Analisis Miskonsepsi Siswa SMA Kelas X Pada Mata Pelajaran Fisika Melalui CRI (Certainty Of Response Index) Termodifikasi

(1)

ANALISIS MISKONSEPSI SISWA SMA KELAS X PADA MATA PELAJARAN FISIKA MELALUI CRI (CERTAINTY OF RESPONSE INDEX) TERMODIFIKASI

Iwan Permana Suwarna

Dosen Program Studi Pendidikan Fisika FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: iwan.permana.suwarna@uinjkt.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang terjadi pada konsep optik, listrik dinamis, suhu dan kalor, siswa SMA kelas X. Metode penelitian yang digunakan deskriptif. Data penelitian diperoleh melalui tes pilihan ganda dengan lembar jawaban certainty of response index (CRI). Sampel berjumlah 204 siswa dari beberapa sekolah. Temuan dari penelitian ini: 1). Miskonsepsi telah terjadi pada siswa SMA kelas X di semua konsep yang diteliti; 2). Miskonsepsi terjadi ada pada kategori rendah, kecuali pada konsep optik (kategori sedang); 3). Miskonsepsi, tidak bergantung pada tingkat kesukaran soal (miskonsepsi bisa terjadi tingkat kesukaran apa saja); 4). Jenis konsep yang banyak menimbulkan miskonsepsi adalah jenis konsep abstrak dengan contoh konkret, kecuali pada konsep suhu dan kalor (konsep yang menyatakan nama proses); 5). Jenjang kognitif yang banyak menimbulkan miskonsepsi adalah C2 (pemahaman), kecuali untuk konsep optik jenjang C1

(pengetahuan); 6). Siswa dengan kemampuan kategori rendah paling banyak mengalami miskonsepsi. Beberapa saran dari peneliti, diantaranya : Guru atau dosen diharapkan dapat merubah pola dan gaya mengajar berkulitas rendah ke pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) melalui proses-proses yang konstruktif melalui bingkai pembelajaran aktif yang dibantu penggunaan media yang baik.

Kata kunci : Miskonsepsi, Certainty of response index (CRI), Suhu dan Kalor, listrik dinamis, optik. A. Pendahuluan

1.Latar Belakang

Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) merupakan lembaga formal yang berfungsi menghasilkan calon˗calon tenaga pengajar dan tenaga kependidikan. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah salah satu LPTK yang memiliki 7 program studi, salah satunya program studi pendidikan fisika. Program Studi Pendidikan Fisika merupakan salah satu lembaga formal penghasil calon˗calon tenaga pengajar pada bidang studi fisika untuk tingkat SMP/MTs dan SMA/MA.

Seorang calon guru fisika berdasarkan Permendiknas No. 16 Tahun 2007 dituntut memiliki empat kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi, soisal, dan kompetensi profesional. Salah satu dari kompetensi tersebut yaitu kompetensi profesional, menuntut seorang guru memiliki penguasaan dalam hal materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. Penguasaan akan kompetensi ini mutlak di miliki oleh para calon guru fisika. Termasuk para calon tenga pengajar yang dihasilkan program studi pendidikan fisika. Penguasaan kompetensi profesional yang baik diharapkan dapat menyampaikan informasi mengenai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan fisika dengan baik dan utuh. Bagaimana jika seorang calon guru tidak memiliki kompetensi ini, apa yang akan terjadi? Materi atau konsep Fisika di tingkat sekolah menengah atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) memiliki tingkat kesukaran yang beragam, terdiri dari : yang mudah, sedang, dan sukar. Keberagaman tingkat kesukaran tersebut tentunya akan memberikan respon yang berbeda dari para siswa, diantarnaya akan muncul keberagaman tingkat pemahaman siswa. Contohnya materi yang dianggap sedang akan mendapatkan respon yang beragam seperti mudah, sedang, dan sukar oleh beberapa orang siswa. Keberagaman tingkat kesukaran terhadap materi seperti ini memungkinkan terjadinya kesalahan penafsiran terhadap materi/konsep. Kesalahan dalam menafsirkan konsep inilah yang akan menimbulkan miskonsepsi.

Sumber kesalahan dalam memahami sebuah konsep, bisa bersumber dari: penafsiran awal yang salah pada diri siswa, atau kesalahan sudah terjadi pada diri guru yang ditularkan kepada siswa. Penyampaian informasi dan pemahaman konsep yang benar dari akan menghasilkan informasi yang benar juga kepada para siswa. Jika pada awalnya informasi yang diterima guru sudah salah, maka informasi yang diterima oleh siswa juga akan salah. Siswa akan selamanya memahami hal yang salah dan terbawa-bawa selama˗lamnya. Proses pendidikan formal merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan. Miskonsepsi yang bermula dari siswa (prakonsepsi) yang sudah salah akan berkelanjutan dan terus menerus. Keberhasilan setiap jenjang pendidikan


(2)

dipengaruhi keberhasilan siswa menguasai kompetensi pada jenjang sebelumnya. Pemahaman yang baik akan di jadikan sebagai dasar/fondasi yang baik bagi jenjang berikutnya.

Penelitian yang sudah dilakukan terhadap para calon guru fisika (mahasiswa tingkat akhir program studi pendidikan fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) menunjukkan telah terjadi miskonsepsi terhadap sejumlah materi fisika seperti listrik, fluida, gelombang, dan mekanika. Hal ini teridentifikasi pada jawaban mahasiswa pada saat ujian komprehensif di akhir semester 7. Jika miskonsepsi ini terjadi pada diri siswa, maka usaha ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan informasi bagi para dosen di lingkungan program studi pendidikan fisika khususnya untuk memperhatikan konsep˗konsep esensial yang sering menimbulkan terjadinya miskonsepsi. Sehingga dalam menyampaikan konsep˗konsep tersebut akan lebih hati˗hati dan diperhatikan benar pertimbangan metode perkuliahan yang lebih efektif. Beberapa informasi menyatakan bahwa penguasaan konsep yang rendah dan miskonsepsi pada diri siswa mempengaruhi rendahnya nilai KKM pada konsep dan bidang studi tersebut.

Dengan demikian penting untuk mengetahui ada tidaknya miskonsepsi pada diri siswa, terjadi pada konsep fisika apa saja, jenis konsep yang bagaimana, siswa yang bagaimana yang sering mengalami miskonsepsi? terutama pada sekolah-sekolah dimana para calon guru yang akan dihasilkan program studi melaksanakan praktek mengajar. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Analisis miskonsepsi siswa SMA kelas X pada mata pelajaran fisika melalui CRI (certainty of response index) termodifikasi.

2.Perumusan Masalah

Dari latar belakang penelitian yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah miskonsepsi telah terjadi siswa SMA kelas X pada mata pelajaran fisika?

Untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai miskonsepsi, maka dibuatkan beberapa pertanyaan analisis sebagai berikut:

a. Konsep fisika manakah yang banyak menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X?

b. Bagaimanakah gambaran materi fisika yang menimbulkan terjadinya miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X?

c. Jenis konsep yang bagaimanakah yang banyak terjadi miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X? d. Jenjang kognitif manakah yang banyak menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X? e. Siswa yang memiliki kemampuan seperti apa yang banyak mengalami miskonsepsi di SMA kelas X?

3.Tujuan Penelitian.

Dari pertanyaan penelitian yang sudah dikemukakan, penelitian ini bertujuan antara lain : a. Mendapatkan informasi mengenai terjadi atau tidaknya miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X.

b. Mendapatkan informasi mengenai konsep˗konsep fisika yang banyak menimbulkan terjadinya miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X. Sebagai bahan masukan, pertimbangan riview terhadap konten yang tersedia. Informasi ini dapat bermanfaat bagi dosen di LPTK, para guru, dan calon guru untuk “berhati˗hati” dalam menyampaikan informasi kepada siswa pada konsep tertentu yang diteliti.

c. Mendapatkan informasi mengenai gambaran materi fisika (tingkat kesukaran) yang dapat menimbulkan terjadinya miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X. Sebagai bahan pertimbangan bagi dosen dan para pengajar dalam memberikan latihan soal untuk tingkat kesukaran tertentu yang sering menimbulkan miskonsepsi.

d. Mendapatkan informasi mengenai jenis konsep fisika yang dianggap sulit oleh para siswa SMA kelas X. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengajar untuk menentukan jenis media pembelajaran yang sesuai dengan jenis konsepnya.

e. Mendapatkan informasi mengenai jenjang kemampuan kognitif mana (C1˗C4) yang banyak menimbulkan terjadinya miskonsepsi pada siswa SMA kelas X untuk menentukan jenis metode atau pendekatan pembelajaran yang harus digunakan.

f. Mendapatkan informasi mengenai gambaran kemampuan Siswa SMA di kelas X yang banyak mengalami miskonsepsi. Sebagai bahan pertimbangan dosen/guru dalam memberikan informasi atau memberikan pendekatan khusus kepada siswa yang memiliki kemampuan tertentu yang mengalami banyak miskonsepsi.


(3)

B. Metode dan Desain Penelitian 1.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di 4 sekolah : SMA Negeri 87 Jakarta Selatan, SMA Triguna Tangsel, SMA Dua Mei Tangsel, dan SMA Negeri 4 Tangsel. Penelitian berlangsung pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 di kelas X. Proses pengambilan data dilakukan mulai bulan Maret – bulan Mei 2013.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan ketika proses pelaksanaan Praktek Profesi Keguruan Terpadu (PPKT) mahasiswa program studi pendidikan fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Gejala yang terjadi pada data yang dikumpulkan merupakan akibat proses pembelajaran yang dilakukan oleh para calon guru/mahasiswa PPKT. Fakta-fakta yang ditemukan akan dideskripsikan sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan masalah.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini: analisis materi fisika pada silabus KTSP; penyusunan instrumen penelitian; uji coba instrumen; validitas dan reliabilitas instrumen; revisi instrumen; instrumen penelitian; tes diagnostik dengan metode CRI; pengolahan data; analisis data dan pembahasan; penarikan kesimpulan.

2.Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMA Negeri 87 Jakarta, SMA Triguna, SMA Dua Mei, dan SMA Negeri 4 Tangerang Selatan. Populasi targetnya adalah siswa kelas X di SMA tersebut. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive pada cluster dimana mahasiswa PPKT melakukan proses pembelajaran. Dengan demikian sampel penelitian akan sesuai dengan kriteria yang diharapkan dalam penelitian. Jumlah siswa yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 204 orang siswa.

3.Teknik Pengumpulan Data

Data utama dalam penelitian ini adalah data hasil miskonsepsi. Data miskonsepsi diperoleh dari hasil pemberian tes berupa pilihan ganda dengan menggunakan lembar jawaban model Certainty of Response Index (CRI) kepada sampel. Instrumen yang digunakan terlebih dahulu di validasi melalui software anates. Pada instrumen CRI ini siswa di berikan gambaran mengenai tingkat keyakinan responden terhadap jawaban yang di pilihnya. Pilihan tingkat keyakinan lebih dimodifikasi menjadi lebih sederhana dari skala 6 menjadi skala 3, yaitu :yakin, ragu˗ragu, tidak tahu.

4. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan berbentuk tes pilihan ganda dengan lima pilihan (option). Tes diberikan setelah proses pembelajaran dilaksanakan. Kisi-kisi soal tes disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 1 Kisi-Kisi Soal Tes Suhu dan Kalor Tabel 2 Kisi-Kisi Soal Tes Listrik Dinamis Indikator Ranah Penilaian Jml

C1 C2 C3 C4 1.Menganalisis pengaruh kalor terhadap

perubahan suhu benda. 1 2 2

2.Menganalisis pengaruh perubahan suhu

terhadap ukuran benda (pemuaian) 3 4, 5 6 4 3.Mendeskripsikan perbedaan kalor yang

diserap dan kalor yang dilepas. 8 15 2 4.Menerapkan asas Black dalam peristiwa

pertukaran kalor. 12,13 7 3

5.Menganalisis perpindahan kalor dengan

cara konduksi. 9 1

6.Menganalisis perpindahan kalor dengan

cara konveksi. 10 1

7.Menganalisis perpindahan kalor dengan

cara radiasi 11, 14 2

Jumlah 15

Tabel 3 Kisi-Kisi Soal pada Konsep Optik Geometri

Indikator Ranah Penilaian Jml C1 C2 C3 C4

1. Menentukan jumlah bayangan pada dua

cermin datar yang saling membentuk sudut. 1 1 2. Menghitung tinggi bayangan pada

cermin datar 2 1

Indikator Ranah Penilaian Jml C1 C2 C3 C4 1.Memformulasikan besaran kuat

arus dalam rangkaian tertutup sesderhana

1 1

2.Memformulasikan besaran

hambatan dalam rangkaian seri 2 3 2 3.Menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi kuat arus dalam suatu rangkaian

4 5 2

4.Memformulasikan salah satu besaran dalam rangkaian campuran

6,7 2

5.Memformulasikan besaran tegangan dalam rangkaian tertutup sederhana dengan menggunakan Hukum Kirchoff I dan II

8,9 2

6.Mengidentifikasi karakteristik arus listrik searah dalam kehidupan sehari-hari

10 1

7.Mengidentifikasi penggunaan arus listrik bolak-balik dalam kehidupan

11 1

8.Mengidentifikasi karakteristik


(4)

3. Mendeskripsikan sifat bayangan pada

cermin datar 3 1

4. Mengidentifikasikan sifat pemantulan

cahaya pada cermin 4 1

5. Menghitung titik pusat kelengkungan

pada cermin cekung 5 1

6. Menghitung jarak bayangan pada

cermin cekung 6 1

7. Menghitung selisih jarak benda pada cermin cekung

7

8 2

8. Menyebutkan sifat pada cermin

cembung 9 1

9. Mengidentifikasi sifat pembiasan pada

lensa 11 1

10. Menyebutkan sinar-sinar istimewa

pada lensa cembung 12 1

11. Menentukan letak ruangan bayangan

pada lensa cembung 13 1

12. Menghitung jarak bayangan pada lensa

cembung 14 1

13. Menyebatkan fungsi lensa pada mata 10 1 14. Menyebutkan fungsi alat optik 15 1 15. Menyebtukan sifat bayangan pada lup 16 1 16. Menghitung letak benda pada lup 17 1 17. Menentukan perbesaran angular pada

lup 18 1

18. Menentukan titik dekat mata pada

penderita hipermetropi 19 1

19. Menentukan titik jauh pada penderita

miopi 20 1

Jumlah 20

kehidupan sehari-hari

9.Menghitung daya listrik yang digunakan pada alat elektronik di rumah

13 1

10.Menggunakan amperemeter

dalam rangkaian 14 1

11.Menggunakan amperemeter

dan voltmeter dalam rangkaian 15 1

Jumlah 15

6. Kalibrasi Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria baik dari empat kriteria berikut: valid, reliabel, memiliki taraf kesukaran yang baik (tidak sangat sukar dan tidak terlalu mudah), dan daya pembeda yang baik.

Untuk mengetahui hasil dari keempat kriteria tersebut, maka instrumen yang akan digunakan diujicobakan dan hasilnya dianalisis/ dihitung dengan menggunakan analisis butir soal. Kalibrasi instrumen menggunakan software anates.

7. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil tes diagnostik CRI. Jawaban siswa di nilai dengan kriteria penilaian yang berikut:

Tabel 4 Kriteria Penilaian Soal

Jawaban siswa dianalisis dengan menggunakan model CRI. Merujuk pada jawaban benar dan yang salah dari siswa dan merujuk pada klasifikasi CRI. Bentuk matriks jawaban siswa dan pengkategoriannya disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 5 Ketentuan Untuk Setiap Pertanyaan yang Diberikan Berdasarkan pada Kombinasi Dari Jawaban Benar Atau Salah dan Kriteria CRI

Jawaban siswa berdasarkan kategori kriteria CRI dipersentasekan berdasarkan kelompok kategori paham, miskonsepsi, dan tidak paham, dihitung dengan menggunakan rumus :1

Keterangan:

P= angka persentase (% Kelompok); f =jumlah siswa pada setiap kelompok; N =jumlah individu (jumlah seluruh siswa yang dijadikan subjek penelitian)

Tabel 6 Persentase Tingkat Miskonsepsi

Sedangkan persentase tingkat miskonsepsinya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori seperti yang terlihat pada tabel di samping.

1

Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 43 Bentuk Soal Nilai Keterangan

Pilihan Ganda 1 Jika jawaban benar

0 Jika jawaban salah

Kriteria Jawaban

Kriteria CRI

Yakin Ragu-Ragu Tidak Yakin Jawaban

Benar Paham Tidak Paham

Tidak Paham/ menebak Jawaban

Salah

Miskons

epsi Tidak Paham

Tidak Paham/ menebak

Persentase Kategori

0 – 30% Rendah

31% - 60% Sedang


(5)

C. Hasil dan pembahasan 1. Hasil.

a.Data Miskonsepsi siswa SMA pada materi fisika.

Hasil tes diagnostik dengan menggunakan CRI menunjukkan bahwa siswa SMA mengalami miskonsepsi 22,9% (kategori rendah). Persentase miskonsepsi siswa pada tiap konsep disajikan secara visual pada grafik berikut:

Tabel 1 Persentase Miskonsepsi siswa pada Materi Fisika SMA di Kelas X

Gambar 1 Persentase Miskonsepsi pada materi fisika SMA kelas X

No. Konsep Fisika Kategori miskonsepsi

1. Suhu dan kalor Rendah

2. Listrik Dinamis Rendah

3. Optik Sedang

Materi yang paling banyak mengalami miskonsepsi adalah optik (31,7% ) kategori sedang, dan terendah listrik dinamis 16,2%. Pada konsep suhu dan kalor siswa mengalami miskonsepsi 18,37% atau kategori rendah. Persentase miskonsepsi pada masing-masing sub konsep disajikan pada tabel berikut:

Sub konsep yang memiliki persentase miskonsepsi tertinggi adalah Asas Black, dan yang terendah adalah perpindahan kalor. Ketiga sub konsep tersebut menyebabkan miskonsepsi pada kategori rendah. Dari tiga sub konsep tersebut dikembangkan tujuh indikator yang dikembangkan dalam instrumen CRI. Presentase miskonsepsi pada tiap indikator disajikan pada di samping.

Para siswa SMA banyak mengalami

miskonsepsi pada indikator menerapkan asas black dalam peristiwa pertukaran kalor (38,9%) dan yang terendah pada indikator Menganalisis perpindahan kalor dengan cara konduksi (0%) atau tidak terjadi miskonsepsi. Persentase miskonsepsi siswa pada tiap butir soal secara visual disajikan pada grafik berikut:

Gambar 2 Persentase Miskonsepsi Siswa Tiap Butir Soal Pada Konsep Suhu dan Kalor

Miskonsepsi siswa pada tiap butir soal suhu dan kalor ada pada kategori rendah (20,6%). Miskonsepsi kategori sedang terjadi pada butir soal : 14, 4, 12, 13. Soal nomor 2 adalah satu-satunya soal yang tidak menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Soal Nomor 2 memiliki karakteristik soal hitungan/aplikasi menggunakan rumus populer yang tidak dimodifikasi.

Miskonsepsi pada konsep listrik dinamis sebesar 13,5% dengan kategori rendah. Pada umumnya sub konsep listrik dinamis berkategori rendah. Sub konsep listrik dinamis yang memiliki persentase miskonsepsi paling tinggi pada kategori yang sama adalah listrik AC dan DC, dan yang terendah adalah arus listrik. Dari delapan sub konsep listrik dinamis dikembangkan sembilan indikator yang dalam instrumen CRI. Rerata miskonsepsi pada tiap indikator listrik dinamis adalah 14,6% atau kategori rendah. Siswa SMA mengalami miskonsepsi kategori sedang pada indikator mengidentifikasi karakteristik arus searah dalam kehidupan sehari-hari (36,3%) dan yang terendah pada indikator memformulasikan besaran kuat arus dalam rangkaian tertutup sederhana (2,5%). Secara umum miskonsepsi pada butir soal listrik dinamis berkategori rendah. Miskonsepsi pada kategori sedang terjadi pada butir soal nomor 15, 4, 9, dan 12

Tabel 3 Persentase Miskonsepsi pada Sub Konsep Listrik Dinamis.

20,8%

16,2% 31,7%

Suhu dan kalor

Tabel 2 Persentase Miskonsepsi pada Sub Konsep Suhu dan Kalor

No Sub Konsep % Kategori

1. Suhu, Kalor, dan Perubahan

Wujud

16,7 Rendah

2. Asas Black 24,7 Rendah

3. Perpindahan Kalor 13,7 Rendah

Rerata 18,4 Rendah

25,2%

0,0% 0,8% 49,6%

26,9%

5,9% 1,7%

17,6%

0,0% 19,3%

3,4% 55,5% 59,7%

40,3%

3,4% 0,0%

10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0% 60,0% 70,0%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

% Miskonsepsi


(6)

Gambar 3 Persentase Miskonsepsi Siswa Tiap Butir Soal Pada Konsep Listrik Dinamis

Miskonsepsi pada kategori terrendah terjadi pada butir soal lainnya. Persentase miskonsepsi siswa pada tiap butir soal secara visual disajikan pada grafik di atas.

Persentase miskonsepsi siswa pada masing-masing sub konsep pada konsep listrik dinamis disajikan pada tabel di bawah. Dari tiga sub konsep di atas dikembangkan 19 indikator yang digunakan dalam instrumen CRI pada konsep ini. Secara umum siswa mengalami miskonsepsi kategori sedang pada indikator konsep suhu dan kalor ini. Para siswa SMA banyak mengalami miskonsepsi pada indikator mendeskripsikan sifat bayangan pada cermin datar (71,1%) dan yang terendah pada indikator Menghitung jarak bayangan pada lensa cembung (2,2%). Persentase miskonsepsi siswa pada tiap butir soal secara visual disajikan pada grafik dibawah:

Tabel 4 Persentase Miskonsepsi pada Sub Konsep Optik

Miskonsepsi pada tiap butir soal optik berkategori sedang (7%). Miskonsepsi pada kategori rendah terjadi pada soal nomor : 2, 3, 4, 5, 6, 8, 11, 12, 17, 18, 19, dan 20, pada kategori sedang terjadi pada butir soal nomor : 1, 7, 9, 13, dan 14. Miskonsepsi

pada kategori tinggi terjadi pada butir soal nomor : 10, 15, dan 16.

Gambar 4 Persentase Miskonsepsi Siswa Tiap Butir Soal Pada Konsep optik b.Persentase Miskonsepsi siswa SMA pada materi fisika di kelas X.

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa SMA kelas X pada materi suhu dan kalor, listrik dinamis, dan optik. Disajikan secara visual pada grafik berikut:

Gambar 5 Grafik Persentase Miskonsepsi Siswa Pada Konsep Suhu dan Kalor Berdasarkan Kategori Miskonsepsinya

Gambar 6 Grafik Persentase Miskonsepsi Siswa Pada Konsep Listik Dinamis Berdasarkan Kategori Miskonsepsinya

73%

27%

0% 0%

20% 40% 60% 80%

Rendah Sedang Tinggi

%

80%

20%

0% 0%

20% 40% 60% 80% 100%

Rendah Sedang Tinggi

%

No. Sub Konsep % Kategori

1. Arus Listrik 2,5% Rendah

2. Hambatan Kawat

Penghantar

15,0% Rendah

3. Rangkaian Seri Paralel 3,8% Rendah

4. Hukum Ohm 18,8% Rendah

5. Hukum Kirchoff 21,3% Rendah

6. Listrik AC dan DC 23,1% Rendah

7. Energi dan Daya Listrik 7,5% Rendah

8. Alat Ukur Listrik 16,3% Rendah

Rerata 13,5% Rendah

No SUB KONSEP % Kategori

1. Pemantulan 41,1 Sedang

2. Pembiasan 26,1 Rendah

3. Alat-alat Optik 19,7 Rendah Rerata 28,9 Rendah

42,2

28,9 15,6

22,2

2,2 17,8

44,4

15,6 51,1

75,6

20 13,3

33,3 33,3 77,8

64,4

15,6 26,7

15,6 17,8

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 % Miskonsepsi

Nomor soal 2,5% 5,0%

25,0% 32,5%

5,0% 2,5% 5,0%

10,0% 32,5%

22,5%

10,0% 50,0%

7,5% 2,5%

30,0%

0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0% 60,0%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

% Miskonsepsi


(7)

Berdasarkan rerata persentase miskonsepsi siswa pada tiap butir soal, siswa SMA kelas X yang mengalami miskonsepsi pada konsep suhu dan kalor rerata sebanyak 20,8% dengan kategori rendah. Tingkat miskonsepsi yang terjadi pada diri siswa pada konsep ini berada pada kategori rendah dan sedang. Siswa banyak mengalami miskonsepsi kategori rendah. Kategori miskonsepsi tinggi tidak muncul pada konsep ini.

Pada konsep listrik dinamis tingkat miskonsepsi yang terjadi pada siswa ada pada kategori rendah dan sedang.

Gambar 7 Grafik Persentase Miskonsepsi Siswa Pada Konsep Optik Berdasarkan Kategori Miskonsepsinya

Sedangkan pada konsep optik miskonsepsi terjadi pada semua kategori: rendah, sedang, dan tinggi. Miskonsepsi yang banyak terjadi adalah pada kategori rendah.

c.Tingkat kesukaran materi yang menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X

Data persentase miskonsepsi berdasarkan tingkat kesukaran materi disajikan pada uraian dan grafik-grafik berikut ini:

Gambar 8 Grafik Persentase Miskonsepsi siswa pada tiap Tingkat Kesukaran Materi pada konsep Suhu dan Kalor

Gambar 9 Grafik Persentase Miskonsepsi siswa pada tiap Tingkat Kesukaran Materi pada konsep Listrik Dinamis

Pada konsep suhu dan kalor ada tiga kategori tingkat kesukaran yang menimbulkan miskonsepsi. Materi dengan kategori sangat mudah paling banyak menimbulkan miskonsepsi 23,4%. Tingkat kesukaran materi sukar menimbulkan miskonespsi yang tergolong rendah.

Gambar 10 Grafik Persentase Miskonsepsi siswa pada tiap Tingkat Kesukaran Materi pada konsep Optik

Pada konsep listrik dinamis, tingkat kesukaran yang menimbulkan miskonsepsi ada tiga kategori yaitu : sangat mudah, mudah, dan sedang. Soal yang sukar tidak menimbulkan miskonsepsi pada konsep ini. Materi dengan kategori tingkat kesukaran sedang yang paling banyak menimbulkan miskonsepsi 25,9%. Persentase miskonsepsi rendah pada tingkat kesukaran materi yang mudah (4,17%).

Pada konsep optik, tingkat kesukaran materi yang menimbulkan miskonsepsi ada lima kategori yaitu : sangat mudah, mudah, sedang, sukar dan sangat sukar. Tingkat kesukaran sangat sukar paling banyak menimbulkan miskonsepsi pada siswa 52,5%. Tingkat kesukaran materi yang terendah yang dapat menimbulkan miskonespsi pada materi ini adalah materi yang tergolong sangat mudah 4,17%.

d.Jenis konsep fisika yang menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X.

Ada beberapa jenis konsep yang dapat menimbulkan terjadinya miskonsepsi pada konsep suhu dan kalor, listrik dinamis, dan optik. Jenis konsep yang banyak mempengaruhi terjadinya miskonsepsi pada konsep suhu dan kalor adalah konsep abstrak dengan contoh konkrit (20,8%) dan yang terendah adalah konsep yang menyatakan simbol (10,6%). Ada empat jenis konsep yang mempengaruhi miskonsepsi pada konsep optik. Jenis

60%

25%

15%

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%

Rendah Sedang Tinggi

%

23,4

18,5

21,8

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0

Sangat Mudah Sedang Sukar

%

5,63

4,17

25,94

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

Sangat Mudah Mudah Sedang

%

2,5

14,2 22,8

46,7 52,5

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0

Sangat Mudah

Mudah Sedang Sukar Sangat Sukar


(8)

konsep yang banyak mempengaruhi adalah konsep abstrak dengan contoh konkrit (46,7%) dan yang terendah adalah konsep konkrit (6,7%).Persentase miskonsepsi pada tiap jenis konsep berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya disajikan pada grafik-grafik di bawah ini.

Gambar 11 Grafik Persentase Miskonsepsi pada Tiap Jenis Konsep Yang Ada Pada Konsep Suhu dan Kalor

Gambar 12 Grafik Persentase Miskonsepsi pada Tiap Jenis Konsep Yang Ada Pada Konsep listrik dinamis Gambar 13 Grafik Persentase Miskonsepsi pada Tiap Jenis Konsep Yang Ada Pada Konsep optik. e.Jenjang kognitif yang menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X.

Deskripsi jenjang kognitif pada konsep suhu dan kalor yang mempengaruhi miskonsepsi siswa disajikan pada grafik berikut ini :

Gambar 14 Grafik Persentase Miskonsepsi Siswa pada Tiap Jenjang Kognitif Bloom pada konsep suhu dan kalor

Gambar 15 Grafik Persentase Miskonsepsi Siswa pada Tiap Jenjang Kognitif Bloom pada konsep Listrik Dinamis

Jenjang kognitif yang banyak mempengaruhi timbulnya miskonsepsi pada konsep suhu dan kalor adalah jenjang kognitif C2 (pemahaman) yang menyebabkan timbulnya miskonsepsi sebanyak 39,5%. Sedangkan yang

terendah adalah jenjang C3 (aplikasi) sebanyak 8,3%. Jenjang kognitif yang banyak mempengaruhi timbulnya

miskonsepsi pada konsep listrik dinamis ada empat yaitu jenjang C1-C4. Jenjang kognitif yang paling banyak

berpengaruh adalah jenjang kognitif C2 (pemahaman) yang menyebabkan timbulnya miskonsepsi sebanyak

31,3%. Sedangkan yang terendah adalah jenjang C3 (ingatan/ pengetahuan) sebanyak 4,3%. Jenjang kognitif

yang banyak mempengaruhi timbulnya miskonsepsi pada konsep optik ada tiga yaitu jenjang C1-C3. 0,8%

15,4%

39,7%

0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0% 30,0% 35,0% 40,0% 45,0%

Konsep abstrak Konsep abstrak dengan contoh

konkrit

Konsep yang menyatakan nama proses

% Miskonsepsi

20,8%

13,1%

10,6%

0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0%

Konsep abstrak dengan contoh

konkrit

Konsep konkrit Konsep yang menyatakan

simbol

% Miskonsepsi

9,2

39,5

8,3 0

10 20 30 40 50

C1 C2 C3

% Miskonsepsi

27,5%

31,3%

4,3%

22,5%

0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0% 30,0% 35,0%

C1 C2 C3 C4

% Miskonsepsi

37,8 46,7

6,7

27,4

10,0 20,0 30,0 40,0 50,0

Konsep abstrak

Konsep abstrak dengan contoh konkrit

Konsep konkrit

Konsep yang menyatakan

simbol


(9)

Gambar 16 Grafik Persentase Miskonsepsi Siswa pada Tiap Jenjang Kognitif Bloom pada konsep optik

Jenjang kognitif yang paling banyak berpengaruh adalah jenjang kognitif C1 (ingatan/pengetahuan) yang menyebabkan timbulnya

miskonsepsi sebanyak 43,6%. Sedangkan yang terendah adalah jenjang C2 (pemahaman) sebanyak 20,6%.

f.Kemampuan Siswa SMA di kelas X yang mengalami miskonsepsi pada konsep suhu dan kalor, listrik dinamis, dan optik.

Kemampuan siswa yang banyak mengalami miskonsepsi pada tiap konsep yang di teliti disajikan pada grafik di bawah ini:

Gambar 17 Grafik Persentase Miskonsepsi pada tiap kategori Kemampuan Siswa SMA pada konsep suhu dan kalor

Gambar 18 Grafik Persentase Miskonsepsi pada tiap kategori Kemampuan Siswa SMA pada konsep listrik dinamis

Pada konsep suhu dan kalor miskonsepsi terjadi pada tiga kategori kemampuan siswa, yaitu : rendah, sedang, dan tinggi. Persentase miskonsepsi pada tiga kemampuan tersebut berbeda-beda. Persentase siswa dengan kategori kemampuan rendah paling banyak mengalami miskonsepsi (26,1%) diantara kelompok lainnya, dan persentase yang paling kecil adalah siswa dengan kategori kemampuan tinggi. Pada konsep listrik dinamis, miskonsepsi terjadi pada dua kategori kemampuan siswa saja, yaitu : siswa dengan kategori kemampuan rendah, dan sedang.

Gambar 19 Grafik Persentase Miskonsepsi pada tiap kategori Kemampuan Siswa SMA pada konsep optik

Persentase miskonsepsi pada kedua kemampuan tersebut berbeda-beda. Siswa dengan kategori kemampuan rendah banyak mengalami miskonsepsi (25%) dan 15% pada kategori sedang, sedangkan kategori kemampuan tinggi tidak ada yang miskonsepsi (0%). Pada konsep optik, miskonsepsi terjadi pada tiga kategori kemampuan siswa, yaitu : kategori siswa berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. Persentase miskonsepsi pada tiga kemampuan tersebut berbeda-beda. Siswa dengan kategori kemampuan rendah banyak mengalami miskonsepsi (44%) dan yang paling kecil adalah siswa dengan kemampuan tinggi (26%).

D. Pembahasan

Siswa SMA kelas X mengalami miskonsepsi pada semua konsep yang diteliti, yaitu suhu dan kalor, listrik dinamis, dan optik. Berdasarkan rerata persentase miskonsepsi yang terjadi pada siswa ada dua kategori, yaitu : rendah dan sedang. Konsep fisika yang banyak menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA adalah konsep optik, memiliki tingkat miskonsepsi lebih tinggi dari dua konsep yang lainnya.

Pada konsep suhu dan kalor siswa mengalami miskonsepsi pada sub konsep perpindahan kalor. Pada indikator Menganalisis perpindahan kalor dengan cara konduksi. indikator menerapkan asas Black dalam peristiwa pertukaran kalor. Siswa mengalami miskonsepsi pada nomor soal 14, 4, 12 dan 13.

26,1

21,5

8,6

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0

K.Rendah K.Sedang K.Tinggi

% Miskonsepsi

25,0

15,4

0,0 0,0

5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0

K.Rendah K.Sedang K.Tinggi

% Miskonsepsi

44,0

30,7

26,0

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0

K.Rendah K.Sedang K.Tinggi

% Miskonsepsi

43,6

20,6 24,1

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0

C1 C2 C3


(10)

Soal nomor 14.

Botol termos dibuat dengan dinding rangkap dua dan diantaranya terdapat ruang hampa serta dinding-dindingnya dilapisi dengan perak, maksudnya adalah …

A.

Ruang hampa dimaksudkan agar

pemindahan panas secara radiasi tidak terjadi.

B.

Ruang hampa dimaksudkan agar

pemindahan panas secara konduksi tidak terjadi.

C.

Lapisan mengkilap dari perak dimaksudkan untuk memperkecil terjadinya pemindahan panas secara radiasi.

D.

Lapisan mengkilap dari perak dimaksudkan untuk memperbesar terjadinya pemindahan panas secara radiasi.

E.

Lapisan mengkilap dari perak dimaksudkan untuk memperkecil terjadinya pemindahan panas secara konduksi dan konveksi.

42% siswa menjawab dengan jawaban E. Siswa tidak bisa membayangkan konsep yang sifatnya abstrak dengan contoh konkret seperti ini. Siswa tidak bisa membedakan fungsi bahan berdasarkan proses yang akan terjadi pada bahan tersebut. Sekaligus kesulitan pada konsep yang menyatakan nama proses, seperti konduksi, konveksi, dan radiasi. Siswa belum bisa membedakan fungsi bahan pada termos terhadap proses perpindahan kalor yang terjadi.

Termos berfungsi untuk menyimpan zat cair agar tetap terjaga suhunya dalam jangka waktu tertentu. Termos dibuat dengan prinsip mencegah proses perpindahan kalor secara konduksi, konveksi, maupun radiasi. Maka bahan-bahan, dan desainya harus yang berlawanan dengan proses-proses perpindahan kalor tersebut. Dengan kata lain dibuat desain, atau dicari bahan untuk menghambat perpindahan kalor pada termos tersebut. Salah satu caranya adalah: dengan membuat permukaan tabung kaca bagian dalam dibuat mengkilap seperti cermin.

Untuk menghasilkan permukaan mengkilat salah satu caranya adalah dengan melapisi kaca dengan lapisan perak yang berfungsi mencegah perpindahan kalor secara radiasi dan memantulkan radiasi kembali ke dalam termos. Pemilihan dinding kaca dikarenakan kaca berfungsi sebagai konduktor yang jelek, sehingga tidak dapat memindahkan kalor secara konduksi. Pembuatan ruang hampa di antara dua dinding kaca, dimaksudkan untuk mencegah kalor secara konduksi dan konveksi dengan udara luar tidak terjadi.

Soal nomor 4.

Faktor-faktor : 1) Perubahan suhu 2) Jenis zat

3) Percepatan gravitasi 4) Massa zat

Pemuaian zat padat dan zat cair bergantung pada faktor ...

a.1 dan 3 b. 2 dan 4 c.1 dan 2 d.3 dan 4 e. 1 dan 4

54,6% siswa menjawab pemuaian pada zat padat dan zat cair dipengaruhi oleh perubahan suhu dan “massa zat”. Peristiwa pemuaian zat padat dan zat cair tidak dipengaruhi oleh massa zat. Pemuaian dipengaruhi oleh panjang mula-mula benda (Lo), kenaikan suhu benda (∆T), dan jenis benda yang memuai (). Pertambahan panjang (∆L) dan pemuaian panjang (Lt) pada zat padat memenuhi hubungan: ∆L = Lo.. ∆T atau Lt = Lo + ∆L. Pemuaian pada zat cair tidak melibatkan muai panjang ataupun muai luas, tetapi hanya dikenal muai ruang atau muai volume saja. Semakin tinggi suhu yang diberikan pada zat cair itu maka semakin besar muai volumenya. Pemuaian zat cair untuk masing-masing jenis zat cair berbeda-beda, walaupun volume awal zat cair sama tetapi setelah dipanaskan volumenya menjadi berbeda-beda. Pemuaian volume zat cair terkait dengan pemuaian tekanan karena peningkatan suhu

Soal nomor 12.

Jika dua buah sendok yang terbuat dari bahan besi dan plastik dicelupkan dalam air pada sebuah gelas. Setelah selang waktu yang cukup lama, kedua sendok tersebut dipegang

dengan tangan. Ternyata

sendok besi lebih dingin dari

pada sendok plastik. Jika

setelah itu kedua sendok diukur suhunya dengan menggunakan termometer, maka bagaimana suhu yang dimiliki masing-masing

sendok tersebut?…

A.

Suhu sendok besi dua kali lebih rendah daripada suhu

padasendok plastik.

B.

Suhu sendok besi dua kali lebih tinggi daripada suhu

Sebagian besar siswa menjawab bahwa suhu sendok besi akan lebih dingin dari suhu sendok plastik. Siswa masih belum bisa berpikir membuat hubungan yang saling mempengaruhi antar dua variabel atau lebih secara abstrak. Lebih tepatnya siwa belum bisa meramalkan/ memprediksikan sebuah peristiwa/keadaan yang belum terjadi. Mereka tidak memperkirakan bahwa ketika tangan bersentuhan dengan kedua sendok, persentuhan antara tangan dengan sendok menyebabkan adanya perpindahan kalor dari tangan ke sendok setelah beberapa saat dipegang, hal ini lah yang menyebabkan kedua sendok akan memiliki suhu yang sama. Siswa masih berpikir bahwa kondisi awal


(11)

pada sendok plastik.

C.

Suhu sendok besi lebih rendah daripada suhu pada sendok plastik.

D.

Suhu sendok besi lebih tinggi daripada suhu pada sendok plastik.

E.

Suhu sendok besi sama dengan suhu pada sendok

plastik.

tidak dipengaruhi oleh kondisi kedua dimana tangan bersentuhan dengan kedua jenis sendok. Siswa beranggapan sendok besi mudah melepaskan kalor dan sendok plastik tidak melepaskan kalor, tidak memikirkan perlakuan setelah itu. Pada kenyataannya ketika termometer mengukur suhu kedua sendok, maka suhu kedua sendok akan menunjukkan suhu yang sama

Soal nomor 13.

Ketika kita berada di pegunungan pada malam hari maupun pagi hari kita merasa lebih hangat jika menggunakan sweather, penyebabnya adalah …

A.

Hawa dingin tidak dapat masuk ke badan karena terhalang oleh sweather

B.

Hawa dingin tidak dapat keluar ke badan karena terhalang oleh sweather

C.

Hawa panas tidak dapat masuk ke badan karena terhalang oleh sweather

D.

Sweather dapat menghambat transfer kalor dari lingkungan ke tubuh.

E.

Sweather dapat menghambat transfer kalor dari tubuh ke lingkungan.

51,3% siswa menjawab sweather dapat menghambat transfer kalor dari lingkungan ke tubuh. Siswa melupakan prinsip perpindahan kalor, bahwa kalor akan berpindah dari benda/lingkungan yang bersuhu lebih tinggi ke benda/lingkungan yang bersuhu lebih rendah. Dimana peristiwanya tidak disajikan oleh mata/abstrak. Pada malam hari dan pagi hari, suhu tubuh akan lebih tinggi dari suhu lingkungan. Hal ini menyebabkan kalor akan berpindah dari tubuh ke lingkungan. Ini lah yang menyebabkan kenapa tubuh kita menjadi kedinginan, karena sejumlah kalor dilepaskan ke lingkungan. Namun, sebelum suhu tubuh berpindah ke lingkungan terdapat sweather yang berfungsi sebagai isolator, yaitu bahan/zat yang sulit menghantarkan kalor (penghantar yang kalor buruk). Maka perpindahan kalor dari tubuh ke lingkungan terhalang oleh sweather.

Pada konsep listrik dinamis siswa mengalami miskonsepsi pada kategori sedang, pada soal nomor 15, 4, 9 dan 12.

Soal Nomor 15

Pasangan voltmeter dan ampermeter dalam rangkaian listrik yang tepat adalah ….

Pemasangan amperemeter pada rangkaian sebuah rangkaian lisrik adalah secara seri. Ampermeter dipasang secara seri terhadap beban yang ingin diukur kuat arusnya, sedangkan voltmeter harus dipasang secara paralel. Voltmeter dipasang secara paralel terhadap beban yang ingin diukur tegangannya. Apabila pemasangannya tertukar maka alat tersebut akan rusak. 33% siswa menjawab dengan benar dan yakin, 15% jawaban benar tapi ragu-ragu. Siswa yang miskonsepsi 9% menjawab dengan jawaban B. Siswa tidak bisa membedakan pemasangan alat ukur ampermeter dan voltmeter pada sebuah rangkaian. Padahal aplikasinya biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Guru dan dosen ketika membahas materi tentang pemasangan alat ukur listrik sebaiknya disertai dengan demontrasi atau praktek langsung. Guru sebaiknya menunjukkan dampak dari pemasangan yang benar dan pemasangan yang salah. Menunjukkan mana contoh yang benar dan mana contoh yang salah.

Soal Nomor 4

Berikut adalah pernyataan mengenai Hukum Ohm: (i) besarnya tegangan berbanding lurus dengan

hambatannya

(ii) besarnya hambatan berbanding lurus dengan kuat arusnya

(iii) besarnya tegangan berbanding lurus dengan kuat arusnya

(iv) besarnya kuat arus berbanding terbalik dengan hambatannya

Hukum Ohm adalah sebuah hukum fisika yang menunjukkan hubungan besar arus listrik yang mengalir melalui sebuah penghantar selalu berbanding lurus dengan beda potensialnya. Sebuah penghantar dikatakan mengikuti hukum Ohm apabila nilai resistansinya tidak bergantung pada besar dan polaritas beda potensialnya. Secara matematis hukum Ohm diekspresikan dengan persamaan: V = I.R. Dimana : I adalah arus listrik yang mengalir pada suatu


(12)

(v) ditemukan oleh ilmuan Inggris yaitu Whilhelm K. Rontgen

Pernyataan yang benar mengenai Hukum Ohm adalah ….

A. (i), (ii), dan (iii) B. (i), (ii), dan (iv) C. (i), (ii), dan (v) D. (i), (iii), dan (iv) E. (ii), (iii), dan (v)

penghantar dengan satuan Ampere; V adalah tegangan listrik yang terdapat pada kedua ujung penghantar dengan satuan volt; R adalah nilai hambatan listrik yang terdapat pada suatu penghantar dengan satuan ohm. Besarnya tegangan berbanding lurus dengan hambatannya ( V ≈ R), Besarnya tegangan berbanding lurus dengan kuat arusnya (V ≈ I),Besarnya kuat arus berbanding terbalik dengan hambatannya (I ≈ 1/R).

Sebagian besar siswa yang mengalami miskonsepsi mengangap kalau I itu sebanding dengan R. Mereka belum memahami dengan baik hubungan antar variabel pada hukum Ohm. Dalam mengajarkan materi ini sebaiknya guru atau dosen memperhatiakan konsep pembelajaran bermakna (meaningful learning). Siswa akan lebih paham jika siswa mengalami langsung konsep yang sedang dipelajari sehingga pengetahuan yang diperoleh menjadi bermakna dan dapat diingat terus, seperti yang dikemukakan oleh David P. Ausubel. Guru dan dosen harus memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna.

Untuk siswa sekolah dasar dan menengah, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktifitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran, seperti eksperimen/percobaan langsung. Pada pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi. Ada tiga tipe belajar yang dapat dianggap cocok, yaitu: Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya, atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari, kemudian pengetahuan baru itu ia asosiasikan dengan pengetahuan yang sudah ada; Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.2

Soal Nomor 9

Perhatikan gambar di bawah ini!

Besarnya kuat arus yang mengalir dalam rangkaian adalah ….

A.

3 A D. – 1 A

B.

2 A E. – 3 A

C.

1 A

Dengan menggunakan prinsip 1 loop dengan menggunakan hukum Kirchoff. Soal tersebut akan di peroleh besar kuat arus yang mengalir dalam rangkaian adalah 1 A. Sebagian siswa menjawab besar kuat arusnya -1 A. Pada kenyataannya yang ditanyaka itu adalah besarnya tidak mengharapkan arahnya ke mana arus tersebut mengalir. Pada soal ini siswa sudah memahami prinsip atau penggunaan aturan penyelesaian soal namun siswa kurang teliti memaknai pertanyaan dalam instrumen tes ini. Sehingga bagi yang tidak memperhatikan hal ini akan terjebak pada jawaban seperti itu. 45% siswa menjawab alat yang bisa digunakan untuk merubah DC menjadi AC adalah adaptor. Siswa belum bisa membedakan tegangan listrik AC dan DC. Siswa belum memahami pengertian AC dan DC dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Alat yang digunakan untuk merubah DC menjadi AC adalah power inverter. Sedangkan adaptor digunakan untuk merubah tegangan AC ke DC.

Soal Nomor 12

Alat yang digunakan untuk mengubah DC menjadi AC adalah ….

A.

AC-meter D. Inverter

B.

DC-meter E. Galvanometer

C.

Adaptor

Guru seharusnya lebih banyak mengaitkan materi kedalam kontek kehidupan sehari-hari atau melalui pembelajaran kontekstual/ Contextual Teaching Learning (CTL) mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Demikian juga untuk materi AC dan DC, terutama membahas fungsi inverter dan memberikan contohnya dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa gambar maupun aplikasi yang di demontrasikan. Melalui pemaduan materi ini dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan

2


(13)

masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Dengan demikian siswa dapat membangun pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.

Nomor 10

Fungsi lensa adalah ....

a. Sebagai layar tempat terbentuknya

bayangan

b. Mengatur besar kecilnya pupil

c. Membiaskan sinar dari benda

d. Membiaskan cahaya ke dalam mata

e. Melindungi bagian mata yang lunak

dan sensitif

47% siswa menjawab dengan jawaban d. Lensa berfungsi membiaskan cahaya ke dalam mata. Jawaban ini dapat diartikan cahaya masuk langsung ke mata, seperti seberkas cahaya matahari yang masuk yang masuk ke lensa dan dibiaskan, maka yang akan terjadi justru menyebabkan kerusakan pada mata. Secara umum lensa berfungsi sebagai pembias. Namun, sinar yang dibiaskan oleh lensa tentunya berasal dari benda atau objek yang akan dilihat bukan langsung dari sumber sinar.

Nomor 15

Alat yang dapat memperbesar sudut pandang sehingga benda-benda kecil tampak lebih besar adalah ....

a. Mikroskop

b. Kacamata

c. Teleskop

d. Kamera

e. Lup

Sebagian besar siswa menjawab mikroskop (jawaban A). Siswa tidak bisa membedakan antara benda kecil dan benda renik atau mikroskofis. Lup adalah lensa cembung, digunakan untuk mengamati benda-benda kecil agar lebih besar dan jelas. Mikroskop adalah sebuah alat optik yang terdiri dari dua lensa cembung, yaitu lensa obyektif (tetap/tidak dapat digeser) dan okuler (dapat digeser, dan berfungsi sebagai lup). Mikroskop dipakai untuk melihat benda-benda renik, agar terlihat lebih besar dan jelas. Pada konsep optik ini siswa sebaiknya diajak praktek atau setidaknya melalui demontrasi yang selanjutnya hasilnya dibahas melalui penggunaan media secara visual melalui gambar atau animasi. Karena sifat bayangan pada materi optik ini bersifat abstrak pada prosesnya tapi konkret dalam bentuk contohnya.

Nomor 16

Sifat bayangan yang dibentuk oleh lup adalah ....

a. Maya, terbalik, diperbesar

b. Nyata, tegak, diperbesar

c. Nyata, tegak, diperkecil

d. Maya, tegak, diperbesar

e. Maya, tegak, diperkecil

30% jawaban siswa adalah D dan 40% jawaban siswa A. Lup / kaca pembesar adalah sebuah lensa cembung yang memiliki titik fokus yang dekat dengan lensanya. Posisi benda yang akan diperbesar terletak di dalam titik fokus atau jarak benda ke lup, lebih kecil dibandingkan jarak titik fokus lup ke lensa lup. Bayangan yang dihasilkan bersifat tegak, nyata, dan diperbesar.

Miskonsepsi pada soal ini diakibatkan siswa tidak diberi kesempatan untuk menggunakan dan merasakan langsung alat-alat optik tersebut. Siswa berkategori kemampuan rendah banyak mengalami miskonsepsi pada jenis konsep abstrak dengan contoh konkret seperti ini. Penyebabnya adalah siswa tidak beri kesempatan mencoba lup dan membedakannya dengan mikroskop, untuk mengamati benda yang sama. Siswa diajak menerapkan konsep dalam dunia nyata. Peneliti perkirakan hal ini disebebakan oleh kebiasaan guru di sekolah yang terbiasa mengajarkan konsep optik, sebagai sastra fisika yang harus diingat dan dihafalkan. Guru disekolah senantiasa mengajarkan materi ini dengan cara verbal melalui ceramah, memberi contoh hitungan, dan sedikit berlatih menggambarkan sifat-sifat sinar pada alat-alat optik, kurang memberi contoh yang aplikatif. Sebenarnya guru dapat membahas perbedaan bayangan benda yang diamati dengan menerapkan konsep/perhitungan penentuan bayangan dari persamaan lensa kemudian divisualisasikan melalui gambar baik melalui gambar statis maupun animasi, kemudian dipelajari sifat-sifat berkas sinar yang mengenai lensa.

Metode yang tepat untuk memperbaiki kesalahan konsep pada kasus ini adalah dengan penggunakan pendekatan keterampilan proses sains. Siswa dilatih keterampilannya dalam menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai suatu hasil tertentu. Dalam keterampilan proses sains siswa dilatih kemampuan mengamati, mengelompokkan/klasifikasi, menafsirkan, meramalkan, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, merencanakan percobaan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, dan berkomunikasi. Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna (meaningful learning). Siswa diajak beraktifitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep atau mind map, demonstrasi, diagram dan ilustrasi. Peneliti berpendapat ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang guru atau dosen dalam mengatasi miskonsepsi pada konsep-konsep ini, diantaranya adalah :

Merubah pola dan gaya mengajar menuju ke pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) bisa melalui bingkai paikem, inkuiri, discovery dengan membawa pola pikir yang konstuktivis. Menghubungkan satu


(14)

konsep dengan konsep lain yang dipelajari dan membuat relasi dengan contoh aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk didalamnya adalah contoh soal baik konsep maupun hitungan. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna dan logis. Proses menghubungkan konsep yang dipelajari dengan aplikasi dlm kehidupan sehari-hari bisa dilakukan dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) dengan proses di dalam pembelajarannya mengembangkan keterampilan proses sains yang ditunjang dengan penggunaan media audio visual yang memadai untuk memvisualkan konsep-konsep yang abstrak. Melihat tren hasil penelitian maka dapat diperkirakan bahwa semua konsep dalam fisika dapat berpotensi menimbulkan terjadinya miskonsepsi, miskonsepsi dapat terjadi karena: kesalahan guru atau dosen dalam memberikan perlakuan dalam proses pembelajaran; kesalahan dalam persepsi awal siswa; kesalahan pemahaman konsep pada pengajar. Melakukan refleksi diakhir kegiatan pembelajaran, refleksi merupakan kunci bagi guru maupun siswa dalam meningkatkan pemahaman mengenai konten, mengubah pengalaman dalam proses belajar. Ketika mengajarkan jenis konsep abstrak dengan contoh konkret guru harus banyak memberikan visualisasi (gambar/animasi/video), contoh, menerapkan konsep, mencoba/mempraktekan, menghubungkan konsep dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain guru harus menerapkan konsep pembelajaran bermakna dengan baik. Guru harus lebih banyak melatih dan sekaligus mengoreksi kemampuan pemahaman konsep siswa dengan memberikan latihan soal ataupun tugas. Tidak asal memberi tugas/latihan tanpa dikoreksi atau pemberian feedback yang baik. Pada saat proses pembelajaran berlangsung guru harus lebih banyak berada diantara siswa yang memiliki kemampuan rendah ini. Sistem pembelajaran dibuat bisa membedakan kelompok kemampuan siswa, sehingga keberadaan guru di titik tertentu di dalam kelas betul-betul efektif.

E. Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan ini, diantaranya adalah miskonsepsi sudah terjadi di siswa SMA kelas X pada konsep suhu dan kalor, listrik dinamis, dan optik. Kesimpulan lainnya adalah sebagai berikut:

1. Semua konsep fisika yang di teliti menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X. Tingkat miskonsepsi yang terjadi pada tiap-tiap konsep berbeda-beda. Umumnya berkategori rendah, kecuali pada konsep optik (kategori sedang). Berdasarkan tren hasil penelitian dapat diperkirakan bahwa semua konsep dalam fisika dapat berpotensi menimbulkan terjadinya miskonsepsi dengan tingkat kategori miskonsepsi berbeda.

2. Materi fisika yang menimbulkan miskonsepsi bisa terjadi pada semua tingkat kesukaran. Miskonsepsi tidak terjadi pada satu jenis tingkat kesukaran saja tapi di semua tingkat kesukaran pada semua konsep yang diteliti.

3. Jenis konsep yang banyak menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X adalah jenis konsep abstrak dengan contoh konkret, kecuali pada konsep suhu dan kalor konsep yang menyatakan nama proses. 4. Jenjang kognitif yang banyak menimbulkan miskonsepsi adalah jenjang kognitif C2 (pemahaman) kecuali,

pada konsep optik terjadi pada jenjang C1 (ingatan atau pengetahuan).

5. Siswa yang memiliki kemampuan dengan kategori rendah paling banyak mengalami miskonsepsi di SMA kelas X di semua konsep yang di teliti.

Ada beberapa rekomendasi peneliti yang bisa dilakukan oleh guru dan dosen ketika mengajarkan konsep-konsep yang diteliti berdasarkan kesimpulan penelitian ini. Diantaranya sebagai berikut:

1. Guru diharapkan dapat memilih dan merancang strategi pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) melalui proses-proses yang konstruktif.Merubah pola dan gaya mengajar yang berkulitas rendah menuju ke pembelajaran yang bermakna bisa melalui bingkai paikem, inkuiri, dan discovery dengan pola pikir yang konstuktivis. Mampu menghubungkan satu konsep dengan konsep lain yang dipelajari dan membuat relasi dengan contoh aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk didalamnya adalah contoh soal baik konsep maupun hitungan. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna dan logis melalui penggunaan peta konsep atau mind map. Ketika mengajarkan konsep abstrak dengan contoh konkret Guru harus banyak memberikan visualisasi (gambar/animasi/video), contoh, menerapkan konsep, mencoba/mempraktekan, menghubungkan konsep dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Proses menghubungkan konsep yang dipelajari dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa dilakukan dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Proses di dalam pembelajarannya mengembangkan aspek keterampilan proses sains yang ditunjang dengan penggunaan media audio visual yang memadai untuk memvisualkan konsep-konsep yang abstrak. Ketika guru memberikan penugasan, guru wajib mengoreksi/ memeriksanya sebagai usaha deteksi dini dan pembentukan konsep yang baik dan benar pada siswa. Siswa menjadi tahu dimana letak kesalahannya untuk membangun konsep yang baru. Tidak asal memberi tugas/latihan tanpa dikoreksi atau


(15)

pemberian feedback yang baik. Pada saat proses pembelajaran posisi guru harus lebih dekat pada siswa berkemampuan rendah. Sistem pembelajaran didesign untuk bisa membedakan kelompok kemampuan siswa. Sehingga posisi guru di dalam kelas akan betul-betul efektif. Diakhir pembelajaran dibiasakan melakukan refleksi proses pembelajaran yang sedang dilakukan.

E. Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pratek, Jakarta: Rineka Cipta.

Abraham, Michel R., Eileen B. Grzybowski, et al. (1992). Understandings and Misunderstandings of Eight Grader of Five Chemistry Concepts Found in Textbooks. Journal of Research in Science Teaching. Vol. 29, No. 2.

Cilburn, J. W. (1990). Concept maps to promote meaningful learning. Journal of College Science Teaching.. Vol. 19, h. 212-217.

Ellis Ormrod, Jeanne. (2009). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta: Erlangga.

Hasan, Saleem., et.al. (1999). Misconceptions and the Certainty of Response Index (CRI), Journal of Phys. Educ.

Liliawati, Winny. dan Taufik R. Ramalis. (2008). Identifikasi Miskonsepsi Materi IPBA di SMA dengan Menggunakan CRI (Certainly of Respons Index) dalam Upaya Perbaikan Urutan Pemberian Materi IPBA Pada KTSP. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Vol.IV No.12 Februari2008.

Marion, Edgar. (2005). Tujuh Materi Penting Bagi Dunia Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.

Noor, Juliansyah. (2012). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 2.

P.A. Huddle and A. E. Pillay. (1996). An In-Depth Study of Misconceptions in Stoichiometry and Chemical Equilibrium at a South African University, Journal of Research in Science TeachingVol. 33, No. 1. Rustaman, N.Y., dkk. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi

FPMIPA UPI

Rustaman, Nuryani. (2005). dkk, Strategi Belajar Mengajar Biologi, Malang : UM PRESS.

Setyadi K, Eko.(2012). Miskonsepsi Tentang Suhu dan Kalor pada Siswa Kelas 1 di SMA Muhammadiyah Purworejo, Jawa Tengah, Jurnal. (2012) Vol. 4.

Suparno, Paul. (2005). Miskonsepsi & Perubahan Konsep Pendidikan Fisika. Jakarta: PT. Grasindo. Sudijono, Anas. (2009). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers

Syah, Muhibbin. (2010). Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Syaodih Sukmadinata, Nana. (2010). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Odom, Arthur L. & Lloyd H. Barrow. (2007). High School Biology Students' Knowledge and Certainty about Diffusion and Osmosis Concepts, journal of School Science and Mathematics, (2007), Volume 107 (3). Tayubi, Yuyu R. (2005). Identifikasi Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep Fisika Menggunakan Certainty of

Response Index (CRI), Jurnal Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, No. 3/XXIV/2005,h. 9. Willis Dahar, Ratna. (1996).Teori–teori Belajar, Jakarta : Erlangga.

Zakaria, E. N. M. Nordin, dan S. Ahmad. (2007). Trend Pengajaran Dan Pembelajaran Matematik, Kuala Lumpur: PTS Publications & Distributos sdn. Bhd


(1)

Soal nomor 14.

Botol termos dibuat dengan dinding rangkap dua dan diantaranya terdapat ruang hampa serta dinding-dindingnya dilapisi dengan perak, maksudnya adalah …

A.

Ruang hampa dimaksudkan agar pemindahan panas secara radiasi tidak terjadi.

B.

Ruang hampa dimaksudkan agar pemindahan panas secara konduksi tidak terjadi.

C.

Lapisan mengkilap dari perak dimaksudkan untuk memperkecil terjadinya pemindahan panas secara radiasi.

D.

Lapisan mengkilap dari perak dimaksudkan untuk memperbesar terjadinya pemindahan panas secara radiasi.

E.

Lapisan mengkilap dari perak dimaksudkan untuk memperkecil terjadinya pemindahan panas secara konduksi dan konveksi.

42% siswa menjawab dengan jawaban E. Siswa tidak bisa membayangkan konsep yang sifatnya abstrak dengan contoh konkret seperti ini. Siswa tidak bisa membedakan fungsi bahan berdasarkan proses yang akan terjadi pada bahan tersebut. Sekaligus kesulitan pada konsep yang menyatakan nama proses, seperti konduksi, konveksi, dan radiasi. Siswa belum bisa membedakan fungsi bahan pada termos terhadap proses perpindahan kalor yang terjadi.

Termos berfungsi untuk menyimpan zat cair agar tetap terjaga suhunya dalam jangka waktu tertentu. Termos dibuat dengan prinsip mencegah proses perpindahan kalor secara konduksi, konveksi, maupun radiasi. Maka bahan-bahan, dan desainya harus yang berlawanan dengan proses-proses perpindahan kalor tersebut. Dengan kata lain dibuat desain, atau dicari bahan untuk menghambat perpindahan kalor pada termos tersebut. Salah satu caranya adalah: dengan membuat permukaan tabung kaca bagian dalam dibuat mengkilap seperti cermin.

Untuk menghasilkan permukaan mengkilat salah satu caranya adalah dengan melapisi kaca dengan lapisan perak yang berfungsi mencegah perpindahan kalor secara radiasi dan memantulkan radiasi kembali ke dalam termos. Pemilihan dinding kaca dikarenakan kaca berfungsi sebagai konduktor yang jelek, sehingga tidak dapat memindahkan kalor secara konduksi. Pembuatan ruang hampa di antara dua dinding kaca, dimaksudkan untuk mencegah kalor secara konduksi dan konveksi dengan udara luar tidak terjadi.

Soal nomor 4. Faktor-faktor : 1) Perubahan suhu 2) Jenis zat

3) Percepatan gravitasi 4) Massa zat

Pemuaian zat padat dan zat cair bergantung pada faktor ...

a.1 dan 3 b. 2 dan 4 c.1 dan 2 d.3 dan 4 e. 1 dan 4

54,6% siswa menjawab pemuaian pada zat padat dan zat cair dipengaruhi oleh perubahan suhu dan “massa zat”. Peristiwa pemuaian zat padat dan zat cair tidak dipengaruhi oleh massa zat. Pemuaian dipengaruhi oleh panjang mula-mula benda (Lo), kenaikan suhu benda (∆T), dan jenis benda yang memuai (). Pertambahan panjang (∆L) dan pemuaian panjang (Lt) pada zat padat memenuhi hubungan: ∆L = Lo.. ∆T atau Lt = Lo + ∆L. Pemuaian pada zat cair tidak melibatkan muai panjang ataupun muai luas, tetapi hanya dikenal muai ruang atau muai volume saja. Semakin tinggi suhu yang diberikan pada zat cair itu maka semakin besar muai volumenya. Pemuaian zat cair untuk masing-masing jenis zat cair berbeda-beda, walaupun volume awal zat cair sama tetapi setelah dipanaskan volumenya menjadi berbeda-beda. Pemuaian volume zat cair terkait dengan pemuaian tekanan karena peningkatan suhu

Soal nomor 12.

Jika dua buah sendok yang terbuat dari bahan besi dan plastik dicelupkan dalam air pada sebuah gelas. Setelah selang waktu yang cukup lama, kedua sendok tersebut dipegang dengan tangan. Ternyata sendok besi lebih dingin dari pada sendok plastik. Jika setelah itu kedua sendok diukur suhunya dengan menggunakan termometer, maka bagaimana suhu yang dimiliki masing-masing sendok tersebut?…

A.

Suhu sendok besi dua kali lebih rendah daripada suhu padasendok plastik.

B.

Suhu sendok besi dua kali lebih tinggi daripada suhu

Sebagian besar siswa menjawab bahwa suhu sendok besi akan lebih dingin dari suhu sendok plastik. Siswa masih belum bisa berpikir membuat hubungan yang saling mempengaruhi antar dua variabel atau lebih secara abstrak. Lebih tepatnya siwa belum bisa meramalkan/ memprediksikan sebuah peristiwa/keadaan yang belum terjadi. Mereka tidak memperkirakan bahwa ketika tangan bersentuhan dengan kedua sendok, persentuhan antara tangan dengan sendok menyebabkan adanya perpindahan kalor dari tangan ke sendok setelah beberapa saat dipegang, hal ini lah yang menyebabkan kedua sendok akan memiliki suhu yang sama. Siswa masih berpikir bahwa kondisi awal


(2)

pada sendok plastik.

C.

Suhu sendok besi lebih rendah daripada suhu pada sendok plastik.

D.

Suhu sendok besi lebih tinggi daripada suhu pada sendok plastik.

E.

Suhu sendok besi sama dengan suhu pada sendok plastik.

tidak dipengaruhi oleh kondisi kedua dimana tangan bersentuhan dengan kedua jenis sendok. Siswa beranggapan sendok besi mudah melepaskan kalor dan sendok plastik tidak melepaskan kalor, tidak memikirkan perlakuan setelah itu. Pada kenyataannya ketika termometer mengukur suhu kedua sendok, maka suhu kedua sendok akan menunjukkan suhu yang sama

Soal nomor 13.

Ketika kita berada di pegunungan pada malam hari maupun pagi hari kita merasa lebih hangat jika menggunakan sweather, penyebabnya adalah …

A.

Hawa dingin tidak dapat masuk ke badan karena terhalang oleh sweather

B.

Hawa dingin tidak dapat keluar ke badan karena terhalang oleh sweather

C.

Hawa panas tidak dapat masuk ke badan karena terhalang oleh sweather

D.

Sweather dapat menghambat transfer kalor dari lingkungan ke tubuh.

E.

Sweather dapat menghambat transfer kalor dari tubuh ke lingkungan.

51,3% siswa menjawab sweather dapat menghambat transfer kalor dari lingkungan ke tubuh. Siswa melupakan prinsip perpindahan kalor, bahwa kalor akan berpindah dari benda/lingkungan yang bersuhu lebih tinggi ke benda/lingkungan yang bersuhu lebih rendah. Dimana peristiwanya tidak disajikan oleh mata/abstrak. Pada malam hari dan pagi hari, suhu tubuh akan lebih tinggi dari suhu lingkungan. Hal ini menyebabkan kalor akan berpindah dari tubuh ke lingkungan. Ini lah yang menyebabkan kenapa tubuh kita menjadi kedinginan, karena sejumlah kalor dilepaskan ke lingkungan. Namun, sebelum suhu tubuh berpindah ke lingkungan terdapat sweather yang berfungsi sebagai isolator, yaitu bahan/zat yang sulit menghantarkan kalor (penghantar yang kalor buruk). Maka perpindahan kalor dari tubuh ke lingkungan terhalang oleh sweather.

Pada konsep listrik dinamis siswa mengalami miskonsepsi pada kategori sedang, pada soal nomor 15, 4, 9 dan 12.

Soal Nomor 15

Pasangan voltmeter dan ampermeter dalam rangkaian listrik yang tepat adalah ….

Pemasangan amperemeter pada rangkaian sebuah rangkaian lisrik adalah secara seri. Ampermeter dipasang secara seri terhadap beban yang ingin diukur kuat arusnya, sedangkan voltmeter harus dipasang secara paralel. Voltmeter dipasang secara paralel terhadap beban yang ingin diukur tegangannya. Apabila pemasangannya tertukar maka alat tersebut akan rusak. 33% siswa menjawab dengan benar dan yakin, 15% jawaban benar tapi ragu-ragu. Siswa yang miskonsepsi 9% menjawab dengan jawaban B. Siswa tidak bisa membedakan pemasangan alat ukur ampermeter dan voltmeter pada sebuah rangkaian. Padahal aplikasinya biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Guru dan dosen ketika membahas materi tentang pemasangan alat ukur listrik sebaiknya disertai dengan demontrasi atau praktek langsung. Guru sebaiknya menunjukkan dampak dari pemasangan yang benar dan pemasangan yang salah. Menunjukkan mana contoh yang benar dan mana contoh yang salah.

Soal Nomor 4

Berikut adalah pernyataan mengenai Hukum Ohm: (i) besarnya tegangan berbanding lurus dengan

hambatannya

(ii) besarnya hambatan berbanding lurus dengan kuat arusnya

(iii) besarnya tegangan berbanding lurus dengan kuat arusnya

(iv) besarnya kuat arus berbanding terbalik dengan hambatannya

Hukum Ohm adalah sebuah hukum fisika yang menunjukkan hubungan besar arus listrik yang mengalir melalui sebuah penghantar selalu berbanding lurus dengan beda potensialnya. Sebuah penghantar dikatakan mengikuti hukum Ohm apabila nilai resistansinya tidak bergantung pada besar dan polaritas beda potensialnya. Secara matematis hukum Ohm diekspresikan dengan persamaan: V = I.R. Dimana : I adalah arus listrik yang mengalir pada suatu


(3)

(v) ditemukan oleh ilmuan Inggris yaitu Whilhelm K. Rontgen

Pernyataan yang benar mengenai Hukum Ohm

adalah ….

A. (i), (ii), dan (iii) B. (i), (ii), dan (iv) C. (i), (ii), dan (v) D. (i), (iii), dan (iv) E. (ii), (iii), dan (v)

penghantar dengan satuan Ampere; V adalah tegangan listrik yang terdapat pada kedua ujung penghantar dengan satuan volt; R adalah nilai hambatan listrik yang terdapat pada suatu penghantar dengan satuan ohm. Besarnya tegangan berbanding lurus dengan hambatannya ( V ≈ R), Besarnya tegangan berbanding lurus dengan kuat arusnya (V ≈ I),Besarnya kuat arus berbanding terbalik dengan hambatannya (I ≈ 1/R).

Sebagian besar siswa yang mengalami miskonsepsi mengangap kalau I itu sebanding dengan R. Mereka belum memahami dengan baik hubungan antar variabel pada hukum Ohm. Dalam mengajarkan materi ini sebaiknya guru atau dosen memperhatiakan konsep pembelajaran bermakna (meaningful learning). Siswa akan lebih paham jika siswa mengalami langsung konsep yang sedang dipelajari sehingga pengetahuan yang diperoleh menjadi bermakna dan dapat diingat terus, seperti yang dikemukakan oleh David P. Ausubel. Guru dan dosen harus memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna.

Untuk siswa sekolah dasar dan menengah, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktifitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran, seperti eksperimen/percobaan langsung. Pada pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi. Ada tiga tipe belajar yang dapat dianggap cocok, yaitu: Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya, atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari, kemudian pengetahuan baru itu ia asosiasikan dengan pengetahuan yang sudah ada; Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.2

Soal Nomor 9

Perhatikan gambar di bawah ini!

Besarnya kuat arus yang mengalir dalam rangkaian adalah ….

A.

3 A D. – 1 A

B.

2 A E. – 3 A

C.

1 A

Dengan menggunakan prinsip 1 loop dengan menggunakan hukum Kirchoff. Soal tersebut akan di peroleh besar kuat arus yang mengalir dalam rangkaian adalah 1 A. Sebagian siswa menjawab besar kuat arusnya -1 A. Pada kenyataannya yang ditanyaka itu adalah besarnya tidak mengharapkan arahnya ke mana arus tersebut mengalir. Pada soal ini siswa sudah memahami prinsip atau penggunaan aturan penyelesaian soal namun siswa kurang teliti memaknai pertanyaan dalam instrumen tes ini. Sehingga bagi yang tidak memperhatikan hal ini akan terjebak pada jawaban seperti itu. 45% siswa menjawab alat yang bisa digunakan untuk merubah DC menjadi AC adalah adaptor. Siswa belum bisa membedakan tegangan listrik AC dan DC. Siswa belum memahami pengertian AC dan DC dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Alat yang digunakan untuk merubah DC menjadi AC adalah power inverter. Sedangkan adaptor digunakan untuk merubah tegangan AC ke DC.

Soal Nomor 12

Alat yang digunakan untuk mengubah DC menjadi AC adalah ….

A.

AC-meter D. Inverter

B.

DC-meter E. Galvanometer

C.

Adaptor

Guru seharusnya lebih banyak mengaitkan materi kedalam kontek kehidupan sehari-hari atau melalui pembelajaran kontekstual/ Contextual Teaching Learning (CTL) mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Demikian juga untuk materi AC dan DC, terutama membahas fungsi inverter dan memberikan contohnya dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa gambar maupun aplikasi yang di demontrasikan. Melalui pemaduan materi ini dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan

2


(4)

masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Dengan demikian siswa dapat membangun pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.

Nomor 10

Fungsi lensa adalah ....

a. Sebagai layar tempat terbentuknya bayangan

b. Mengatur besar kecilnya pupil c. Membiaskan sinar dari benda d. Membiaskan cahaya ke dalam mata e. Melindungi bagian mata yang lunak

dan sensitif

47% siswa menjawab dengan jawaban d. Lensa berfungsi membiaskan cahaya ke dalam mata. Jawaban ini dapat diartikan cahaya masuk langsung ke mata, seperti seberkas cahaya matahari yang masuk yang masuk ke lensa dan dibiaskan, maka yang akan terjadi justru menyebabkan kerusakan pada mata. Secara umum lensa berfungsi sebagai pembias. Namun, sinar yang dibiaskan oleh lensa tentunya berasal dari benda atau objek yang akan dilihat bukan langsung dari sumber sinar.

Nomor 15

Alat yang dapat memperbesar sudut pandang sehingga benda-benda kecil tampak lebih besar adalah ....

a. Mikroskop b. Kacamata c. Teleskop d. Kamera e. Lup

Sebagian besar siswa menjawab mikroskop (jawaban A). Siswa tidak bisa membedakan antara benda kecil dan benda renik atau mikroskofis. Lup adalah lensa cembung, digunakan untuk mengamati benda-benda kecil agar lebih besar dan jelas. Mikroskop adalah sebuah alat optik yang terdiri dari dua lensa cembung, yaitu lensa obyektif (tetap/tidak dapat digeser) dan okuler (dapat digeser, dan berfungsi sebagai lup). Mikroskop dipakai untuk melihat benda-benda renik, agar terlihat lebih besar dan jelas. Pada konsep optik ini siswa sebaiknya diajak praktek atau setidaknya melalui demontrasi yang selanjutnya hasilnya dibahas melalui penggunaan media secara visual melalui gambar atau animasi. Karena sifat bayangan pada materi optik ini bersifat abstrak pada prosesnya tapi konkret dalam bentuk contohnya. Nomor 16

Sifat bayangan yang dibentuk oleh lup adalah ....

a. Maya, terbalik, diperbesar b. Nyata, tegak, diperbesar c. Nyata, tegak, diperkecil d. Maya, tegak, diperbesar e. Maya, tegak, diperkecil

30% jawaban siswa adalah D dan 40% jawaban siswa A. Lup / kaca pembesar adalah sebuah lensa cembung yang memiliki titik fokus yang dekat dengan lensanya. Posisi benda yang akan diperbesar terletak di dalam titik fokus atau jarak benda ke lup, lebih kecil dibandingkan jarak titik fokus lup ke lensa lup. Bayangan yang dihasilkan bersifat tegak, nyata, dan diperbesar.

Miskonsepsi pada soal ini diakibatkan siswa tidak diberi kesempatan untuk menggunakan dan merasakan langsung alat-alat optik tersebut. Siswa berkategori kemampuan rendah banyak mengalami miskonsepsi pada jenis konsep abstrak dengan contoh konkret seperti ini. Penyebabnya adalah siswa tidak beri kesempatan mencoba lup dan membedakannya dengan mikroskop, untuk mengamati benda yang sama. Siswa diajak menerapkan konsep dalam dunia nyata. Peneliti perkirakan hal ini disebebakan oleh kebiasaan guru di sekolah yang terbiasa mengajarkan konsep optik, sebagai sastra fisika yang harus diingat dan dihafalkan. Guru disekolah senantiasa mengajarkan materi ini dengan cara verbal melalui ceramah, memberi contoh hitungan, dan sedikit berlatih menggambarkan sifat-sifat sinar pada alat-alat optik, kurang memberi contoh yang aplikatif. Sebenarnya guru dapat membahas perbedaan bayangan benda yang diamati dengan menerapkan konsep/perhitungan penentuan bayangan dari persamaan lensa kemudian divisualisasikan melalui gambar baik melalui gambar statis maupun animasi, kemudian dipelajari sifat-sifat berkas sinar yang mengenai lensa.

Metode yang tepat untuk memperbaiki kesalahan konsep pada kasus ini adalah dengan penggunakan pendekatan keterampilan proses sains. Siswa dilatih keterampilannya dalam menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai suatu hasil tertentu. Dalam keterampilan proses sains siswa dilatih kemampuan mengamati, mengelompokkan/klasifikasi, menafsirkan, meramalkan, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, merencanakan percobaan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, dan berkomunikasi. Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna (meaningful learning). Siswa diajak beraktifitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep atau mind map, demonstrasi, diagram dan ilustrasi. Peneliti berpendapat ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang guru atau dosen dalam mengatasi miskonsepsi pada konsep-konsep ini, diantaranya adalah :

Merubah pola dan gaya mengajar menuju ke pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) bisa melalui bingkai paikem, inkuiri, discovery dengan membawa pola pikir yang konstuktivis. Menghubungkan satu


(5)

konsep dengan konsep lain yang dipelajari dan membuat relasi dengan contoh aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk didalamnya adalah contoh soal baik konsep maupun hitungan. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna dan logis. Proses menghubungkan konsep yang dipelajari dengan aplikasi dlm kehidupan sehari-hari bisa dilakukan dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) dengan proses di dalam pembelajarannya mengembangkan keterampilan proses sains yang ditunjang dengan penggunaan media audio visual yang memadai untuk memvisualkan konsep-konsep yang abstrak. Melihat tren hasil penelitian maka dapat diperkirakan bahwa semua konsep dalam fisika dapat berpotensi menimbulkan terjadinya miskonsepsi, miskonsepsi dapat terjadi karena: kesalahan guru atau dosen dalam memberikan perlakuan dalam proses pembelajaran; kesalahan dalam persepsi awal siswa; kesalahan pemahaman konsep pada pengajar. Melakukan refleksi diakhir kegiatan pembelajaran, refleksi merupakan kunci bagi guru maupun siswa dalam meningkatkan pemahaman mengenai konten, mengubah pengalaman dalam proses belajar. Ketika mengajarkan jenis konsep abstrak dengan contoh konkret guru harus banyak memberikan visualisasi (gambar/animasi/video), contoh, menerapkan konsep, mencoba/mempraktekan, menghubungkan konsep dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain guru harus menerapkan konsep pembelajaran bermakna dengan baik. Guru harus lebih banyak melatih dan sekaligus mengoreksi kemampuan pemahaman konsep siswa dengan memberikan latihan soal ataupun tugas. Tidak asal memberi tugas/latihan tanpa dikoreksi atau pemberian feedback yang baik. Pada saat proses pembelajaran berlangsung guru harus lebih banyak berada diantara siswa yang memiliki kemampuan rendah ini. Sistem pembelajaran dibuat bisa membedakan kelompok kemampuan siswa, sehingga keberadaan guru di titik tertentu di dalam kelas betul-betul efektif.

E. Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan ini, diantaranya adalah miskonsepsi sudah terjadi di siswa SMA kelas X pada konsep suhu dan kalor, listrik dinamis, dan optik. Kesimpulan lainnya adalah sebagai berikut:

1. Semua konsep fisika yang di teliti menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X. Tingkat miskonsepsi yang terjadi pada tiap-tiap konsep berbeda-beda. Umumnya berkategori rendah, kecuali pada konsep optik (kategori sedang). Berdasarkan tren hasil penelitian dapat diperkirakan bahwa semua konsep dalam fisika dapat berpotensi menimbulkan terjadinya miskonsepsi dengan tingkat kategori miskonsepsi berbeda.

2. Materi fisika yang menimbulkan miskonsepsi bisa terjadi pada semua tingkat kesukaran. Miskonsepsi tidak terjadi pada satu jenis tingkat kesukaran saja tapi di semua tingkat kesukaran pada semua konsep yang diteliti.

3. Jenis konsep yang banyak menimbulkan miskonsepsi pada siswa SMA di kelas X adalah jenis konsep abstrak dengan contoh konkret, kecuali pada konsep suhu dan kalor konsep yang menyatakan nama proses. 4. Jenjang kognitif yang banyak menimbulkan miskonsepsi adalah jenjang kognitif C2 (pemahaman) kecuali,

pada konsep optik terjadi pada jenjang C1 (ingatan atau pengetahuan).

5. Siswa yang memiliki kemampuan dengan kategori rendah paling banyak mengalami miskonsepsi di SMA kelas X di semua konsep yang di teliti.

Ada beberapa rekomendasi peneliti yang bisa dilakukan oleh guru dan dosen ketika mengajarkan konsep-konsep yang diteliti berdasarkan kesimpulan penelitian ini. Diantaranya sebagai berikut:

1. Guru diharapkan dapat memilih dan merancang strategi pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) melalui proses-proses yang konstruktif.Merubah pola dan gaya mengajar yang berkulitas rendah menuju ke pembelajaran yang bermakna bisa melalui bingkai paikem, inkuiri, dan discovery dengan pola pikir yang konstuktivis. Mampu menghubungkan satu konsep dengan konsep lain yang dipelajari dan membuat relasi dengan contoh aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk didalamnya adalah contoh soal baik konsep maupun hitungan. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna dan logis melalui penggunaan peta konsep atau mind map. Ketika mengajarkan konsep abstrak dengan contoh konkret Guru harus banyak memberikan visualisasi (gambar/animasi/video), contoh, menerapkan konsep, mencoba/mempraktekan, menghubungkan konsep dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Proses menghubungkan konsep yang dipelajari dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa dilakukan dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Proses di dalam pembelajarannya mengembangkan aspek keterampilan proses sains yang ditunjang dengan penggunaan media audio visual yang memadai untuk memvisualkan konsep-konsep yang abstrak. Ketika guru memberikan penugasan, guru wajib mengoreksi/ memeriksanya sebagai usaha deteksi dini dan pembentukan konsep yang baik dan benar pada siswa. Siswa menjadi tahu dimana letak kesalahannya untuk membangun konsep yang baru. Tidak asal memberi tugas/latihan tanpa dikoreksi atau


(6)

pemberian feedback yang baik. Pada saat proses pembelajaran posisi guru harus lebih dekat pada siswa berkemampuan rendah. Sistem pembelajaran didesign untuk bisa membedakan kelompok kemampuan siswa. Sehingga posisi guru di dalam kelas akan betul-betul efektif. Diakhir pembelajaran dibiasakan melakukan refleksi proses pembelajaran yang sedang dilakukan.

E. Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pratek, Jakarta: Rineka Cipta.

Abraham, Michel R., Eileen B. Grzybowski, et al. (1992). Understandings and Misunderstandings of Eight Grader of Five Chemistry Concepts Found in Textbooks. Journal of Research in Science Teaching. Vol. 29, No. 2.

Cilburn, J. W. (1990). Concept maps to promote meaningful learning. Journal of College Science Teaching.. Vol. 19, h. 212-217.

Ellis Ormrod, Jeanne. (2009). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta: Erlangga.

Hasan, Saleem., et.al. (1999). Misconceptions and the Certainty of Response Index (CRI), Journal of Phys. Educ.

Liliawati, Winny. dan Taufik R. Ramalis. (2008). Identifikasi Miskonsepsi Materi IPBA di SMA dengan Menggunakan CRI (Certainly of Respons Index) dalam Upaya Perbaikan Urutan Pemberian Materi IPBA Pada KTSP. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Vol.IV No.12 Februari2008.

Marion, Edgar. (2005). Tujuh Materi Penting Bagi Dunia Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.

Noor, Juliansyah. (2012). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 2.

P.A. Huddle and A. E. Pillay. (1996). An In-Depth Study of Misconceptions in Stoichiometry and Chemical Equilibrium at a South African University, Journal of Research in Science TeachingVol. 33, No. 1. Rustaman, N.Y., dkk. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi

FPMIPA UPI

Rustaman, Nuryani. (2005). dkk, Strategi Belajar Mengajar Biologi, Malang : UM PRESS.

Setyadi K, Eko.(2012). Miskonsepsi Tentang Suhu dan Kalor pada Siswa Kelas 1 di SMA Muhammadiyah Purworejo, Jawa Tengah, Jurnal. (2012) Vol. 4.

Suparno, Paul. (2005). Miskonsepsi & Perubahan Konsep Pendidikan Fisika. Jakarta: PT. Grasindo. Sudijono, Anas. (2009). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers

Syah, Muhibbin. (2010). Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Syaodih Sukmadinata, Nana. (2010). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Odom, Arthur L. & Lloyd H. Barrow. (2007). High School Biology Students' Knowledge and Certainty about Diffusion and Osmosis Concepts, journal of School Science and Mathematics, (2007), Volume 107 (3). Tayubi, Yuyu R. (2005). Identifikasi Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep Fisika Menggunakan Certainty of

Response Index (CRI), Jurnal Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, No. 3/XXIV/2005,h. 9. Willis Dahar, Ratna. (1996).Teori–teori Belajar, Jakarta : Erlangga.

Zakaria, E. N. M. Nordin, dan S. Ahmad. (2007). Trend Pengajaran Dan Pembelajaran Matematik, Kuala Lumpur: PTS Publications & Distributos sdn. Bhd