PPH, hal ini dikarenakan Kecamatan Pontianak merupakan daerah pertanian sehingga tidak terdapat hubungan antara akses pangan pendapatan, tidak menjadikan
faktor utama karena masyarakat dapat mengakses pangan melalui produksi sendiri. Menurut ErwinKarmini 2015 menyatakan hal yang berbeda pada penelitian yang
mereka laksanakan, mengatakan bahwa adanya hubungan pendapatan, jumlah anggota keluarga dan pendidikan terhadap pola konsumsi. Menurut Jomina Rajab
2014 pendapatan keluarga sebagian besar berasal dari sektor pertanian dan pertenarkanan. Dengan perolehan hasil pendapatan rata-rata keluarga sebesar Rp.
808.177,17. Dari meningkatnya pendapatan maka kecukupan akan makanan terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam
menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan.
2.2.4 Pengeluaran Pangan Rumah Tangga
Pengeluaran keluarga merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan keluarga dalam kemapuannya memenuhi kebutuhan pangan dan non
pangan Salimar dkk 2009 dalam . Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan
60 dikategorikan rawan pangan sedangkan rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan 60 dikategorikan tahan pangan. Kemampuan keluarga dalam
membeli bahan makanan dilihat dari besar kecilnya pendapatan keluarga, harga makanan dan tingkat pengolahan bahan makan tersebut Apriadji, 1986.
Menurut hukum Working proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bermacan jenis pengeluaran tidak bervariasi sesuai dengan tingkat pendapatan, ukuran
keluarga dan tabungan Pakpahan, 2012. Dikatakan juga bahwa semakin kaya suatu rumah tangga maka semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan.
Pengeluaran pangan merupakan titik masuk entry point yang bertujuan untuk melihat akses pemanfataan pangan dalam rumah tangga. Dengan proses
transformasi, informasi mengenai pengeluaran pangan akan diubah menjadi informasi konsumsi energi. Maka dari itu kecukupan energi akan berkolerasi dnegan
tingkat pengeluaran pangan. Berdasarkan data Susenas pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan
non makanan selama tahun 2002-2013 menunjukan pergesaran dimana pada awalnya pengeluaran untuk makanan lebih tinggi dari pada non makan, namun pada
tahun 2007 menunjukan peresentase pengeluaran non makanan seimbang dengan pengeluaran makanan. Untuk persentase makanan pada tahun 202 sebesar 58,47
dan non makanan sebesar 41,53. Pada tahun 2013 persentase untuk makanan menjadi 50,66 dan non makanan
49,34. Dan untuk rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tahun 2013 untuk makanan sebesar Rp. 356.435,- dan non makanan sebesar Rp. 347.126,-. Secara rinci
persentase penduduk Indonesia tahun 2013 untuk makanan adalah yang paling tinggi pengeluaran makanan dan minuman yaitu sebesar 25,88, padi-padian 16,26
tembakau dan sirih 12,32, sayur-sayuran 8,74, ikan 7,96, telur dan susu 6,04 dan untuk kelompok makanan yang lainnya kurang dari 5.
Prsentase pengeluaran di Bali, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik BPS Provinsi Bali. Total rata-rata per kapita per bulan pengeluaran tahun 2014 sebesar
Rp. 1.097.749 Untuk makanan sebesar Rp. 458.723 dan non makanan sebesar Rp. 639.026 Badan Pusat Statistik, 2014.
Secara rinci pengeluaran makan di Provinsi Bali tahun 2014, posisi tertinggi yaitu makanan dan minuman sebesar 36.20, padi-padian 14,80, tembakau dan
sirih 8,75, sayur 7,09, telur dan susu 6,04, daging 5,75, buah-buahan 5,32, ikan 5,08 dan untuk kelompok makanan lain kurang dari 3 Bali Dalam Angka,
2014.
Berdasarakan hasil penelitian lain di Kecamatan Letti tahun 2014 mengenai rata- rata pengeluaran rumah tangga untuk pangan pokok sebesar Rp. 338.515 per bulan
dengan persentase untuk membeli pangan pokok beras. Hal ini dikarenakan beras memiliki harga yang mahal dibandingkan bahan pangan pokok lainnya seperti
jagung dan singkong kayuubi kayu. Pengeluran jagung dan singkong kecil disebabkan sebagian besar rumah tangga telah menanam untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi keluarga secara pribadi. Menurut Rikha D.R 2007 menyatakan bahwa adanya hubungan yang segnifikan antara pengeluran rumah
tangga dengan skor PPH. Dapat dilihat dari penelitian yang dilaksanakan pada keluarga petani sawah tadah hujan. Dapat dilihat bahwa rumah tangga dengan
pengeluaran pangan kurang memiliki skor PPH kurang sebanyak 25 keluarga dan skor PPH idel tinggi sebanyak 25 keluarga. Namun pada rumah tangga pengeluaran
cukup memilik skor PPH yang kurang terdapat 3 keluarga dan yang memiliki skor PPH idea tinggi terdapat 34 keluarga. Menurut Jomina Rajab 2014 rata- rata
pengeluran rumah tangga sebesar Rp. 637.156 per bulan dan untuk pengeluaran rumah tangga konsumsi sebesar Rp. 438.072 per bulan. Hasil ini menunjukan
pengeluran rumah tangga sebagian besar lebih dialokasikan untuk konsumsi. Jadi adanya hubunga yang mempengaruhi antara pengeluran rumah tangga dengan
tingkat konsumsi.
2.2.5 Pantangan Makanan