Latar Belakang. PENUTUP A.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan hubungan satu sama lain. Hubungan antara anggota masyarakat ini kemudian meluas tidak hanya terbatas anggota masyarakat dalam satu negara saja tetapi kemudian meluas melewati batas negaranya. Kebutuhan hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain makin bertambah dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi pengangkutan, komunikasi dan informasi. 1 Perubahan peta bumi politik masyarkat internasional melalui lahirnya negara-negara baru sebagai anggota masyarakat internasional serta perkembangan dan kemajuan teknologi telah mengharuskan adanya hubungan-hubungan yang tetap dan terus menerus diantara negara-negara. Adanya kemauan negara-negara dalam suatu masyarakat internasional untuk menjalin hubungan kerjasama satu sama lain secara timbal balik merupakan pencerminan keterbatasan dari setiap negara dalam hal memenuhi segala kebutuhannya atau adanya saling ketergantungan diantara semua negara. Disamping kebutuhan dari negara untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan penghormatan terhadap kemerdekaan negara, telah mengharuskan negara-negara untuk hidup berdampingan secara 1 Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 2004. Hal.1. Universitas Sumatera Utara damai melalui hubungan-hubungan internasional yang teratur. Hubungan- hubungan internasional diantara negara-negara sebagai anggota masyarkat internasional yang didasarkan pada kebutuhan, kepentingan dan kemampuan yang berbeda-beda serta keinginan untuk hidup berdampingan secara damai, perlu diatur dan dipelihara. Untuk itu diperlukan hukum demi menjamin kepastian dalam setiap hubungan yang teratur dengan hukum, dan hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah hukum internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional itu adalah merupakan keseluruhan kaedah-kaedah dan azas-azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara-negara antara: 1. Negara dengan negara. 2. Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain. 2 Kaedah - kaedah dan azas-azas hukum internasional yang mengatur hubungan-hubungan yang melintasi batas negara tersebut, sumber formalnya secara tegas tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional Statute of the International Court of Justice. Pada Pasal 38 ayat 1 statuta Mahkamah Internasional menempatkan perjanjian internasional pada kedudukan pertama sebagai sumber formal hukum internasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa praktek negara-negara selalu menggunakan perjanjian internasional untuk mengatur hubungan-hubungan diantara negara. Karena itu menjadi jelas, pentingnya perjanjian internasional 2 Mochtar Kusumaatmadja.Pengantar Hukum Internasional.PT. Alumni. Bandung. 2003. Hal 3. Universitas Sumatera Utara sebagai sarana bagi pengaturan hubungan-hubungan internasional demi menjaga ketertiban masyarakat internasional. Namun sekalipun ketentuan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional menempatkan perjanjian internasional sebagai sumber pertama hukum internasional, namun dalam pelaksanaannya tidak semua perjanjian internasional secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Dalam hal ini teori hukum internasional membedakan dua golongan perjanjian internasional, yaitu: 1. “law Making treaties” dan 2. “treaty contracts”. ”law making treaties” merupakan perjanjian-perjanjian internasional mengandung kaedah-kaedah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa; sehingga dengan demikian dikategorikan sebagai perjanjian-perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional. Di lain pihak perjanjian-perjanjian yang berbentuk “treaty contracts” hanya mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan- hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak yang mengadakan saja, sehigga dengan demikian hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian. Dalam hal ini “treaty contracts” hanya dapat membentuk kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum, melalui proses hukum kebiasaan internasional. 3 Dalam penulisan ini, perjanjian-perjanjian yang berbentuk “treaty contracts” menjadi landasan pembahasan karena berkaitan dengan persetujuan kerjasama antar daerahkota, kerjasama provinsi dan kerjasama ekonomi sub- 3 Ibid. Universitas Sumatera Utara regional KERS yang melintasi batas negara kerjasama internasional. Hal ini penting karena suatu perjanjian kerjasama internasional yang dilaksanakan oleh daerahkota, provinsi serta koordinasi kerjasama ekonomi sub regional KERS dengan pihak asing hanya mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan atau persoalan dan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kerjasama itu. Kenyataannya bahwa praktek negara-negara selalu menggunakan perjanjian internasional untuk mengatur hubungan-hubungan antar negara sehingga menempatkannya sebagai sarana bagi pengaturan hubungan internasional, telah mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB untuk melakukan kodifikasi hukum perjanjian internasional dalam suatu konvensi. Keinginan ini diwujudkan dalam Konvensi Wina Tahun 1969, dimana dihasilkan suatu naskah hukum perjanjian yang dikenal dengan nama “Vienna Convention On the Law of the Treaties”. Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional ini tidak saja mengakomodasi hukum kebiasaan internasional dalam bidang hukum perjanjian, tetapi mengakomodasi hukum kebiasaan internasional dalam bidang hukum perjanjian, tetapi sekaligus mengembangkan secara progresif hukum internasional tentang perjanjian. Di lain pihak, Konvensi Wina 1969 tetap mengakui eksistensi hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya mengenai masalah- masalah yang tidak atau belum diatur. Kemudian bagi organ-organ pemerintah yang beritndak atas nama negara dalam melakukan perjanjian internasional, maka utusan-utusan pejabat organ Universitas Sumatera Utara pemerintah tersebut haruslah mendapatkan kuasa penuh full power sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969. Dalam hal ini seseorang dianggap mewakili suatu negara untuk membuat perjanjian atau dengan tujuan menyatakan setujunya negara terikat pada perjanjian apabila: a. Ia memperlihatkan “Full Power” yang layak. b. Terlihat dari praktek negara tersebut yang menyatakan bahwa orang tersebut dianggap mewakili negara. 4 Atas dasar fungsi-fungsi yang dilakukan maka tanpa memperlihatkan “Full Power”, maka dianggap mewakili negara secara langsung: a. Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri. b. Kepala Misi Diplomatik. c. Wakil-wakil yang dikirim suatu negara ke konfrensi internasional. 5 Perkembangan dalam masyarakat internasional dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan-hubungan internasional, tidak semata-mata dilakukan antar negara saja, tetapi organ-organ di dalam suatu negara juga melakukan hubungan internasional yang melintasi batas-batas negara. Kenyataannya telah berkembang dengan pesat hubungan-hubungan internasional antar kota-kota dua negara yang dikenal sebagai kerjasama antar kota Sister City Cooperation. Di samping itu juag dikenal kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang merupakan kerjasama daerah dengan luar negeri. Hubungan kerjasama antar kota secara internasional 4 Pasal 7 ayat 1 Konvensi Wina 1969. 5 Pasal 7 ayat 2 Konvensi Wina 1969. Universitas Sumatera Utara dimaksudkan agar terdapat kesamaan strategi bagi pembangunan agar bermanfaat bagi pariwisata, pembangunan sosial ekonomi kota-kota lain. Kerjasama antar kotadaerah sebagai bagian kerjasama ekonomi dan sosial internasional yang melintasi batas-batas negara, tunduk pada kaedah-kaedah hukum internasional. Dalam hal ini kotadaerah yang mewakili Pemerintah Daerah dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan hukum internasional, apabila diperkenankan oleh “negara” pemerintah pusat. Dalam hal ini kedudukan Pemerintah Daerah sebagai organ negara adalah sebagai badan hukum publik yang mempunyai hak, kewajiban dan tanggungjawab. Sebagai badan hukum publik Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama antar kota apabila mendapatkan wewenang dari negara Pemerintah Pusat. Wewenang pemeritah daerahkota sebagai organ negara untuk melakukan kerjasama antar kota didasarkan pada “mandat” mandaat yang diberikan Pemerintah Pusat. Dalam pergaulan hukum, madat merupakan suatu bentuk pemberian kekuasaan lastgeving maupun kuasa penuh volmacht. Dari segi Hukum Perjanjian Internasional, siapapun dapat diterima sebagai perwakilan suatu negara untuk kepentingan membentuk perjanjian internasional sejauh ia dapat menunjukan memiliki kuasa penuh full power dari negara. Konsekuensi dari pemberi mandat berupa ”full power” dari negara pemerintah pusat bertanggung jawab sepenuhnya atas kerjasama tersebut. Dalam hal ini apalagi terjadi pelanggaran kewajiban internasional dalam pelaksanaan kerjasama antar kota, maka tanggung jawab dapat dibedakan kepada negara berdasarkan prinsip “imputability” dalam hukum internasional. Universitas Sumatera Utara Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini telah memacu semakin intensifnya interaksi antar negara dan antar bangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah mempengaruhi pula potensi kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya Indonesia dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh Pemerintah, organisasi non-pemerintah, swasta dan perorangan. Kenyataannya ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditunjukan untuk melindungi kepentingan negara dan warga negara serta pada gilirannya memperkokoh Negara Kesatuan Rapublik Indonesia. 6 Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggara hubungan luar negeri, pelaksaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional. Kedua perangkat hukum ini menandai dibukannya paradigma baru bagi Indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri untuk memenuhi tuntutan zaman yang bergerak cepat. 7 Dengan adanya paradigma baru ini, tentunya mengubah pemahaman yang selama ini ada bahwa hubungan luar negeri merupakan monopoli negara state actors. Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kemungkinan daerah untuk mengadakan hubungan dan kerjasama dengan pihak asing. 6 Hasan Wirajuda. Panduan Umum T ata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Sambutan Revisi Tahun 2006 7 Ibid. Universitas Sumatera Utara

B. Permasalahan.