Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi ini dibuat, maka hal itu akan menjadi
tanggung jawab penulis itu sendiri.
E. Tinjauan Kepustakaan.
Di dalam melakukan kerjasama internasional, kita pasti berpendapat bahwa kerjasama yang dilakukan tentunya antara negara. Namun tidak semua
kerjasama internasional tersebut subjeknya negara dengan negara, bisa juga negara dengan daerahkota, provinsi maupun Kerjasama Ekonomi Sub-regional.
Ini dapat kita lihat dari Pasal 1 konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian yang telah membatasi berlakunya konvensi hanya pada perjanjian-perjanjian antar
negara; dengan mengatakan “The present Convention applies to trieties between states”
8
Kemudian ketentuan dalam Pasal 1 Konvensi Wina 1969 tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 6, menyangkut kapasitas dari negra untuk
membentuk perjanjian internasional. Secara tegas Pasal 6 Konvensi Wina 1969 menyatakan “every states possesses capacity to conclude treaties”
. Hal ini tidak berarti bahwa hanya negara saja yang dapat menjadi peserta dalam perjanjian-perjanjian internasional, melainkan terkandung keinginan untuk
mengatur perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum internasional lainnya secara tersendiri. Kenyataanya pada Tahun 1986 telah ditetapkan “vienna
convention on the law of the treaties” yang berlaku bagi organisasi Internasional.
9
8
Konvensi Wina 1969, Pasal 1
9
Konvensi Wina 1969, Pasal 6.
. Pengertian “state” negara yang dipergunakan dalam Pasal 6 Konvensi Wina 1969 diatas
mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian “state” yang dipakai dalam
Universitas Sumatera Utara
piagam PBB dan statuta Mahkamah Internasional yaitu “state for the purpose of internasional law”.
Hal ini tidak menutup kemungkinan suatu wilayah yang merupakan bagian dari suatu negara dalam tulisan ini yang dimaksud adalah Provinsi,
KabupatenKota dan Kerjasama Ekonomi oleh Daerah dalam lingkup Sub- Regional turut serta dalam pembuatanpembentukan perjanjian internasional,
sejauh hukum nasional memperbolehkan. Dalam kaitan dengan kewenangan suatu negara bagian untuk membentuk
perjanjian internasional, D.J Harris memberikan pendapatnya sebagai berikut: “More frequently the treaty-making capacity is vested exclusively in the
federal gonverment, but there is no rule of internasional law which precludes the component state from being invested with the power to conclude treaties with
third states. Questions may arise in some cases as to wheather the component state or in its own right. But on this point also the solution must be sought in the
provisions of the federal constitution.
10
Dari pendapat beliau tersebut diatas, dapatlah di tarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hukum internasional tidak membatasi pemberian wewenang dari
pemerintah federal kepada negara bagian dalam pembentukan perjanjian internasional. 2. Pembentukan perjanjian internasional oleh negara bagian selain
dilakukan sebagai organ negara pemerintah federal atau dasar hak negara bagian. 3. Penyelesaian masalah tersebut tergantung dari konstitusi federal.
10
D.J Harris, Cases and Materials on internasional law, Sweet Maxwell, London 1983.hal 53.
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian.