Pemikiran Hadis Muhammad Al Gazali.pdf
BAB III. BIOGRAFI DAN PUSARAN PEMIKIRAN
MUHAMMAD AL-GHAZALI ............................................
49
A. Sketsa Kehidupan Muhammad al-Ghazali .................
50
1. Latar Belakang Pendidikan Muhammad al-Ghazali ..........................................
50
2. Aktivitas Muhammad al-Ghazali ............................
51
B. Pandangan Muhammad al-Ghazali tentang Hadis .....
57
1. Hadis dan Pengertiannya Menurut Muhammad al-Ghazali ..........................................
57
2. Kedudukan dan Fungsi Hadis Menurut Muhammad al-Ghazali ..........................................
60
3. Pandangan Muhammad al-Ghazali Mengenai Hadis Ahad ...........................................
68
C. Kritik Matn Perspektif Muhammad al-Ghazali .............
72
1. Tolok Ukur Kesahihan Matn Hadis Perspektif Muhammad al-Ghazali .........................
74
2. Metode dan Pendekatan Muhammad al-Ghazali dalam Memahami Hadis .......................................
91 BAB IV. ANALISIS ........................................................................
103
A. Tinjauan Umum Terhadap Aplikasi Teori Kritik Matn Model Muhammad al-Ghazali ..........
103
B. Karakteristik dan Tipologi Pemikiran Muhammad al-Ghazali ...............................................
115
C. Implikasi dan Konsekuensi Terhadap Studi Hadis ..... 120 BAB V. PENUTUP ..................................................................
127
A. Kesimpulan ................................................................. 127
B. Saran-saran ................................................................ 130
ABSTRAK
Nama : Muhammad Alifuddin S.Ag. Nim
Judul Tesis : KRITIK MATN HADIS (Studi Terhadap Pemikiran Muhammad al-Ghazali [1917-1996] )
Pada dasarnya upaya penelitian atau pengkajian terhadap hadis, bertujuan untuk menemukan matn hadis yang berkualitas sahih (valid). Karena itulah matn sebagai salah satu komponen hadis menduduki posisi penting. Bila demikian, maka pemikiran tentang kritik matn dengan berbagai dimensinya yang dilakukan oleh seorang tokoh, juga memiliki arti penting.
Dalam kenyataannya, studi hadis umumnya lebih banyak berputar di sekitar wilayah sanad, padahal cikal bakal dari kritik hadis yang terjadi di zaman Nabi dan sahabat, adalah kritik matn. Walaupun pada masa itu sistem dan metodologi kritik matn belum disistematisasi.
Kenyataan pada masa pasca sahabat yang menunjukkan lebih banyaknya pengkajian hadis yang diarahkan pada wilayah sanad ketimbang kajian pada wilayah matn, tentunya tidak berdiri sendiri, tetapi lebih disebabkan oleh faktor politik umat Islam masa awal yang sarat dengan pertikaian, akibatnya sejarah periwayatan hadis diwarnai dengan berbagai pemalsuan. Oleh karena itu sanad yang merupakan sarana yang mengantar kita kepada matn, mendapat porsi perhatian yang besar. Karena jika persoalan sanad ini tidak dapat terselesaikan, maka dapat dipastikan, generasi berikutnya akan menemui kesulitan dalam penelitian hadis.
Hanya saja, ketika tugas kajian sanad telah dikerjakan dengan sangat menakjubkan oleh para ulama hadis masa awal, yang terbukti dengan lahirnya metode kritik sanad dengan berbagai teknik operasionalnya, seolah-olah tugas kajian hadis hanya berhenti pada hal tersebut. Dan kajian matn sebagai salah satu perangkat yang tidak kalah pentingnya, tetap kurang mendapat porsi perhatian.
Muhammad al-Ghazali sebagai salah satu diantara sekian banyak ulama, tidak luput memperhatikan fenomena tersebut. Dalam sinyalemennya (khususnya di Mesir) kebanyakan dari kajian hadis hanya sibuk dengan penelitian sanad. Karena itulah tidak jarang seseorang secara mati-matian mempertahankan suatu ajaran yang disandarkan kepada sunnah Nabi, lantaran informasi tersebut memiliki sanad yang berkualitas sahih, meskipun apa yang dikatakannya hadis sahih tersebut bertentangan dengan Qur'an.
Karena itu, bagi Ghazali mengkaji dan menelaah hadis tidak selalu harus dimulai dari sanad, tetapi dapat saja dilakukan dengan langsung mengkaji matn, dengan menerapkan beberapa kaidah kesahihan matn. Pemikiran yang demikian memang menyulut kontroversi, tetapi dibalik semua itu, tampaknya Ghazali ingin membangun kesadaran kembali akan pentingnya kritik matn, tanpa mengabaikan nilai penting sanad.
Dalam pemikiran Ghazali ada empat hal yang dapat dijadikan acuan untuk menilai apakah matn sebuah hadis dapat dikategorikan berstatus sahih. Pada prinsipnya apa yang disebutkan Ghazali tersebut, bukanlah hal yang sama sekali baru, karena berbagai tolok ukur yang hampir sama telah dikemukakan oleh para ulama hadis sebelumnya.
Sekalipun pemikiran Ghazali mengenai dasar acuan dalam mengukur kualitas matn, secara prinsip telah dikemukakan, namun tetap saja ada perbedaan, khususnya ketika mengaplikasikan tolok ukur tersebut. Karena itu menyangkut sikap dalam mengaplikasikan tolok ukur tersebut, Ghazali dikelompokkan pada kelompok yang sangat ketat dalam menilai suatu hadis berstatus sahih, sebaliknya cenderung mudah mengklaim hadis status da'if atau bahkan palsu.
Dalam Ghazali kritik matn juga berarti upaya memberikan pemahaman terhadap teks hadis secara baik dan benar. Untuk hal yang satu ini Ghazali menekankan pentingnya untuk selalu memperhatikan faktor-faktor yang berada disekitar hadis, ketika hadis tersebut diluncurkan. Dengan melihat cara berfikir Ghazali yang demikian, maka tipologi pemahaman hadis Ghazali adalah kontekstual.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan/kedudukan hadis Nabi sebagai sumber hukum disepakati oleh sebagian besar umat Islam. Berangkat dari kedudukan hadis yang demikian, dengan sendirinya menjadikan penelitian dan pengkajian hadis menjadi urgen. Upaya meneliti dan mengkaji hadis yang sedemikian penting, tidak saja karena kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif, tetapi juga didasari atas suatu fakta, bahwa hadis-hadis Nabi yang dijadikan sumber justifikasi dalam agama, secara resmi baru dilembagakan pada akhir abad pertama Hijriyah, yaitu pada masa kekuasaan khalifah Umar ibn Abdul Aziz (w.101).
Adanya selisih waktu antara periwayatan hadis yang berlangsung secara lisan dengan pelembagaannya secara resmi, memungkinkan bagi lahirnya kesangsian terhadap otentisitas hadis sebagai suatu berita yang benar-benar bersumber dari Nabi. Apalagi fakta sejarah menunjukkan, bahwa keberadaan umat Islam masa awal sarat dengan berbagai pertentangan dan pertikaian, baik yang berhubungan dengan teologi, fiqih, politik dan sebagainya.
Berangkat dari kondisi obyektif tersebut, maka sebagian di antara umat Islam terdorong untuk melakukan usaha-usaha penelitian guna Berangkat dari kondisi obyektif tersebut, maka sebagian di antara umat Islam terdorong untuk melakukan usaha-usaha penelitian guna
Sekalipun demikian, juga diakui, bahwa upaya-upaya terhadap pengkajian hadis dalam segala aspeknya, tidak sesemarak dengan usaha yang telah dilakukan dalam bidang kajian dan pengembangan pemikiran terhadap Qur’an. Lambannya gerakan pengkajian terhadap hadis, antara lain disebabkan oleh karena kebanyakan ulama lebih mengedepankan sikap reserve (segan) untuk melakukan telaah ulang dan mengembangkan pemikiran hadis. Selain itu umumnya mereka berpandangan, bahwa hasil karya ulama masa lampau dalam bidang hadis, terlebih khusus dalam hal yang berkaitan dengan persoalan al- jarh wa al-ta dil yang tercantum dalam berbagai kitab rijal, dinilai cukup representatif dan memadai. Sehingga untuk keperluan menentukan kesahihan sebuah hadis khususnya yang berkaitan dengan telaah sanad tinggal merujuk kepada kitab-kitab rijal yang ada.
Asumsi terhadap kemapanan kitab-kitab hadis yang diproduksi pada masa-masa awal, tidak jarang melahirkan sikap alergi untuk "mengotak-atik" hadis dan metode pemahamannya. Oleh karenanya upaya kreatif dalam mencari format lain sebagai alternatif dalam Asumsi terhadap kemapanan kitab-kitab hadis yang diproduksi pada masa-masa awal, tidak jarang melahirkan sikap alergi untuk "mengotak-atik" hadis dan metode pemahamannya. Oleh karenanya upaya kreatif dalam mencari format lain sebagai alternatif dalam
Sekalipun berjalan lamban karya-karya tulis para ulama di bidang hadis terus bermunculan, baik yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pembicaraan tentang akurasi periwayatan maupun yang
menyangkut pemahaman sebuah teks hadis. 2 Pada abad ke-20, sebagaimana abad-abad sebelumnya juga
muncul banyak pakar yang memiliki perhatian terhadap hadis dan masing-masing di antara mereka memunculkan hasil, berupa karya tulis. Hal ini sekaligus merupakan sumbangan bagi pengayaan khazanah intelektual muslim di bidang kajian hadis. Nama-nama seperti Mahmud Abu Rayyah, dengan karyanya: Adwa’ ’ala al-Sunnah al-Muhammadiyah
1 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996), h. 309.
2 Pada pertengahan abad I H dan awal III H muncul ulama-ulama besar yang menekuni spesialisasi ilmu hadis. Mereka mengkaji hadis, bukan hanya dari
segi lafaz atau matn. Bahkan mereka meneliti setiap perawi hadis yang bersangkutan (rijal al-hadith) guna menentukan apakah sebuah hadis itu sahih atau tidak. Abad III H ini disebut sebagai masa kegemilangan dan kecemerlangan pengkhidmatan pada hadis Rasulullah. Sebab, pada masa ini, dibukukan juga ilmu tentang para perawi hadis guna mengetahui berbagai hal dan keadaan berkenaan dengan segi kepribadian serta hal-hal lainnya yang berkaitan dengan sebuah hadis. Ilmu ini dikenal dengan sebutan ilmu al-jarh wa al-ta dil. Di antara para ulama yang pertama kali menyusun ilmu yang berkaitan dengan para perawi hadis ialah: Yahya ibn Ma’in (w.233 H), Ahmad ibn Hanbal (w.241 H), Muhammad ibn Sa’ad, Imam al- Bukhary, Imam Muslim, Abu Dawud al-Sijistani, al-Nasa’i, dan sebagainya. Sedangkan ulama-ulama termasyhur pada abad III H, ialah: Imam al-Bukhari dengan kitabnya: al-jami’ al-Sahih (atau Sahih al-Bukhari), Imam Muslim dengan kitabnya: Sahih Muslim, Imam al-Turmudzi dengan karyanya: Sunan al-Turmudzi, Abu Dawud al-Sijistani dengan karyanya: Sunan Abu Dawud, al-Nasa’i dengan kitabnya: Sunan al-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan kitabnya: Sunan Ibnu Majah. Enam buah kitab hadis tersebut, dikenal sebagai kutub al--sittah. Lihat, Ismail Yusuf, "Kodifikasi Hadis dan Sunnah Nabi: Sebuah Tinjauan Historis Singkat", dalam al-Hikmah, Volume VI, Nomor 15, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1995), h.45.
aw Difa’ ’an al-Hadith, Ahmad Amin (w.1954), dengan Fajr al-Islam-nya, telah membuat nuansa tersendiri dan mewakili sosok yang kontroversial hingga penghujung abad ini. Di sisi lain muncul ulama yang juga concern dalam bidang yang sama seperti Muhammad ’Ajjaj al-Khatib maupun Mustafa as-Siba’i, yang juga melahirkan sejumlah tulisan dan karya-karya
di bidang hadis. 3 Geliat pemikiran ulama hadis terus berlangsung, selain nama-nama yang telah disebutkan di atas, tokoh-tokoh seperti
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Abdullah ibn al-Baz, Rabi’ bin Hadi al- Madkhali, Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi turut memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan pemikiran di bidang hadis.
Di antara tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, sosok Ahmad Amin (selanjutnya disebut Amin) Muhammad al-Ghazali (selanjutnya disebut Ghazali) adalah di antara para tokoh abad ini yang sangat kritis dalam memberikan pemahaman dan menganalisis hadis-hadis Nabi.
Amin menulis bebrapa karya diantaranya Fajr al-Islam, Duha al- Islam dan zuhur al-Islam. Dalam Fajr al-Islam yang pertama kali diterbitkan pada th. 1926, memuat pikiran pikiran Amin disekitar hadis. Dalam analisisnya Amin melihat kajian hadis pada umumnya masih terarah pada sanad, Amin secara eksplisit menyatakan bahwa kajian
3 Karya-karya Muhammad ’Ajjaj al-Khatib antara lain: (a) Usul al-Hadith: ’Ulumuh wa Mustalahuh; (b) al-Sunnah qabl al-Tadwin; (c) Abu Hurairah: Rawiyat
al-Islam. Sedangkan Mustafa al-Siba’i menulis al-Sunnah wa Makanatuha fi al- Tashri al-Islami. Karya-karya dari kedua tokoh yang disebut ini, pada prinsipnya merupakan sanggahan dan kritik terhadap karya dan tulisan-tulisan Mahmud Abu Rayyah. Sedangkan tulisan Mustafa as-Siba’i yaitu al-Sunnah wa Makanatuha Fi al- Tashri al-Islami di samping menyanggah atau menolak pandangan-pandangan Abu al-Islam. Sedangkan Mustafa al-Siba’i menulis al-Sunnah wa Makanatuha fi al- Tashri al-Islami. Karya-karya dari kedua tokoh yang disebut ini, pada prinsipnya merupakan sanggahan dan kritik terhadap karya dan tulisan-tulisan Mahmud Abu Rayyah. Sedangkan tulisan Mustafa as-Siba’i yaitu al-Sunnah wa Makanatuha Fi al- Tashri al-Islami di samping menyanggah atau menolak pandangan-pandangan Abu
diantara mereka. 4 Sedangkan menyangkut kritik matn, menurut Amin masih terpaku
pada sisi pengkajian shudzuz dan illat saja, padahal menurut Amin kriteria-kriteria tentang masalah tersebut adalah sangat bervarisi seperti yang telah disebutka oleh para ulama. Oleh karena itu bagi Amin sebuah hadis harus disorot dari segi eksternalnya, yang menyangkut penilaian terhadap relevansi antara apa yang dinisbahkan kepada nabi, dengan kondisi sosial kulturalnya sedangkan aspek internalnya harus diarahkan terhadap kandungan informasi, dengan melihat adakah ia mirip atau dekat sebagi pandangan filsafat atau formulasi fiqhiyah yang berkembang
lebih kemudian. 5 SementaraGhazali menulis sebanyak 48 (empat puluh delapan)
buah buku dan sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam berbagai
Rayyah juga secara khusus mengeritik pemikiran Ahmad Amin tentang hadis dan berbagai permasalahannya. 4
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (kairo: Maktabah al-Nahdah,1975).h.217-218 5 Ibid., Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (kairo: Maktabah al-Nahdah,1975).h.217-218 5 Ibid.,
Karena pandangan dan pendapat-pendapatnya yang tajam dan berani, buku al-Sunnah al-Nabawiyah, mengundang banyak tanggapan dan kritik, menurut Ghazali tidak kurang 7 (tujuh) buah buku yang telah ditulis khusus untuk menyanggah dan menanggapi pikiran-pikirannya yang termuat dalam buku tersebut. Salah satu diantaranya adalah buku yang ditulis oleh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, yang secara keras telah menyorot tajam pandangan Ghazali, dalam satu karya tulis yang berjudul
"Kashfu mawqifi Ghazali min al-Sunnah wa Ahlihi wa Naqd ba’d Ara’ihi. 7
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikiran-pemikiran kedua tokoh di atas, yang jelas dalam kenyataannya merekai cukup berani dalam menerobos secara kritis pengkajian terhadap hadis yang selama ini dilakukan. Kedua tokoh ini tidak hanya
6 Buku al-Sunnah al-Nabawiyyah, ditulis oleh Muhammad Ghazali untuk memenuhi permintaan International Institute of Islamic Thought, yang dipimpin oleh
Taha Jabir al-’Alwani, menurut al-’Alwani permintaan tersebut dilatar-belakangi oleh keinginan IIIT , untuk dapat mengkaji sunnah Nabi SAW, baik yang berhubungan dengan metode pengkajian dan analisisnya, pengkajian tentang segala dimensi dan proses dijadikannya sebagai sumber hukum, pengetahuan, kebudayaan dan kultur Islam. Buku ini kemudian untuk pertama kali dipublikasikan pada tahun 1989 oleh penerbit Dar al-Shuruq, Kairo. Dan pada tahun 1991 oleh Muhammad al-Baqir diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
7 Rabi’ bin Hadi al-Madkhali adalah seorang ulama ahli hadis, beliau adalah dosen ilmu hadis dan Ketua Jurusan hadis Fakultas Syari’ah Universitas Madinah.
Buku yang ditulisnya sebagai sanggahan terhadap pandangan al-Ghazali, telah diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dengan judul: Membela Sunnah Nabi, sebagai jawaban terhadap buku Studi Kritis Atas Sunnah Nabi karya Ghazali. Edisi bahasa Indonesia buku tersebut diberi kata pengantar oleh Jafar Umar Thalib.
terpaku dengan sistematika kaidah-kaidah kesahihan sanad hadis yang diwariskan oleh ulama hadis masa lampau.
Amin misalnya meneropong hadis dengan pendekatan sejarah dan melihar sejauh mena hadis tersebut memiliki informasi tersebut dapat diterima secara logika, sementra Ghazali dengan ijtihadnya berusaha memberi perimbangan pemahaman antara hadis-hadis yang dipahami oleh ahli hadis secara tekstual dengan kajian-kajian hadis yang dilakukan oleh fuqaha (ahli fiqhi) secara kontekstual.
Ghazali mendasari pijakan metodenya, dalam menganalisa dan mengkritisi hadis, dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum ajaran Qur’an dan argumen rasional. Dengan dasar ini, Ghazali banyak menolak hadis-hadis yang bila ditinjau dari segi kesahihan sanad hadis, memiliki kualitas sanad yang baik. Karenanya tidak jarang hadis-hadis yang dipandang sahih oleh sebagian besar ulama, seperti hadis Bukhari dan
Muslim, 8 oleh Ghazali dinilai da’if.
Sebagai sebuah realitas sejarah, baik Amin maupun Ghazali tidak dapat disangkal telah meramaikan bursa pemikiran dan khazanah intelektual Muslim abad ini, dan layak kiranya bila pemikiran dan gagasannya mendapat perhatian untuk dikaji. Oleh karenanya penulis memiliki ketertarikan untuk mengkaji pandangan, pemikiran dan gagasan Sebagai sebuah realitas sejarah, baik Amin maupun Ghazali tidak dapat disangkal telah meramaikan bursa pemikiran dan khazanah intelektual Muslim abad ini, dan layak kiranya bila pemikiran dan gagasannya mendapat perhatian untuk dikaji. Oleh karenanya penulis memiliki ketertarikan untuk mengkaji pandangan, pemikiran dan gagasan
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah disebutkan, studi ini mencoba menelusuri pemikiran Amin dan Ghazali mengenai hadis. Dengan kata lain yang akan dikaji dalam studi ini adalah: pertama, Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh ini mengenai hadis, konsep analitisnya serta gagasan dan metode yang ditawarkan dalam kaitannya dengan problem kritik matn hadis ; kedua, Sejauhmana implikasi dan konsekuensi pemikiran Amin danGhazali mengenai kritik matn hadis.
C. Metode
Obyek dari penelitian ini adalah menyangkut pemikiran seorang tokoh tentang satu masalah tertentu. Dalam hal ini tokoh yang dijadikan sasaran penelitian adalah Ghazali. Sasaran penelitian terhadap tokoh dimaksud diarahkan pada pemikirannya, dalam hal ini dikhususkan pada kritik matn. Dengan demikian bila dilihat dari sasaran obyek penelitian,
maka penelitian ini masuk dalam kerangka penelitian budaya. 10
9 Ghazali, Fiqh al-Sirah, (Kairo: Dar al-Kutub), h. 16-17; /al-Sunnah ...., op.cit., h. 104.
10 Menurut Atho Mudzhar, yang termasuk kedalam penelitian Budaya adalah; penelitian tentang naskah-naskah (filologi), benda-benda purbakala agama
(arkeologi), penelitian tentang sejarah agama, penelitian tentang pemikiran tokoh
Adapun metode yang digunakan dalam studi ini adalah deskriptif analisis dengan pendekatan filosofis dan komparatif. Dengan metode ini dimaksudkan bahwa poin-poin dari pemikiran Amin dan Ghazali diuraikan secara lengkap dan ketat, baik yang terdapat dalam sumber primer
maupun sumber sekunder, 11 sehingga pemikiran tokoh dimaksud dapat dipotret secara jelas. 12
Sementara itu pendekatan filosofis digunakan untuk mencari jawaban secara mendasar tentang aspek-aspek pemikiran kedua tokoh, terutama fundamental ideas mengenai problem kritik matn. Terakhir, dengan
digunakan untuk membandingkan pemikiran Amin dan Ghazali dengan pemikiran lainnya guna mengungkapkan karakteristik pemikiran kedua tokoh.
Dalam pencarian data, metode yang digunakan adalah library research, langkah konkret dari metode ini adalah: membaca serta menelaah secara mendalam tulisan dan pikiran-pikiran Amin danGhazali mengenai hadis, khususnya problem yang menyangkut metodologi. Karena itu buku Fajr al-Islam tulisan Amin dan tulisan Ghazali dalam halini buku al-Sunnal al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith (1989) akan dijadikan sumber primer. Sementara sumber sekunder adalah berbagai buku, artikel yang memiliki hubungan dengan topik pembahasan yang sedang dikaji.
Agama berikut nilai-nilai yang dianutnya. (M. Atho Mudzhar, Penelitian Agama dan Keagamaan, Makalah, 1996, h. 5).
11 Anton Bakker, Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 8.
12 Ibid.
Setelah seluruh data terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis secara deduktif, induktif dan komparatif. Penggunaan metode deduktif dilakukan dalam rangka memperoleh gambaran mengenai rincian pemikiran Amin danGhazali. Sementara penggunaan metode induktif untuk memperoleh gambaran yang lengkap dari tokoh yang dikaji terutama mengenai metodologi pemahaman hadis. Pada akhirnya metode komparatif dilakukan untuk membandingkan pemikiran Amin dan Ghazali guna melihat perbedaan dan persamaan pemikiran nya.
D. Kerangka Teori
Hadis atau tradisi profetik merefleksikan praktek kehidupan Nabi yang tercakup dalam ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Selain hadis istilah yang akrab untuk tiga kategori di atas adalah sunnah. Tidak sedikit penulis dan ahli yang mensinonimkan kedua istilah tersebut sungguhpun
antara keduanya memiliki perbedaan. 13 Kalangan ahli ushul fiqhi mendefinisikan sunnah sebagai segala
hal yang keluar dari Nabi selain Qur’an, berupa ucapan, perbuatan dan
13 Menurut Mustafa Azami, kata sunnah dan hadis memiliki perbedaan makna. Sebuah hadis, mungkin saja tidak mencakup sebuah sunnah, tapi dalam
beberapa hal sebuah hadis bisa saja merangkum sebuah sunnah. Lihat, Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis: Indiana Islamic Teaching Centre, 1977), h. 21.
ketetapan (taqrir) yang tepat untuk dijadikan dalil hukum syar’i. 14 Oleh Karenanya jika merujuk pada istilah ahli fiqh seperti tersebut di atas, jelas
mengisyaratkan bahwa tidak semua hadis dapat dikategorikan sebagai sunnah, sehingga dengan sendirinya tidak semua hadis pasti mengandung syari’at.
Fazlur Rahman secara tegas membedakan kedua istilah tersebut. Menurutnya, sunnah adalah perumusan para ulama mengenai hadis. Oleh karena itu sunnah melibatkan unsur interpretasi manusia. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, sunnah memiliki dua sisi; yaitu fakta historis yang menyatakan tindakan dan norma-normanya untuk generasi
penerus. 15 Sedangkan hadis adalah merupakan refleksi verbal (komentar monumental mengenai Nabi oleh umat muslim lampau) dari sunnah yang
hidup dan karena itu, sunnah Nabi dapat saja berada dalam hadis. 16 Oleh kerana itu upaya kajian dan telaah kritis terhadap hadis yang
telah mengalami proses ortodoksi dalam tubuh ummat Islam menjadi sebuah keniscayaan. Dan dengan sendirinya tentu saja hadis-hadis yang ada tersebut membutuhkan kajian lebih lanjut dalam upaya memisahkan antara sunnah normatif dan sunnah historis. Dalam konteks inilah pemikiran Amin danGhazali mengenai hadis terutama kritik matn dapat disorot secara tajam dan lebih obyektif.
14 Muhammad ’Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin, (Beirut: Dar ’l-Fikr, 1978), h. 16.
15 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago University Pres, 1985), h. 40. 16 Farlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi: Center Institute of Islamic Research, 1965), h. 97-98.
E. Kajian Pustaka dan Signifikansi Penelitian
Sepengetahuan penulis hingga tulisan ini dibuat, kecuali karya Mustafa as-Siba’i penulis belum menemulkan kajian yang membahaspandangan Amin mengenai hadis, khususnya mengenai kriteria kesahihan matn, dalam pandangannya secara tajam as-Siba’i menyorot pemikiran Amin, bahkan lebih dari itu tulisan ini sampai-samapi menuduh Amin sebagai intelektual yang telah “tertular”, oleh para orientalis, sehingga kesan dari tulisan ini lebih bersifat “menghujat” ketimbang menoropong pemikiran Amin secara obyektif.
Sedangkan menyangkut pembahsan tentang pemikiran Ghazali, sepengetahuan penulis telah ada dua tulisan yang secara khusus mengkaji pemikiran pemikiran Ghazali, masing-masing yang ditulis oleh Rabi bin Hadi al-Madkhali dan Yusuf al-Qardawi. Selain dari dua tulisan yang telah mengkaji pemikiran Ghazali secara khusus dalam satu buku, masih terdapat seorang penulis yang menyinggung pemikiran Ghazali secara sepintas dalam satu bagian buku, seperti yang ditulis oleh Daniel W. Brown.
Rabi’ menulis satu buku: Kashfu Mawqif Ghazali min al-Sunnah wa Ahlihi wa Naqd ba’d Ara ih, tulisan Rabi’ menyorot muatan pikiran Ghazali mengenai hadis, khususnya penolakan Ghazali mengenai hadis ahad. Tulisan Rabi pada prinsipnya berangkat dari asumsi bahwa materi-materi pemikiran Ghazali sangat membahayakan dan melenceng dari "manhaj salaf", karena berangkat dari asumsi yang demikian tersebut, maka sifat Rabi’ menulis satu buku: Kashfu Mawqif Ghazali min al-Sunnah wa Ahlihi wa Naqd ba’d Ara ih, tulisan Rabi’ menyorot muatan pikiran Ghazali mengenai hadis, khususnya penolakan Ghazali mengenai hadis ahad. Tulisan Rabi pada prinsipnya berangkat dari asumsi bahwa materi-materi pemikiran Ghazali sangat membahayakan dan melenceng dari "manhaj salaf", karena berangkat dari asumsi yang demikian tersebut, maka sifat
Sementara itu tulisan Qardawi dibawah judul Shaikh al-Ghazali Kama araftuh ; rihlah nisf Qarnin, juga mengkaji berbagai pemikiran Ghazali, tetapi berbeda dengan Rabi’ yang mengecam pemikiran Ghazali, apa yang dilakukan Qardawi adalah "membela" pemikiran- pemikiran Ghazali. Buku Qardawi ini pada prinsipnya adalah merupakan deskripsi dari sejarah hidup dan pandangan-pandangan keagamaan Ghazali. Karenanya buku ini tidak memfokuskan bahasannya pada satu
aspek tertentu. 18 Adapun tulisan Daniel W. Brown, Sunnah and Islamic Revivalism 19
dalam Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, tidak lebih sebagai sebuah "pengantar", karenanya tulisan tersebut memiliki porsi yang kecil dan juga tidak secara khusus memfokuskan kajiannya terhadap Ghazali.
Oleh kerena itu mengkaji pemikiran Amin dan Ghazali bukan tanpa alasan, terutama bila melihat kapsitas kedua tokoh tersebut, di samping gagasan-gagsannya yang dianggap kontroversi dan karena pemikirannya mengenai hadis yang tertuang dalam karya mereka sehingga baik Amin
17 Rabi’, Kashfu Mawqif... op.cit., h. 42. 18 Lihat; Yusuf Qardawi, Shaikh Muhammad al-Ghazali; Kama Araftuh, rihlah
nisf Qarnin a.b. Surya Darma, L.C, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang saya kenal, (Jakarta: Rabbani Press, 1999).
19 Daniel W. Brown, Sunnah and Islamic Revivalisme, dalam Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, (New York: Cambridge University Press,
1996), h. 108.
dan Ghazali oleh sementara pengeritiknya dituduh sebagai sebagai pengingkar sunnah., Karena itulah signifikansi dari tulisan ini mencoba mengkaji dan meneropong secara kritis pemikiran kedua tokoh tersebut, tanpa suatu tendensi lain selain tendensi obyektivitas. Selain itu studi ini juga bermaksud menghidupkan budaya mendialogkan satu pemikiran dengan yang lainnya dalam suasana yang kondusif, penuh saling pengertian.
F. Sistematika Pembahasan
Bahasan-bahasan dalam tulisan ini dituangkan dalam enam bab, dimana antara satu bab dengan bab lainnya memiliki keterikatan logis dan organik.
Bab I, berturut-turut memuat uraian, latar belakang dan rumusan masalah yang akan dikaji. Uraian pendekatan dan metode penelitian, dimaksudkan sebagai
alat yang dipergunakan dalam melakukan penelitian, tujuannya agar dapat menghasilkan suatu penelitian yang lebih akurat. Untuk keperluan meneropong pemikiran Amin dan Ghazali tentang hadis, maka diajukan kerangka teoritik dari kritik matn dengan mengacu pada pandangan dan pemikiran ulama yang telah ada sebelumnya. Selanjutnya, uraian tentang telaah pustaka dan signifikansi penelitian, dimaksudkan untuk melihat kajian-kajian yang telah ada alat yang dipergunakan dalam melakukan penelitian, tujuannya agar dapat menghasilkan suatu penelitian yang lebih akurat. Untuk keperluan meneropong pemikiran Amin dan Ghazali tentang hadis, maka diajukan kerangka teoritik dari kritik matn dengan mengacu pada pandangan dan pemikiran ulama yang telah ada sebelumnya. Selanjutnya, uraian tentang telaah pustaka dan signifikansi penelitian, dimaksudkan untuk melihat kajian-kajian yang telah ada
Pada Bab II, tulisan ini mencoba menelusuri tentang keberadaan kritik matn, meliputi pengertian dan apa yang menjadi landasan teoritiknya. Sejalan dengan bagian di atas, maka untuk memahami arti penting dari kritik hadis khususnya kritik matn, dikemukakan urgensi dari kajian tersebut. Tujuan pembahasan ini adalah untuk memberikan penjelasan tentang apa dan mengapa kritik matn serta fungsi strategisnya bagi kajian hadis.
Bab III, dan IV memuat deskripsi dari pemikiran Amin dan Ghazali mengenai hadis, yang didahului dengan mengemukakan setting historis tokoh yang dikaji. Pembahasan ini dimaksudkan agar lebih mudah memahami pemikiran-pemikirannya. Hal ini sangat beralasan mengingat suatu pikiran tidak lahir dengan sendirinya, tetapi sarat dengan pengaruh- pengaruh keadaan yang melingkupinya. Selanjutnya akan diuraikan pandangan tokoh mengenai hadis. Hal ini penting, oleh karena pandangan seseorang terhadap suatu masalah (termasuk hadis), akan berpengaruh terhadap sikap dan pendiriannya ketika menganalisa atau bahkan mengkritik sebuah hadis. Uraian berikutnya adalah mengemukakan tentang kritik matn dalam perspektif Ghazali dan masalah ini berkaitan dengan metode dan unsur perekatnya.
Bab IV, uraian analisis yang terdiri dari empat bagian, yaitu; (a) berupa tinjauan umum terhadap pemikiran Amin dan Ghazali mengenai kritik matn dengan tujuan untuk melihat apakah sistem dan metodologi yang diterapkan oleh kedua tokoh tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur metodologis kritik matn; (b) uraian tentang corak dan tipologi pemikiran Amin dan Ghazali untuk melihat posisinya dalam trend pemikiran Islam kontemporer; dan (c) melihat sejauh mana pengaruh atau implikasi teoritik pemikiran mereka terhadap kajian hadis secara umum. (d) bagian ini merupakan deskripsi tentang perbedaan dan persamaan pemikiran dari kedua tokoh tersebut.
Bab VI, memuat uraian kesimpulan sebagai refleksi dari hasil penelitian ini dan saran-saran yang dimaksudkan sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut.
BAB II LANDASAN TEORITIK KRITIK INTERN
A. Hadis dan Kritik Hadis
1. Pengertian Hadis Secara etimologi hadis mengandung arti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan dari kata al-qadim. Selain itu, hadis juga biasa diartikan dengan al-qarib; yang bermakna sesuatu yang belum lama terjadi, atau hadis juga biasa digunakan dalam pengertian al-khabar.
Mengacu pada arti etimologi di atas, para ulama melahirkan sejumlah pandangan mengenai apa sebenarnya yang disebut hadis, dimana pandangan- pandangan tersebut yang kemudian disebut definisi hadis, sangat terkait dan dipengaruhi oleh kecenderungan dan spesialisasi masing-masing ulama, sehingga tampaklah oleh kita hadis dalam perspektif ahl al-hadith, ulama ushul fiqhi demikian pula hadis dalam perspektif ulama fiqhi.
Dalam perspektif ahl al-hadith; hadis didefinisikan sebagai segala hal yang bersangkutan dengan ucapan Nabi, perbuatannya, segala ketetapan dan keseluruhan keadaan beliau. Pandangan yang demikian, didasari oleh pemahaman bahwa sesungguhnya Muhammad SAW., adalah merupakan junjungan, karenanya segala apa yang menjadi hal ihwal dari kehidupannya harus diteladani, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan pribadi agung itu mesti diikuti, baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun yang tidak memiliki sangkut paut dengan persoalan hukum.
Lebih jauh dalam perspektif ahli hadis, mereka berpandangan bahwa segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi, baik sebelum dan sesudah masa kenabian, juga dikategorikan sebagai sunnah.
Sementara itu, dalam pandangan dan pendapat ulama usul fiqh, pengertian hadis diberi batasan-batasan tertentu, sehingga yang dianggap hadis oleh mereka hanyalah sebatas persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah hukum. Sedangkan ulama fiqhi membatasi pembahasan mereka pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perincian hukum syari’at dalam hubungannya dengan hukum
wajib, sunnat, makruh atau mubah. 1 Selain kata hadis, istilah lain yang biasa dihubungkan dengan segala
perkataan, tindakan dan ketetapan Nabi adalah kata “sunnah”. Secara literal kata sunnah berarti jalan, arah, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup. John Penrice dalam A Dictionary and Glosary of the Koran menyebutkan; kata sunnah seringkali digunakan dalam pengertian arah peraturan yang sudah mapan, gaya
hidup serta cara bersikap. 2 Sedangkan menurut Azami; ungkapan "sunnah Nabi" dalam pengertian
teladan kehidupan, yang bersumber dari Nabi, mulai dikenal tatkala Allah memerintahkan kepada komunitas Muslim untuk menaati Nabi dan menjadikan perjalanan hidupnya sebagai contoh baik yang harus diteladani. Lebih lanjut Azami mengatakan, bahwa sejak penghujung abad kedua hijriyah, kata sunnah
1 al-Khatib, al-Sunnah..., h.16 2 Jhon Penrice, A Dictionary and Glosary of the Koran (New Delhi India; Cosmo
Publication; 1978), h.72.
penggunaannya hanya terbatas pada norma yang dicetuskan oleh Nabi atau norma yang disarikan dari ketentuan yang telah digariskan oleh Nabi. 3
Istilah hadis dan sunnah, sering digunakan secara bergantian dalam pengertian yang sama, sekalipun antara kedua istilah ini memiliki celah perbedaan, namun pada lazimnya perbedaan itu tidak terlalu dipersoalkan. Bila sunnah berintikan suatu keteladanan, maka hadis adalah sebuah informasi yang dinisbahkan kepada beliau, menurut Azami sebuah hadis mungkin tidak mencakup sebuah sunnah, tetapi dalam beberapa hal sebuah hadis bisa saja merangkum sejumlah
sunnah. 4 Sekalipun sebuah hadis belum tentu mencakup sebuah sunnah, namun harus diingat, bahwa orientasi keagamaan alami tentang sebuah hadis ialah kearah yang
sesuai dengan sunnah, suatu norma keagamaan yang praktis. 5 Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kedua istilah tersebut akan digunakan
secara bergantian, sehingga dalam konteks tulisan ini hadis dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dinisbatkan kepada Nabi, yang terdiri dari dua bagian yaitu adanya sejumlah orang yang menyampaikan berita atau informasi yang disebut rantai periwayat (isnad) dan muatan informasi yang memuat kandungan isi dari sebuah hadis (matan).
2. Pengertian Kritik Hadis dan Kritik Intern/ Matan Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebuah hadis pada hakikatnya adalah merupakan informasi yang disampaikan oleh beberapa subyek yang kemudian
3 Azami, Studies..., h.21 4 Ibid ., 5 Rahman, Islam (Chicago University) h. 85.
disebut dengan periwayat hadis, karenanya sebuah hadis mesti memiliki isnad yaitu rantai para pewarta dan hadis. Sebagai suatu wacana yang terjun dalam budaya manusia baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, maka semua hadis yang sampai kepada kita mesti dicurigai. Hal tersebut adalah sikap yang wajar dan beralasan, mengingat dalam penuturan dan penulisan hadis oleh para periwayat, adalah tidak mustahil mengandung kekeliruan dan kesalahan, dimana hal tersebut sangat mungkin terjadi sekalipun oleh seorang tokoh kepercayaan dan kenamaan. Karenanya, diperlukan sikap kritis dalam melihat dan menggunakan hadis.
Kegiatan kritik hadis memiliki pengertian yang berintikan pemisahan dan penyeleksian terhadap hadis. Dalam bahasa Arab kata kritik biasanya diungkapkan
dengan kata naqd 6 . Kata ini digunakan oleh beberapa pakar hadis masa awal yakni awal abad ke dua hijriyah. Kata naqd berarti membahas untuk mengkaji dan
mengeluarkan sesuatu yang baik dari yang buruk. 7 Menurut Azami, sekalipun kata ini (naqd) tidak ditemukan penggunaannya dalam literatur Qu'ran dan hadis dalam
pengertian kritik, hal ini bukanlah berarti bahwa konsep kritik muncul belakangan, karena secara faktual, Qu'ran menggunakan kata yamiz (bentuk mudari' dari kata maza ) untuk maksud ini. Kata yamiz mengandung arti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain.
Sejalan dengan makna yang terkandung dalam kata naqd, dalam bahasa Indonesia kata kritik juga mengandung makna pemisahan sesuatu yang bernilai baik
6 Azami, Ibid., h. 21. 7 Ibrahim Anis, dkk, al-Mu'jam al-Wasit, (Angkasa, ttp.tth) h. 944.
dengan sesuatu yang buruk. 8 Muhammad Thahir al-Jawabi dalam bukunya Juhud al- Muhaddithin fi Naqd Matan al-Hadith , memberikan formulasi tentang definisi kritik
hadis sebagai berikut;
Menetapkan kualitas periwayat dengan nilai cacat atau adil lewat penggunaan lafaz tertentu, dan dengan menggunakan alasan yang telah ditetapkan para ahli hadis, serta meneliti matan hadis yang sanad nya sahih dalam rangka untuk memastikan kebenarannya atau ketidak beneran matan tersebut. Dan untuk menghilangkan kemuskilan pada hadis-hadis sahih yang tampak muskil maknanya serta menghapuskan pertentangan kandungannya dengan melalui
penerapan standar yang mendalam. 9
Dari definisi yang dikemukakan oleh al-Jawabi diatas, makna kritik hadis pada intinya adalah upaya untuk mengetahui kebenaran suatu informasi yang disandarkan kepada perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi oleh para periwayatnya. Dengan kata lain, kritik hadis merupakan upaya untuk dapat memisahkan antara hadis yang berkualitas baik dan hadis yang tidak memenuhi standar kualitas, sebagai dasar pegangan dalam beragama. Bila dipilah maka upaya
kritik hadis dilakukan dengan dua cara yaitu kritik sanad (kritik ekstern) 10 dan kritik matan (kritik intern).
8 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, th. 1989) h. 534.
9 Muhammad Tahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddithin fi Naqd Matan al-Hadith (Muassasat 'Abdul Karim ; ttp,tth) h. 94.
10 Kritik sanad dilakukan dengan menelusuri kapasitas intelektual dan kredibilitas para penyampai hadis, berikut lambang-lambang tahammul yang digunakan oleh periwayat dalam
meriwayatkan hadis. Menurut ketentuan yang umumnya diberlakukan dalam menilai sanad hadis, terdapat lima kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah sanad hadis sehingga dapat dikategorikan sebagai sanad yang dapat diterima yaitu ; sanad hadis tersebut harus bersambung, para periwayat yang menyampaikan hadis tersebut harus positif sebagai orang yang adil dan dhabith serta tidak terdapat 'illat dan shadh, lima kriteria hadis yang sehat sanadnya tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Shallah, Lihat Abu 'Amar Usman bin 'Abdur Rahman, 'Ulum al-Hadith
Berdasarkan definisi kritik hadis yang dikemukakan al-Jawabi seperti yang dikutip di atas, maka kritik matan sebagai bagian dari kritik hadis mencakup dua hal, yaitu; (1). Kritik yang berkaitan dengan penelitian matan hadis, dalam upaya menentukan benar tidaknya matan hadis bersangkutan, dan (2). Kritik matan yang dilakukan dalam rangka memberikan interpretasi atau tafsiran yang benar mengenai
isi kandungan dan muatan informasi yang terdapat dalam sebuah matan hadis. 11
B. Teori dan Metodologi Kritik Inetern /Matan
1. Sketsa Sejarah Kritik Intern/ Matan Istilah kritik hadis (naqd al-hadith) sekalipun belum muncul di zaman Nabi, akan tetapi unsur-unsur dari tema kegiatan kritik hadis sesungguhnya telah terjadi di masa Nabi. Kritik sebagai upaya membedakan antara apa yang benar dan yang salah, di masa Nabi lahir dalam bentuk, upaya konfirmasi oleh sahabat kepada Nabi sebagai usaha untuk membuktikan apakah informasi yang mereka dengar dari sahabat yang lain benar adanya. Upaya konfirmasi dalam rangka pembuktian
kebenaran suatu informasi dapat dilihat sejumlah kasus. 12
naskah diberi notasi oleh Nuruddin 'Itr (al-Madinah al-Munawwarah; al-Maktabah al-'Ilmiyah, th. 1927), h. 10.
11 Selain kritik sanad yang telah disebutkan di atas, kritik matan juga menjadi perhatian para ulama hadis, hal tersebut mengingat bahwa sebuah hadis yang sahih sanad nya tidak serta merta
menjadikan nya juga sahih. Sekalipun demikian dibandingkan dengan kritik sanad, kegiatan kritik matan memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar. Menurut al-Adlabi kesulitan dalam kritik matan lebih disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu ; (1). Kitab yang membahas kritik matan berikut metodenya masih sangat langkah, (2). Pembahasan matan dalam kitab-kitab tertentu sangat berserak, (3). Adanya keraguan dikalangan ahli hadis untuk mengklaim sesuatu sebagai bukan hadis padahal hadis dan demikian pula sebaliknya.
12 Dimam al-Sa'labah; misalnya pergi menemui Nabi, dan bertanya kepada Rasul tentang kebenaran informasi yang disampaikan oleh utusan Nabi, dan Nabi membenarkan pernyataan sahabat
Di kalangan para sahabat, dikenal nama-nama yang sangat kritis dalam menerima hadis, di antaranya Abu Bakar, Umar, Aisyah dan lain-lain. Kasus yang paling populer untuk menunjukkan kegiatan kritik pada masa sahabat ini, adalah penolakan Aisyah terhadap hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar dan Abu
Hurairah. 13 Dari kegiatan yang disebutkan di atas dan sejumlah kegiatan yang sama yang
tidak disebutkan dalam tulisan ini, secara eksplisit memberikan informasi kepada kita, bahwa dalam perspektif sejarah ummat Islam, kritik hadis telah dilakukan sejak zaman Nabi. Kegiatan kritik terhadap hadis tampaknya semakin ketat dilakukan oleh para sahabat setelah Nabi wafat, dan terus berlanjut hingga masa tabi' tabi'in. Sebagai contoh kasus dapat disebutkan disini adalah Imam Hasan al-Basri (w.110 H), menemui seseorang di Kufah hanya karena ingin mengkonfirmasi suatu berita
yang dia dengar. 14 Kasus lain yang dapat disebut adalah, Abul Aliyah al-Riyahi, beliau berkata; 'Kami telah mendengar sebuah hadis dari para sahabat Nabi di
Basrah, tetapi kami belum puas sebelum pergi langsung ke Medinah dan mendengarnya langsung dari sahabat yang menuturkan hadis tersebut. 15 Sekalipun
kegiatan-kegiatan yang serupa terjadi dalam masa Nabi hidup, dan dilanjutkan pada zaman para sahabat demikian pula para tabi'-tabi'in namun diakui bahwa secara
yang dikonfirmasi oleh Dimam. (Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Isma'il al-Bukhari, al-Jami' al- Sahih (Sahih Bukhari) , juz. IIII(Beirut : Dar 'l-Fikr) h. 10.
13 'Aisyah menolak hadis Ibnu Umar yang menyebabkan seorang mayit disiksa lantaran tangis keluarganya (Muslim, Sahih Muslim juz III, Beirut : Dar al-Fikr) h. 229). Demikian pula
dengan hadis riwayat Abn Hurairi, mengenai seorang wanita yang dimasukkan kedalam neraka lantaran mengurung kucing hingga mati kelaparan.
14 Abu Bakar bin 'Ali Sabit al-Khatib al-Bagdhadi, Kitab al-Kifayah fi ilmi al-riwayah (Mesir: Matba'ah al-Sa'adah, 1972), h.402.
15 Ibid ., h. 402-403.
teoritis dan metodologis, kritik hadis belum disusun secara khusus pada masa tersebut.
Kritik hadis dilakukan secara lebih intensif utamanya ketika umat Islam sudah bergesekan dengan masalah-masalah politik, di mana kondisi perpolitikan ummat Islam yang tidak sehat dan berlangsung ”panas”. Kondisi tersebut melahirkan berbagai dampak yang tidak menguntungkan bagi periwayatan hadis. Akibat dari pertentangan politik dan teologi yang terjadi masa awal, menyebabkan terjadinya sejumlah usaha yang diarahkan kepada kegiatan memanipulasi berita yang disandarkan kepada Nabi, yang dilakukan dalam rangka kepentingan pribadi dan golongan.
Oleh karenanya, untuk menjaga kemurnian dan memelihara kebenaran hadis dari usaha manipulasi sekelompok orang tertentu yang menginginkan keuntungan pribadi dan golongannya, maka sejarah mencatat sejumlah pakar yang mengabdikan dirinya untuk berjuang dengan gigih membendung segala upaya pemalsuan dan penyebarluasan informasi yang disandarkan pada nabi.
Sejumlah ulama masa awal yang terkenal kritis dan selektif dalam menerima hadis antara lain; Ibn Musayyib (w. 93 H) ;Al-Qashim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 106 H); Salim bin 'Abdillah bin 'Umar (w. 106 H); Abu Salamah bin
'Abdur Rahman (w. 94 H). 16 Bersamaan dengan semakin luasnya daerah Islam, maka sebagai
konsekuensinya adalah, berbagai informasi yang disebut hadispun semakin luas peredarannya. Sementara itu kebutuhan akan penggunaan hadis juga semakin terasa konsekuensinya adalah, berbagai informasi yang disebut hadispun semakin luas peredarannya. Sementara itu kebutuhan akan penggunaan hadis juga semakin terasa
Seiring dengan tersebarnya sahabat nabi ke berbagai kota, maka penyebaran hadispun semakin luas, sehingga sejak awal abad kedua hijriyah hingga beberapa abad setelahnya, para ulama, tidak tanggung-tanggung mengeluarkan energi yang lebih besar dalam upaya mengadakan penyeleksian terhadap hadis. Hal ini ditandai dengan berbagai perlawatan yang dilakukan oleh sejumlah ulama hadis dengan tujuan mengkonfirmasi kebenaran berita yang mereka dengar pada subyek sumber berita. Check and recheck tampaknya telah menjadi budaya para ahli dan kritikus hadis sejak masa awal, dan terus berkelanjutan pada generasi berikutnya. Pada abad kedua ini, tercatat sejumlah ulama kritik hadis yang terkenal antara lain; Sufyan Sauri dari Kufah (w. 161 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sub'ah bin Wasith (w. 100 H), Hammad bin Salamah (w. 167 H), Al-Lais bin Sa'id dari Mesir (w. 175 H),
Hammad bin Sa'id di Mesir (w. 179 H), dan Ibnu Uyainah dari Mekkah (w.198H). 17
16 Azami., Kritik… h. 49. 17 Ibid., h. 57.
Kegiatan kritik terus berlanjut dan hasilnya melahirkan sejumlah karya ulama dalam bentuk teori dan metodologi dalam ilmu hadis baik yang berkaitan dengan buku- buku yang berhubungan dengan kritik sanad maupun yang berkaitan dengan kritik matan.
Kegiatan kritik yang dilakukan oleh para sahabat dan selanjutnya oleh para ulama hadis masa belakangan, tidak saja ditunjang oleh kenyataan sejarah melainkan juga ditunjang oleh berbagai landasan argumen naql, m isalnya perintah Tuhan
untuk mengadakan check and recheck kepada setiap informasi yang beredar. 18 Selain itu, dari petunjuk Qur'an juga diperoleh himbauan kepada setiap orang agar bersifat
rasional dalam arti segala sesuatunya baru dapat diterima bila dapat dibuktikan kebenarannya secara logis. 19
Dari sekilas pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik hadis baik yang menyangkut kritik sanad maupun yang berkaitan dengan matan memiliki landasan historis di samping ditunjang oleh sejumlah argumen naql.
2. Konstruksi Teori Kritik Intern/ Matan Terdapat kesepakatan dikalangan para ahli hadis, bahwa sebuah hadis yang dikatakan sahih harus memenuhi lima syarat, yaitu; (a). Sanad hadis tersebut harus muttasil , dengan kata lain antara satu periwayat dengan periwayat lainnya saling bersambung dan bertemu, (b). Setiap periwayat hadis yang menyampaikan hadis tersebut harus positif keadilannya, (c). Seluruh subyek yang menyampaikan hadis tersebut positif memiliki kapasitas intelektual yang memadai (dabit), (d). Tidak
18 QS. 49:6.
terdapat kejanggalan pada sanad dan matan hadis bersangkutan (shadh), (e). Dan sanad serta matan hadis tersebut tidak mengandung cacat ('illat). 20
Dari kelima kriteria yang disebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima selain menjadi kriteria bagi sanad hadis juga dijadikan acuan dan kriteria bagi kesahihan matan hadis. Memperhatikan lima syarat utama bagi kesahihan suatu hadis seperti yang disebutkan di atas, dapat disebutkan bahwa kegiatan atau langkah taktis urut-urutan kritik hadis adalah, dimulai dengan kritik sanad terlebih dahulu kemudian kritik matan.