tidak mungkin karena lenyapnya objek atau tujuan yang menjadi pokok perjanjian itu, misalnya lenyapnya suatu pulau, keringnya sebuah sungai atau hancurnya
suatu bendungan hydroelektrik yang mutlak diperlukan bagi pelaksanaan perjanjian itu.
B. Perjanjian Sebagai Instrumen Hubungan Kerjasama Internasional.
Sebelum Tahun 1969 hukum perjanjian internasional terdiri dari kaidah- kaidah hukum kebiasaan internasional. Kaidah-kaidah ini untuk sebagian besar
telah dikodifikasikan dan disusun kembali dalam konvensi Wina tentang hukum Perjanjian Internasional Vienna Convention on the Law of Treaties, yang
dibentuk pada tanggal 23 Mei 1969 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Januari 1980 menyusul masuknya 35 ratifikasi atau aksesi sebagaimana disyaratkan oleh
Pasal 84 Konvensi, selanjutnya konvensi ini akan disebut sebagai Konvensi Wina.
54
Sesuai dengan definisi yang dipakai dalam Pasal 2 Konvensi, sebuah perjanjian internasional dapat didefinisikan sebagai suatu perjanjian dimana dua
negara atau lebih mengadakam hubungan diantara mereka yang diatur oleh hukum internasional. Memang istilah traktat dapat dianggap sebagai nama umum dalam
hukum internasional dan dapat mencakup perjanjian antara organisasi-organisasi internasional disatu pihak dan sebuah negara di pihak lain meskipun harus diingat
bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi Wina tidak berlaku terhadap instrumen lain tersebut, melainkan menunjuk pada perjanjian antra negara-negara yang dibuat
54
T. May Rudy. Hukum Internasional. PT. Refika Aditama. Bandung. 2002. Hal. 130.
Universitas Sumatera Utara
dalam bentuk tertulis. Di lingkungan internasional, perjanjian itulah yang digunakan untuk hampir setiap jenis perbuatan hukum atau transaksi, mulai dari
persetujuan yang sifatnya bilateral semata-mata antara negara-negara sampai suatu perjanjian yang sifatnya paling pokok seperti instrumen konstitusi
multilateral sebuah organisasi internasional. Hampir dalam semua kasus, tujuan sebuah perjanjian internasional adalah untuk membebankan kewajiban-kewajiban
yang mengikat terhadap negara-negara pesertanya. Penggolongan perjanjian internasional dari segi jumlah negara yang ikut
serta mengikat perjanjian dapat dibedakan antara perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral.
Perjanjian bilateral dalah perjanjian yang diadakan oleh dua buah negara untuk mengatur kepentingan dua belah pihak. Contoh perjanjian Republik
Indonesia dengan Republik Rakyar Cina mengenai Dwikewarganegaraan Tahun 1954.
55
Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak negra dan sebagian dibawah pengawasan organisasi internasional seperti PBB, ILO,
WHO, UPU, dan lain-lain.
56
55
Ibid hal 127.
56
Ibid.
Perjanjian-perjanjian multilateral yang memuat hukum kebiasaan internasional akan berlaku juga bagi negara-negara yang bukan peserta, tidak
diikat oleh perjanjian melainkan oleh hukum kebiasaan, walaupun formulasi akhir dari hukum tersebut dalam perjanjian mungkin penting.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian yang bersifat bilateral juga dapat mengikat pihak ketiga berdasarkan alasan yang sama dengan menentukan unsur-unsur penting dalam
pembentukan hukum kebiasaan internasional. Pada umumnya hanya negara-negara yang memenuhi syarat
ketatanegaraan menurut Hukum Internasional dan organisasi internasional yang dapat menjadi peserta Perjanjian internasional.
Pengecualian dari kaidah umum tersebut adalah: 1.
Perjanjian internasional dengan nama para pesertanya bertujuan untuk memberikan hak kepada negara-negara ketiga, dengan
pernyataan tegas atau anggapan adanya persetujuan, seperti perjanjian yang mengatur penyelesaian internasional.
2. Perjanjian multilateral yang menyatakan berlakunya hukum
kebiasaan internasional jelas kan berlaku terhadap yangbukan peserta, tetapi keadaan yang sebenarnya adalah bahwa pihak ketiga
bukan peserta itu bukan terikat oleh perjanjian melainkan oleh kaida-kaidah umum kebiasaan tersebut, meskipun rumusan dalam
perjanjian itu justru punya arti penting. 3.
Perjanjian multilateral yang menciptakan kaidah-kaidah hukum internasional baru dapat mengikat pihak-pihak bukan peserta
dengan cara yang sama dengan semua kaidah hukum internasional. 4.
Beberapa konvensi multilateral tertentu yang dimaksudkan untuk berlaku secara universal dapat menentukan dalam isinya untuk
memberlakukan kepada pihak-pihak yang bukan peserta.
Universitas Sumatera Utara
5. Pasal 35 Konvensi Wina menyatakan bahwa suatu kewajiban
timbul terhadap negara ketiga dari suatu ketetentuan, apabila peserta-peserta perjanjian menghendaki tersebut dipakai sebagai
sarana menetapkan kewajiban dan negra ketiga menerima kewajiban itu secara tertulis.
57
Apabila salah satu perjanjian internasional terkait menentukan bahwa perjanjian internasional ini tunduk kepada atau bahwa perjanjian tersebut tidak
harus dianggap bertentangan dengan perjanjian sebelumnya atau perjanjian berikutnya, maka ketentuan dari perjanjian terakhir inilah yang harus berlaku
Konvensi Wina Pasal 30 ayat 2. Sebaliknya, diantara para peserta perjanjian lama yang juga menjadi peserta perjanjian yang baru, maka perjanjian yang lama
mengatur sejauh yang berkesusaian dengan perjanjian baru Pasal 30 ayat 2. Lebih lanjut antara suatu negara peserta pada kedua perjanjian dan negara peserta
pada hanya salah satu dari perjanjian itu, maka perjanjian yang berlaku adalah perjanjian dimana kedua negara itu menjadi peserta.
Validitas perjanjian-perjanjian internasional berkurang apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Ketidakcakapan membuat perjanjian.
2. Kekeliruan.
3. Tipu muslihat.
4. Kecurangan.
5. Pemaksaan.
57
Ibid hal 132.
Universitas Sumatera Utara
6. Bertentangan dengan suatu norma jus cogens.
58
Teori kekuatan mengikat hukum internasional 1.
Teori Hukum Alam Natural Law Menurut para penganut ajaran hukum ini, hukum internasional itu
mengikat karena yaitu tidak lain daripada Hukum Alam yang diterapkan pada kehidupan masyrakat bangsa-bangsa. Dengan kata
lain negara terikat pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lai, karena hukum internasional dala
hubungan antara mereka satu sama lain, karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi
yaitu hukum alam. Tokohnya antara lain Hugo Grotius dan Emmerich Vatell.
2. Teori yang mengatakan bahwa hukum internasional tidak lain dari
pada hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Hukum internasional bukan suatu yang lebih tinggi yang
mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara. Tokohnya yaitu hegel, George Jelinneck dan Zorn.
3. Teori yang menyandarkan kekuatan mengikat hukum internasional
pada kemauan bersama. Hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak mereka satu-persatu untuk terikat,
melainkan karena adanya suatu kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada
58
Ibid hal 134.
Universitas Sumatera Utara
hukum internasional. Teori ini disebut juga sebagai “vereinbarung theory”. Tokohnya yang terkenal yaitu Triepel.
4. Teori yang mendasarkan asas pacta sunt servanda sebagai kaidah
dasar hukum internasional. Teori ini bertolak dari ajaran Mahzab wWina yang mengembalikan segala sesuatunya kepada kaidah
dasar memang dapat menerangkan secara logis darimana kaidah hukum internasional itu memperoleh kekuatan mengikatnya tetapi
ajaran ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat. Tokohnya itu Kelsen.
5. Teori yang berdasarkan kekuatan mengikat hukum internasional
pada faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan Fakta-fakta Kemasyarakatan. Menurut teori ini dasar
kekuatan mengikat hukum internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum ini mutlak perlu untuk dapat
terpenuhnya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat. Teori ini mendasarkan diri pada Mahzab Prancis dengan tokoh-tokohnya
yaitu, Fauchile, Scele, dan Duguit.
59
C. Kewajiban Dan Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Kerjasama Luar Negeri Oleh Daerah.