Pandangan beberapa Aliran Ilmu Kalam Tentang Ikhtiar dan Takdir 1. Aliran Qadariyah

2. Aliran Jabbariyah

Aliran ini timbul bersamaan dengan timbulnya aliran Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi dari paham qadariyah. Daerah tempat timbulnya paham ini juga tidak berjauhan. Aliran Qadariyah timbul di Irak, sedangkan Jabariyah timbul di Khurasan Persia. Jabariyah adalah infiltrasi dari paham luar Islam yang sengaja dimasukan ke dalam Islam untuk merusak keyakinan Islam. Orang Yahudilah yang mempunyai paham ini, bernama Thalut ibn A’shom, paham sengaja diinfiltrasikan ke dalam Islam pada zaman Khulafaur Rasyidin, yang disebabkan oleh Ibban ibn Sam’an dan Ja’ad ibn Dirham. Keduanya dibantu oleh Jaham ibn Shafwan maka aliran ini dinamakan Jahamiyah. Jaham mati terbunuh pada tahun 131 H pada akhir pemerintahan Bani Umayyah 19 . Dalam istilah Inggris paham Jabariyah disebut fatalism, atau prestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa pebuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan 20 . Menurut paham ekstrim ini, segala perbuatan manusia yang dilakukan bukan merupakan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksa atas dirinya sendiri. misalkan orang mencuri, maka perbuatannya itu bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan menghendaki demikian. Dengan kata lain, ia mencuri bukan atas kehendaknya, tetapi Tuhan lah yang memaksa untuk mencuri. Manusia dalam paham ini hanya merupakan wayang bergerak yang hanya digerakan oleh dalang, 19 Umar Hasyim, Seluk Beluk Takdir, Jakarta: CV Ramadhan, 1992, cet ke 5, h. 84 20 Abudin Nata, Ilmu Kalam: Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo, 2001, cet. V, h. 40 demikian pula manusia bergerak dan berbuat karena gerakan Tuhan. Tanpa gerakan dari Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa 21 . Aliran ini juga mengatakan bahwa Allah membuat perbuatan-perbuatan dan alat-alatnya dan sebab-sebabnya pada semua perbuatan manusia. Semua perbuatan manusia tidak ada yang muncul dari manusia, bahkan keinginan pun dari Allah. Kebaikan dan keburukan yang dikerjakan manusia adalah merupakan paksaan belaka dari Allah, yang akhirnya Allah membalasnya dengan surga atau neraka itu bukan balasan pada manusia atas kebaikan dan kejahatannya, tatapi hanyalah menunjukan bahwa Allah itu Maha Pemurah 22 .

3. Mu’tazilah

Walaupun Qadariyah telah lenyap dengan meninggalnya Ma’bad al- Jauhani, namun pandangan tentang qadar tidak hilang sama sekali. Pandangan takdir yang mirip dengan qadariyah dilanjutkan kembali oleh mazhab Mu’tazilah, yang dipandang sebagai aliran rasionalisme dalam Islam. Menurut sejarah, pendiri aliran Mu’tazilah adalalah Washil ibn Atho’ w 748, bekas murid Hasan al-Basri w. 110 H728 M, 23 tokoh sentral dalam sejarah yurisprudensi, asktisme, dan dogma teologi Islam. Pebedaan antara Washil dan gurunya muncul setelah ia mengotak-atik pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu yang dilontarkan oleh Khawarij mengenai kedudukan seorang muslim ketika melakukan dosa besar. Dalam hal ini, Khawarij menyatakan kafir, 21 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 34 22 Umar Hasyim, Memahami Seluk Beluk Takdir, h. 84 23 Kamil Y. Avdich, Meneropong Doktrin Islam, pen. Shonhadji Sholeh, Cet I, Bandung: Alma’arif, 1987, h. 157. sedangkan Murji’ah lebih moderat dalam menyikapi hal ini. Namun berbeda dengan kedua aliran di atas, Washil menjawab dengan cara baru tapi sulit dipahami secara jelas. Pendosa besar, katanya, harus ditempatkan pada posisi menengah antara kufur dan iman. Washil tampaknya mengatakan bahwa pendosa seperti itu, tidak lebih tidak kurang dari apa yang secara semantik disebut pendosa besar fasiq 24 . Pandangan Mu’tazilah tentang perbuatan manusia bukan ciptaan Allah didasarkan kepada ajaran keadilan, yaitu ajaran kedua dari lima ajaran pokoknya. Washil menegaskan bahwa Allah itu bijak dan adil. 25 Allah memberikan balasan kepada manusia karena mereka adalah pelaku kebikan dan kejelekan, keimanan atau kekafiran, keta’atan atau kedurhakaan. Tuhan adalah zat yan memberikan kemampuan untuk semua itu. Sangat tidak baik jika seorang diperintahkan untuk berbuat sesuatu, sedangkan dia tidak bisa melaksanakan perintah tersebut. Mengingkari yag demikian berarti mengingkari keniscayaan 26 .

4. Asy’ariyah

Berbeda dengan ketiga alirfan diatas, paham ini lebih moderat dan kompromistis. Karena paham nini berupaya mengambil jalan tengah antara Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah. Paham ini didirikan oleh Abu Hasan al- Asy’ari kelahiran basrah pada tahun 260 H. Abu Hasan merupakan mantan 24 Mulyadi Kartanegara, “Ilmu Kalam” dalam cetakan Taufiq Abdullah et.al, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, cet 1, Jilid 4, h. 119-120 25 Kamil Y. Avdich, Meneropong Doktrin Islam, h. 165. 26 A. Khairon Mustafiet, Takdir Tiga Belas Skala Richter: Mempertanyakan Takdir Tuhan, Jakarta: Qultum Media, t th, h. 29-30. penganut paham Mu’tazilah karena berselisih, lalu keluar dan memploklamirkan diri sebagai pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah 27 . Menurut Asy’ariyah perbuatan manusia harus dibedakan antara pebuatan yang terpaksa dan kasb. Bentuk pertama adalah sesuatu yang berifat memaksa. Walaupun seorang berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari hal itu, ia tidak dapat keluar dari hal yang bersifat memaksa itu. 28 Sedangkan bentuk kedua adalah perbuatan yang tidak mempunyai sifat-sifat keterpaksaan. Orang dapat membendakan keduanya. Dalam hal kedua terdapat ketidakmampuan. Karena dalam hal pertama terdapat kemampuan, ia tidak dapat disebut paksa, yang demikian itu dinamakan kasb.

C. Hadis Tentang Ikhtiar Dan Takdir

1. Hadis Tentang Takdir 27 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 36. 28 Kamil Y. Avdich, Meneropong Doktrin Islam, h. 167. Dari Abdullah R.A katanya: “Rasulullah Saw. Yang mutlak benar menceritakan kepada kami, sesungguhnya proses penciptaan seseorang kamu setelah berada dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian ia menjadi ‘alaqah segumpal darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi mudgoh segumpal daging selama empat puluh hari, kemudian diutus malaikat menuliskan empat ketetapan. Yaitu mengenai rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka Demi Allah yang Tuhan selain Dia, sesungguhnya seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga sehingga jaraknya ke surga hanya tinggal sehasta, tetapi suratan takdirnya menetapkan dia ahli neraka, lalu dia beramal dengan amal ahli neraka, maka dia masuk neraka. Sebaliknya seseorang yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga jaraknya ke neraka hanya tinggal sehasta, tetapi suratan takdirnya telah ditulis menjadi ahli surga, lalu dia beramal dengan amalan ahli surga maka dia akan masuk surga”. H.R. Muslim. 29 ﻭ ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻲﹺﺑﹶﺃ ﺮﻤﻋ ﻲﱢﻜﻤﹾﻟﺍ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺪﺒﻋ ﹺﺰﻳﹺﺰﻌﹾﻟﺍ ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻱﺩﺭﻭﺍﺭﺪﻟﺍ ﻦﻋ ﺪﻳﹺﺰﻳ ﹺﻦﺑ ﺪﺒﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻦﺑ ﺩﺎﻬﹾﻟﺍ ﻦﻋ ﺪﻤﺤﻣ ﹺﻦﺑ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ ﻦﻋ ﻲﹺﺑﹶﺃ ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ ﹺﻦﺑ ﺪﺒﻋ ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ﻦﻋ ﺋﺎﻋ ﹶﺔﺸ ﻲﺿﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺎﻬﻨﻋ ﺎﻬﻧﹶﺃ ﺖﹶﻟﺎﹶﻗ ﹾﻥﹺﺇ ﺖﻧﺎﹶﻛ ﺎﻧﺍﺪﺣﹺﺇ ﺮﻄﹾﻔﺘﹶﻟ ﻲﻓ ﻥﺎﻣﺯ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﺎﻤﹶﻓ ﺭﺪﹾﻘﺗ ﻰﹶﻠﻋ ﹾﻥﹶﺃ ﻪﻴﻀﹾﻘﺗ ﻊﻣ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻰﺘﺣ ﻲﺗﹾﺄﻳ ﺒﻌﺷ ﹸﻥﺎ 30 ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ ﻦﺴﺤﹾﻟﺍ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﻲﹺﻧﺍﻮﹾﻠﺤﹾﻟﺍ ﺪﻤﺤﻣﻭ ﻦﺑ ﹴﻞﻬﺳ ﻲﻤﻴﻤﺘﻟﺍ ﹸﻆﹾﻔﱠﻠﻟﺍﻭ ﹴﻦﺴﺤﻟ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻦﺑﺍ ﻲﹺﺑﹶﺃ ﻢﻳﺮﻣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻮﺑﹶﺃ ﹶﻥﺎﺴﹶﻏ ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ ﺪﻳﺯ ﻦﺑ ﻢﹶﻠﺳﹶﺃ ﻋ ﻦ ﻪﻴﹺﺑﹶﺃ ﻦﻋ ﺮﻤﻋ ﹺﻦﺑ ﹺﺏﺎﱠﻄﺨﹾﻟﺍ ﻪﻧﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻡﺪﹶﻗ ﻰﹶﻠﻋ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﹴﻲﺒﺴﹺﺑ ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ ﹲﺓﹶﺃﺮﻣﺍ ﻦﻣ ﹺﻲﺒﺴﻟﺍ ﻲﻐﺘﺒﺗ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﺕﺪﺟﻭ ﺎﻴﹺﺒﺻ ﻲﻓ ﹺﻲﺒﺴﻟﺍ ﻪﺗﹶﺬﺧﹶﺃ ﻪﺘﹶﻘﺼﹾﻟﹶﺄﹶﻓ ﺎﻬﹺﻨﹾﻄﺒﹺﺑ ﻌﺿﺭﹶﺃﻭ ﻪﺘ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﺎﻨﹶﻟ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﹶﻥﻭﺮﺗﹶﺃ ﻩﺬﻫ ﹶﺓﹶﺃﺮﻤﹾﻟﺍ ﹰﺔﺣﹺﺭﺎﹶﻃ ﺎﻫﺪﹶﻟﻭ ﻲﻓ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﺎﻨﹾﻠﹸﻗ ﺎﹶﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﻲﻫﻭ ﺭﺪﹾﻘﺗ ﻰﹶﻠﻋ ﹾﻥﹶﺃ ﺎﹶﻟ ﻪﺣﺮﹾﻄﺗ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﹶﻟﻪﱠﻠ ﻢﺣﺭﹶﺃ ﻩﺩﺎﺒﻌﹺﺑ ﻦﻣ ﻩﺬﻫ ﺎﻫﺪﹶﻟﻮﹺﺑ 31 ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹸﻥﺎﺒﺣ ﻦﺑ ﻰﺳﻮﻣ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﺪﺒﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻦﺑ ﻙﺭﺎﺒﻤﹾﻟﺍ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﺲﻧﻮﻳ ﻦﺑ ﺪﻳﹺﺰﻳ ﻲﻠﻳﹶﺄﹾﻟﺍ ﺡ ﻭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻖﺤﺳﹺﺇ ﻦﺑ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ ﻲﻠﹶﻈﻨﺤﹾﻟﺍ ﺪﻤﺤﻣﻭ ﻦﺑ ﹴﻊﻓﺍﺭ ﺪﺒﻋﻭ ﻦﺑ ﺪﻴﻤﺣ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﺑﺍ ﹴﻊﻓﺍﺭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻥﺍﺮﺧﺂﹾﻟﺍ 29 Abu al-Husain Muslim, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, Juz II, h. 549. terjemahan, Abdillah Muhammad, Terjemahan Shahih Muslim, terj, Rais Latif, Jakarta: Keluarga Rais, 2003, h. 865-866. 30 Abu al-Husain Muslim, Sahih Muslim, Juz 6 h. 3 31 Abu al-Husain Muslim, Sahih Muslim, Juz 13, h. 314 ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﺪﺒﻋ ﹺﻕﺍﺯﺮﻟﺍ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﺮﻤﻌﻣ ﻕﺎﻴﺴﻟﺍﻭ ﹸﺚﻳﺪﺣ ﹴﺮﻤﻌﻣ ﻦﻣ ﺔﻳﺍﻭﹺﺭ ﺪﺒﻋ ﹺﻦﺑﺍﻭ ﹴﻊﻓﺍﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻳ ﺲﻧﻮ ﺮﻤﻌﻣﻭ ﺎﻌﻴﻤﺟ ﻦﻋ ﻱﹺﺮﻫﺰﻟﺍ ﻲﹺﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﺑ ﹺﺐﻴﺴﻤﹾﻟﺍ ﹸﺓﻭﺮﻋﻭ ﻦﺑ ﹺﺮﻴﺑﺰﻟﺍ ﹸﺔﻤﹶﻘﹾﻠﻋﻭ ﻦﺑ ﹴﺹﺎﱠﻗﻭ ﺪﻴﺒﻋﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻦﺑ ﺪﺒﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻦﺑ ﹶﺔﺒﺘﻋ ﹺﻦﺑ ﺩﻮﻌﺴﻣ ﻦﻋ ﺚﻳﺪﺣ ﹶﺔﺸﺋﺎﻋ ﹺﺝﻭﺯ ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻟﺍ ﻪﱠﻠ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﲔﺣ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺎﻬﹶﻟ ﹸﻞﻫﹶﺃ ﻚﹾﻓﹺﺈﹾﻟﺍ ﺎﻣ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ﺎﻫﹶﺃﺮﺒﹶﻓ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺎﻤﻣ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ﻢﻬﱡﻠﹸﻛﻭ ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ ﹰﺔﹶﻔﺋﺎﹶﻃ ﻦﻣ ﺎﻬﺜﻳﺪﺣ ﻢﻬﻀﻌﺑﻭ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﻰﻋﻭﹶﺃ ﺎﻬﺜﻳﺪﺤﻟ ﻦﻣ ﹴﺾﻌﺑ ﺖﺒﹾﺛﹶﺃﻭ ﺎﺻﺎﺼﺘﹾﻗﺍ ﺪﹶﻗﻭ ﺖﻴﻋﻭ ﻦﻋ ﱢﻞﹸﻛ ﺪﺣﺍﻭ ﻢﻬﻨﻣ ﹶﺚﻳﺪﺤﹾﻟﺍ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ ﺾﻌﺑﻭ ﻢﹺﻬﺜﻳﺪﺣ ﻕﺪﺼﻳ ﺎﻀﻌﺑ ﺍﻭﺮﹶﻛﹶﺫ ﱠﻥﹶﺃ ﹶﺔﺸﺋﺎﻋ ﺝﻭﺯ ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﺖﹶﻟﺎﹶﻗ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﺩﺍﺭﹶﺃ ﹾﻥﹶﺃ ﺝﺮﺨﻳ ﺍﺮﹶﻔﺳ ﻉﺮﹾﻗﹶﺃ ﻦﻴﺑ ﻪﺋﺎﺴﹺﻧ ﻦﻬﺘﻳﹶﺄﹶﻓ ﺝﺮﺧ ﺎﻬﻤﻬﺳ ﺝﺮﺧ ﺎﻬﹺﺑ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻌﻣ ﺖﹶﻟﺎﹶﻗ ﹸﺔﺸﺋﺎﻋ ﻉﺮﹾﻗﹶﺄﹶﻓ ﺎﻨﻨﻴﺑ ﻲﻓ ﺓﻭﺰﹶﻏ ﺎﻫﺍﺰﹶﻏ ﺝﺮﺨﹶﻓ ﺎﻬﻴﻓ ﻲﻤﻬﺳ ﺖﺟﺮﺨﹶﻓ ﻊﻣ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺻ ﻰﱠﻠ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻚﻟﹶﺫﻭ ﺪﻌﺑ ﺎﻣ ﹶﻝﹺﺰﻧﹸﺃ ﺏﺎﺠﺤﹾﻟﺍ ﺎﻧﹶﺄﹶﻓ ﹸﻞﻤﺣﹸﺃ ﻲﻓ ﻲﹺﺟﺩﻮﻫ ﹸﻝﺰﻧﹸﺃﻭ ﻪﻴﻓ ﺎﻧﲑِﺴﻣ ﻰﺘﺣ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﹶﻍﺮﹶﻓ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻦﻣ ﻩﹺﻭﺰﹶﻏ ﹶﻞﹶﻔﹶﻗﻭ ﺎﻧﻮﻧﺩﻭ ﻦﻣ ﺔﻨﻳﺪﻤﹾﻟﺍ ﺁ ﹶﻥﹶﺫ ﹰﺔﹶﻠﻴﹶﻟ ﹺﻞﻴﺣﺮﻟﺎﹺﺑ ﺖﻤﹸﻘﹶﻓ ﲔﺣ ﺍﻮﻧﹶﺫﺁ ﹺﻞﻴﺣﺮﻟﺎﹺﺑ ﺖﻴﺸﻤﹶﻓ ﻰﺘﺣ ﺕﺯﻭﺎﺟ ﺶﻴﺠﹾﻟﺍ ﺎﻤﹶﻠﹶﻓ ﺖﻴﻀﹶﻗ ﻦﻣ ﻲﹺﻧﹾﺄﺷ ﺖﹾﻠﺒﹾﻗﹶﺃ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﹺﻞﺣﺮﻟﺍ ﺖﺴﻤﹶﻠﹶﻓ ﻱﹺﺭﺪﺻ ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ ﻱﺪﹾﻘﻋ ﻦﻣ ﹺﻉﺰﺟ ﹺﺭﺎﹶﻔﹶﻇ ﺪﹶﻗ ﻊﹶﻄﹶﻘﻧﺍ ﺖﻌﺟﺮﹶﻓ ﺖﺴﻤﺘﹾﻟﺎﹶﻓ ﻋ ﻱﺪﹾﻘ ﻲﹺﻨﺴﺒﺤﹶﻓ ﻩﺅﺎﻐﺘﺑﺍ ﹶﻞﺒﹾﻗﹶﺃﻭ ﹸﻂﻫﺮﻟﺍ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺍﻮﻧﺎﹶﻛ ﹶﻥﻮﹸﻠﺣﺮﻳ ﻲﻟ ﺍﻮﹸﻠﻤﺤﹶﻓ ﻲﹺﺟﺩﻮﻫ ﻩﻮﹸﻠﺣﺮﹶﻓ ﻰﹶﻠﻋ ﻱﹺﲑﻌﺑ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﺖﻨﹸﻛ ﺐﹶﻛﺭﹶﺃ ﻢﻫﻭ ﹶﻥﻮﺒِﺴﺤﻳ ﻲﻧﹶﺃ ﻪﻴﻓ ﺖﹶﻟﺎﹶﻗ ﺖﻧﺎﹶﻛﻭ ُﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﹾﺫﹺﺇ ﻙﺍﹶﺫ ﺎﹰﻓﺎﹶﻔﺧ ﻢﹶﻟ ﻦﹾﻠﺒﻬﻳ ﻢﹶﻟﻭ ﻦﻬﺸﻐﻳ ﻢﺤﱠﻠﻟﺍ ﺎﻤﻧﹺﺇ ﻦﹾﻠﹸﻛﹾﺄﻳ ﹶﺔﹶﻘﹾﻠﻌﹾﻟﺍ ﻦﻣ ﹺﻡﺎﻌﱠﻄﻟﺍ ﻢﹶﻠﹶﻓ ﺮﻜﻨﺘﺴﻳ ﻡﻮﹶﻘﹾﻟﺍ ﹶﻞﹶﻘﺛ ﹺﺝﺩﻮﻬﹾﻟﺍ ﲔﺣ ﻩﻮﹸﻠﺣﺭ ﻩﻮﻌﹶﻓﺭﻭ ﺖﻨﹸﻛﻭ ﹰﺔﻳﹺﺭﺎﺟ ﹶﺔﹶﺜﻳﺪﺣ ﻦﺴﻟﺍ ﺍﻮﹸﺜﻌﺒﹶﻓ ﹶﻞﻤﺠﹾﻟﺍ ﺍﻭﺭﺎﺳﻭ ﺕﺪﺟﻭﻭ ﻱﺪﹾﻘﻋ ﺪﻌﺑ ﺎﻣ ﺳﺍ ﺮﻤﺘ ﺶﻴﺠﹾﻟﺍ ﺖﹾﺌﹺﺠﹶﻓ ﻢﻬﹶﻟﹺﺯﺎﻨﻣ ﺲﻴﹶﻟﻭ ﺎﻬﹺﺑ ﹴﻉﺍﺩ ﺎﹶﻟﻭ ﺐﻴﹺﺠﻣ ﺖﻤﻤﻴﺘﹶﻓ ﻲﻟﹺﺰﻨﻣ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﺖﻨﹸﻛ ﻪﻴﻓ ﺖﻨﻨﹶﻇﻭ ﱠﻥﹶﺃ ﻡﻮﹶﻘﹾﻟﺍ ﻲﹺﻧﻭﺪﻘﹾﻔﻴﺳ ﹶﻥﻮﻌﹺﺟﺮﻴﹶﻓ ﻲﹶﻟﹺﺇ ﺎﻨﻴﺒﹶﻓ ﺎﻧﹶﺃ ﹲﺔﺴﻟﺎﺟ ﻲﻓ ﻲﻟﹺﺰﻨﻣ ﻲﹺﻨﺘﺒﹶﻠﹶﻏ ﻲﹺﻨﻴﻋ ﺖﻤﹺﻨﹶﻓ ﻭ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﹸﻥﺍﻮﹾﻔﺻ ﻦﺑ ﹺﻞﱠﻄﻌﻤﹾﻟﺍ ﻲﻤﹶﻠﺴﻟﺍ ﻢﹸﺛ ﻲﹺﻧﺍﻮﹾﻛﱠﺬﻟﺍ ﺪﹶﻗ ﺱﺮﻋ ﻦﻣ ِﺀﺍﺭﻭ ﹺﺶﻴﺠﹾﻟﺍ ﺞﹶﻟﺩﺎﹶﻓ ﺢﺒﺻﹶﺄﹶﻓ ﺪﻨﻋ ﻲﻟﹺﺰﻨﻣ ﻯﹶﺃﺮﹶﻓ ﺩﺍﻮﺳ ﻥﺎﺴﻧﹺﺇ ﹴﻢﺋﺎﻧ ﻲﹺﻧﺎﺗﹶﺄﹶﻓ ﻲﹺﻨﹶﻓﺮﻌﹶﻓ ﲔﺣ ﻲﹺﻧﺁﺭ ﺪﹶﻗﻭ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﻲﹺﻧﺍﺮﻳ ﹶﻞﺒﹶﻗ ﹾﻥﹶﺃ ﺏﺮﻀﻳ ﺏﺎﺠﺤﹾﻟﺍ ﻲﹶﻠﻋ ﺖﹾﻈﹶﻘﻴﺘﺳﺎﹶﻓ ﻪﻋﺎﺟﺮﺘﺳﺎﹺﺑ ﲔﺣ ﻲﹺﻨﹶﻓﺮﻋ ﺕﺮﻤﺨﹶﻓ ﻲﹺﻬﺟﻭ ﻲﹺﺑﺎﺒﹾﻠﹺﺠﹺﺑ ﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﺎﻣ ﻲﹺﻨﻤﱢﻠﹶﻜﻳ ﹰﺔﻤﻠﹶﻛ ﺎﹶﻟﻭ ﺖﻌﻤﺳ ﻪﻨﻣ ﹰﺔﻤﻠﹶﻛ ﺮﻴﹶﻏ ﻪﻋﺎﺟﺮﺘﺳﺍ ﻰﺘﺣ ﺥﺎﻧﹶﺃ ﻪﺘﹶﻠﺣﺍﺭ ﹶﺊﻃﻮﹶﻓ ﻰﹶﻠﻋ ﺎﻫﺪﻳ ﻬﺘﺒﻛﺮﹶﻓ ﺎ ﻖﹶﻠﹶﻄﻧﺎﹶﻓ ﺩﻮﹸﻘﻳ ﻲﹺﺑ ﹶﺔﹶﻠﺣﺍﺮﻟﺍ ﻰﺘﺣ ﺎﻨﻴﺗﹶﺃ ﺶﻴﺠﹾﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﺎﻣ ﺍﻮﹸﻟﺰﻧ ﻦﻳﹺﺮﻏﻮﻣ ﻲﻓ ﹺﺮﺤﻧ ﺓﲑﹺﻬﱠﻈﻟﺍ ﻚﹶﻠﻬﹶﻓ ﻦﻣ ﻚﹶﻠﻫ ﻲﻓ ﻲﹺﻧﹾﺄﺷ ﹶﻥﺎﹶﻛﻭ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﻰﱠﻟﻮﺗ ﻩﺮﺒﻛ ﺪﺒﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻦﺑ ﻲﺑﹸﺃ ﻦﺑﺍ ﹶﻝﻮﹸﻠﺳ ﺎﻨﻣﺪﹶﻘﹶﻓ ﹶﺔﻨﻳﺪﻤﹾﻟﺍ ﺖﻴﹶﻜﺘﺷﺎﹶﻓ ﲔﺣ ﺎﻨﻣﺪﹶﻗ ﹶﺔﻨﻳﺪﻤﹾﻟﺍ ﺍﺮﻬﺷ ﺱﺎﻨﻟﺍﻭ ﹶﻥﻮﻀﻴﻔﻳ ﻲﻓ ﹺﻝﻮﹶﻗ ﹺﻞﻫﹶﺃ ﻚﹾﻓﹺﺈﹾﻟﺍ ﺎﹶﻟﻭ ﺮﻌﺷﹶﺃ ٍﺀﻲﺸﹺﺑ ﻦﻣ ﻚﻟﹶﺫ ﻮﻫﻭ ﻲﹺﻨﺒﻳﹺﺮﻳ ﻲﻓ ﻲﻌﺟﻭ ﻲﻧﹶﺃ ﺎﹶﻟ ﻑﹺﺮﻋﹶﺃ ﻦﻣ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻒﹾﻄﱡﻠﻟﺍ ﱠﻟﺍ ﻱﺬ ﺖﻨﹸﻛ ﻯﺭﹶﺃ ﻪﻨﻣ ﲔﺣ ﻲﻜﺘﺷﹶﺃ ﺎﻤﻧﹺﺇ ﹸﻞﺧﺪﻳ