dengan keinginan kita. Ikuti kata hati, tulikan telingga dari orang-orang negatif dan pesimis di sekeliling kita, selesaikan apa yang telah kita mulai. Berani dan
miliki mental Sang Juara. Ingat : The winner never quit, and quitter never win
Jangan pernah memalingkan mata kita sedetikpun dari garis finish, mulailah
sekarang, saat ini juga. Lakukan segera apa yang kita rencanakan, apa saja. Ingat : Action is Power
Sebenarnya orang sukses bukanlah orang yang hebat tetapi mereka adalah orang yang selalu take action dan memulai lebih awal sehingga
sering kali satu langkah lebih maju dari kita. Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya,
baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Ikhtiar juga dilakukan dengan
sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi, usaha kita gagal, hendaknya kita
tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Kegagalan dalam suatu usaha, antara lain disebabkan keterbatasan
dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Apabila gagal dalam suatu usaha, setiap muslim dianjurkan untuk bersabar karena orang yang sabar
tidak akan gelisah dan berkeluh kesah atau berputus asa. Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan niat
ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik, bidang usaha yang akan dilakukann
harus dikuasai dengan mengadakan penelitian atau riset, selalu berhati-hati
mencari teman mitra yang mendukung usaha tersebut, serta memunculkan perbaikan-perbaikan dalam manajemen yang professional.
2. Pengertian Takdir
Kata takdir berasal dari kata “qaddara” yang antara lain berarti mengukur, menetapkan, mengatur, memberi kadar atau ukuran
4
, sehingga jika kita berkata, “ Allah telah metakdirkan demikian”, maka itu berarti “ Allah telah
memberikan kadar atau ukuran, atau juga batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya
5
. Biasanya kata qadar selalu di hubungkan dengan kata qada dan dalam
percakapan sehari-hari qada dan qadar Allah selalu ungkapkan bersama-sama sekaligus, atau disebut qadar saja dengan maksud yang sama. Dalam pengertian
sehari-hari qada dan qadar disebut juga dengan kata takdir, yang biasanya diartikan ketentuan Tuhan
6
. Seperti yang telah diungkapkan di atas, kata qadar itu berarti kadar atau
ukuran tertentu. Sedangkan qada berarti penetapan hukum atau pemutusan atau penghakiman sesuatu. Seorang qadi hakim dinamakan demikian sebab ia
bertugas atau bertindak menghakimi dan memutuskan perkara antara dua orang yang bersangkutan dihadapan pengadilan. Al-Qur’an menggunakan kata ini
dengan menisbahkannya,kadang-kadang kepada manusia untuk memisahkan dua
4
Ahmad Warson al-munawwir, Al-Munawwir: kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka progresif, 1997, h 1177 dan juga lihat Mahmud Yunus, kamus Arab-Indoesia, Jakarta:
PT Hida Karya Agung, 1990 h. 332
5
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2002, cet ke XI, h. 61
6
Maulana M. Ali, Islamologi, Jakarta: Darul Kutubi Islamiyah, 1996, cet 5, h. 369
pokok pembahasan dan juga untuk memisahkan antara dua pencipta di alam raya ini.
Qada dan qadar adalah dua kata yang saling beriringan, dan tidak dapat
dipisahkan antara keduanya, karena salah satunya berkedudukan sebagai banguanannya yaitu qada. Apabila memisahkan keduanya berarati
memnghancurkan atau membinasakan bangunan tersebut.
7
Sebagaimana al-Sya’rawi mendefinisikan makna takdir, yaitu taksiran segala sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang setelah mengamati ukuran-
ukuran yang telah terjadi di masa silam. Sehingga secara istilah takdir merupakan segala sesuatu yang terjadi di alam jagat raya ini dan segala isinya, serta kejadian
dalam kadar dan ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dinamakan takdir.
8
Sementara itu Syaik al-Islam Ibn Taymiyah mendefinisikan, bahwa takdir adalah segala sesuatu yang terjadi karena sebab dan akibat. Misalnya seorang
yang meninggal disebabkan sakit.
9
Dalam al-Qur’an, berkali-kali disebutkan masalah qadar atau takdir sebagaiman firman Allah:
Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.
10
7
M. Ibrahim al-Hamid, Kupas Tuntas Masalah Takdir, terj. A. Syaikhu, Jakarta: Daar ibn Khuzaimah, t.th, cet 3, h. 27.
8
Murtadha muthahari, Persfektif al-Qur’an tentang manusia dan agama, Bandung: Mizan, tth ,cet 1, h. 198.
9
Ahmad ibn Taymiyah, Qada dan Qadar, Beirut: Dar al-Kutub, 2001, cet ke-1, h. 9.
10
Q.S. Ar-Ra’d : 8
Dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu
.
11
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
12
Kesimpulan yang dapat diambil dari ayat-ayat diatas bahwa maksud dan makna takdir itu adalah suatu peraturan tertentu yang telah dibuat oleh Allah Swt.
untuk segala yang ada di alam semesta ini. Jadi, peraturan-peraturan tersebut merupakan undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang dikaitkan di
dalamnya antara sebab dan akibatnya. Oleh sebab itu dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa makna takdir
ialah pemberian ukuran oleh Zat Sang pencipta alam semesta ini, yang dikaitkan dalam hubungan sebab dan akibatnya, sehingga seluruh ciptaan ini mampu atau
dapat berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam kemudian melahirkan kualitas atau kejadian-kejadian tertentu.
Dalam rangka untuk memelihara kehidupan misalkan, kita harus makan, minum, bernafas dan sebagainya. Hal ini menimbulkan banyak perbedaan.
Apakah dalam mencari nafkah kita menujukan sebagai otrang yang sopan, menghormati orang-orang miskin, ataukah kita mendaptkannya dengan mencuri,
merampok, merampas atau dengan cara yang tidak sah. Kita memiliki lidah untuk berbicara apa yang kita kehendaki. Kita dapat menghasilkan manfaat lidah, tetapi
11
Q.S. al-Hijr : 21
12
Q.S. al-Qomar : 49
kita akan binasa karenaya. Hal yang sama berlaku pada organ dalm tubuh kita. Karena itu kita mempunyai kebebasan untuk bertindak dan memilih sesuai dengan
keadaan wujud organ-organ yang terkontrol secara penuh. Apabila kita melakukan hal-hal yang sesuai dengan ajaran Allah, berarti kita telah melakukan keridhaan-
Nya. Tindakan dan perbuatan semacam itu termasuk kerangka kebebasan kehendak kita, sehingga kepatuhan, atau keingkaran kita akan benar-benar
kelihatan jelas.
13
B. Pandangan beberapa Aliran Ilmu Kalam Tentang Ikhtiar dan Takdir 1. Aliran Qadariyah
Dalam disiplin ilmu kalam istilah qadariyah dipakai bagi nama suatu aliran yang memberikan penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatannya
14
. Istilah qadariyah mengandung dua arti. Pertama, qadariyah yang berasal dari kata qadara yang berarti berkuasa. Qadariayah dalam
pengertian pertama ini adalah mereka yang memandang manusia berkuasa dan bebas dalam perbuatannya
15
. Kedua, qadariyah berasal dari kata qadara tetapi dengan arti menentukan. Qadariyah dalam pengertian ini adalah orang-orang yang
berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan sejak zaman azali. Dalam pembahasan ini, qadariyah yang dimaksud adalah pengetian pertama, sedangkan
pengetian kedua seperti dikenal dalam sejarah ilmu kalam yang disebut Jabariyah.
13
Kamil Y. Avdich, Meneropong Doktrin Islam, pen. Shonhadji Sholeh, Cet I, Bandung: Alma’arif, 1987, h. 32
14
M. Yunan Yusuf, Alam pikiran Islam: Pemikiran Kalam Jakarta: BPKM, 1990, h. 21
15
M. Dawam Raharjo, Insan Kamil: konsep manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafiti Press, 1985, cet ke 1, h. 31
Paham qadariyah kelihatannya ditimbulkan pertama kali oleh seorang yang bernama Ma’bad al-Juhani, menurut Ibn Nabata, Ma’bad al-Juhani dan temannya
Ghailan al-Dimasyqi mengabil paham ini dari seorang kristen yang masuk Islam di Irak. Dan menurut Dzahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’in yang baik
16
. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abdurrahman ibn al-Asy’as,
gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj Ma’bad meninggal terbunuh dalam tahun 80 H
17
. Dalam hal itu Ghailan sendiri yang terus mensyiarkan paham qadariyah-
nya di Damaskus, tetapi mendapat tantanga dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Ghailan di hukum mati pada masa pemeritahan Hisyam ibn Abul Malik karena
berkenaan pahamnya. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan- perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaannya sendiri manusia sendiri yang melakukan dan menjauhi perbuatan jahat atas kemauan dan daya sendiri. dalam hal ini manusia
merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kemauan dan kehendaknya sendiri. di sini tak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang talah ditentukan sejak zaman azali
18
.
16
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, h. 34
17
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 34
18
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 35
2. Aliran Jabbariyah
Aliran ini timbul bersamaan dengan timbulnya aliran Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi dari paham qadariyah. Daerah tempat timbulnya
paham ini juga tidak berjauhan. Aliran Qadariyah timbul di Irak, sedangkan Jabariyah timbul di Khurasan Persia.
Jabariyah adalah infiltrasi dari paham luar Islam yang sengaja dimasukan ke dalam Islam untuk merusak keyakinan Islam. Orang Yahudilah yang
mempunyai paham ini, bernama Thalut ibn A’shom, paham sengaja diinfiltrasikan ke dalam Islam pada zaman Khulafaur Rasyidin, yang disebabkan oleh Ibban ibn
Sam’an dan Ja’ad ibn Dirham. Keduanya dibantu oleh Jaham ibn Shafwan maka aliran ini dinamakan Jahamiyah. Jaham mati terbunuh pada tahun 131 H pada
akhir pemerintahan Bani Umayyah
19
. Dalam istilah Inggris paham Jabariyah disebut fatalism, atau prestination,
yaitu paham yang menyatakan bahwa pebuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan
20
. Menurut paham ekstrim ini, segala perbuatan manusia yang dilakukan bukan merupakan yang timbul dari kemauannya sendiri,
tetapi perbuatan yang dipaksa atas dirinya sendiri. misalkan orang mencuri, maka perbuatannya itu bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada
dan qadar Tuhan menghendaki demikian. Dengan kata lain, ia mencuri bukan atas kehendaknya, tetapi Tuhan lah yang memaksa untuk mencuri. Manusia dalam
paham ini hanya merupakan wayang bergerak yang hanya digerakan oleh dalang,
19
Umar Hasyim, Seluk Beluk Takdir, Jakarta: CV Ramadhan, 1992, cet ke 5, h. 84
20
Abudin Nata, Ilmu Kalam: Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo, 2001, cet. V, h. 40