BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Penelitian 2.1.1Perspektif Paradigma Kajian
Perspektif adalah suatu kerangka konseptual conceptual framework, suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang mempengaruhi persepsi kita, dan
pada gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi. Oleh karena itu, tidak ada seorang ilmuan yang berhak mengklaim, bahawa
perspektifnya yang benar atau sah, sedangkan perspektif lain salah. Seperti dikemukakan Tucker et al., oleh karena suatu paradigma adalah suatu pandangan
dunia dalam memandang segala sesuatu, paradigma mempengaruhi pandangan kita mengenai fenomena, yakni teori. Teori digunakan peneliti untuk
menjustifikasi dan memandu penelitian mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk lebihjauh mengembangkandan
mengaskan teori tersebut. Tingkat perkembangan teoritis suatu bidang akademik merupakan indeks kecanggihan dan kematangan disiplin tersebut. Seraya merujuk
kepada Kuhn, Tucker et al. mengatakan bahwa disiplin yang belum matang ditandai dengan persaingan di antara paradigma – paradigma, kurangnya khasanah
teori yang terintegerasi, dan pengumpulan fakta yang bersifat acak. Namun pendapat Kuhn mungkin hanya cocok untuk ilmu – ilmu alam dan eksakta. Bagi
sebagian ilmu sosial, keistimewaan ilmu sosial, justru keanekaragaman perspektifnya. Objek ilmu – ilmu alam yang statis, tidak punya kemauan bebas
memang berada dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya,
antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui, disiplin komunikasi tidak punya grand theories, sejumlah teori parsial, dan
banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alas an berikut. •
Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.
6
Universitas Sumatera Utara
• Sifat komunikasi yang hadir di mana – mana membuat penjelasan
menjadi sulit. •
Fakta bahwa komunikasi adalah instrument dan objek studi •
Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan para digmatik. •
Persaingan antara disiplin – disiplin yang berkaitan. Dalam bidang keilmuan, sekali lagi, perspektif akan mempengaruhi
definisi, model atau teori kita yang pada gilirannya mempengaruhi cara kita melakukan penelitian. Perspektif tersebut menjelaskan asumsi – asumsinya yang
spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Perspektif menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan
bagi penelitian dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena, yang kelak disebut teori.
Oleh karena setiap peneliti memandang bidang ilmunya secara berbeda, ia cenderung menafsirkan fenomena yang sama dengan cara yang berbeda pula.
Oleh karena tidak adannya paradigma, model, dan sudut pandang yang diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering tidak
konsisten itu sama – sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode itu
disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hamper semua metode
bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan dari panduan yang ada, antara
lain memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap keritik dari public. Seperti ditegaskan Tucker et al., bila suatu paradigma
menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena, paradigma itu memperoleh lebih banyak pendukukung. Lebih banyak lagi ilmuan yang mengeksplorasi,
memperbaiki dan menyempurnakan paradigma tersebut. Penelitian – penelitian dan laporan – laporan penelitian berdasarkan paradigma tersebut berlipat ganda
sementara paradigma – paradigma saingannya memperoleh sedikit perhatian. Lebih banyak orang menerima paradigma yang bersangkutan, dan para
penentangnya tersisihkan. Menurut Tucker et al., paradigma tersebut berkembang
Universitas Sumatera Utara
sepanjang terus memungkinkan kita berhasil mengatasi problem kita dan menjelaskan fenomena yang kita teliti Mulyana, 2004, 18.
Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya
terhadap dunia. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam
kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya: paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat
normatif, menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang Mulyana,
2004:9. Di dalam buku Semiotika Komunikasi R.Bailey berpendapat bahwa
paradigma merupakan jendela mental mental window seseorang untung melihat dunia.
Perbedaan antara paradigma penelitian biasa dilihat melalui empat dimensi, yaitu:
1. Epitemologi, yang antara lain menyangkut asumsi mengenai hubungan
antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti.
2. Ontologi, yang berkaitan denga asumsi mengenai objek atau realitas sosial
yang diteliti. 3.
Metodologis, yang berisi asumsi – asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.
4. Aksiologis, yang berkaitan dengan posisi value judgements, etika an
pilihan moral peneliti dalam suatu penelitian.
Paradigma dalam pandanga filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berfikir seseorang.
Dengan demikian paradigma membawa konsekuensi praktis berprilaku, cara berfikir, interpretasi dan kebijakan dalam pemilihan terhadap masalah Salim,
2000:70.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Positivisme
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang didasarkan fakta-fakta. Positivisme adalah suatu
aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik,
tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana
untuk memperoleh pengetahuan seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik. Pengetahuan demikian hanya bisa
dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Positivisme lahir sebagai evolusi lanjut dari empirisme. Paham ini meyakini, semesta hadir melalui data empirik sensual tertangkap indra. Ajaran positivist
menyatakan, puncak pengetahuan manusia adalah ilmu yang dibangun berdasarkan fakta empirik sensual : teramati, terukur, teruji, terulang dan
teramalkan. Dan, karenanya, ia sangat kuantitatif Vardiansyah, 2008. Awalnya adalah Auguste Comte 1798-1857, dikenal sebagai bapak
sosiologi modern, yang mencetuskan pemikirannya pada abad ke-19. Comte mengurai secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih
digunakan. Menurut Comte, alam pikir manusia berkembang dalam tiga tahap : teologik, metafisik dan positif. Pada jenjang teologik, manusia memandang segala
sesuatu didasarkan adanya dewa, roh, atau Tuhan. Pada tahap metafisik, penjelasan fenomena alam didasarkan pada pengertian-pengertian metafisik
seperti substansi, bentuk, dan sejenisnya. Pada jenjang positif, manusia mengadakan pencarian pada ilmu absolut yang positif. Inilah akar kata
positivisme Vardiansyah, 2008. Positivisme lahir dan berkembang sebagai jawaban tegas atas kegagalan
filsafat spekulatif. Para penganut positivisme sejak awal memang menolak metode
Universitas Sumatera Utara
spekulasi teoritis yang digunakan untuk merumuskan pengetahuan karena menurut pandangan mereka, cara spekulatif sudah jauh keluar dari maksud
pencarian kebenaran yang sebenarnya. Alasan mereka juga, kebenaran pengetahuan harus dapat teruji melalui verifikasi data realitas yang ada.
Pada tahap awal, para ilmuwan yang bersikukuh memperkenalkan paradigma ini kebanyakan muncul dari kalangan ilmu-ilmu alam yang berkembang pesat
pada masa itu. Dengan kata lain, positivisme sendiri sejak perkembangan awalnya merupakan suatu aliran pemikiran filsafat yang secara tegas menyatakan bahwa
ilmu-ilmu alam empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik Narwaya, 2006.
Comte menegaskan, dengan memberi penekanan pada aspek metodologi, positivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmu menganut tiga prinsip utama:
empiris-objektif, deduktif-nomologis jika…,maka…, serta instrumental-bebas nilai. Prinsip ini tidak hanya berlaku pada ilmu-ilmu alam, tapi juga harus berlaku
pada ilmu-ilmu sosial. Implikasinya terurai sebagai berikut. 1.
Prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Sebagaimana pada ilmu-ilmu yang objeknya benda alam,
subjektivitas manusia tidak boleh mengganggu observasi atas tindakan sosial. Artinya, objek ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan objek ilmu-
ilmu alam. 2.
Seperti dalam ilmu-ilmu alam, hasil riset ilmu-ilmu sosial dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum yang universal, berlaku kapan pun dan
dimana pun, yang dalam bahasa filsafat ilmu disebut nomothetik. 3.
Ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis, menyediakan pengetahuan yang instrumental murni, tidak memihak. Pengetahuan harus dapat dipakai
untuk keperluan apa saja, sehingga tidak bersifat etis. Dengan kata lain, sebagaimana ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial harus bebas nilai dan tidak
berpihak. Ilmu adalah untuk ilmu Vardiansyah, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kajian Pustaka 2.2.1. Komunikasi