahkan belaian Cinta-Kasih serta do’a mereka kepada penulis, di mana tanpa semua itu diri ini tidak akan mampu berdiri setegar ini. Dan tidak lupa buat kakak-kakak tercinta Sumiyati (Mpo Encum), Mursyid (Bang Ucit), M. Soleh (Bang Soleh), dan Rosilawati (Mpo Ochi), dan Mamang Juli, Bi Iin dan Eneng serta keponakan-keponakan tersayang Uswatun Hasanah, Fikri Azmi, Salsabilah, dan si kecil Nabiha Zahira. Terima kasih atas dorongannya, dengan harapan semoga kalian jauh lebih baik dari sekarang dan mohon maaf Amar belum bisa mebahagiakan dan membanggakan keluarga.


(6)

7. K.H. Muhammad Kholil (Alm) Rais al-`Am Pesantren Salafiah

Asy-Syubban Jakarta yang telah mengajarkan ilmunya dengan sepenuh hati semoga Allah menempatkan di tempat yang terbaik di sisi-Nya. Dr. Ubaidilah, MA, (Bang Ubay) dan Siti Multazamah (Mpo Mumul) yang telah memberikan bimbingan dan suport kepada penulis tentang betapa pentingya akademis dan proses kehiupan sejak di pesantren sampai menginjakan kaki di dunia akademis, serta kawan-kawan Asy-Syubban Bang Fi’ih, mas Topik, Subur, Inay, Ali Usman, Buloh, Bambang, Tuyek, Yani, Bari, Deni, Itha, dan juga kawan di rumah Ovik, Adhi Ocol, Boim, Togar, Entong.

8. Kawan-kawan seperjuangan Hamdi, S.ThI, Iwan Taunuzi, S.ThI, Fajar, S.ThI, H. Muslim, S.Fil.I, Ali Kemal, S.Fil.I, Khairul Amri, Afril Naldhi (lemot), M. Iqbal Perdana, Ali Makmun, Ahmad Hazami, Ahmad Qurtuby, Sela Nurmaya Sari, S.Sos, Markhamatul Aeni, S.Far, Apt (Dhea), Jarwo, Dwi, Dani, Dimas dan kawan sekosan yang penuh suka cita Aris Maulana Akbar dan Akbar Khadafi semoga apa yang kita semua impikan dan dicita-citakan tercapai kemudian hari.

9. Kawan-kawan TH, Fitroh (Coxin) tks and sorry udah repotin untuk

bantuin ngedit, Baihaqi, Syarif (Nyipnyip), Manaf, Topik, Bangkit

(Udhay), Syahid, Haris, Alvin, Abd Hadi (Kojek), Noval, Jazuli, Lukman, Jubaedah, serta kawan-kawan TH B angkatan 2005 yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.


(7)

vi

10.Pengurus BEM UIN Jakarta (2009-2010), HMI Cabang Ciputat, FORMACI, INCA, Kumunitas Freedom Circle (KFC), dan YAPENTUSH Community tempat belajar dan pengalaman proses untuk mengasah serta mengembangkan potensi akademik dan kemampuan diri.

Kepada mereka semua, semoga dukungan dan partisipasi mereka yang berupa ilmu dan amal tidak sia-sia dan mendapat penghargaan dan balasan yang layak di hadapan Allah SWT. Akhirnya kepada-Nya pula penulis dan kita semua berserah diri, semoga skripsi ini dan semua amal ibadah kita menjadi sumbangan yang berarti bagi umat dan bangsa, baik di dunia dan di akhirat kelak. Amin ya Rabb.

Ciputat, Maret 2011 Penulis


(8)

Pedoman Transliterasi

A. Aksara

Huruf Arab Huruf Latin

ا

tidak dilambangkan

ب

b

ت

t

ث

ts

ج

j

ح

h

خ

kh

د

d

ذ

dz

ر

r

ز

z

س

s

ش

sy

ص

s

ض

d

ط

t

ظ

z

ع

‘ (koma terbalil di atas, menghadap ke kanan)

غ

g

ف

f

ق

q

ك

k

ل

l

م

m

ن

n

و

w

ـھ

h

ء

’ (apostrof)


(9)

viii

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ـــ

َ

ـــ A fathah

ــــ

ِ

ــ I kasrah

ــــ

ُ

ـــ U dammah

2. Vokal Rangkap

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ــ

َ

ـ

ي

Ai a dan i

ــ

َ

ـ

و

Au a dan u

3. Vokal Panjang

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ـــ

َ

ﺎــــ Â a dengan topi di atas

ــــ

ِ

ﻲـ Î i dengan topi di atas

ــــ

ُ


(10)

KATA PENGANTAR……….. PEDOMAN TRANSLITERASI………. DAFTAR ISI………. BAB I. PENDAHULUAN……….

A. Latar Belakang Masalah………... B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah………... C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan…………...

D. Metodologi Penelitian ………

E. Sistematika Penulisan……….

BAB II. BIOGRAFI TOKOH………...

A. Muhammad al-Ghazali………

1. Biografi dan Karya-Karyanya……… 2. Tipologi Pemikiran………

B. Nurcholish Madjid………...

1. Biografi dan Karya-Karyanya……… 2. Tipologi Pemikiran………. C. Pandangan –Pandangan Terhadap Kedua Tokoh;

Persamaan dan Perbedaan……….. iii vii ix 1 1 11 11 12 13

14 14 14 26 27 27 32


(11)

x

BAB III. IKHTIAR DAN TAKDIR………..

A. Pengertian Ikhtiar dan Takdir………..

1. Pengertian Ikhtiar………. 2. Pengertian Takdir………. B. Pandangan beberapa Aliran Ilmu Kalam

Tentang Ikhtiar dan Takdir………..

C. Hadis Tentang Ikhtiar dan Takdir………

BAB IV. ANALISA PEMIKIRAN MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN NURCHOLISH MADJID TENTANG KONSEP IKHTIAR DAN TAKDIR………..

A. Pemikiran Muhammad al-Ghazali……….

B. Pemikiran Nurcholish Madjid………

C. Pandanga Kedua Tokoh Tentang Ikhtiar dan Takdir;

Persamaan dan Perbedaan………..

BAB V. PENUTUP………...

A. Kesimpulan………

B. Saran………..

DAFTAR PUSTAKA………...

37 37 37 40

43 48

52 52 57

64

65 65 68


(12)

A. Latar Belakang Masalah

Seorang muslim dalam sendi kehidupan dibimbing dan diatur oleh dua warisan peninggalan Nabi Muhammad Saw, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah atau hadis Nabi, karena hukum dan tuntunan yang terkandung dalam al-Qur’an dijabarkan dan diperjelas petunjuk pelaksanaan dalam hadis. Hadis atau sunnah Nabi merupakan perbuatan, perkataan dan penetapan Nabi Saw yang tidak terlepas dari bimbingan wahyu dari Allah Swt.

Hadis disampaikan ke tangan kaum muslimin melalui perjalanan panjang. Tentang keterjagaan dan kemurnian al-Qur’an sudah ada jaminan dari Allah Swt, namun untuk hadis tidak demikian adanya Sepeninggal Nabi Saw dibutuhkan data akurat untuk menemukan validitas sebuah hadis1. Sejalan dengan berjalan waktu,

para sahabat yang pernah melihat dan mendengarkan langsung hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw satu persatu telah meninggal dunia, sehingga kesahihan sebuah hadis tidak dapat diselidiki secara langsung dari sahabat tersebut.

Berbeda dengan al-Qur’an yang sebagai buku petunjuk dengan pegangan suci sudah sejak semula disadari sepenuhnya untuk dipelihara dan dikodifikasi, lain hal dengan hadis karena mengandung berbagai masalah, khususnya masalah pembukuannya. Meskipun disebut-sebut adanya beberapa sahabat Nabi yang

1 Muhammâd ‘Ajaj al-Khatib,


(13)

2

sudah membuat catatan hadis sajak masa hidup Nabi, dan konon ada pula yang direstui beliau, namun riwayat yang umum dan dominan ialah yang menuturkan bahwa Nabi tidak mendorong, jika bukan melarang, pencatatan apapun dari beliau selain al-Qur’an.2

Sikap Nabi itu ditafsirkan sebagai kekuatiran beliau bahwa kitab suci akan tercampuri dengan unsur-unsur luar. Bahkan Rasyid Ridha menafsirkan bahwa Nabi melarang mencatat hadis, karena hadis itu hanyalah ketentuan-ketentuan sementara tentang agama, tidak berlaku selama-lamanya.3 Namun yang jelas ialah ketika dalam tahap perkembangannya, umat Islam harus mencari keotentikan pemecahan masalah dalam hadis, hadis itu tidak tercatat, melainkan merupakan bagian dari tradisi penuturan oral yang sulit sekali dikontrol dan dicek kebenarannya.

Maka tidak heran jika pada fase perkembangan itu banyak sekali terjadi pemalsuan hadis. Menurut Mushthafa al-Siba’i seorang sunni, kelompok-kelompok yang paling banyak memalsukan hadis ialah mereka yang paling terlibat dalam politik. Pemalsuan hadis lebih lanjut ialah yang dilakukan oleh para fanatikus kesukuan, ras, bahasa, kedaerahan, dan lain-lain. Paham keunggulan ras pernah muncul sebentar dalam sejarah perkembangan Islam, menyertai gerakan

syu’ubiyah semacam nasionalisme, khususnya di kalangan orang-orang arab.4

2 Nurcholish Madjid,

Doktrin Islam dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), Cet.

VI, h. 329.

3 Rasyid Ridha,

Tafsir al-Manar, Jilid X, h. 768. 4 Mushthafa al-Siba’i,

Sunnah dan Perananya dalam penetapan Hukum Islam-sebuah pembelaan kaum sunni., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 5.


(14)

Maka munculah hadis-hadis palsu guna mendukung pandangan mereka. Bahkan ketika muncul mazdhab-mazdhab fiqih bermunculan pula hadis-hadis palsu untuk mendukung mazhabnya sendiri dan mendiskreditkan mazdhab lain. Jelas sekali hadis-hadis palsu dapat muncul hanya kefanatikan. Merajalelanya pemalsuan mendorong usaha untuk menyusun kerangka teoritis bagaimana menyaring hadis-hadis yang shahih dan otentik dari yang palsu5.

Teori itu akhirnya diletakan oleh Imam Syafi’î (w. 204 H) yang kemudian dilaksanakan sekitar setengah abad sesudanya, dengan dipelopori oleh al-Bukhârî (w. 256) dan dikuti oleh sarjana-sarjana yang lain sehingga terkumpul kodifikasi hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah. Yaitu, selain al-Bukhârî, Muslim,

Abû Dâwud, al-Nasa’î, al-Turmudzî dan Ibn Majah, berkat usaha ilmiah yang tak kenal lelah dari sarjana-sarjana hadis itu, umat Islam sekarang menikmati adanya kodifikasi hadis yang baku, yang memisahkan mana yang otentik dan yang palsu.6

Pemalsuan hadis itu hanyalah satu segi yang paling negatif dan dramatis dari segi intervensi manusia dalam agama, dan itu dilakukakn secara sadar dan sengaja. Tapi harus diingatkan bahwa tak semua jenis intervensi terjadi dan dilakukan secara sadar, apalagi dengan maksud tujuan jahat. Justru yang paling banyak ialah berlangsung secara tidak sadar, karena dalam kasus-kasus tertentu merupakan bagian dari usaha dan proses pemahaman terhadap agama. Maka pemahaman yang dimaksud yang paling baik dan dilakukan secara paling jujur

5 Nurcholish Madjid,


(15)

4

pun masih mungkin mengandung unsur manusiawi. Ini bisa dilihat dalam banyak sekali argumen-argumen di antaranya dalam pengambilan hukum atau ketetapan.7

Melihat begitu pentingnya posisi hadis dalam sebuah pengambilan hukum, haruslah dilakukan suatu upaya pencarian keabsahan dari hadis-hadis tersebut, ditambah lagi dengan perkembangan hadis yang dinodai oleh kemunculan hadis-hadis palsu yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk melegitimasi kepentingan pihaknya. Penelitian keabsahan hadis dilakukan bukan karena meragukan hadis Nabi Saw, keterbatasan perawi hadis sebagai manusia biasa yang terkadang melakukan kesalahan baik karena lupa atau karna kepentingan tertentu juga bisa dijadikan alasan pentingnya dilakukan upaya pencarian keotentikan sebuah hadis.

Berkanaan dengan studi hadis Nabi Saw, ada dua hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu wurûd dan dalâlah. Wurûd berkaitan dengan asal usul hadis,

yakni apakah suatu hadis benar-benar dari Nabi Saw atau tidak, berkaitan dengan hal ini ada dua metode kritik yaitu kritik sanad8 dan kritik matan9. Adapun tujuan

akhir dari penelitian ini adalah apakah suatu hadis bisa diterima atau tidak (maqbûl atau mardûd). Sedangkan dalâlah berkaitan dengan makna yang

ditunjukan suatu hadis yang telah dinyatakan diterima bedasarkan penelitian terhadap wurud-nya dan telah diketahui hasilnya. Dalam studi pemahaman matan

hadis terdapat dua metode utama yang biasanya digunakan oleh para ulama, yaitu

7 Nurcholish Madjid,

Doktrin Islam dan Peradaban h. 335.

8 Kritik sanad adalah penelitian secara cermat asal-usul suatu hadis bedasarkan para periwayatnya.

9 Kritik matan adalah penelitian secara cermat asal-usul hadis bedasarkan teks yang dibawa perawi itu. Lihat Salahuddin ibn al-Adabi, Metodeologi kritik matan hadis, (Jakarta, Gaya


(16)

metode tekstual10 dan metode kontekstual.11 Tujuan yang hendak di capai dari studi ini adalah apakah suatu hadis bisa diamalkan atau tidak (ma’mûl atau ghair

ma’mûl) dan bagaimana mengamalkannya.

Meneliti dan mengkaji keontetikan sebuah hadis tentu saja memerlukan sebuah kemampuan dan integritas bagi setiap orang yang ingin melakukannya. Akan tetapi masyarakat Islam tidak semuanya mempunyai kemampuan yang mamadai untuk memahami ajaran-ajaran keagamaan yang tertuang dalam dua sumbernya itu.

Merupakan suatu keharusan untuk memahamai sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadis-hadis shahih yang satu pembahasannya supaya hadis yang mutasyâbih (yang mamiliki banyak

penafsiran) bisa muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidak terkait) di bawa

ke yang muqoyyad (terkait), dan yang ‘âm (maknanya umum) ditafsirkan oleh

yang khâsh (maknanya khusus). Dengan cara ini akan jelas maksud hadis tersebut,

maka jangan mempertentangkan antara hadis yang satu dangan yang lainnya. Apabila sanad-sanad hadis yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadis tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadis shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadis sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadis

10 Metode tekstual adalah cara memahami hadis bedasarkan makna verbal dari teks hadis yang bersangkutan.


(17)

6

tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas oleh hadis itu.12

Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis adalah penting sekali untuk memahami al-Sunnah dengan sebaik-baiknya. Sebab, konotasi kata-kata tersebut ada kalanya berubah dari suatu masa ke masa yang lainnya, dan suatu lingkungan ke linggungan lainnya. Ini diketahui terutama oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa-bahasa serta pengaruh waktu dan tempatnya.13

Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukan kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal ini.14 Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata yang digunakan dalam al-Sunnah (atau juga dalam al-Qur’an) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau hanya di gunakan di kalangan mereka saja),15 dan juga terkadang bertentangan dengan al-Qur’an sebagi pedoman utama.

Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban mengemukakan pertanyaan apakah benar manusia di dunia ini mempunyai makna dan tujuan? Ataukah sesungguhnya hidup ini terjadi secara kebetulan belaka, tanpa makna apapun, dan tanpa tujuan sama sekali? Pertanyaan serupa itu telah menyibukan para pemikir masa lalu yang jauh ketika manusia mulai merenungkan hakikat dirinya sendiri, sampai zaman mutakhir ini ketika manusia dengan

12 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,

Pokok-pokok Ilmu al-Hadis, h. 251. 13 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,

Pokok-pokok Ilmu al-Hadis, h. 252. 14 Yusuf Qordhowi,

Bagaiman memahami Hadis Nabi Saw, terj. Muhammad al-Baqir,

(Bandung : Kharisma, 1999), h. 7 15 Yusuf Qordhowi,


(18)

kemajuan teknologinya, mencoba mencari teman sesama makhluk hidup cerdas di planet, atau system bintang, atau galaksi yang lainnya, yang telah diketahui memenuhi jagat raya tanpa terbilang banyaknya.16

Pembahasan tentang persoalan makna dan tujuan hidup ini bisa dibuat dengan melompat kesimpulan yang telah diketahui secara umum dan mantap di kalangan orang muslim. Yaitu tujuan hidup manusia ialah bertemu dengan Allah

(liqa’), Tuhan Yang Maha Esa, dalam ridha-Nya. Sedangkan makna hidup

manusia didapat dalam usaha penuh kesungguhan (mujahadah) untuk mencapai

tujuan itu, melalui iman kepada Tuhan dan beramal kebajikan.17

Manusia merupakan makhluk yang terpaksa dan bebas sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Ia dalam kondisi terpaksa karena terbatasnya kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya serta kondisi lingkungannya. Namun ia juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atau sikap terhadap sesuatu, dan ini tidak akan ditanya atau diminta pertanggung jawaban mengenai sesuatu yang tidak berkuasa menghindarinya dan tidak bisa memilih. Tetapi pasti akan ditanya tantang sikap dan tindakan yang diberi “kebebasan untuk memilih”

(free choice) antara melakukannya atau tidak.18

Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh

16Nurcholish Madjid,

Islam Doktrin dan Peradaban, .h 18. 17Nurcholish Madjid,

Islam Doktrin dan Peradaban, h. 18. 18 Muhammad al-Ghazali,


(19)

8

kemauan murni,19 kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani.20

Banyak orang gemar mencampur adukan kedua hal tersebut, dan perdebatan mengenai hal itu sangat tak berharga dan bahkan merupakan pertentangan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya. Kita mungkin perlu waktu cukup panjang untuk menghadapi orang-orang seperti itu.21

Demi suatu hikmah yang kita tidak ketahui, Allah Ta’ala telah berkehendak menciptakan kita, lalu membebani kita dengan taklif. Allah Swt

berfirman dalam Surat al-Mulk ayat 2:

 

 













 

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa dan Maha Pengampun.

Maka sangatlah aneh kalau ada pertanyaan bahwa hidup ini hanyalah sandiwara yang menipu. Dan bahwa taklif (kewajiban dari Allah) adalah

main-main, bukan sungguhan. Dan manusia digiring kepada nasib mereka yang ditentukan sejak azali, secara sukarela atau paksa. Juga pernyataan bahwa para rasul diutus tidak untuk menyanggah alasan ketidaktahuan sebagian manusia. Bahkan para rasul itu sendiri merupakan bagian dari penipuan itu, untuk menyempurnakan adegan-adegan dalam sandiwara tersebut.

19 Nurcholish Madjid,

Islam Doktrin dan Peradaban, h 18. 20

NDP HMI(Nilai-Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam), (Jakarta, PB

HMI, 2009), h. 41.

21 Muhammad al-Ghazali,


(20)

Kerancuan berpikir itu bisa dilepaskan dari peran beberapa tentang pemahaman hadis yang benar, bahkan memperkuat pikiran keliru tersebut. Atau dengan kata lain hadis-hadis itu telah turut menjadi penyebab rusaknya pemikiran Islam serta runtuhnya peradaban.22

Dalam rangka ikhtiar itu manusia diperintahkan untuk memperhatikan hukum-hukum (dari Tuhan) yang berlaku pada alam secara keseluruhan (yang dalam Al-Quran hukum-hukum itu disebut takdir seperti juga diperintahkan agar manusia memperhatikan hukum-hukum (dari Tuhan) yang berlaku pada masya-rakat manusia dalam sejarah yang dalam Al-Quran hukum-hukum ini disebut

Sunnatullâh.23

Hasil pengamatan manusia kepada alam dan sejarah membuahkan ilmu pengetahuan, yaitu, kurang lebih, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial. Dengan ilmu inilah manusia memiliki kemampuan melakukan ikhtiar atau pilihan alternatif yang sebaik-baiknya guna mencapai efektifitas dan efisiensi kerja yang setinggi-tingginya. Maka ilmu merupakan faktor keunggulan yang amat penting. Bersama dengan iman yang mendasari motivasi kerja (karena terkait dengan keinsafan akan makna dan tujuan hidup yang tinggi di atas), ilmu merupakan faktor yang membuat seseorang atau kelompok menjadi lebih unggul daripada yang lain.

Dari hal di atas itu jelas bahwa kemajuan suatu bangsa atau masyarakat akan mempunyai dampak positif kepada peningkatan etos kerja para warganya.

22 Muhammad al-Ghazali,

Berdialog dengan al-Qur’an, pen. Masykur Hakim dan

Ubaidillah, (Bandung, Mizan, 1999), h. 113. 23 Buddy Munawar Rahman (ed),


(21)

10

Sebab, dalam kemajuan suatu bangsa itu tentu langsung atau tidak langsung ter-bawa serta perkembangan dan kemajuan ilmu. Dan ilmu itu, dalam ungkapan yang lebih operatif, tidak lain ialah kefahaman manusia akan situasi, kondisi dan lingkungan yang terkait dan mempengaruhi kerjanya untuk berhasil atau tidak. Ilmu memfasilitasi kerja, dan fasilitas itu, pada urutannya, mempertinggi motivasi kerja dan memperkuat etos kerja. Sebagaimana disabdakan Nabi Saw., ilmu, setelah iman, adalah jaminan utama keberhasilan di dunia, di akhirat, dan di dunia-akhirat sekaligus.24

Oleh karena itu penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang kajian hadis mengenai konsep ikhtiar dan takdir dengan menggunakan studi analisa komparasi pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish Madjid.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis membatasi hanya mengangkat tentang konsep ikhtiar dan takdir dalam persepektif Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish Madjid dengan menganalisa komparasi pemikiran kedua tokoh tersebut melalui kajian hadis.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaiman pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish Madjid tentang hadis ikhtiar dan takdir dengan analisa komparasi pemikiran keduanya.

24 Buddy Munawar Rahman,


(22)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam skripsi ini penulis membagi tujuan penelitian ini pada tujuan khusus dan tujuan umum:

a. Tujuan khusus

1) Memenuhi persyaratan menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2) Untuk mendapat wawasan mengenai hadis tentang konsep ikhtiar dan takdir dalam presfektif pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish Madjid.

b. Tujuan Umum

1) Memberikan kontribusi wawasan dan memperkaya khazanah intelektual kepada umat Islam khususnya kepada penulis.

2) Mendorong umat Islam untuk memahami hadis dengan benar dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an serta kehidupan manusia.

3) Mendorong umat Islam untuk menjalani hidup dengan lebih semangat dan optimis untuk menggapai tujuan hidup.

4) Untuk melengkapi sebagian dari persyaratan guna memperoleh gelar akademik Sarjana Strata Satu (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(23)

12

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini secara teoritis dapat memberikan pemahaman kepada kita bagaimana suatu hadis dapat dipahami sesuai dengan konteks yang terjadi sekarang ini, sehingga kita tidak terlalu kaku dengan pengamalan hadis yang menjadi pedoman hidup kita.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara metode

library research yang didukung dengan kajian-kajian literatur. Data utama adalah

buku-buku pemikiran tentang Nurcholish Madjid dan Muhammad al-Ghazali serta didukung data sekunder dari buku-buku yang mempunyai kaitan dengan permasalahan yang sedang diangkat dengan menggunakan sumber-sumber kitab-kitab hadis, karya ilmiah, dan karya tulis lainnya.

2. Metode Pembahasan

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis, sebagai upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun sekunder) kemudian menganalisa secara proposional dan komperhensif sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permaslahan dan akan menghsilkan pengetahuan yang valid.


(24)

3. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009-2010.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang merupakan suatu rangkaian penulisan yang saling berhubungan, dengan uraian sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan. Bab kedua berisi tentang biografi Nurcholish Madjid dan Muhammad al-Ghazali. Bab ketiga pengartian ikhtiar dan takdir. Bab keempat berisi analisa komparasi pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish Madjid tentang konsep ikhtiar dan takdir Bab kelima berisi kesimpulan dan saran. Penulisan skripsi ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(25)

14

BAB II

BIOGRAFI TOKOH

Menelusuri sketsa atau latar belakang biografi tokoh intelektual baik dari sisi kehidupan pribadi maupun konteks sosio-politik yang melingkupinya amat relevan untuk diajukan agar mampu menemukan gambaran yang tepat berkaitan dengan fungsi-fungsi intelektual yang disodorkan di wilayah publik.

Perlunya penyelusuran tentang biografi tokoh intelektual atau membaca buku hasil pemikirannya, maka akan diulas hal-hal yang berlkaitan dengan kehidupannya. Selain itu, pengenalan kehidupan seorang tokoh juga dimaksudkan supaya pembaca tahu persis siapa sebenarnya tokoh yang sedang disorot.

Kehadiran Muhammad al-Ghazâlî dan Nurcholish Madjid sebagai tokoh intelektual di tengah masyarakat muslim dunia khusunya di Timur Tengah dan Asia Tenggara, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi intelektual yang dijalankan dan dari kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupi kehidupan keduanya.

A.Muhammad al-Ghazâlî 1. Biografi dan Karya-karyanya

Syekh Muhammad Al-Ghazâlî Al-Siqâ. Dilahirkan dan tumbuh di keluarga yang kurang mampu di desa Nakl Al-Imad wilayah Itay Al-Barûd Propinsi Al-Buhaira Mesir. Dilahirkan pada hari Sabtu 5 Dzulhijah 1335 Hijriyah, 22 September 1917 Masehi. Orang tuanya memilihkan nama Muhammad


(26)

Ghazâlî,1 karena rasa hormatnya kepada Hujjat al-Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazâlî dan ketertarikannya terhadap dunia sufi2.

Muhammad Al-Ghazâlî adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal Al-Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat sebagai siswa di Ma’had

al-Dîn (sekolah agama yang berada di bawah Al-Azhar), di kota Alexandrea. Ia

Menamatkan Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1932 M. Di tempat yang sama, beliau menamatkan Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.3

Tahun 1937 M. beliau melanjutkan studinya ke perguruan tinggi jurusan Ushuluddin di Kairo. Di sana beliau menuntut ilmu dari beberapa ulama besar antara lain Syekh ‘Abd al-Adhim Al-Zarqani, Muhammad Abduh,4 Syekh Mahmud Syaltut5 dan lain-lain. Lulus dari jurusan Ushuluddin dan mendapatkan gelar kesarjanaan pada tahun 1941 M. Di fakultas yang sama beliau juga mendapatkan gelar kesarjanaan dalam bidang dakwah dan penyuluhan Islam pada tahun 1943 M. Pada tahun yang sama di fakultas Ushuluddin beliau bertemu dengan Mursyid ‘Âm Ikhwanul Muslimin Hasan al-Banna6 (1324 – 1368 H. / 1906 – 1949 M.) dan akhirnya menjadi anggota organisasi tersebut. Pada saat

1 Al-Ghazâlî,

Kumpulan Khutbah Muhammad al-Ghazâlî, terj. Mahrus Ali, (Surabaya:

Duta Ilmu, 1994), jilid I, h. 18. 2 Yûsuf al-Qardhâwî,

Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal, terj. Surya Dhrama

(Jakarta: Robbani Press, 1999), h. vii 3 Yûsuf al-Qardhâwî,

Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal, h. vii

4 Muhammad Abduh, guru Rasyid Ridha dan Musthafa al-Maraghi, adalah satu diantara penulis Tafsir al-Manar yang acap kali disebut sebagai tokoh pembaharu Mesir.

5 Syeih Mahmud Syaltut adalah pengarang buku terkenal

al-Islam, Aqidah wa Syariah. 6 Hasan al-Banna, kakak kandung Gamal al-Banna, adalah pemimpin terkenal kelompok Ikhwanul Muslimun, al-Banna juga terkenal dengan militansinya dalam membela Islam, sehingga membuatnya sangat berani menentang kekuasaan Mesir yang tirani waktu itu, bahkan pikirannya banyak dirujuk aktivis muslim diberbagai belahan dunia hingga kini.


(27)

16

itulah perubahan besar dalam kehidupan intelektualitasnya terjadi. Beliau menikah ketika masih duduk di bangku kuliah di jurusan Ushuluddin dan dikaruniai sembilan anak. Yang hidup ada tujuh orang, dua laki-laki bernama Diyaa dan A’la dan lima perempuan.7

Dakwahnya telah dimulai ketika masih duduk di bangku kuliah, yaitu dengan menjadi imam sekaligus khatib di Masjid Kairo. Dua tahun setelah mendapatkan gelar kesarjanaan, yaitu pada tahun 1942 M., beliau ditetapkan oleh kementrian Wakaf sebagai imam sekaligus khatib di Masjid Atabah di pusat kota Kairo. Jabatannya dalam bidang dakwah dan penyuluhan agama di kementrian Wakaf terus meningkat. Berturut-turut menjabat sebagai pimpinan pengawas masjid, penceramah di masjid Al-Azhar al-Syarif, menjadi wakil dan ketua ta’mir beberapa masjid, direktur pelatihan da’i, direktur bidang dakwah dan penyuluhan Islam pada tanggal 2 Juli 1971 M., dan akhirnya menjadi wakil kementrian Wakaf urusan dakwah Islam pada 8 Maret 1981 M.8

Kemampuan sastra dan intelektualnya berkembang di bawah bimbingan Hasan al-Banna dan di surat kabar Al-Ikhwan (yang nantinya akan menjadi salah satu penulisnya) hingga akhirnya beliau diberi gelar Adiib al-Dakwah (sastrawan dakwah). Muhammad Al-Ghazâlî juga ikut merasakan cobaan dan cercaan yang menimpa organisasi Ikhwanul Muslimin dan di tahan di penjara Al-thur di dataran Tinggi Sinai sekitar tahun 1949 M. Kemudian di penjara di tahanan Thurah

7 Yûsuf al-Qardhâwî,

Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal, h. 6 8 Yûsuf al-Qardhâwî,


(28)

selama kurang dari satu tahun pada waktu pemeriksaan bersama Assyahid Sayid Qutb yang syahid pada tahun 1965.9

Ketika mengikuti muktamar nasional bagi kekuatan masyarakat pada tahun 1962 M. beliau diberi kesempatan untuk melawan serangan media massa yang dipimpin oleh para jurnalis liberal dan orang-orang kiri. Dia didukung oleh mayoritas aktivis masjid. Pernah suatu ketika, beliau berkhutbah di Masjid Amr Ibn Al-Ash yang dihadiri lebih dari 10.000 pengunjung.

Ketika dia melontarkan kritikan terhadap negara, dia dihukum dengan pembatasan kebebasannya, banyak terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh jamaah masjid untuk mendukungnya. Pada tahun 1974, beliau dan Syekh Muhammad Abu Zahrah melakukan perubahan Undang-undang Ahwal al-Syahsiyah (Undang-Undang Pernikahan, perceraian dan yang berkaitan dengan keluarga). Beliau berpandangan bahwa problem negara Mesir terletak pada ketidakmampuan generasi muda untuk menanggung beban (biaya) pernikahan, bukan terletak pada poligami, dan tidak ada kemampuan bagi negara untuk menanganinya. Negara mencekalnya dari memberi ceramah di Universitas Amr Ibn Al-Ash kemudian dipecat dari kegiatan dakwah bahkan jabatan (Pimpinan Umum Dakwah) yang sebelumnya dihapus oleh pemerintah. Beliau ditahan di sebuah rumah yang hanya beralas tikar tanpa ada meja di kampung Sindarah, Di samping Masjid Shalahuddin di Kairo, maka dia duduk di atas tikar sibuk mengarang.10

9 Yûsuf al-Qardhâwî,

Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal, h. 7. 10 Yûsuf al-Qardhâwî,


(29)

18

Ketika dia merasa bahwa bahaya telah dekat darinya, pada saat pemeriksaan Salih Sariyah, terdakwa utama dalam masalah yang dikenal dengan masalah al-fanniyah al-’Askariyah, yang mana terdakwa mengaku pernah berziarah kepada Syekh Muhamad al-Ghazâlî, dia berusaha untuk keluar dari Mesir. Dia pergi ke Kerajaan Arab Saudi dan menjadi dosen di Universitas Ummul Qura di Mekkah Al-Mukaramah antara tahun 1974 – 1981 M. Pada tahun 1981 M. beliau diangkat menjadi wakil kementrian Wakaf untuk urusan dakwah, namun akhirnya dipecat ketika berbeda pendapat dengan kebijakan negara mengenai perdamaian dengan Israel.

Al-Ghazâlî juga mengajar di Universitas al-Azhar yakni di fakultas Syari’ah, Ushuluddin, Dirasat al-Arabiyah wa al-Islamiyah, dan Tarbiyah, serta

beliau pernah diberi gelar kehormatan sebagai guru besar pada Universitas Qatar11. Beliau juga aktif menulis di beberapa majalah yang ada di Mesir, seperti

al-Muslimun, al-Nadzir, al-Mabahits, Liwa al-Islam, Mimbar al-Islam, dan

majalah milik al-Azhar sendiri. selain itu, beliau juga banyak menulis majalah luar Mesir, seperti, Arab Saudi pada majalah al-Dakwah, al-Tadhamun, al-Islam,

majalah Rabithah, dan di beberapa surat kabar harian serta mingguan lainya,

semantara di Qatar beliau hanya menulis di majalah al-Ummah, begitu pula di

kuwait, menulis untuk majalah untuk majalah al-Wahyu al-Islami dan

al-Mujtama’.12

11 Yûsuf al-Qardhâwî,

Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal. h. 30 12 Muhammad al-Ghazâlî,

Berdialog Dengan al-Qur’an, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah, (Bandung: Mizan, 1997), cet. III, h. 5


(30)

Perkenalan al-Ghazâlî dengan dunia Arab dan Islam di luar Mesir sebenarnya telah terjadi lebih awal yaitu pada tahun 1952 – 1953 M., ketika beliau menjadi pimpinan Al-Takiyah Al-Misriyah di Mekkah. Antara tahun 1968 – 1973

M beliau menghabiskan bulan Ramadhan di negara-negara Kuwait, Qatar, Sudan, dan Maroko. Beliau juga pernah mengikuti pertemuan tahunan pemikiran Islam di Al-Jazair sejak tahun 1980 M., pernah juga bekerja di Qatar sebagai dosen tamu antara tahun 1982 – 1985 M. dan hidup di Al-Jazair pada tahun 1985 – 1988 M. sebagai penggagas sekaligus pembimbing Universitas Islam Al-Amir Abd al-Qadir. Dia juga pernah menjadi nara sumber di beberapa seminar. Selama 15 tahun (1974 – 1988 M.) hidup di tengah-tengah masyarakat, meneliti problematika yang dihadapi dan mencarikan solusinya, dan kelak beliau menjadi ahli Fikih Dakwah dan pembaru yang kharismatik di dunia Arab dan Islam.13

Muhammad al-Ghazâlî memiliki kebebasaan berpikir dan berjiwa pembaharu semenjak tahun 50-an. Ketika keluar dari organisasi Ikhwanul

Muslimin (karena berbeda pendapat dengan Mursyîd ‘Âm Ustadz Hasan

Al-Hudhaibi) lalu beliau mencurahkan segenap waktunya untuk dakwah dan mengarang, dan selalu menjaga kemerdekaan berpikir sampai beliau kembali bergabung dengan organisasi Ikhawanul Muslimin yaitu pada tahun-tahun akhir

hayatnya.

Muhammad al-Ghazâlî menuntut ilmu kepada Imam Hasan Al-Banna, salah seorang murid Rasyid Ridha, sedang Syekh Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh, dan beliau adalah salah seorang murid Jamaluddin

13 Muhammad Imarah,


(31)

20

Afghani. Al-Ghazâlî membatasi manhaj madrasah ini, dia bergabung pada masalah proyek pemikiran pembaruan, di tengah pembahasannya tentang madrasah-madrasah pemikiran pembaruan – madrasah al-Ra’y (aliran pemikiran

logika) dan Atsâr (warisan/tekstual) serta perimbangan antara keduanya

sebagaimana yang terjadi pada Ibnu Taimiyah walaupun lebih condong pada Atsar, serta madrasah kebebasan pribadi di antara aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda. Dia membatasi madrasahnya dengan menyeimbangkan antara pendapat dan Atsâr, sebagaimana metode madrasah Ibnu Taimiyah. Hal itu terjadi

karena dia mengembangkan akalnya, menyebutkan dasar atau dalilnya, dan menganggap akal sebagai asal dari naql (nash). Yaitu mengedepankan Al-Qur’an

daripada al-Sunnah dan menjadikan isyarat Al-Qur’an lebih utama daripada Hadis Ahad, menolak nasakh (penghapusan nash) dan mengingkari bila dalam Al-Qur’an terdapat nash yang telah habis masanya. Dia memandang bermazhab adalah pemikiran Islam yang terkadang bermanfaat, namun hal itu bukan suatu keharusan. Dengan begitu, dia mengingkari taklid terhadap mazhab, menghormati ilmu para imam. Dia beraktivitas demi tersebarnya Islam di seluruh dunia dengan akidah (keyakinan) dan nilai-nilainya yang asasi. Dan tidak menghiraukan ungkapan kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab baik tradisional maupun modern.14

Muhammad al-Ghazâlî adalah orang yang berbicara dengan penuh makna dalam bidang keislaman. Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapannya, ”hati yang bertakwa dan akal yang cerdas” sebagai ungkapan tentang manhaj pertengahan

14 Muhammad Al-Ghazâlî,

Dustur al-wahdah al-Tsaqafiyah Bayn al-Muslimin (Kairo:


(32)

Islam yang menyeluruh dalam sumber-sumber pengetahuan antara dua kitab Allah yaitu kitab wahyu yang tertulis dan kitab alam yang tampak oleh indera. Dan dalam jalan pengetahuan antara akal dan nash, antara penelitian dan perasaan, oleh karena itu andil Syaikh Al-Ghazâlî dalam Al-Qudwah merupakan

sumbangsih yang sangat berharga dalam dunia intelektual sebagaimana pemikirannya yang terbebas dari ketidaksinkronan antara akal dan hati serta pandangannya yang mencampur antara problematika yang dihadapi oleh masyarakat di masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang.

Pada hari Sabtu tanggal 9 Syawal 1416 H bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1996, dunia Islam dikejutkan dengan berita meninggalnya Syaikh al-Ghazâlî di Riyadh. Berita itu sangat mengejutkan umat Islam sedunia karena ketika itu beliau sedang berada di Riyadh Arab Saudi untuk menghadiri sebuah seminar. Jenazah diterbangkan ke Mesir dan di kebumikan di sana. Syaikh Muhammad al-Ghazâlî telah berjasa besar dalam mengembangkan pola pikir umat Islam dan pengabdiannya pada Islam. Beliau wafat pada usia 78 tahun dan dihabiskan hidupnya untuk kepentingan dakwah.15

Syaikh Muhammad al-Ghazâlî adalah ulama yang sangat produktif. Ia menulis 48 buku dalam perlbagai bidang, sebagian bukunya telah dicetak ulang sampai dua puluh kali, dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, serta sebagiannya dijadikan referensi pada sebagian universitas, sebagian bukunya menimbulkan pro dan kontra yaitu; Islam Wa al-Auda’

Al-Iqtishadiyah, Al-Islam Wa almanahij Al-Istirakiyah, Al-Islam Al-Muktara Alaihi

15 Muhammad al-Ghazâlî,


(33)

22

Baina Al-Syuyuiyin Wal Ra’ samaliyin, Al-Islam Fi wajhi Al-Zuhuf Al-Ahmar ,

dan lain-lain.16

Dalam menghadapi kediktatoran politik, dia mempertahankan musyawarah dengan tata cara Islam, karya-karya yang membahasnya antara lain; Al-Islam Wal

Istibdaad Siasy, Huquuqu Insan baina taalimi Islam Wa I’laani Al-Umam Al-Muttahidah, dan lain-lain.17

Dalam menghadapi hegemoni Barat dan aliran sekuler materalistik, Atheisme dan westernisasi, dia mempersembahkan buku : Min huna Na’lam,

Difa` ’an Al-Akidah Wal Syariah Dlidda mataa ini Al-Mustasyrikin, Al-Ghazwu Al-Tsaqafi yam taddu fi faraaghina, Mustaqbal Al-Islam kharija ardlihi wakaifa tufakkiru fiihi, Shahatu tahdhiri min dua’ti Al-Tanshir, dan lain-lain.18

Dalam menghadapi dekadensi moral beliau mempersembahkan: Dustur Wahdah Tsaqafiyah bain al-Muslimin, Turatsuna Fikri fi mizan Al-Syar’ Wal Aqli, Qadlaya Al-Mar`at bain Al-Taqalid Al-Rakidah Wa al Wafidah, Al-Sunnah Al-Nabawiyah baina ahli Al-Fikih wa ahli Al-Hadis, dan lain-lain.

Untuk memperbarui jati diri Islam, beliau mempersembahkan 10 buku antara lain: Khuluq Muslim, Aqidat Muslim, Jaddid Hayaatak, Fikih

Al-Shirah, Kaifa Nafham Al-Islam?, Al-Janib Al-‘Athifi min Al-Islam, Sirr Ta`akhkhur Al-Arab wal Muslimin, dan lain-lain.

Adapun makalah Syekh al-Ghazâlî dalam dunia intelektual, dakwah, pendidikan dan karya ilmiah untuk menghidupkan umat Islam dengan agamanya

16 Muhammad al-Ghazâlî,

Fiqh al-Sirah, (Ttp, 1988 M/1408 H), h. 9 17 Muhammad al-Ghazâlî,

Fiqh al-Sirah, h. 9. 18 Muhammad al-Ghazâlî,


(34)

dan membangkitkan kekuatan hidup adalah ”hal pertama yang harus dilakukan adalah membangkitkan kembali kekuatan Islam yang berhenti pada masa kemajuan, bahkan pada masa para penyembah sapipun telah maju! Dan tantangan yang kita hadapi akan hilang ketika orang-orang Islam konsisten dengan keislamannya dan berbodong-bondong memasukinya, baik pemerintah maupun masyarakat.19

Al-Ghazâlî merupakan pengusung kebebasan berpikir Islami dari kungkungan kejumudan dan taklid. Hal tersebut dapat membedakan antara dasar-dasar Islam yang terjaga (kebenarannya) dan pemikiran Islam yang tidak terjaga (kebenarannya). Dia menolak anggapan bahwa orang-orang terdahulu tidak meninggalkan bidang ijtihad pembaruan bagi generasi berikutnya. ”Islam membentuk imam dan mujtahid.” Mereka tidak merumuskan dasar Islam, sedang sumber-sumber Islam terjaga (dari kesalahan) karena berasal dari Allah. Sedangkan pemikiran ijtihad yang sebagiannya tidak terjaga (dari kesalahan) karena berasal dari manusia. Ulama terdahulu melakukan penelitian dalam memberikan dasar-dasar Fikih Islam dengan harapan generasi berikutnya dapat lebih mampu menyusun, meruju, menimbang dan memilih”.20

Beliau memandang bahwa kebaikan manusia adalah dengan adanya keadilan masyarakat sebagai syarat baiknya hati mereka terhadap agama Islam, dan keadilan Islam adalah jalan menuju keutamaan Islam dan ketakwaan hati, karena suatu hal yang sulit untuk mengisi hati manusia dengan petunjuk bila perutnya kosong dan memakaikan pakaian takwa bila jasadnya tidak berpakaian,

19 Muhammad al-Ghazâlî,

Berdialog dengan al-Qur’an, h. 7 20 Muhammad al-Ghazâlî,


(35)

24

maka suatu keharusan untuk memiliki ekonomi yang mapan terlebih dahulu. Kebaikan adalah bangunan yang sempurna bila kita dengan iklas memerangi keburukan dengan nama agama atau suka memberi petunjuk manusia kepada hidayah Allah, Tuhan alam semesta.

Beliau juga mendorong untuk memahami dasar agama Islam yang pertama yaitu Al-Qur’an dengan merenungi seluruh isinya. Tauhid yang menjadi dasar eksistensi dan tatanan hidup, juga jalan kemerdekaan dan kekuasaan manusia dari penyembahan Thaghut. Di samping itu, dia juga mendorong untuk memahami ayat kauniyah yang tersebar dalam diri (manusia) dan alam. Yang ketika kita memikirkannya akan tinggilah sendi-sendi agama dan keimanan. Sebagaimana dia juga mendorong untuk memahami cerita-cerita Qur’ani sebagai perangkat pendidikan dan pengajaran atas keyakinan agama, memahami berita-berita tentang alam ghaib, kebangkitan dan hari pembalasan, serta perannya dalam membangun ahlak, mendidik dan menyeru pada kebaikan dunia yang dibangun sebagai bekal di hari kiamat.21

Beliau mempertahankan Sunnah Rasulullah di samping Al-Qur’an. ”Tegaknya Islam dapat dicapai dengan memahami dan menafsirkan kandungan Al-Qur’an dan merealisasikan tujuan dan pesan-pesannya, sebagaimana tidak ada fikih kecuali dengan Sunnah dan tidak ada Sunnah tanpa fikih. Hukum agama tidak diambil dari satu hadis yang terpisah dari Hadis lain, namun diambil dengam mengumpulkan satu hadis dengan hadis yang lain, kemudian membandingkan

21 Muhammad al-Ghozali,

Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, terj.


(36)

kumpulan hadis tersebut dengan Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah bingkai semua hadis berjalan didalamnya, tidak bersebrangan dengan hukum-hukumnya. Hukum-hukum dalam hadis shahih diambil dan diperas dari Al-Qur’an, Rasul mengambil hukum tersebut dengan bimbingan Illahiyah dan keterangan Rabani untuk menafsirkan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an, disebutkan secara global. 22

Syekh al-Ghazâlî hidup, sedang hatinya melengket ke masjid, cita-citanya (yang terealisasi ketika ia bertanggung jawab di bidang dakwah di kementrian Wakaf) adalah untuk menjadikan masjid sebagai Universitas Islam yang bebas bagi generasi muda dan masyarakat. Beliau memberikan pelajaran yang teratur dalam bidang agama dan kebudayaan Islam bahkan tulisan terakhirnya yang ditulis untuk seminar di Universitas al-Azhar pada 5 Maret 1996 M. yang bertemakan ”Seputar Masjid dan Dakwah Islam” yang ia tidak bisa menghadirinya karena bepergian merupakan wasiat yang telah ditulisnya untuk mengubah masjid menjadi Universitas Kebudayaan Islam. Dia telah menjadikan masjid sebagai ”Nadwah,” hal itu terjadi empat hari sebelum wafatnya.

Beliau kembali ke Mesir dan menetap di rumahnya Jalan Dr. Sulaiman No. 10 Dusun Al-Duqi Kairo sejak tahun 1988 M. Kepergiannya dari Kairo merupakan keikutsertaannya dalam pertemuan-pertemuan ilmiah dan pemikiran. Di antara perjalanannya yang terakhir adalah perjalanannya ke PBB yang mana beliau berceramah pada ulang tahunnya yang ke lima puluh.

22 Muhammad al-Ghozali,


(37)

26

Pada tahun yang sama pula, pemeritah mesir menganugrahkan kepada beliau bintang kehormatan tertinggi, demikian juga dengan pemerintah Aljazair yang telah menganugrahkan beliau bintang kehormatan tertinggi dalam bidang dakwah Islam yaitu medali al-Asir. Sedangkan dari kerajaan Arab Saudi, beliau

merupakan satu-satunya yang mendapat penghargaan Internasional Raja Faisal dalam pengabdian kepada Islam23.

2. Tipologi Pemikiran

Syaikh Muhammad al-Ghazâlî telah menghabiskan waktunya demi membela Islam, menurutnya seorang Muslim seharusnya selalu berhati-hati terhadap musuh-musuhnya, baik dari dalm maupun dari luar. Seorang Muslim seharusnya selalu siap untuk membela, bahkan kalau perlu menyerang. Sebab, menyerang tidak lebih dari salah satu srana pertahanan.24

Al-Ghazâlî telah berjuang dalam dua medan: pertama, terhadap musuh-musuh yang membenci dan memerangi Islam, menurutnya, musuh-musuh-musuh-musuh ini terdiri dari kekuatan internasional non-muslim. Mereka adalah jaringan Zionisme, kaum kristen, dan Komunisme. Walaupun mereka berbeda agama , mereka bersatu dalam upaya menghancurkan Islam. Kedua yang dihadapi syaikh al-Ghazâlî adalah umat Islam yang tidak mengetahui hakikat Islam, tapi mengklaim sebagai ahli Islam. Mereka lebih berbahaya dari pada kelompok pertama, al-Ghazâlî menamakan mereka “kelompok pemecah belah” karena mereka sering

23 Muhammad al-Ghazâlî,

Berdialog Dengan al-Qur’an 24 Muhammad al-Ghozali,


(38)

memecah belah umat Islam dengan memunculkan isu-isu sepele dalam Islam. Biasanya mereka mengangkatat masalah-masalah khilafiyah dalam fiqih.25

Al-Ghazâlî juga mengecam para pemikir yang tidak mengetahui prinsip-prinsip umum Islam, seperti persoalan tata negara dan sistem ekonomi Islam. Beliau juga dikenal keras dalam bersikap. Jika berdebat, ia dikenal tajam menderu bak ombak, mengelegar bak halilintar, menggaum seperti singa. Dalam menulis ia bagaikan seorang tentara yang sedang perang, saat itu pena di tangan berubah menjadi pedang. Tetapi beliau juga seorang yang lemah lembut, mudah menitikan air mata, seorang yang jernih, sederhana, rendah hati, dan tidak sungkan-sungkan belajar dengan muridnya. Sepanjang hidupnya, al-Ghazâlî adalah seorang da’i dan

pemikir bebas. Ia tidak mengabdikan pemikirannya kepada siapapun.26

B. Nurcholish Madjid

1. Biografi dan Karya-karyanya

Nurcholish Madjid (selanjutnya kita akan sebut “Cak Nur” saja, seperti panggilan akrabnya) lahir pada 17 Maret 1939 dari keluarga pesantren di Jombang, Jawa Timur. Berasal dari keluarga NU (Nahdlatul `Ulama’) tetapi berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi. Ia mendapatkan pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar dan Bareng, juga Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Jombang. Kemudian melanjutkan pendidikan di Pesantren (tingkat menengah SMP) di Pesantren Darul `Ulum, Rejoso, Jombang. Tetapi karena ia berasal dari

25 Muhammad al-Ghozali,

Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, 26 Muhammad al-Ghazâlî,

al-Qur’an Kitab Zaman Kita; Mengaplikasi pesan kitab suci dalam konteks masa kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidilah, (Bandung, Mizan, 2008),h. 18


(39)

28

keluarga NU yang Masyumi, maka ia tidak betah di pesantren yang afiliasi

politiknya adalah NU ini, sehingga ia pun pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu`allimin al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di tempat inilah ia ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, khususnya bahasa Arab dan Inggris.27

Dari Pesantren Gontor yang sangat modern pada waktu itu, Cak Nur kemudian memasuki Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta sampai tamat Sarjana Lengkap (Drs), pada 1968. Dan kemudian mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago, 1978-1984, hanya karena diskusinya dengan Fazlur Rahman kemudian Cak Nur mendapat gelar Ph.D dalam bidang filsafat Islam (Islamic Thought. 1984) dengan

disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taymîyah (Ibn

Taymmiyya on Kalam and Falsafah).28

Karir intelektualnya, sebagai pemikir Muslim, dimulai pada masa di IAIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), selama dua kali periode, yang dianggapnya sebagai “kecelakaan sejarah” pada 1966-1968, dan 1969-1971.29 Dalam masa itu ia juga menjadi presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan Wakil Sekjen

27 Buddy Munawar Rahman(ed),

Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Indramayu, Penerbit

Pesantren az-Zaitun, 2008), h. 9 28 Greg Barton,

Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta, Paramadina dan Pustaka

Antara, 1999), h 78.

29 Dr Victor Tanja,

Himpunan Mahasiswa Islam, (Yogyakarta, Pustaka Sinar harapan ,


(40)

IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.30 Dalam masa inilah Cak Nur membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir muda Islam. Di masa ini (1968) ia menulis karangan “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”,31 sebuah karangan yang dibicarakan di

kalangan HMI seluruh Indonesia.

Setahun kemudian, 1969, ia menulis sebuah buku pedoman ideologis HMI, yang disebut Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sampai sekarang

masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, dan benama Nilai-nilai

Identitas Kader (NIK). Buku kecil ini, merupakan pengembangan dari artikel Cak

Nur yang pada awalnya dipakai sebagai bahan training kepemimpinan HMI, yaitu

Dasar-dasar Islamisme. NDP ini ditulis Cak Nur setelah perjalanan panjang

keliling Amerika Serikat selama sebulan sejak November 1968, beberpa hari setelah lulus sarjana IAIN Jakarta, yang kemudian dilanjutkan perjalanan ke Timur Tengah, dan pergi haji, selama tiga bulan. Tentang pengalaman menulis NDP ini Cak Nur mengemukakan,32

”...Setelah pulang haji pada bulan Maret 1969, saya mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan tugas tugas saya di HMI, karena pada bulan Mei berikutnya akan dilangsungkan Kongres HMI kesembilan di Malang. Sebagai Ketua Umum PB HMI, saya tentu harus mempersiapkan laporan pertanggungjawaban.

Tetapi selang waktu antara pulang haji sampai kongres itu juga saya pergunakan untuk menyusun risalah kecil berjudul Nilai nilai Dasar Perjuangan

30 Artikel ini kemudian dimuat dalam buku kritik Rasjidi,

Koreksi terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972). Dan semua artikel Nurcholish

Madjid dalam buku tersebut, dimuat kembali dalam Islam, Kemoderenan dan Keindonesioaaan,

(Bandung: Penerbit Mizan, 1987). 31 Nurcholish Madjid,

Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Penerbit

Mizan, 1987), h. 172. 32 Solichin

, HMI Candradimuka Mahasiswa, (Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation,


(41)

30

(NDP). Risalah kecil ini sebetulnya merupakan penyempurnaan dari Dasar dasar Islamisme yang sudah saya tulis sebelumnya, pada tahun 1964 an, yang saya

sempurnakan dengan bahan bahan yang saya kumpulkan terutama dari perjalanan ke Timur Tengah. Jadi dapatlah dikatakan, risalah kecil ini memuat ringkasan seluruh pengetahuan dan pengalaman saya mengenai ideologi Islam. Dan alhamdulillah, dua bulan kemudian, yaitu pada bulan Mei 1969, kongres HMI kesembilan di Malang menyetujui risalah saya itu sebagai pedoman bagi orientasi ideologis anggota anggota HMI.33

Dalam menulis risalah itu, saya terutama diilhami oleh tiga fakta. Pertama

adalah belum adanya bahan bacaan yang komprehensif dan sistematis mengenai ideologi Islam. Kami menyadari sepenuhnya kekurangan ini di masa Orde Lama, ketika kami terus menerus terlibat dalam pertikaian ideologis dengan kaum komunis dan kaum nasionalis kiri, dan sangat memerlukan senjata untuk membalas serangan ideologis mereka. Pada waktu itu kami harus puas dengan buku karangan Tjokroaminoto, Islam dan Socialisme, yang tidak lama kemudian

kami anggap tidak lagi memadai.34

Alasan kedua yang mendorong saya untuk menulis risalah kecil itu adalah

rasa iri saya terhadap anak anak muda komunis. Oleh Partai Komunis Indonesia

(PKI), mereka dilengkapi dengan sebuah buku pedoman bernama Pustaka Kecil

Marksis, yang dikenal dengan singkatannya PKM.35

Alasan yang ketiga, saya sangat terkesan oleh buku kecil karangan Willy

Eichler yang berjudul Fundamental Values and Basic Demands of Democratic Socialism. Eichler adalah seorang ahli teori sosialisme demokrat, dan bukunya itu

berisi upaya perumusan kembali ideologi Partai Sosialis Demokrat Jerman (SPD) di Jerman Barat. Sekalipun asal mula partai itu adalah gerakan yang bertitik tolak dari Marxisme, yang tentu saja “sekular,” tetapi dalam perkembangan selanjutnya Marxisme di situ tidak lagi dianut secara dogmatis dan statis, melainkan dikembangkan secara amat liberal dan dinamis. Salah satu bentuk pengembangan itu adalah dengan memasukkan unsur keagamaan ke dalam sistem ideologinya.

Upaya perumusan kembali itu dilakukan antara lain dengan risiko bahwa mereka kemudian memperoleh cap sebagai bukan lagi sosialis, apalagi Marxis, oleh partai partai dan orang orang komunis. Tetapi, seperti kita ketahui, revisionisme Eichler itu berdampak sangat baik: SPD mampu memperluas basis massanya sehingga berhasil memenangkan beberapa kali pemilihan umum di Jerman dan menjadikannya pemegang pemerintahan (bersama dengan Partai Demokrat Liberal atau FDP). Kemenangan itulah yang membawa Willy Brandt dan Helmut Schmidt menjadi Kanselir Federal Jerman antara 1969 1974 dan 1974 1982.

Salah satu pokok yang menarik dalam teori Eichler itu misalnya adalah pemahamannya tentang demokrasi dan sosialisme atau keadilan sosial yang dinamis. Dalam pengertian dinamis itu ialah bahwa demokrasi serta keadilan sosial tidak dapat dirumuskan sekali jadi untuk selama lamanya, tetapi nilai nilai itu tumbuh sebagai proses yang berkepanjangan dan lestari tanpa putus putusnya. Suatu masyarakat adalah demokratis selama di situ terdapat proses yang tak terputus bagi terselenggaranya sistem pergaulan antarmanusia yang semakin

33 Solichin,

HMI Candradimuka Mahasiswa, h. 217 34 Solichin,

HMI Candradimuka Mahasiswa, h. 217 35Solichin,


(42)

menghormati dan mengakui hak hak asasinya. Dan masyarakat itu sosialis atau berkeadilan sosial kalau ia mengembangkan sistem ekonomi yang semakin luas dan merata penyebaran dan pemanfaatannya.

Buku kecil Eichler itu pertama kali saya peroleh dari Mas Sularso, salah seorang senior saya di HMI, sepulangnya dari menghadiri sebuah kongres mengenai koperasi di Eropa. Dan saya amat tertarik dengan isinya, terutama karena saya memperoleh model mengenai rumusan ideologi yang saya dambakan.

Karena ketertarikan saya yang besar terhadap buku kecil itu, maka nama depan risalah kecil saya di atas, “Nilai nilai Dasar,” saya adopsi dari buku Eichler ini, yakni Fundamental Values. Pertanyaannya kemudian adalah: nilai nilai dasar

apa? Kalau disebut “Islam,” saya takut jangan jangan klaimnya terlalu besar. Maka akhirnya saya namakan saja “Nilai nilai Dasar Perjuangan,” disingkat NDP. Kata “Perjuangan” di akhir itu saya kaitkan dengan buku Sutan Sjahrir, yang berjudul Perjuangan Kita. Tetapi ternyata Syahrir juga tidak orsinil. Ia

menggunakan judul itu karena diilhami oleh karya Adolf Hitler, Mine Kampft…”36

Karena karya-karya ilmiahnya di masa ini dan terutama bakat intelektualnya yang luarbiasa, dan pemikirannya yang berkecenderungan modern, tetapi sekaligus sosialis-religius ia pun oleh generasi Masyumi yang lebih tua, sangat diharapkan dapat menjadi pemimpin Islam di masa mendatang, menggantikan Mohamad Natsir, sehingga di masa ini ia pun dikenal sebagai “Natsir Muda,” sampai saatnya pada 1970, mereka, golongan tua, kecewa akibat makalah Cak Nur yang mempromosikan paham sekularisasi.

Kita akan melihat gagasan-gagasan apa yang muncul pada masa ini, yang kelak akan membuat sosok Cak Nur ini menjadi pemikir muda pada 1970 – walaupun awalnya ia mendapat reputasi buruk akibat tulisan yang disajikan pada 3 Januari 1970, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.”

Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata

36 Buddy Munawar Rahman,


(43)

32

meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.

2. Tipologi Pemikiran

Cak Nur pada 1968 merumuskan modernisasi sebagai rasionalisasi. Pengertian Cak Nur tentang “modernisasi sebagai rasionalisasi,” dimaksudkan sebagai dorongan kepada umat Islam untuk menggeluti modernisasi sebagai apresiasi kepada ilmu pengetahuan. Dalam tinjauan Islam, menurutnya modernisasi itu berarti “berpikir dan bekerja menurut fithrah atau Sunnatullah. Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula rasional. Maksud sikap rasional ialah memperoleh dayaguna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia.

Dengan kata “rasional” di sini, Cak Nur tak perlu dikaitkan dengan aliran rasional klasik Islam seperti Mu’tazilah, karena itu hanyalah salah satu bentuk saja dari kemungkinan teologi rasional. Pengaitan Cak Nur dengan Mu’tazilah misalnya yang sering dilakukan para pengeritiknya akan membuat salah paham terhadap pengertiannya menganai “rasionalnya” Cak Nur ini. Rasional seperti yang dimaksud Cak Nur, pada hakekatnya berkaitan dengan “penerapan ilmu pengetahuan,” yang kemudian berarti penerjemahan al-islam dalam terma ilmu


(44)

merupakan proses penemuan kebenaran-kebenaran mencapai Kebenaran Mutlak, yaitu Allah.

Pikiran yang berasal dari masa ketika ia menjadi ketua umum PB HMI 1966-1969 itu, tentu saja bukanlah suatu “rasionalisme,” karena ia memang mengeritik rasionalisme sebagai “paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis” Sebabnya “Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran”.

Meminjam istilah Karl Popper, Buddy Munawar-Rachman pemikiran Cak Nur kira-kira sejenis “rasionalisme yang kritis.” maksudnya, ia menganggap Kebenaran itu adalah sesuatu yang hanya dapat dicapai dalam proses. Kebenaran (dengan K besar) adalah tujuan, yang boleh dikatakan, karena keterbatasan manusia tak akan dapat dicapai secara penuh, tapi harus terus menerus dicari, dan terus maju ke depan, menguak batas-batas akal-budi.37 Pencarian (dan

penyerahan diri”) yang terus menerus tentang Kebenaran (al-islâm) itulah yang

disebutnya sebagai “sikap yang modern.”

Sebenarnya, artikel Cak Nur yang dipresentasikan pada pertemuan silaturahim antara para aktivis, anggota dan keluarga dari empat organisasi Islam, yaitu Persami, HMI, GPI dan PII, yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta, di Jakarta 3 Januari 1970, dimana Cak Nur menulis artikel yang berjudul, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” yang kemudian menimbulkan perdebatan besar mengenai sekularisasi-sekularisme,

37 Buddy Munawar Rahman,


(45)

34

adalah kelanjutan dari pemikirannya sejak 1968 itu. Menurut Cak Nur, tidak seperti yang diduga beberapa pengamat, apa yang ditulisnya itu benar-benar merupakan kelanjutan saja dari pemikiran sebelumnya. Tidak ada suatu paradigm

shift yang menggambarkan pergeseran orientasi Cak Nur dari seorang pemikir

“konservatif” misalnya, kepada pemikir “liberal,” seperti misalnya pernah dikatakan Ahmad Wahib dalam Catatan Hariannya, Pergolakan Pemikiran Islam,

dan menjadi pandangan para pemikir HMI Yogyakarta pada waktu itu seperti

Djohan Effendi dan M. Dawam Rahardjo. 38

Dalam artikel “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” Cak Nur menggambarkan persoalan-persoalan yang sangat mendesak untuk dipecahkan, khususnya menyangkut integrasi umat akibat terpecahbelah oleh paham-paham dan kepartaian politik. Cak Nur dengan jargon “sekularisasi” nya dan “Islam, Yes; Partai Islam, No?”,39 hendak mengajak umat

Islam untuk mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang telah terpasung oleh berbagai bentuk kejumudan. Karena itulah ia menyarankan suatu kebebasan berpikir, pentingnya the idea of progress, sikap terbuka, dan

kelompok pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan suatu istilah Cak Nur sendiri, psychological striking force (daya tonjok psikologis) yang menumbuhkan

pikiran-pikiran segar.

Artikel ini, yang selanjutnya menimbulkan kontroversi besar dan sempat membuat Cak Nur kehilangan reputasi baik, di kalangan tua yang konservatif menarik untuk dibahas

38

Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta, LP3ES dan

Freedom Institut, 2003), Cet 3, h167.

39 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner. (Jakarta, KOMPAS, 2010), h. 93


(46)

dan diberikan konteks dalam keseluruhan pemikirannya. Karena artikel ini sangat substansial– termasuk artikel-artikel yang menyusul, yang memberi penjelasan dan elaborasi dari artikel ini, yaitu “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Islam,” yang muncul tidak lama setelah heboh kertas kerja 3 Januari 1970 itu, dan “Sekali Lagi tentang Sekularisasi” (1972), juga “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” (1972) dan “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam” (artikel ditampilkan dalam acara sastra Dewan Kesenian Jakarta, 28 Oktober 1972). Cak Nur dalam suatu artikel

“The Issue of Modernization among Muslim in Indonesia: From a Participant’s point of

view,” yang menjadi bahan diskusi di Amerika Serikat, pada 1979.

C. Pandangan–Pandangan Terhadap Kedua Tokoh; Persamaan dan Perbedaan.

Sketsa perjalanan biografi, karya dan pemikiran intelektual tentang kedua tokoh dengan pandangan-pandangan persamaan dan perbedaan akan coba dibahas penulis, berikut pesamaan dan perbedaan kedua tokoh tersebut dan akan dibuat tabel:


(47)

36

Tabel Perbandingan Antara Muhammad al-Ghazâlî dan Nurcholish Madjid

No Muhammad al-Ghazâlî Nurcholish Madjid Keterangan

1 Basic Agamis Basic Agamis Sama

2 Sunni Sunni Sama

3 Da’i Pemikir Beda

4 Pemikiran Timur Tengah Pemikiran Barat Beda

5 Dakwah Kultural Beda

6 Penulis Penulis Sama

7 Oragnisatoris Organisatoris Sama

8 Pembaharuan Pembahruan Sama

9 Kontra Filsafat Yunani Pro Filsafat Yunani Beda


(48)

A. Pengertian Ikhtiar dan Takdir 1. Pengertian Ikhtiar

Ikhtiar berasal dari bahasa Arab (ٌرﺎَﯿِﺘْﺧإ) yang berarti mencari hasil yang lebih baik. Adapun secara istilah pengertian ikhtiar, yaitu usaha yang dilakukan

dengan segala daya upaya dan kemampuan untuk mencapai hasil terbaik.

Setiap manusia memiliki keinginan dan cita-cita untuk mendapat kesuksesan, tak ada seorang pun yang menginginkan kegagalan. Hal ini karena Allah menganugerahkan kehendak kepada manusia. Jika kehendak tersebut mampu dikelola dengan baik, manusia akan menemukan kesuksesannya. Kehendak dan keinginan tidak akan pernah tercapai tanpa ada usaha untuk meraihnya. Allah Swt telah memberikan kepada manusia potensi berikhtiar atau berusaha dalam meraih keinginannya Allah Swt berfirman:



 

 



Untuk kemenangan seperti ini hendaklah berusaha orang yang berusaha.1 Tetapi hal yang mesti diingat, tidak boleh kegigihan ikhtiar memperlemah keyakinan kepada Allah Swt.dan tidak boleh keyakinan melemahkan ikhtiar. Hasil ikhtiar harus senantiasa dikembalikan kepada kehendak Allah Swt, karena Dialah yang Maha Kuasa. Allah Swt berfirman:


(49)

38                                      

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok”, kecuali (dengan menyebut): “Insya-Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa

dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini”.2

Kita adalah makhluk sempurna, kita diberikan kemampuan memilih dan berusaha tentunya berusaha menjadi lebih baik. Allah Swt berfirman:

                                    

Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.3

Makna ayat ini, kita mesti berusaha untuk mengubah diri kita menjadi lebih baik. Salah satu bentuk ikhtiar dalam mewujudkan cita-cita diantaranya dengan lima upaya, yaitu: Fokus ke masa depan dan cita-cita kita. Pikirkan apa yang benar-benar kita inginkan, susun rencana, gali potensi dan kelebihan kita, temukan strategi, cara dan segala kemungkinan untuk mewujudkannya, yakin dan percaya 100% bahwa kita bisa. Keyakinan adalah modal utama untuk mendapatkan apapun yang kita inginkan. Segala sesuatu yang tidak mungkin dalam hidup ini hanya seringkali belum pernah dicoba, Lakukan saja sesuai

2 Q.S. al Kahfi : 23-24 3 Q.S. Ar-Ra’d : 11


(50)

dengan keinginan kita. Ikuti kata hati, tulikan telingga dari orang-orang negatif dan pesimis di sekeliling kita, selesaikan apa yang telah kita mulai. Berani dan miliki mental Sang Juara. Ingat : The winner never quit, and quitter never win!

Jangan pernah memalingkan mata kita sedetikpun dari garis finish, mulailah sekarang, saat ini juga. Lakukan segera apa yang kita rencanakan, apa saja. Ingat :

Action is Power! Sebenarnya orang sukses bukanlah orang yang hebat tetapi

mereka adalah orang yang selalu take action dan memulai lebih awal sehingga

sering kali satu langkah lebih maju dari kita.

Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Ikhtiar juga dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi, usaha kita gagal, hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Kegagalan dalam suatu usaha, antara lain disebabkan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Apabila gagal dalam suatu usaha, setiap muslim dianjurkan untuk bersabar karena orang yang sabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah atau berputus asa. Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik, bidang usaha yang akan dilakukann harus dikuasai dengan mengadakan penelitian atau riset, selalu berhati-hati


(51)

40

mencari teman (mitra) yang mendukung usaha tersebut, serta memunculkan perbaikan-perbaikan dalam manajemen yang professional.

2. Pengertian Takdir

Kata takdir berasal dari kata “qaddara” yang antara lain berarti

mengukur, menetapkan, mengatur, memberi kadar atau ukuran4, sehingga jika kita berkata, “ Allah telah metakdirkan demikian”, maka itu berarti “ Allah telah memberikan kadar atau ukuran, atau juga batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya5.

Biasanya kata qadar selalu di hubungkan dengan kata qada dan dalam

percakapan sehari-hari qada dan qadar Allah selalu ungkapkan bersama-sama sekaligus, atau disebut qadar saja dengan maksud yang sama. Dalam pengertian sehari-hari qada dan qadar disebut juga dengan kata takdir, yang biasanya

diartikan ketentuan Tuhan6.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, kata qadar itu berarti kadar atau

ukuran tertentu. Sedangkan qada berarti penetapan hukum atau pemutusan atau

penghakiman sesuatu. Seorang qadi (hakim) dinamakan demikian sebab ia

bertugas atau bertindak menghakimi dan memutuskan perkara antara dua orang yang bersangkutan dihadapan pengadilan. Al-Qur’an menggunakan kata ini dengan menisbahkannya,kadang-kadang kepada manusia untuk memisahkan dua

4 Ahmad Warson al-munawwir,

Al-Munawwir: kamus Arab Indonesia, (Surabaya:

Pustaka progresif, 1997), h 1177 dan juga lihat Mahmud Yunus, kamus Arab-Indoesia, (Jakarta:

PT Hida Karya Agung, 1990) h. 332

5 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2002), cet ke XI, h. 61 6 Maulana M. Ali,


(52)

pokok pembahasan dan juga untuk memisahkan antara dua pencipta di alam raya ini.

Qada dan qadar adalah dua kata yang saling beriringan, dan tidak dapat

dipisahkan antara keduanya, karena salah satunya berkedudukan sebagai banguanannya yaitu qada. Apabila memisahkan keduanya berarati

memnghancurkan atau membinasakan bangunan tersebut.7

Sebagaimana al-Sya’rawi mendefinisikan makna takdir, yaitu taksiran segala sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang setelah mengamati ukuran-ukuran yang telah terjadi di masa silam. Sehingga secara istilah takdir merupakan segala sesuatu yang terjadi di alam jagat raya ini dan segala isinya, serta kejadian dalam kadar dan ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dinamakan takdir. 8

Sementara itu Syaik al-Islam Ibn Taymiyah mendefinisikan, bahwa takdir adalah segala sesuatu yang terjadi karena sebab dan akibat. Misalnya seorang yang meninggal disebabkan sakit.9

Dalam al-Qur’an, berkali-kali disebutkan masalah qadar atau takdir sebagaiman firman Allah:



 

 

Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.10

7 M. Ibrahim al-Hamid,

Kupas Tuntas Masalah Takdir, terj. A. Syaikhu, (Jakarta: Daar

ibn Khuzaimah, t.th), cet 3, h. 27. 8 Murtadha muthahari,

Persfektif al-Qur’an tentang manusia dan agama, (Bandung:

Mizan, tth ),cet 1, h. 198.


(1)

Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan den merdeka. Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di tengah alam dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari pada kemanusiaan tidaklah berarti manusia selalu dan di mana saja merdeka. Ada batas-batas bagi kemerdekaan adalah sesuatu kenyataan. Batas-batas tertentu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri yang tidak tunduk dan patuh kepada kemauan manusia.

Manusia juga tidak dapat berbicara mengenai takdir sesuatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa, tidak terlalu berputus asa karena sesuatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan diri karena suatu kemujuran. Sebab segala seuatu tidak hanya tergantung pada diri sendiri, melainkan juga kepada takdir, sebagaimana firman Allah Swt:

               

(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira, terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.S. al-Hadid : 23).

Jadi ikhtiar dan takdir adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling berkaitan satu dengan yang lain mengenai proses yang terjadi pada alam manusia, dan sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri dalam konteks ini tidak dapat dielakan bahwa untuk tidak bersikap fatalisme yang


(2)

78

menyebabkan kemuduran dan kejumudan peradaban manusia, karena tidak pernah berpikir dan berusaha untuk kemajuan dirinya, lingkungan dan umat, dan berikap riya, sombong, atau angkuh terhadap perbuatannya sendiri.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian dalam kajian ini tampaknya perlu ditindak lanjuti dengan penelitian berikutnya yang lebih ilmiah secara seksama tentang pandangan dan interpretasi ikhtiar dan takdir untuk memberi pemahaman kepada umat Islam supaya memacu semangat dan etos untuk menjalani proses kehidupan dan membangun peradaban yang baru serta maju.

Penulis juga mengusulkan untuk memperkaya dan melengkapi literatur-literatur mengenai penelitian dan kajian ini dan disajikan dengan format dan pandangan yang sesuai dengan perkembangan zaman, serta adanya kritik konstruktif dari berbagai pihak terutama yang konsen pada bidang al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Penulis berharap apa yang telah dilakukan bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan umat Islam umumnya.


(3)

79 Van Hoeve, 2002.

Adabi (Al-), Salahuddin ibn Ahmad, Metodologi Kritik Matan Hadis. Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2004

Azami, M.M, Memahami Ilmu Hadis, Jakarta: Penerbit Lentera, 2003.

Ali, Maulana M, Islamologi, Jakarta: Darul Kutubi Islamiyah, 1996.

Avdich, Kamil Y, Meneropong Doktrin Islam, terj. Shonhadji Sholeh, Cet I,

Bandung: Alma’arif, 1987.

Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, Paramadina dan

Pustaka Antara, 1999.

Bustamin dan Salam, M. Isa H. A, Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004.

Bustamin, Ulumul Hadis, Jakarta: Ushul Press, 2010.

Ghazali (Al-), Muhammad, Sunnah Nabi; dalam Ahli Fikih dan Ahli Hadis, terj.

Abas M. Basamalah, Jakarta: Khatulistiwa Press, 2008.

---, Berdialog dengan al-Qur’an. terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah,

Bandung: Mizan, 1998.

---, Muhammad, Dustur al-wahdah al-Tsaqafiyah Bayn al-Muslimin

Kairo: Dar al-Wafa’, 1413 H.-1993 M.


(4)

80

---, Muhammad, al-Qur’an Kitab Zaman Kita; Mengaplikasi pesan

kitab suci dalam konteks masa kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidilah,

Bandung, Mizan, 2008.

---, Kumpulan Khutbah Muhammad al-Ghazali, terj. Mahrus Ali,

Surabaya: Duta Ilmu, 1994

Gaus AF, Ahamd, Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner,

Jakarta: KOMPAS, 2010.

Hasyim, Umar, Seluk Beluk Takdir, Jakarta: CV Ramadhan, 1992.

Hamid (Al-), M. Ibrahim, Kupas Tuntas Masalah Takdir, terj. A. Syaikhu,

Jakarta: Daar ibn Khuzaimah, t.th, cet 3.

Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’ani

al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta:

Bulan Bintang, 1994.

Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Khatib (Al-), Muhammad ‘Ajaj, Pokok-pokok Ilmu al-Hadis, terj. M. Qodirun Nur

dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, cet II 2001.

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

Jakarta: UI Press, 1986.

Nata, Abudin, Ilmu Kalam: Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo, 2001.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan peradaban. Jakarta: Paramadina, 2005.

---, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit

Mizan, 1987.


(5)

---, Islam, Agama Kemanuisaan; Membangun Tradisi dan Visi

Baru Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995.

Muthahari, Muthahhari, Persfektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama,

Bandung: Mizan, tth..

Munawwir (Al-), Ahmad Warasono, Al-Munawwir: kamus Arab Indonesia,

Surabaya: Pustaka progresif, 1997.

Muhammad, Abu Abdillah, Terjemahan Shahih Muslim, terj, Rais Latif, Jakarta:

Keluarga Rais, 2003.

Mustafiet, A. Khairon, Takdir Tiga Belas Skala Richter: Mempertanyakan Takdir

Tuhan, Jakarta: Qultum Media, t th.

Pengurus Besar HMI, NDP HMI (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan Himpunan

Mahasiswa Islam, Jakarta: PB HMI, 1971.

Qardhawi (Al-), Yusuf, Bagaiman Memahami Hadis Nabi Saw. terj. Muhammad

al-Baqir, Bandung: Kharisma, 1999.

---, Syeikh Muhammad al-Ghazali yang saya kenal, terj. Surya

Dhrama , Jakarta: Robbani Press, 1999.

Rasjidi, Muhammad, Koreksi terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi,

Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

Rahman, Buddy Munawar (ed), Ensiklopedi Nurcholis Madjid. Indramayu:

Penerbit Pesantren az-Zaitun, 2008.

Raharjo, M. Dawam, Insan Kamil: konsep manusia Menurut Islam, Jakarta:


(6)

82

Rakhmat, Jalaluddin et al., Tharikat Nurcholishy; Jejak Pemikiran dari

Pembaharu sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Siba’i (Al-), Musthofa, Sunnah dan Perananya dalam penetapan Hukum

Islam-sebuah pembelaan kaum sunni., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2002.

Solichin, HMI Candradimuka Mahasiswa, Jakarta: Sinergi Persadatama

Foundation, 2010.

Taimyah, Ahmad ibn, Qada dan Qadar, Beirut: Dar al-Kutub, 2001.

Tanja, Victor Dr, Himpunan Mahasiswa Islam, Yogyakarta, Pustaka Sinar

Harapan , 1991.

Yunus, Mahmud, kamus Arab-Indoesia, Jakarta: PT Hida Karya Agung, 1990.