Pemikiran Muhammad al-Ghazali Kajian hadis tentang konsep ikhtiar dan takdir dalam pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish madjid: (studi kasus komparasi pemikiran)

purifikasi. Baiknya mengajarkan hal-hal yang memang diperlukan orang-orang tentang al-Qur’an dan Sunnah. 6 Lalu apakah kita hanya akan membiarkan hal itu semua sekedar mengungkapkan sejumlah hukum yang dimuat al-Qur’an dan Sunnah, umat sendiri-sekarang ini-secara kongkret lemah mengungkapkandan membuktikan tema-tema hukum itu agar dijadikan dasar pembentukan peradaban. Hukum- hukum itu antara lain: 7 1. Hukum yang bertahap hukum gradual Yaitu penjelasan tentang Islam secara bertahap sesuai dengan tahapan- tahapan, atau tingkatan yang dapat menghantarkan kepada Islam secara benar, dengan catatn menggunakan metode yang ditetapkan Islam, misalkan kita memperkenalkan Islam di Timur berbeda dengan di Barat, dan membicarakan Islam dihadapan para penganut Hindu, berbeda dengan membicarakan di hadapan penganut Sikh, begtupun seterusnya. 2. Hukum ajal. Hukum ini terkadang berdekatan dengan hukum bertahap gradual, segala sesuatu memiliki ajal batas waktu tertentu yang tidak mungkin dapat ditunda atau mendahului sebelum masa yang ditetapkan:     Tiap-tiap umat mempunyai ajal. QS Yunus :49 6 Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, h. 149 7 Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, h. 153-168 Misalnya para ilmuan sosiologi menentukan umur perubahan suatu generasi antara 25 sampai 30 tahun. 3. Hukum jatuh bangunnya peradaban. Kalau kita mengingat perang Uhud, dan kelalaian kaum Muslim terhadap hukum alam, sehingga mereka jatuh dan meyebankan kekalahan. 4. Hukum pembelaan. Inilah hukum kemasyarakatan yang mengatur kelompok manusia dan tetap mempengaruhi tindakan manusia, karena manusia di dalam kehidupannya tidak boleh melepaskan usaha pembelaan yang besar kemungkinan menambah tinggi getaran iman serta menggerakan potensi-potensi internal lainnya di saat datang benturan-benturan dan konflik internal. Hal semacam inilah yang menjadi penyebab adanya rasa optimis dalam kehidupan kita menuju kehidupan yang baru. 5. Hukum Pragmatis-Fungsional Salah satu dari hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya ini adalah hukum pragmatis-fungsional dan hukum adanya perubahan pada diri manusia. Terbaginya manusia pada bidang-bidang keahlian juga termasuk dalam hukum ini, dan Allah menciptakan alam raya ini hal itu mendorong untuk manusia berpikir dengan menggunakan keahlian dan pengetahuan untuk mengatur semuanya. Manusia merupakan makhluk yang terpaksa dan bebas sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia dalam kondisi terpaksa karena terbatasnya kemampuan- kemampuan yang ada pada dirinya serta kondisi lingkungannya. Namun ia juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atau sikap terhadap sesuatu. Dan ditegaskan disini, bahwa kita tidak akan ditanya atau diminta pertanggungjawaban mengenai sesauatu yang tidak berkuasa menghindarinya dan tidak bisa memilih. Tetapi kita pasti akan ditanya tentang sikap dan tindakan kita yang kita diberi “ kebebasan untuk memilih” free choice antara melakukan dan tidak. 8 Banyak orang gemar mencampur adukan kedua hal tersebut. Dan perdebatan mengenai hal itu sangat tak berharga dan bahkan merupakan penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kita mungkin perlu waktu cukup panjang untuk menghadapi orang-orang seperti itu. Demi sesuatu hikmah yang kita tidak ketahui, Allah Ta’ala telah berkehendak menciptkan kita, lalu membebani kita denga taklif . sebagaimana Allah Swt berfirman:             Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. al-Mulk : 2 Maka sangat aneh kalau ada pernyataan bahwa hidup ini hanya sandiwara yang menipu. Dan bahwa taklif kewajiban dari Allah adalah main-main, bukan sungguhan. Dan manusia digiring kepada nasib mereka yang telah ditentukan sejak azali, secara sukrala atau terpaksa, juga pernyataan bahwa para Rasul diutus tidak untuk menyanggah alasan ketidaktahuan sebagaian manusia. Bahkan para rasul itu sendiri merupakan bagian dari penipuan itu, untuk menyempurnakan adegan-adegan dalam sandiwara tersebut. 8 8 Muhammad al-Ghazali, Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, h. 245. Kebanyakan umat muslim justru cenderung membenarkan kebohongan seperti itu. Bahkan banyak kaum muslimin mempercayai akidah Jabariyyah fatalisme itu secara sembunyi-sembunyi. Namun demikian, karena malu kepada Allah, mereka mencoba menutupi akidah keliru tersebut dengan ikhtiar yang lemah dan keraguan. Kerancuan berfikir itu tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa “hadis”, yang bahkan memperkuat pikiran keliru tersebut. Atau dengan kata lain “hadis- hadis” itu turut menjadi penyebab rusaknya pemikiran Islam serta runtuhnya peradaban dan etos kerja masyarakat .

B. Pemikiran Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid dalam hal memandang tentang hadis-hadis tentang iktiar dan takdir sebenarnya tidak secara eksplisit menyebutkannya, tetapi caknur menggamabarkan Keharmonisan alam itu adalah sejalan yang disebabkan oleh adanya hukum yang menguasai alam, yang hukum itu ditakdirkan oleh Allah demikian, yakni dibuat pasti. Dalam hal ini sepadan dengan penggunaan kata sunnatullah, untuk kehidupan manusia dalam sejarh ini, takdir digunakan dalam al-Qur’an dalam arti pemastian hukum Allah untuk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, perjalanan pasti gejala atau benda alam seperti matahari yang beredar pada orbitnya dan rembulan yang nampak berkembang dari bentuk seperti sabit sampai bulan purnama kemudian kembali menjadi sabit lagi, semuanya disebut sebagai takdir Allah, karena segi kepastiannya sebagai hukum Ilahi untuk alam ciptaan- Nya 9 . Doktrin kepastian hukum Allah untuk semesta alam yang disebut takdir itu juga dinamakan qadar, ini misalnya ditegaskan dalam firman-Nya, “Inna kulla syay’ khalaqnahu bi qadarin” artinya sesungguhnya segala sesuatu itu kami ciptakan dengan aturan yang pasti . Karena itu salah satu makna beriman kepada takdir atau qadar Tuhan, dalam penglihatan kosmologis ini, ialah beriman kepada adanya hukum-hukum kepastian yang menguasai alam sebagai ketetapan dan keputusan Allah yang tidak bisa dilawan. Maka manusia, tidak bisa tidak, harus memperhitungkan dan tunduk kepada hukum-hukum itu dalam perbuatannya 10 . Manusia akan berhasil atau gagal dalam usahanya setaraf dengan seberapa jauh dia bekerja sesuai dengan takdir Allah untuk alam lingkungannnya yang hukum itu tidak mungkin ditaklukan. Dan disinilah mulai ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan tidak lain adalah usaha manusia untuk memahami hukum Allah yang pasti kebenarannya, selam ia secara tepat mewakili represent hukum kepastian Allah atau takdir-Nya itu. Maka ilmu pengetahuan yang benar akan dengan sendirinya bermanfaat bagi manusia. Sebagai seorang Islam, apakah kita harus percaya kepada adanya takdir?, jawabanya jelas positif, khususnya untuk kaum Muslimin seperti negeri kita ini, sesuai dengan aliran paham yang umumnya dianut, yaitu Ahlussunnah 9 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadian, 2008, cet ke VI, h. 286 10 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Waljama’ah. Percaya kepada takdir itu merupakan salah satu dari rukun iman yang enam 11 . Walaupun begitu, masih tetap dapat diajukan pertanyaan, apa yang disebut takdir?. Maka pengertian tentang takdir itu, yang paling mendasar, ialah dalam kaitanya dengan sesuatu ketentuan Ilahi yang tidak dapat kita lawan. Kita semua dikuasai oleh takdir tanpa mampu mengubahnya dan tanpa ada pilihan lain, karena takdir itu adalah ketantuan dari Tuhan, maka kita harus menerimanya saja, yang baik maupun yang buruk 12 . Sesungguhnya takdir dalam pengerian populer itu tidaklah selalu salah. Apalagi kenyataanya memang dalam hidup kita ini ada hal-hal yang diluar kemampuan kita untuk menolak dan melawannya. Hanya saja, jika sikap percaya kepada takdir itu diterapkan secarah salah atau tidak pada tempatnya, maka akan timbul sikap yang sangat negatif, yaitu yang dinamakan fatalisme, karena sikap itu mengandung semngat menyerah kalah terhadap nasib, tanpa usaha dan tanpa kegiatan kreatif 13 . Maka kalau diperhatikan firman Tuhan dan hadis Nabi yang mengandung perkataan takdir itu , maka istilah itu digunakan dalam maknanya sebagai sistem hukum ketetapan Tuhan untuk alam raya atau hukum alam 14 , dan tidak satupun gejala alam terlepas dari Dia, termasuk amal pebuatan manusia. 11 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1999, cet. 5, h. 18 12 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 22 13 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 25 14 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 20