Universitas Sumatera Utara
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivistik dengan model pendekatan kualitatif. Paradigma konstruktivistik
memiliki karakteristik, yaitu: 1 Melihat suatu realita yang dibentuk oleh berbagai macam latar belakang sebagai bentuk konstruksi realita tersebut. Realita
yang dijadikan sebagai objek penelitian merupakan suatu tindakan sosial oleh aktor sosial. 2 Latar belakang yang mengkontruksi realita tersebut dilihat dalam
bentuk konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial yang dialami oleh aktor sosial sehingga sifatnya lokal dan spesifik. 3 Penelitiannya mempertanyakan
„mengapa‟ why?. 4 Realita berada di luar peneliti namun dapat memahami melalui interaksi dengan realita sebagai objek penelitian. 5 Jarak antara peneliti
dengan objek penelitian tidak terlalu dekat, peneliti tidak terlibat namun berinteraksi dengan objek penelitian. 6 Paradigma penelitian konstruktivistik
sifatnya kualitatif, peneliti memasukkan nilai-nilai pendapat ke dalam penelitiannya. Penelitian dengan paradigma ini sifatnya subjektif. 7 Tujuan
untuk memahami apa yang menjadi konstruksi suatu realita. Oleh karena itu peneliti harus dapat mengetahui faktor apa saja yang mendorong suatu realita
dapat terjadi dan menjelaskan bagaimana faktor-faktor itu merekonstruksi realita tersebut. Pujileksono, 2015: 28
2.2 Kerangka Teori
2.2.1 Komunikasi
Secara etimologi, dapat disebutkan bahwa istilah komunikasi dalam bahasa Inggris yaitu communication berasal dari kata Latin communis yang berarti
sama. Maksudnya, bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan sesuatu pihak maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan
persamaan arti dengan pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya. Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi 385-322 SM
dalam bukunya Rethoric membuat definisi komunikasi dengan menekankan “siapa mengatakan apa kepada siapa”. Definisi yang dibuat Aristoteles ini sangat
sederhana, tetapi ia telah mengilhami seorang ahli ilmu politik bernama Harold D. Lasswell pada 1948 yang membuat definisi komunikasi yang lebih sempurna
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan “Who Says What in Which Channel to
Whom with What Effect?”. Berdasarkan definisi Lasswell dapat diturunkan lima
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu sumber source atau disebut juga komunikator communicator, pesan message, saluran atau
media channel, penerima receiver, dan efek effect. Unsur penyampaian barangkali merupakan unsur komunikasi yang
paling sering dijumpai dalam definisi komunikasi. Seperti halnya definisi yang dikemukakan oleh Ithiel de Sola Pool, bahwa komunikasi adalah pengalihan
informasi untuk memperoleh tanggapan. Adapun Shacter 1961 menulis bahwa: “komunikasi merupakan mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan”. Definisi
Shacter ini menempatkan komunikasi sebagai unsur kontrol sosial atau untuk memengaruhi perilaku, keyakinan, sikap terhadap orang lain.
2.2.2 Komunikasi Politik
Komunikasi politik bukan hanya sekedar proses penyampaian suatu pesan mengenai politik oleh seseorang kepada orang lain. Bukan pula merupakan
pengertian komunikasi ditambah pengertian politik. Sanders dan Kaid dalam karyanya, berjudul
“Political Communication, Theory and Research: An Overview 1976-
1977”, mengatakan bahwa komunikasi politik harus intentionally persuasive. Faktor tujuan dalam komunikasi politik itu, jelas pula tampak pada
definisi yang diketengahkan oleh Lord Windlesham dalam karyanya, What is Political Communication. Bunyinya sebagai berikut:
“Political communication is the deliberate passing of a political message by a sender to a receiver with the intention of making the
receiver behave in a way that might not otherwise have done.” Komunikasi politik ialah suatu penyampaian pesan politik secara
sengaja dilakukan oleh komunikator kepada komunikan dengan tujuan membuat komunikan berperilaku tertentu.
Jika Sanders dan Kaid serta Windlesham menekankan pengertian
komunikasi politik pada tujuan, para ahli komunikasi lainnya –antara lain Dan
Nimmo dalam bukunya, Political Communication and Public Opinion in America menekankannya pada efek yang muncul pada komunikan sebagai akibat dari
penyampaian pesan. Makna tujuan pada definisi Sanders dan Kaid serta Windlesham, dan
efek pada pendapat Dan Nimmo, pada hakikatnya sama; jika ditelaah perbedaannya, hanyalah pada keterlekatan pada komponennya; tujuan melekat
pada komponen komunikator, efek pada komponen komunikan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan, menurut Dahlan 1999, komunikasi politik ialah suatu bidang atau disiplin yang menelaah kegiatan komunikasi yang bersifat politik,
mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Dengan demikian, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses
pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan- pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan
untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta memengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.
Ardial menyebutkan tujuan komunikasi politik adakalanya sekedar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, pembentukan opini
publik, dan bisa menghandel pendapat atau tuduhan lawan politik. Selanjutnya komunikasi politik bertujuan menarik simpatik khalayak
dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada pemilu atau pemilihan kepala daerah. Lasswell memandang orientasi komunikasi politik telah
menjadikan dua hal sangat jelas: pertama, bahwa komunikasi politik selalu berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai tujuan; nilai-nilai dan tujuan itu
sendiri dibentuk di dalam dan oleh proses perilaku yang sesungguhnya merupakan suatu bagian; dan kedua, bahwa komunikai politik bertujuan menjangkau masa
depan dan bersifat mengantisipasi serta berhubungan dengan masa lampau dan senantiasa memperhatikan kejadian masa lalu.
Plano dalam Mulyana Solatun, 2008: 29 melihat bahwa “komunikasi politik merupakan proses penyebaran, makna atau pesan yang
bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”. Objek material komunikasi politik menurut Sartori adalah: “dimensi-dimensi komunikasi dari fenomena
politik dan dimensi politis dari komunikasi” sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Gurevith dan Blumler yang mengemukakan empat komponen dalam komunikasi politik, yaitu:
1. Lembaga-lembaga politik dalam aspek komunikasinya,
2. Institusi media dalam aspek politiknya,
3. Orientasi khalayak terhadap komunikasi, dan
4. Aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Pentingnya komunikasi dalam pencapaian sasaran-sasaran politik juga diakui
oleh Greber: “Sebagian besar aktivitas politik adalah permainan kata-kata. Politisi berhasil meraih karena keberhasilannya berbicara secara persuasif kepada
para pemilih dan kepada elit politik”. Ia menambahkan bahwa “ketika kita menjelaskan bahasa politik bahasa yang digunakan dalam konteks politik dan
apa yang membuat bahasa verbal maupun nonverbal menjadi politis bukanlah karena bentuk atau kosakata, melainkan karena substansi informasi yang
dihadirkan, setting di mana informasi disebarkan maupun karena fungsi dijalankan”.
Komunikasi politik sebagai body of knowledge terdiri atas berbagai unsur, yakni: sumber komunikator, pesan, media atau saluran, penerima dan
efek. Nimmo: 1978, Mansfield dan Weaver dalam Cangara: 2009. 1.
Komunikator Politik Komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi
informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, KPU, gubernur,
bupatiwalikota, DPRD,
politisi, fungsionaris
partai politik,
fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, dan kelompok- kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya
pemerintahan. Komunikator politik Menurut Nimmo 2005: 28, salah satu ciri
komunikasi ialah bahwa orang jarang dapat menghindari dan keturutsertaan. Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain
pun memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua adalah komunikator, begitu pula siapa pun yang dalam setting politik
adalah komunikator politik. Meskipun mengakui bahwa setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa relatif
sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya serta tetap dan sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya
bertukar pesan politik; mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga negara pada
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat.
Sebagai pendukung pengertian yang lebih besar terhadap peran komunikator politik dalam proses opini, Leonard W. Dood dalam
Nimmo 2005: 30 menyarankan jenis-jenis hal yang patut diketahui mengenai mereka. Komunikator dapat dianalisis sebagai dirinya sendiri.
Sikapnya terhadap khalayak potensialnya, martabat yang diberikannya kepada mereka sebagai manusia, dapat memengaruhi komunikasi yang
dihasilkannya; jadi jika ia mengira mereka itu bodoh, ia akan menyesuaikan nada pesannya dengan tingkat yang sama rendahnya. Ia
sendiri memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dikonseptualkan sesuai dengan kemampuan akalnya, pengalamannya
sebagai komunikator dengan khalayak yang serupa atau yang tak serupa, dan peran yang dimainkan di dalam kepribadiannya oleh motif
untuk berkomunikasi. Berdasar pada anjuran Dood, jelas bahwa komunikator harus
diidentifikasi dan kedudukan mereka di dalam masyarakat harus ditetapkan. Untuk keperluan ini Nimmo 2005: 30 mengidentifikasi
tiga kategori politikus, yaitu yang bertindak sebagai komunikator politik, komunikator profesional dalam politik, dan aktivis atau
komunikator paruh waktu part time. 2.
Pesan Politik Pesan politik ialah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun nonverbal, tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak
disadari yang isinya mengandung bobot politik. Misalnya pidato politik, pernyataan politik, propaganda, makna logo, warna baju atau bendera,
body language, dan semacamnya. 3.
Saluran atau Media Politik Saluran atau media politik adalah alat atau sarana yang digunakan
para komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Misalnya media cetak seperti surat kabar. Media elektronik seperti
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
radio, video, atau internet. Media format kecil seperti brosur, selebaran, stiker. Media luar ruang seperti baliho, spanduk, pin, dan segala sesuatu
yang bisa digunakan untuk membangun citra image building. Saluran komunikasi kelompok, misalnya partai politik, organisasi sosial
keagamaan, kerukunan keluarga, organisasi profesi dan semacamnya. Saluran komunikasi publik, misalnya aula, balai desa, pameran. Saluran
komunikasi sosial, misalnya arisan, pertunjukan, pesta pernikahan, dan semacamnya.
4. Sasaran atau Target Politik
Sasaran adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberi dukungan dalam bentuk pemberian suara vote kepada partai atau
kandidat dalam Pemilihan Umum. 5.
Pengaruh atau Efek Komunikasi Politik Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptanya
pemahaman terhadap sistem pemerintahandan partai-partai politik, di mana nuansanya akan bermuara pada pemberian suara vote dalam
pemilihan umum. Pemberian suara ini sangat menentukan terpilih tidaknya seorang kandidat untuk posisi mulai setingkat presiden dan
wakil presiden, anggota DPR, MPR, gubernur dan wakil gubernur, bupatiwalikota dan wakil bupatiwalikota.
Kombinasi fungsi komunikasi politik menurut McNair dan Goran Hedebro dalam Cangara, 2009: 40, yaitu berfungsi untuk:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha-usaha
yang dilakukan lembaga politik maupun hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat;
2. Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, dan tujuan
lembaga politik; 3.
Memberi motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai;
4. Menjadi platform yang bisa menampung ide-ide masyarakat
sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik;
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
5. Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi, sosialisasi
tentang cara-cara pemilihan umum dan penggunaan hak mereka sebagai pemberi suara;
6. Menjadi hiburan masyarakat sebagai “pesta demokrasi” dengan
menampilkan para juru kampanye, artis, dan para komentator atau pengamat politik;
7. Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna
menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan nasional;
8. Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur
kekuasaan melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap gerakan reformasi dan demokratisasi;
9. Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita,
agenda setting, maupun komentar-komentar politik; 10.
Menjadi watchdog atau anjing penjaga dalam membantu terciptanya good gorvenance yang transparansi dan akuntabilitas.
Pesan dalam kegiatan komunikasi membawa informasi yang disampaikan oleh komunikator. Pesan selain membawa informasi juga
memberikan makna kepada siapa saja yang menginterpretasikannya. Pesan merupakan konten atau isi dari kegiatan komunikasi secara umum, termasuk
komunikasi politik. Dalam komunikasi politik terdapat adagium bahwa “politik adalah
pembicaraan” Suwardi dalam Mulyana Solatun, 2008: 30. Pembicaraan tersebut menggunakan lambang-lambang tertentu demi tujuan dan kepentingan
politik, baik lambang verbal ataupun lambang nonverbal. Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa negatif dan
postif tergantung dari persepsi dan pemaknaan yang muncul dari khalayak yang menerima dan memaknai pesan komunikasi yang disampaikan. Kekuatan pesan
juga dipengaruhi oleh cara membungkus pesan tersebut.
2.2.3 Kampanye Politik