Latar Belakang Masalah Kajian hadis tentang konsep ikhtiar dan takdir dalam pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish madjid: (studi kasus komparasi pemikiran)
3
Maka munculah hadis-hadis palsu guna mendukung pandangan mereka. Bahkan ketika muncul mazdhab-mazdhab fiqih bermunculan pula hadis-hadis
palsu untuk mendukung mazhabnya sendiri dan mendiskreditkan mazdhab lain. Jelas sekali hadis-hadis palsu dapat muncul hanya kefanatikan. Merajalelanya
pemalsuan mendorong usaha untuk menyusun kerangka teoritis bagaimana menyaring hadis-hadis yang shahih dan otentik dari yang palsu
5
. Teori itu akhirnya diletakan oleh Imam Syafi’î w. 204 H yang kemudian
dilaksanakan sekitar setengah abad sesudanya, dengan dipelopori oleh al-Bukhârî w. 256 dan dikuti oleh sarjana-sarjana yang lain sehingga terkumpul kodifikasi
hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah. Yaitu, selain al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, al-Nasa’î, al-Turmudzî dan Ibn Majah, berkat usaha ilmiah yang tak
kenal lelah dari sarjana-sarjana hadis itu, umat Islam sekarang menikmati adanya kodifikasi hadis yang baku, yang memisahkan mana yang otentik dan yang palsu.
6
Pemalsuan hadis itu hanyalah satu segi yang paling negatif dan dramatis dari segi intervensi manusia dalam agama, dan itu dilakukakn secara sadar dan
sengaja. Tapi harus diingatkan bahwa tak semua jenis intervensi terjadi dan dilakukan secara sadar, apalagi dengan maksud tujuan jahat. Justru yang paling
banyak ialah berlangsung secara tidak sadar, karena dalam kasus-kasus tertentu merupakan bagian dari usaha dan proses pemahaman terhadap agama. Maka
pemahaman yang dimaksud yang paling baik dan dilakukan secara paling jujur
5
Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban h. 334.
6
Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban h. 334.
4
pun masih mungkin mengandung unsur manusiawi. Ini bisa dilihat dalam banyak sekali argumen-argumen di antaranya dalam pengambilan hukum atau ketetapan.
7
Melihat begitu pentingnya posisi hadis dalam sebuah pengambilan hukum, haruslah dilakukan suatu upaya pencarian keabsahan dari hadis-hadis tersebut,
ditambah lagi dengan perkembangan hadis yang dinodai oleh kemunculan hadis- hadis palsu yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk melegitimasi kepentingan
pihaknya. Penelitian keabsahan hadis dilakukan bukan karena meragukan hadis Nabi Saw, keterbatasan perawi hadis sebagai manusia biasa yang terkadang
melakukan kesalahan baik karena lupa atau karna kepentingan tertentu juga bisa dijadikan alasan pentingnya dilakukan upaya pencarian keotentikan sebuah hadis.
Berkanaan dengan studi hadis Nabi Saw, ada dua hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu wurûd dan dalâlah. Wurûd berkaitan dengan asal usul hadis,
yakni apakah suatu hadis benar-benar dari Nabi Saw atau tidak, berkaitan dengan hal ini ada dua metode kritik yaitu kritik sanad
8
dan kritik matan
9
. Adapun tujuan akhir dari penelitian ini adalah apakah suatu hadis bisa diterima atau tidak
maqbûl atau mardûd. Sedangkan dalâlah berkaitan dengan makna yang ditunjukan suatu hadis yang telah dinyatakan diterima bedasarkan penelitian
terhadap wurud-nya dan telah diketahui hasilnya. Dalam studi pemahaman matan hadis terdapat dua metode utama yang biasanya digunakan oleh para ulama, yaitu
7
Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban h. 335.
8
Kritik sanad adalah penelitian secara cermat asal-usul suatu hadis bedasarkan para periwayatnya.
9
Kritik matan adalah penelitian secara cermat asal-usul hadis bedasarkan teks yang dibawa perawi itu. Lihat Salahuddin ibn al-Adabi, Metodeologi kritik matan hadis, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2004, h. 197-280.
5
metode tekstual
10
dan metode kontekstual.
11
Tujuan yang hendak di capai dari studi ini adalah apakah suatu hadis bisa diamalkan atau tidak ma’mûl atau ghair
ma’mûl dan bagaimana mengamalkannya.
Meneliti dan mengkaji keontetikan sebuah hadis tentu saja memerlukan sebuah kemampuan dan integritas bagi setiap orang yang ingin melakukannya.
Akan tetapi masyarakat Islam tidak semuanya mempunyai kemampuan yang mamadai untuk memahami ajaran-ajaran keagamaan yang tertuang dalam dua
sumbernya itu. Merupakan suatu keharusan untuk memahamai sunnah dengan
pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadis-hadis shahih yang satu pembahasannya supaya hadis yang mutasyâbih yang mamiliki banyak
penafsiran bisa muhkam maknanya jelas, yang muthlaq tidak terkait di bawa ke yang muqoyyad terkait, dan yang ‘âm maknanya umum ditafsirkan oleh
yang khâsh maknanya khusus. Dengan cara ini akan jelas maksud hadis tersebut, maka jangan mempertentangkan antara hadis yang satu dangan yang lainnya.
Apabila sanad-sanad hadis yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami
hadis tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadis shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadis sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadis
10
Metode tekstual adalah cara memahami hadis bedasarkan makna verbal dari teks hadis yang bersangkutan.
11
Metode kontekstual adalah cara memahami hadis bedasarkan konteks yang melingkupi hadis yang bersangkutan.
6
tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas oleh hadis itu.
12
Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis adalah penting sekali untuk memahami al-Sunnah dengan sebaik-baiknya. Sebab, konotasi kata-
kata tersebut ada kalanya berubah dari suatu masa ke masa yang lainnya, dan suatu lingkungan ke linggungan lainnya. Ini diketahui terutama oleh mereka yang
mempelajari perkembangan bahasa-bahasa serta pengaruh waktu dan tempatnya.
13
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukan kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada
keberatan sama sekali dalam hal ini.
14
Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata yang digunakan dalam al-Sunnah atau juga
dalam al-Qur’an sesuai dengan istilah mereka yang baru atau hanya di gunakan di kalangan mereka saja,
15
dan juga terkadang bertentangan dengan al-Qur’an sebagi pedoman utama.
Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban mengemukakan pertanyaan apakah benar manusia di dunia ini mempunyai makna
dan tujuan? Ataukah sesungguhnya hidup ini terjadi secara kebetulan belaka, tanpa makna apapun, dan tanpa tujuan sama sekali? Pertanyaan serupa itu telah
menyibukan para pemikir masa lalu yang jauh ketika manusia mulai merenungkan hakikat dirinya sendiri, sampai zaman mutakhir ini ketika manusia dengan
12
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Pokok-pokok Ilmu al-Hadis, h. 251.
13
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Pokok-pokok Ilmu al-Hadis, h. 252.
14
Yusuf Qordhowi, Bagaiman memahami Hadis Nabi Saw, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung : Kharisma, 1999, h. 7
15
Yusuf Qordhowi, Bagaiman memahami Hadis Nabi Saw, h. 8
7
kemajuan teknologinya, mencoba mencari teman sesama makhluk hidup cerdas di planet, atau system bintang, atau galaksi yang lainnya, yang telah diketahui
memenuhi jagat raya tanpa terbilang banyaknya.
16
Pembahasan tentang persoalan makna dan tujuan hidup ini bisa dibuat dengan melompat kesimpulan yang telah diketahui secara umum dan mantap di
kalangan orang muslim. Yaitu tujuan hidup manusia ialah bertemu dengan Allah liqa’
, Tuhan Yang Maha Esa, dalam ridha-Nya. Sedangkan makna hidup manusia didapat dalam usaha penuh kesungguhan mujahadah untuk mencapai
tujuan itu, melalui iman kepada Tuhan dan beramal kebajikan.
17
Manusia merupakan makhluk yang terpaksa dan bebas sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Ia dalam kondisi terpaksa karena terbatasnya
kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya serta kondisi lingkungannya. Namun ia juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atau sikap terhadap
sesuatu, dan ini tidak akan ditanya atau diminta pertanggung jawaban mengenai sesuatu yang tidak berkuasa menghindarinya dan tidak bisa memilih. Tetapi pasti
akan ditanya tantang sikap dan tindakan yang diberi “kebebasan untuk memilih” free choice
antara melakukannya atau tidak.
18
Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh
16
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, .h 18.
17
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 18.
18
Muhammad al-Ghazali, Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, terj. Abas M. Basalamah
Jakarta, Khatulistiwa press, 2008, h. 245.
8
kemauan murni,
19
kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani.
20
Banyak orang gemar mencampur adukan kedua hal tersebut, dan perdebatan mengenai hal itu sangat tak berharga dan bahkan merupakan
pertentangan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya. Kita mungkin perlu waktu cukup panjang untuk menghadapi orang-orang seperti itu.
21
Demi suatu hikmah yang kita tidak ketahui, Allah Ta’ala telah berkehendak menciptakan kita, lalu membebani kita dengan taklif. Allah Swt
berfirman dalam Surat al-Mulk ayat 2:
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa dan Maha
Pengampun. Maka sangatlah aneh kalau ada pertanyaan bahwa hidup ini hanyalah
sandiwara yang menipu. Dan bahwa taklif kewajiban dari Allah adalah main- main, bukan sungguhan. Dan manusia digiring kepada nasib mereka yang
ditentukan sejak azali, secara sukarela atau paksa. Juga pernyataan bahwa para rasul diutus tidak untuk menyanggah alasan ketidaktahuan sebagian manusia.
Bahkan para rasul itu sendiri merupakan bagian dari penipuan itu, untuk menyempurnakan adegan-adegan dalam sandiwara tersebut.
19
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h 18.
20
NDP HMINilai-Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, Jakarta, PB HMI, 2009, h. 41.
21
Muhammad al-Ghazali, Sunnah Nabi, h. 245.
9
Kerancuan berpikir itu bisa dilepaskan dari peran beberapa tentang pemahaman hadis yang benar, bahkan memperkuat pikiran keliru tersebut. Atau
dengan kata lain hadis-hadis itu telah turut menjadi penyebab rusaknya pemikiran Islam serta runtuhnya peradaban.
22
Dalam rangka ikhtiar itu manusia diperintahkan untuk memperhatikan hukum-hukum dari Tuhan yang berlaku pada alam secara keseluruhan yang
dalam Al-Quran hukum-hukum itu disebut takdir seperti juga diperintahkan agar manusia memperhatikan hukum-hukum dari Tuhan yang berlaku pada masya-
rakat manusia dalam sejarah yang dalam Al-Quran hukum-hukum ini disebut Sunnatullâh
.
23
Hasil pengamatan manusia kepada alam dan sejarah membuahkan ilmu pengetahuan, yaitu, kurang lebih, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial.
Dengan ilmu inilah manusia memiliki kemampuan melakukan ikhtiar atau pilihan alternatif yang sebaik-baiknya guna mencapai efektifitas dan efisiensi kerja yang
setinggi-tingginya. Maka ilmu merupakan faktor keunggulan yang amat penting. Bersama dengan iman yang mendasari motivasi kerja karena terkait dengan
keinsafan akan makna dan tujuan hidup yang tinggi di atas, ilmu merupakan faktor yang membuat seseorang atau kelompok menjadi lebih unggul daripada
yang lain. Dari hal di atas itu jelas bahwa kemajuan suatu bangsa atau masyarakat
akan mempunyai dampak positif kepada peningkatan etos kerja para warganya.
22
Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, pen. Masykur Hakim dan Ubaidillah, Bandung, Mizan, 1999, h. 113.
23
Buddy Munawar Rahman ed, Ensiklopedi Nulcholis Madjid, Indramayu, Penerbit Pesantren az-Zaitun, 2008, h. 7
10
Sebab, dalam kemajuan suatu bangsa itu tentu langsung atau tidak langsung ter- bawa serta perkembangan dan kemajuan ilmu. Dan ilmu itu, dalam ungkapan
yang lebih operatif, tidak lain ialah kefahaman manusia akan situasi, kondisi dan lingkungan yang terkait dan mempengaruhi kerjanya untuk berhasil atau tidak.
Ilmu memfasilitasi kerja, dan fasilitas itu, pada urutannya, mempertinggi motivasi kerja dan memperkuat etos kerja. Sebagaimana disabdakan Nabi Saw., ilmu,
setelah iman, adalah jaminan utama keberhasilan di dunia, di akhirat, dan di dunia-akhirat sekaligus.
24
Oleh karena itu penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang kajian hadis mengenai konsep ikhtiar dan takdir dengan menggunakan studi analisa komparasi
pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish Madjid.