Aksara Vokal Kajian hadis tentang konsep ikhtiar dan takdir dalam pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish madjid: (studi kasus komparasi pemikiran)

ix DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………………. DAFTAR ISI………………………………………………………………………. BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………. A. Latar Belakang Masalah…………………………………................. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah……………............................ C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan…………....................................... D. Metodologi Penelitian ……………………………………………… E. Sistematika Penulisan………………………………………………. BAB II. BIOGRAFI TOKOH…………………………………………………... A. Muhammad al-Ghazali……………………………………………… 1. Biografi dan Karya-Karyanya…………………………………… 2. Tipologi Pemikiran……………………………………………… B. Nurcholish Madjid…………………………………………………... 1. Biografi dan Karya-Karyanya…………………………………… 2. Tipologi Pemikiran………………………………………………. C. Pandangan –Pandangan Terhadap Kedua Tokoh; Persamaan dan Perbedaan………………………………………….. iii vii ix 1 1 11 11 12 13 14 14 14 26 27 27 32 35 x BAB III. IKHTIAR DAN TAKDIR…………………………………………….. A. Pengertian Ikhtiar dan Takdir……………………………………….. 1. Pengertian Ikhtiar………………………………………………. 2. Pengertian Takdir………………………………………………. B. Pandangan beberapa Aliran Ilmu Kalam Tentang Ikhtiar dan Takdir………………………………………….. C. Hadis Tentang Ikhtiar dan Takdir…………………………………… BAB IV. ANALISA PEMIKIRAN MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN NURCHOLISH MADJID TENTANG KONSEP IKHTIAR DAN TAKDIR……………………………………………………………….. A. Pemikiran Muhammad al-Ghazali…………………………………. B. Pemikiran Nurcholish Madjid……………………………………… C. Pandanga Kedua Tokoh Tentang Ikhtiar dan Takdir; Persamaan dan Perbedaan………………………………………….. BAB V. PENUTUP……………………………………………………………... A. Kesimpulan………………………………………………………… B. Saran……………………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 37 37 37 40 43 48 52 52 57 64 65 65 68 69 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seorang muslim dalam sendi kehidupan dibimbing dan diatur oleh dua warisan peninggalan Nabi Muhammad Saw, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah atau hadis Nabi, karena hukum dan tuntunan yang terkandung dalam al-Qur’an dijabarkan dan diperjelas petunjuk pelaksanaan dalam hadis. Hadis atau sunnah Nabi merupakan perbuatan, perkataan dan penetapan Nabi Saw yang tidak terlepas dari bimbingan wahyu dari Allah Swt. Hadis disampaikan ke tangan kaum muslimin melalui perjalanan panjang. Tentang keterjagaan dan kemurnian al-Qur’an sudah ada jaminan dari Allah Swt, namun untuk hadis tidak demikian adanya Sepeninggal Nabi Saw dibutuhkan data akurat untuk menemukan validitas sebuah hadis 1 . Sejalan dengan berjalan waktu, para sahabat yang pernah melihat dan mendengarkan langsung hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw satu persatu telah meninggal dunia, sehingga kesahihan sebuah hadis tidak dapat diselidiki secara langsung dari sahabat tersebut. Berbeda dengan al-Qur’an yang sebagai buku petunjuk dengan pegangan suci sudah sejak semula disadari sepenuhnya untuk dipelihara dan dikodifikasi, lain hal dengan hadis karena mengandung berbagai masalah, khususnya masalah pembukuannya. Meskipun disebut-sebut adanya beberapa sahabat Nabi yang 1 Muhammâd ‘Ajaj al-Khatib, Pokok-pokok Ilmu al-Hadis terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq , Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. II 2001, h. 254. 2 sudah membuat catatan hadis sajak masa hidup Nabi, dan konon ada pula yang direstui beliau, namun riwayat yang umum dan dominan ialah yang menuturkan bahwa Nabi tidak mendorong, jika bukan melarang, pencatatan apapun dari beliau selain al-Qur’an. 2 Sikap Nabi itu ditafsirkan sebagai kekuatiran beliau bahwa kitab suci akan tercampuri dengan unsur-unsur luar. Bahkan Rasyid Ridha menafsirkan bahwa Nabi melarang mencatat hadis, karena hadis itu hanyalah ketentuan-ketentuan sementara tentang agama, tidak berlaku selama-lamanya. 3 Namun yang jelas ialah ketika dalam tahap perkembangannya, umat Islam harus mencari keotentikan pemecahan masalah dalam hadis, hadis itu tidak tercatat, melainkan merupakan bagian dari tradisi penuturan oral yang sulit sekali dikontrol dan dicek kebenarannya. Maka tidak heran jika pada fase perkembangan itu banyak sekali terjadi pemalsuan hadis. Menurut Mushthafa al-Siba’i seorang sunni, kelompok- kelompok yang paling banyak memalsukan hadis ialah mereka yang paling terlibat dalam politik. Pemalsuan hadis lebih lanjut ialah yang dilakukan oleh para fanatikus kesukuan, ras, bahasa, kedaerahan, dan lain-lain. Paham keunggulan ras pernah muncul sebentar dalam sejarah perkembangan Islam, menyertai gerakan syu’ubiyah semacam nasionalisme, khususnya di kalangan orang-orang arab. 4 2 Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2008, Cet. VI, h. 329. 3 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid X, h. 768. 4 Mushthafa al-Siba’i, Sunnah dan Perananya dalam penetapan Hukum Islam-sebuah pembelaan kaum sunni., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 5. 3 Maka munculah hadis-hadis palsu guna mendukung pandangan mereka. Bahkan ketika muncul mazdhab-mazdhab fiqih bermunculan pula hadis-hadis palsu untuk mendukung mazhabnya sendiri dan mendiskreditkan mazdhab lain. Jelas sekali hadis-hadis palsu dapat muncul hanya kefanatikan. Merajalelanya pemalsuan mendorong usaha untuk menyusun kerangka teoritis bagaimana menyaring hadis-hadis yang shahih dan otentik dari yang palsu 5 . Teori itu akhirnya diletakan oleh Imam Syafi’î w. 204 H yang kemudian dilaksanakan sekitar setengah abad sesudanya, dengan dipelopori oleh al-Bukhârî w. 256 dan dikuti oleh sarjana-sarjana yang lain sehingga terkumpul kodifikasi hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah. Yaitu, selain al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, al-Nasa’î, al-Turmudzî dan Ibn Majah, berkat usaha ilmiah yang tak kenal lelah dari sarjana-sarjana hadis itu, umat Islam sekarang menikmati adanya kodifikasi hadis yang baku, yang memisahkan mana yang otentik dan yang palsu. 6 Pemalsuan hadis itu hanyalah satu segi yang paling negatif dan dramatis dari segi intervensi manusia dalam agama, dan itu dilakukakn secara sadar dan sengaja. Tapi harus diingatkan bahwa tak semua jenis intervensi terjadi dan dilakukan secara sadar, apalagi dengan maksud tujuan jahat. Justru yang paling banyak ialah berlangsung secara tidak sadar, karena dalam kasus-kasus tertentu merupakan bagian dari usaha dan proses pemahaman terhadap agama. Maka pemahaman yang dimaksud yang paling baik dan dilakukan secara paling jujur 5 Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban h. 334. 6 Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban h. 334.