Muhammad al-Ghazâlî Kajian hadis tentang konsep ikhtiar dan takdir dalam pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish madjid: (studi kasus komparasi pemikiran)

itulah perubahan besar dalam kehidupan intelektualitasnya terjadi. Beliau menikah ketika masih duduk di bangku kuliah di jurusan Ushuluddin dan dikaruniai sembilan anak. Yang hidup ada tujuh orang, dua laki-laki bernama Diyaa dan A’la dan lima perempuan. 7 Dakwahnya telah dimulai ketika masih duduk di bangku kuliah, yaitu dengan menjadi imam sekaligus khatib di Masjid Kairo. Dua tahun setelah mendapatkan gelar kesarjanaan, yaitu pada tahun 1942 M., beliau ditetapkan oleh kementrian Wakaf sebagai imam sekaligus khatib di Masjid Atabah di pusat kota Kairo. Jabatannya dalam bidang dakwah dan penyuluhan agama di kementrian Wakaf terus meningkat. Berturut-turut menjabat sebagai pimpinan pengawas masjid, penceramah di masjid Al-Azhar al-Syarif, menjadi wakil dan ketua ta’mir beberapa masjid, direktur pelatihan da’i, direktur bidang dakwah dan penyuluhan Islam pada tanggal 2 Juli 1971 M., dan akhirnya menjadi wakil kementrian Wakaf urusan dakwah Islam pada 8 Maret 1981 M. 8 Kemampuan sastra dan intelektualnya berkembang di bawah bimbingan Hasan al-Banna dan di surat kabar Al-Ikhwan yang nantinya akan menjadi salah satu penulisnya hingga akhirnya beliau diberi gelar Adiib al-Dakwah sastrawan dakwah. Muhammad Al-Ghazâlî juga ikut merasakan cobaan dan cercaan yang menimpa organisasi Ikhwanul Muslimin dan di tahan di penjara Al-thur di dataran Tinggi Sinai sekitar tahun 1949 M. Kemudian di penjara di tahanan Thurah 7 Yûsuf al-Qardhâwî, Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal, h. 6 8 Yûsuf al-Qardhâwî, Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal, h. 6 selama kurang dari satu tahun pada waktu pemeriksaan bersama Assyahid Sayid Qutb yang syahid pada tahun 1965. 9 Ketika mengikuti muktamar nasional bagi kekuatan masyarakat pada tahun 1962 M. beliau diberi kesempatan untuk melawan serangan media massa yang dipimpin oleh para jurnalis liberal dan orang-orang kiri. Dia didukung oleh mayoritas aktivis masjid. Pernah suatu ketika, beliau berkhutbah di Masjid Amr Ibn Al-Ash yang dihadiri lebih dari 10.000 pengunjung. Ketika dia melontarkan kritikan terhadap negara, dia dihukum dengan pembatasan kebebasannya, banyak terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh jamaah masjid untuk mendukungnya. Pada tahun 1974, beliau dan Syekh Muhammad Abu Zahrah melakukan perubahan Undang-undang al-Ahwal al- Syahsiyah Undang-Undang Pernikahan, perceraian dan yang berkaitan dengan keluarga. Beliau berpandangan bahwa problem negara Mesir terletak pada ketidakmampuan generasi muda untuk menanggung beban biaya pernikahan, bukan terletak pada poligami, dan tidak ada kemampuan bagi negara untuk menanganinya. Negara mencekalnya dari memberi ceramah di Universitas Amr Ibn Al-Ash kemudian dipecat dari kegiatan dakwah bahkan jabatan Pimpinan Umum Dakwah yang sebelumnya dihapus oleh pemerintah. Beliau ditahan di sebuah rumah yang hanya beralas tikar tanpa ada meja di kampung Sindarah, Di samping Masjid Shalahuddin di Kairo, maka dia duduk di atas tikar sibuk mengarang. 10 9 Yûsuf al-Qardhâwî, Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal, h. 7. 10 Yûsuf al-Qardhâwî, Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal. h. 7. Ketika dia merasa bahwa bahaya telah dekat darinya, pada saat pemeriksaan Salih Sariyah, terdakwa utama dalam masalah yang dikenal dengan masalah al- fanniyah al-’Askariyah, yang mana terdakwa mengaku pernah berziarah kepada Syekh Muhamad al-Ghazâlî, dia berusaha untuk keluar dari Mesir. Dia pergi ke Kerajaan Arab Saudi dan menjadi dosen di Universitas Ummul Qura di Mekkah Al-Mukaramah antara tahun 1974 – 1981 M. Pada tahun 1981 M. beliau diangkat menjadi wakil kementrian Wakaf untuk urusan dakwah, namun akhirnya dipecat ketika berbeda pendapat dengan kebijakan negara mengenai perdamaian dengan Israel. Al-Ghazâlî juga mengajar di Universitas al-Azhar yakni di fakultas Syari’ah, Ushuluddin, Dirasat al-Arabiyah wa al-Islamiyah, dan Tarbiyah, serta beliau pernah diberi gelar kehormatan sebagai guru besar pada Universitas Qatar 11 . Beliau juga aktif menulis di beberapa majalah yang ada di Mesir, seperti al-Muslimun, al-Nadzir, al-Mabahits, Liwa al-Islam, Mimbar al-Islam , dan majalah milik al-Azhar sendiri. selain itu, beliau juga banyak menulis majalah luar Mesir, seperti, Arab Saudi pada majalah al-Dakwah, al-Tadhamun, al-Islam, majalah Rabithah, dan di beberapa surat kabar harian serta mingguan lainya, semantara di Qatar beliau hanya menulis di majalah al-Ummah, begitu pula di kuwait, menulis untuk majalah untuk majalah al-Wahyu al-Islami dan al- Mujtama’. 12 11 Yûsuf al-Qardhâwî, Syeikh Muhammad al-Ghazâlî yang saya kenal. h. 30 12 Muhammad al-Ghazâlî, Berdialog Dengan al-Qur’an, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah, Bandung: Mizan, 1997, cet. III, h. 5 Perkenalan al-Ghazâlî dengan dunia Arab dan Islam di luar Mesir sebenarnya telah terjadi lebih awal yaitu pada tahun 1952 – 1953 M., ketika beliau menjadi pimpinan Al-Takiyah Al-Misriyah di Mekkah. Antara tahun 1968 – 1973 M beliau menghabiskan bulan Ramadhan di negara-negara Kuwait, Qatar, Sudan, dan Maroko. Beliau juga pernah mengikuti pertemuan tahunan pemikiran Islam di Al-Jazair sejak tahun 1980 M., pernah juga bekerja di Qatar sebagai dosen tamu antara tahun 1982 – 1985 M. dan hidup di Al-Jazair pada tahun 1985 – 1988 M. sebagai penggagas sekaligus pembimbing Universitas Islam Al-Amir Abd al- Qadir. Dia juga pernah menjadi nara sumber di beberapa seminar. Selama 15 tahun 1974 – 1988 M. hidup di tengah-tengah masyarakat, meneliti problematika yang dihadapi dan mencarikan solusinya, dan kelak beliau menjadi ahli Fikih Dakwah dan pembaru yang kharismatik di dunia Arab dan Islam. 13 Muhammad al-Ghazâlî memiliki kebebasaan berpikir dan berjiwa pembaharu semenjak tahun 50-an. Ketika keluar dari organisasi Ikhwanul Muslimin karena berbeda pendapat dengan Mursyîd ‘Âm Ustadz Hasan Al- Hudhaibi lalu beliau mencurahkan segenap waktunya untuk dakwah dan mengarang, dan selalu menjaga kemerdekaan berpikir sampai beliau kembali bergabung dengan organisasi Ikhawanul Muslimin yaitu pada tahun-tahun akhir hayatnya. Muhammad al-Ghazâlî menuntut ilmu kepada Imam Hasan Al-Banna, salah seorang murid Rasyid Ridha, sedang Syekh Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh, dan beliau adalah salah seorang murid Jamaluddin Al- 13 Muhammad Imarah, Biografi 45 tokoh muslim. Afghani. Al-Ghazâlî membatasi manhaj madrasah ini, dia bergabung pada masalah proyek pemikiran pembaruan, di tengah pembahasannya tentang madrasah-madrasah pemikiran pembaruan – madrasah al-Ra’y aliran pemikiran logika dan Atsâr warisantekstual serta perimbangan antara keduanya sebagaimana yang terjadi pada Ibnu Taimiyah walaupun lebih condong pada Atsar, serta madrasah kebebasan pribadi di antara aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda. Dia membatasi madrasahnya dengan menyeimbangkan antara pendapat dan Atsâr, sebagaimana metode madrasah Ibnu Taimiyah. Hal itu terjadi karena dia mengembangkan akalnya, menyebutkan dasar atau dalilnya, dan menganggap akal sebagai asal dari naql nash. Yaitu mengedepankan Al-Qur’an daripada al-Sunnah dan menjadikan isyarat Al-Qur’an lebih utama daripada Hadis Ahad, menolak nasakh penghapusan nash dan mengingkari bila dalam Al- Qur’an terdapat nash yang telah habis masanya. Dia memandang bermazhab adalah pemikiran Islam yang terkadang bermanfaat, namun hal itu bukan suatu keharusan. Dengan begitu, dia mengingkari taklid terhadap mazhab, menghormati ilmu para imam. Dia beraktivitas demi tersebarnya Islam di seluruh dunia dengan akidah keyakinan dan nilai-nilainya yang asasi. Dan tidak menghiraukan ungkapan kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab baik tradisional maupun modern. 14 Muhammad al-Ghazâlî adalah orang yang berbicara dengan penuh makna dalam bidang keislaman. Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapannya, ”hati yang bertakwa dan akal yang cerdas” sebagai ungkapan tentang manhaj pertengahan 14 Muhammad Al-Ghazâlî, Dustur al-wahdah al-Tsaqafiyah Bayn al-Muslimin Kairo: Dar al-Wafa’, 1413 H. = 1993 M., hal. 69-77 Islam yang menyeluruh dalam sumber-sumber pengetahuan antara dua kitab Allah yaitu kitab wahyu yang tertulis dan kitab alam yang tampak oleh indera. Dan dalam jalan pengetahuan antara akal dan nash, antara penelitian dan perasaan, oleh karena itu andil Syaikh Al-Ghazâlî dalam Al-Qudwah merupakan sumbangsih yang sangat berharga dalam dunia intelektual sebagaimana pemikirannya yang terbebas dari ketidaksinkronan antara akal dan hati serta pandangannya yang mencampur antara problematika yang dihadapi oleh masyarakat di masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang. Pada hari Sabtu tanggal 9 Syawal 1416 H bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1996, dunia Islam dikejutkan dengan berita meninggalnya Syaikh al- Ghazâlî di Riyadh. Berita itu sangat mengejutkan umat Islam sedunia karena ketika itu beliau sedang berada di Riyadh Arab Saudi untuk menghadiri sebuah seminar. Jenazah diterbangkan ke Mesir dan di kebumikan di sana. Syaikh Muhammad al-Ghazâlî telah berjasa besar dalam mengembangkan pola pikir umat Islam dan pengabdiannya pada Islam. Beliau wafat pada usia 78 tahun dan dihabiskan hidupnya untuk kepentingan dakwah. 15 Syaikh Muhammad al-Ghazâlî adalah ulama yang sangat produktif. Ia menulis 48 buku dalam perlbagai bidang, sebagian bukunya telah dicetak ulang sampai dua puluh kali, dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, serta sebagiannya dijadikan referensi pada sebagian universitas, sebagian bukunya menimbulkan pro dan kontra yaitu; Al-Islam Wa al-Auda’ Al- Iqtishadiyah, Al-Islam Wa almanahij Al-Istirakiyah, Al-Islam Al-Muktara Alaihi 15 Muhammad al-Ghazâlî, Berdialog Dengan al-Qur’an, h. 9 Baina Al-Syuyuiyin Wal Ra’ samaliyin, Al-Islam Fi wajhi Al-Zuhuf Al-Ahmar , dan lain-lain. 16 Dalam menghadapi kediktatoran politik, dia mempertahankan musyawarah dengan tata cara Islam, karya-karya yang membahasnya antara lain; Al-Islam Wal Istibdaad Al-Siasy, Huquuqu Al-Insan baina taalimi Al-Islam Wa I’laani Al- Umam Al-Muttahidah, dan lain-lain. 17 Dalam menghadapi hegemoni Barat dan aliran sekuler materalistik, Atheisme dan westernisasi, dia mempersembahkan buku : Min huna Na’lam, Difa` ’an Al-Akidah Wal Syariah Dlidda mataa ini Al-Mustasyrikin, Al-Ghazwu Al-Tsaqafi yam taddu fi faraaghina, Mustaqbal Al-Islam kharija ardlihi wakaifa tufakkiru fiihi, Shahatu tahdhiri min dua’ti Al-Tanshir, dan lain-lain. 18 Dalam menghadapi dekadensi moral beliau mempersembahkan: Dustur Al-Wahdah Al-Tsaqafiyah bain al-Muslimin, Turatsuna Al-Fikri fi mizan Al- Syar’ Wal Aqli, Qadlaya Al-Mar`at bain Al-Taqalid Al-Rakidah Wa al Wafidah, Al-Sunnah Al-Nabawiyah baina ahli Al-Fikih wa ahli Al-Hadis, dan lain-lain. Untuk memperbarui jati diri Islam, beliau mempersembahkan 10 buku antara lain: Khuluq Al-Muslim, Aqidat Al-Muslim, Jaddid Hayaatak, Fikih Al- Shirah, Kaifa Nafham Al-Islam?, Al-Janib Al-‘Athifi min Al-Islam, Sirr Ta`akhkhur Al-Arab wal Muslimin, dan lain-lain. Adapun makalah Syekh al-Ghazâlî dalam dunia intelektual, dakwah, pendidikan dan karya ilmiah untuk menghidupkan umat Islam dengan agamanya 16 Muhammad al-Ghazâlî, Fiqh al-Sirah, Ttp, 1988 M1408 H, h. 9 17 Muhammad al-Ghazâlî, Fiqh al-Sirah, h. 9. 18 Muhammad al-Ghazâlî, Fiqh al-Sirah,h. 511-512. dan membangkitkan kekuatan hidup adalah ”hal pertama yang harus dilakukan adalah membangkitkan kembali kekuatan Islam yang berhenti pada masa kemajuan, bahkan pada masa para penyembah sapipun telah maju Dan tantangan yang kita hadapi akan hilang ketika orang-orang Islam konsisten dengan keislamannya dan berbodong-bondong memasukinya, baik pemerintah maupun masyarakat. 19 Al-Ghazâlî merupakan pengusung kebebasan berpikir Islami dari kungkungan kejumudan dan taklid. Hal tersebut dapat membedakan antara dasar- dasar Islam yang terjaga kebenarannya dan pemikiran Islam yang tidak terjaga kebenarannya. Dia menolak anggapan bahwa orang-orang terdahulu tidak meninggalkan bidang ijtihad pembaruan bagi generasi berikutnya. ”Islam membentuk imam dan mujtahid.” Mereka tidak merumuskan dasar Islam, sedang sumber-sumber Islam terjaga dari kesalahan karena berasal dari Allah. Sedangkan pemikiran ijtihad yang sebagiannya tidak terjaga dari kesalahan karena berasal dari manusia. Ulama terdahulu melakukan penelitian dalam memberikan dasar-dasar Fikih Islam dengan harapan generasi berikutnya dapat lebih mampu menyusun, meruju, menimbang dan memilih”. 20 Beliau memandang bahwa kebaikan manusia adalah dengan adanya keadilan masyarakat sebagai syarat baiknya hati mereka terhadap agama Islam, dan keadilan Islam adalah jalan menuju keutamaan Islam dan ketakwaan hati, karena suatu hal yang sulit untuk mengisi hati manusia dengan petunjuk bila perutnya kosong dan memakaikan pakaian takwa bila jasadnya tidak berpakaian, 19 Muhammad al-Ghazâlî, Berdialog dengan al-Qur’an, h. 7 20 Muhammad al-Ghazâlî, Berdialog dengan al-Qur’an, h. maka suatu keharusan untuk memiliki ekonomi yang mapan terlebih dahulu. Kebaikan adalah bangunan yang sempurna bila kita dengan iklas memerangi keburukan dengan nama agama atau suka memberi petunjuk manusia kepada hidayah Allah, Tuhan alam semesta. Beliau juga mendorong untuk memahami dasar agama Islam yang pertama yaitu Al-Qur’an dengan merenungi seluruh isinya. Tauhid yang menjadi dasar eksistensi dan tatanan hidup, juga jalan kemerdekaan dan kekuasaan manusia dari penyembahan Thaghut. Di samping itu, dia juga mendorong untuk memahami ayat kauniyah yang tersebar dalam diri manusia dan alam. Yang ketika kita memikirkannya akan tinggilah sendi-sendi agama dan keimanan. Sebagaimana dia juga mendorong untuk memahami cerita-cerita Qur’ani sebagai perangkat pendidikan dan pengajaran atas keyakinan agama, memahami berita- berita tentang alam ghaib, kebangkitan dan hari pembalasan, serta perannya dalam membangun ahlak, mendidik dan menyeru pada kebaikan dunia yang dibangun sebagai bekal di hari kiamat. 21 Beliau mempertahankan Sunnah Rasulullah di samping Al-Qur’an. ”Tegaknya Islam dapat dicapai dengan memahami dan menafsirkan kandungan Al-Qur’an dan merealisasikan tujuan dan pesan-pesannya, sebagaimana tidak ada fikih kecuali dengan Sunnah dan tidak ada Sunnah tanpa fikih. Hukum agama tidak diambil dari satu hadis yang terpisah dari Hadis lain, namun diambil dengam mengumpulkan satu hadis dengan hadis yang lain, kemudian membandingkan 21 Muhammad al-Ghozali, Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, terj. Abas M. Basalamah Jakarta, Khatulistiwa press, 2008 kumpulan hadis tersebut dengan Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah bingkai semua hadis berjalan didalamnya, tidak bersebrangan dengan hukum- hukumnya. Hukum-hukum dalam hadis shahih diambil dan diperas dari Al- Qur’an, Rasul mengambil hukum tersebut dengan bimbingan Illahiyah dan keterangan Rabani untuk menafsirkan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an, disebutkan secara global. 22 Syekh al-Ghazâlî hidup, sedang hatinya melengket ke masjid, cita-citanya yang terealisasi ketika ia bertanggung jawab di bidang dakwah di kementrian Wakaf adalah untuk menjadikan masjid sebagai Universitas Islam yang bebas bagi generasi muda dan masyarakat. Beliau memberikan pelajaran yang teratur dalam bidang agama dan kebudayaan Islam bahkan tulisan terakhirnya yang ditulis untuk seminar di Universitas al-Azhar pada 5 Maret 1996 M. yang bertemakan ”Seputar Masjid dan Dakwah Islam” yang ia tidak bisa menghadirinya karena bepergian merupakan wasiat yang telah ditulisnya untuk mengubah masjid menjadi Universitas Kebudayaan Islam. Dia telah menjadikan masjid sebagai ”Nadwah,” hal itu terjadi empat hari sebelum wafatnya. Beliau kembali ke Mesir dan menetap di rumahnya Jalan Dr. Sulaiman No. 10 Dusun Al-Duqi Kairo sejak tahun 1988 M. Kepergiannya dari Kairo merupakan keikutsertaannya dalam pertemuan-pertemuan ilmiah dan pemikiran. Di antara perjalanannya yang terakhir adalah perjalanannya ke PBB yang mana beliau berceramah pada ulang tahunnya yang ke lima puluh. 22 Muhammad al-Ghozali, Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, Pada tahun yang sama pula, pemeritah mesir menganugrahkan kepada beliau bintang kehormatan tertinggi, demikian juga dengan pemerintah Aljazair yang telah menganugrahkan beliau bintang kehormatan tertinggi dalam bidang dakwah Islam yaitu medali al-Asir. Sedangkan dari kerajaan Arab Saudi, beliau merupakan satu-satunya yang mendapat penghargaan Internasional Raja Faisal dalam pengabdian kepada Islam 23 .

2. Tipologi Pemikiran

Syaikh Muhammad al-Ghazâlî telah menghabiskan waktunya demi membela Islam, menurutnya seorang Muslim seharusnya selalu berhati-hati terhadap musuh-musuhnya, baik dari dalm maupun dari luar. Seorang Muslim seharusnya selalu siap untuk membela, bahkan kalau perlu menyerang. Sebab, menyerang tidak lebih dari salah satu srana pertahanan. 24 Al-Ghazâlî telah berjuang dalam dua medan: pertama, terhadap musuh- musuh yang membenci dan memerangi Islam, menurutnya, musuh-musuh ini terdiri dari kekuatan internasional non-muslim. Mereka adalah jaringan Zionisme, kaum kristen, dan Komunisme. Walaupun mereka berbeda agama , mereka bersatu dalam upaya menghancurkan Islam. Kedua yang dihadapi syaikh al- Ghazâlî adalah umat Islam yang tidak mengetahui hakikat Islam, tapi mengklaim sebagai ahli Islam. Mereka lebih berbahaya dari pada kelompok pertama, al- Ghazâlî menamakan mereka “kelompok pemecah belah” karena mereka sering 23 Muhammad al-Ghazâlî, Berdialog Dengan al-Qur’an 24 Muhammad al-Ghozali, Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, memecah belah umat Islam dengan memunculkan isu-isu sepele dalam Islam. Biasanya mereka mengangkatat masalah-masalah khilafiyah dalam fiqih. 25 Al-Ghazâlî juga mengecam para pemikir yang tidak mengetahui prinsip- prinsip umum Islam, seperti persoalan tata negara dan sistem ekonomi Islam. Beliau juga dikenal keras dalam bersikap. Jika berdebat, ia dikenal tajam menderu bak ombak, mengelegar bak halilintar, menggaum seperti singa. Dalam menulis ia bagaikan seorang tentara yang sedang perang, saat itu pena di tangan berubah menjadi pedang. Tetapi beliau juga seorang yang lemah lembut, mudah menitikan air mata, seorang yang jernih, sederhana, rendah hati, dan tidak sungkan-sungkan belajar dengan muridnya. Sepanjang hidupnya, al-Ghazâlî adalah seorang da’i dan pemikir bebas. Ia tidak mengabdikan pemikirannya kepada siapapun. 26

B. Nurcholish Madjid 1. Biografi dan Karya-karyanya

Nurcholish Madjid selanjutnya kita akan sebut “Cak Nur” saja, seperti panggilan akrabnya lahir pada 17 Maret 1939 dari keluarga pesantren di Jombang, Jawa Timur. Berasal dari keluarga NU Nahdlatul `Ulama’ tetapi berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi. Ia mendapatkan pendidikan dasar SR di Mojoanyar dan Bareng, juga Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Jombang. Kemudian melanjutkan pendidikan di Pesantren tingkat menengah SMP di Pesantren Darul `Ulum, Rejoso, Jombang. Tetapi karena ia berasal dari 25 Muhammad al-Ghozali, Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, 26 Muhammad al-Ghazâlî, al-Qur’an Kitab Zaman Kita; Mengaplikasi pesan kitab suci dalam konteks masa kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidilah, Bandung, Mizan, 2008,h. 18 keluarga NU yang Masyumi, maka ia tidak betah di pesantren yang afiliasi politiknya adalah NU ini, sehingga ia pun pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI Kulliyatul Mu`allimin al-Islamiyyah, Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di tempat inilah ia ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, khususnya bahasa Arab dan Inggris. 27 Dari Pesantren Gontor yang sangat modern pada waktu itu, Cak Nur kemudian memasuki Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta sampai tamat Sarjana Lengkap Drs, pada 1968. Dan kemudian mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago, 1978- 1984, hanya karena diskusinya dengan Fazlur Rahman kemudian Cak Nur mendapat gelar Ph.D dalam bidang filsafat Islam Islamic Thought. 1984 dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam teologi menurut Ibn Taymîyah Ibn Taymmiyya on Kalam and Falsafah . 28 Karir intelektualnya, sebagai pemikir Muslim, dimulai pada masa di IAIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB HMI Himpunan Mahasiswa Islam, selama dua kali periode, yang dianggapnya sebagai “kecelakaan sejarah” pada 1966-1968, dan 1969-1971. 29 Dalam masa itu ia juga menjadi presiden pertama PEMIAT Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Wakil Sekjen 27 Buddy Munawar Rahmaned, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Indramayu, Penerbit Pesantren az-Zaitun, 2008, h. 9 28 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, Paramadina dan Pustaka Antara, 1999, h 78. 29 Dr Victor Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam, Yogyakarta, Pustaka Sinar harapan , 1991, h 105. IIFSO International Islamic Federation of Students Organizations, 1969-1971. 30 Dalam masa inilah Cak Nur membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir muda Islam. Di masa ini 1968 ia menulis karangan “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”, 31 sebuah karangan yang dibicarakan di kalangan HMI seluruh Indonesia. Setahun kemudian, 1969, ia menulis sebuah buku pedoman ideologis HMI, yang disebut Nilai-nilai Dasar Perjuangan NDP yang sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, dan benama Nilai-nilai Identitas Kader NIK. Buku kecil ini, merupakan pengembangan dari artikel Cak Nur yang pada awalnya dipakai sebagai bahan training kepemimpinan HMI, yaitu Dasar-dasar Islamisme. NDP ini ditulis Cak Nur setelah perjalanan panjang keliling Amerika Serikat selama sebulan sejak November 1968, beberpa hari setelah lulus sarjana IAIN Jakarta, yang kemudian dilanjutkan perjalanan ke Timur Tengah, dan pergi haji, selama tiga bulan. Tentang pengalaman menulis NDP ini Cak Nur mengemukakan, 32 ”...Setelah pulang haji pada bulan Maret 1969, saya mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan tugas tugas saya di HMI, karena pada bulan Mei berikutnya akan dilangsungkan Kongres HMI kesembilan di Malang. Sebagai Ketua Umum PB HMI, saya tentu harus mempersiapkan laporan pertanggungjawaban. Tetapi selang waktu antara pulang haji sampai kongres itu juga saya pergunakan untuk menyusun risalah kecil berjudul Nilai nilai Dasar Perjuangan 30 Artikel ini kemudian dimuat dalam buku kritik Rasjidi, Koreksi terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Dan semua artikel Nurcholish Madjid dalam buku tersebut, dimuat kembali dalam Islam, Kemoderenan dan Keindonesioaaan, Bandung: Penerbit Mizan, 1987. 31 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan Bandung: Penerbit Mizan, 1987, h. 172. 32 Solichin, HMI Candradimuka Mahasiswa, Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2010, h. 216.