Metode dan Teknik Analisis Data

24 peneliti memberi pancingan pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan peneliti Mahsun,1995. Selanjutnya teknik dasar tersebut dijabarkan ke dalam dua teknik lanjutan, yaitu teknik lanjutan tatap semuka dan cakap taksemuka. Penelitian ini menggunakan teknik lanjutan berupa teknik cakap semuka. Peneliti langsung mendatangi daerah pengamatan dan melakukan percakapan melalui daftar pertanyaan yang telah disediakan kepada informan. Teknik cakap semuka ini juga didukung oleh teknik catat dan teknik rekam. Teknik catat digunakan peneliti untuk membantu peneliti dan mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data dan teknik catat juga dilengkapi dengan teknik rekam. Teknik rekam untuk melengkapi teknik catat dan dicek kembali dengan rekaman yang dihasilkan. Teknik ini berguna untuk melengkapi dan memperkuat data dalam penelitian. Pada pelaksanaan teknik cakap semuka peneliti langsung melakukan percakapan dengan pengguna bahasa sebagai informan dengan bersumber pada pancingan yang sudah disiapkan berupa daftar tanya atau secara spontanitas pancingan dapat muncul di tengah-tengah percakapan. Teknik pancingan secara spontanitas dapat mengumpulkan data yang benar-benar digunakan oleh penutur bahasa di daerah lokasi penelitian tersebut. Dengan teknik pengumpulan data tersebut diperoleh sejumlah data leksikon yang berbentuk kata dasar seperti pupus ‘anak’, agi ‘adik’, bapa ‘ayah’, nandɛ ‘ibu’, bara ‘bahu’. Dengan teknik pengumpulan data tersebut juga diperoleh data reduplikasi seluruhnya utuh seperti nand ɛ-nandɛ ‘ibu-ibu, bulaŋ- bulaŋ ‘kakek-kakek’, mɛla-mɛla ‘malu-malu’ dan data reduplikasi parsial seperti nanandɛ ‘ibu-ibu’, bubulaŋ ‘kakek-kakek’, mɛmɛla ‘malu-malu.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah semua data dikumpulkan, kemudian diadakan analisis terhadap data untuk menyelesaikan permasalah yang telah dibuat. Metode analisis data yang digunakan dalam Universitas Sumatera Utara 25 penelitian ini adalah metode padan, yaitu metode padan artikulatoris dengan alat penentu referen organ wicara. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu, yaitu penentu artikulatoris dan teknik hubung banding menyamakan dan membedakan. Dengan teknik ini ditentukan bunyi-bunyi bahasa yang bervariasi pada daerah pengamatan. Metode padan tersebut diteruskan dalam metode padan artikulatoris dan digunakan untuk menganalisis data leksikal. Di Desa Singgamanik, Kuta Suah, Munte, Sukarame, Tanjung Beringin, dan Sari Munte menggunakan kata [ ikәt] untuk menyatakan kata ‘ikat’ sedangkan di Desa Guru Benua dan Desa Gunung Saribu menggunakan kata [rakut] untuk menyatakan kata ‘ikat’. Data tersebut akan dianalisis dengan menentukan bahwa [ikәt] dan [rakut] adalah perbedaan leksikon. Contoh: [ikәt] [rakut] 1 2 3 4 5 6 7 8 Metode padan juga digunakan untuk menganalisis data reduplikasi. Metode padan tersebut juga diteruskan dengan metode padan artikulatoris. Hal tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan variasi reduplikasi antara lokasi titik penelitian. Contoh, di Desa Munte, Desa Singgamanik, Desa Kuta Suah, Desa Tanjung Beringin ditemukan data [kukusik] Universitas Sumatera Utara 26 sedangkan di Desa Gunung Saribu, Desa Sarimunte, desa Guru Benua dan Desa Sukarame ditemukan data [kusik- kusik] yang artinya ‘bisik-bisik’ akan dianalisis dengan menentukan bahwa [kukusik] merupakan reduplikasi sebagian dan [kusik-kusik] merupakan reduplikasi seluruhnya. Contoh: ‘bisik-bisik’ [kukusi?] [kusi?-kusi?] 1 2 3 4 5 6 7 8 Metode padan dalam penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan metode berkas isoglos dan metode dialektometri. Isoglos pada dasarnya merupakan sebuah garis imajiner yang diterakan pada sebuah peta Lauder dalam Mahsun, 1995:124. Batasan isoglos adalah membedakan daerah - daerah pengamatan yang memiliki gejala kebahasaan dengan daerah-daerah pengamatan lain yang juga memiliki gejala kebahasaan yang sama. Cara pembuatan isoglos adalah: 1. Membuat garis melengkung pada daerah pengamatan dalam peta. Garis tersebut berfungsi untuk menyatukan daerah-daerah yang memilik gejala kebahasaan yang sama serta membedakan daerah-daerah lain yang memiliki gejala bahasa yang sama; Universitas Sumatera Utara 27 2. Membuat isoglos yang realisasi bentuknya memiliki sebaran yang paling luas; 3. Setiap perbedaan hanya dihitung satu isoglos, tanpa memperhatikannya sebagai korespondensi atau variasi Mahsun, 1995:130. Untuk analisis variasi reduplikasi, peneliti hanya membahas sampai pada pemetaan dan berkas isoglos. Sedangkan, pada analisis variasi leksikon, peneliti selanjutnya membahas sampai pada data statistik bahasa atau dialektometri. Setelah semua peta telah dibubuhi isoglos, kemudian diambil sebuah peta dasar untuk membuat sebuah berkas isoglos. Pengelompokan isoglos yang kemudian disalin pada peta dasar itulah yang disebut berkas isoglos. Penelitian ini juga menggunakan metode dialektometri. Dialektometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat tersebut Revier dalam Mahsun, 1995: 118. Selanjutnya dalam persentase status dialek yang diteliti digunakan rumus : S x 100 = d n Keterangan : S = Jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n = Jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak kosakata dalam persentase Universitas Sumatera Utara 28 Hasil yang diperoleh berupa presentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan tersebut, yaitu: Perbedaan bidang leksikon: 81 ke atas : dianggap perbedaan bahasa 51- 80 : dianggap perbedaan dialek 31 – 50 : dianggap perbedaan subdialek 21 – 30 : dianggap perbedaan wicara di bawah 20 : dianggap tidak ada perbedaan Penghitungan dengan dialektometri dilakukan dengan dua cara yaitu segitiga antardaerah pengamatan dan permutasi antardaerah pengamatan. Penelitian ini menggunakan penghitungan dengan segitiga antardaerah pengamatan. Mahsun 1995:119 menyatakan penghitungan dengan segitiga antardaerah pengamatan dilakukan dengan beberapa ketentuan yaitu: 1. Daerah pengamatan yang diperbandingkan hanya daerah pengamatan yang berdasarkan letaknya masing-masing mungkin melakukan komunikasi. 2. Setiap daerah pengamatan yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan sebuah garis, sehingga diperoleh segitiga-segitiga yang beragam bentuknya.. 3. Garis-garis pada segitiga dialektometri tidak boleh saling berpotongan, pilih salah satu kemungkinan saja dan sebaiknya dipilih lokasi yang memiliki kedekatan satu sama lain. Mahsun, 1995:119. Universitas Sumatera Utara 29 Hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pengamatan di atas dalam dialektometri adalah sebagai berikut: 1. Jika pada sebuah daerah pengamatan ditemukan lebih dari satu bentuk untuk menyatakan suatu makna dan salah satu katanya digunakan di daerah yang diperbandingkan, maka perbedaan itu dianggap tidak ada. 2. Bila pada daerah pengamatan yang dibandingkan itu tidak terdapat suatu bentuk realisasi untuk suatu makna tertentu, maka dianggap ada perbedaan. 3. Jika daerah-daerah pengamtan yang diperbandingkan itu tidak memiliki bentuk untuk merealisasikan suatu makna tertentu, maka daerah-daerah pengamatan itu dianggap sama. 4. Dalam penghitungan dialektometri pada bidang leksikon, perbedaan fonologi, dan morfologi yang muncul harus dikesampingkan. 5. Hasil penghitungan dipetakan dengan sistem konstruksi pada peta segitiga dialektometri. Mahsun, 1995:119. Melalui perhitungan tersebut kita dapat mengetahui apakah perbedaan pada aspek reduplikasi dan perbedaan pada bidang leksikon tersebut berupa perbedaan bahasa, perbedaan dialek, perbedaan subdialek, perbedaan wicara, atau tidak ada perbedaan.

3.5 Metode dan Teknik Penyajian Data