Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional.

BAB III KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI OLEH DAERAH DITINJAU

DARI HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional.

Perkataan sumber hukum dipakai dalam beberapa arti. Kata sumber hukum ini pertama-tama dipakai dalam arti dasar berlakunya hukum. Dalam arti ini yang dipersoalkan ialah apa sebabnya hukum ini mengikat? Sumber hukum dalam arti ini dinamakan sumber hukum dalam arti material karena menyelidiki masalah: apakah yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikat hukum dalam hal ini hukum internasional, sumber hukum dalam arti material ini telah diperbincangkan dalam bab terdahulu. Arti kedua kata sumber hukum ialah sumber hukum dalam arti formal yang memberi jawaban kepada pertanyaan: dimanakah kita mendapatkan ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam satu persoalan yang kongkret.Hukum tertulis ada dua tempat yang menunjukan atau mencantumkan secara tertulis sumber hukum dalam arti formal yakni Pasal 7 Konvensi Den Haag XII tertanggal 18 oktober 1907 yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan kapal di Laut Internasioanal Prize Court dan dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB tertanggal 26 Juni 1945. 42 42 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. PT. Alumni. Bandung. 2003. Hal 114. Universitas Sumatera Utara Dari kedua dokumen tertulis yang berisikan penunjukan pada sumber hukum formal di atas hanya yang tersebut belakangan sajalah yang penting bagi kita, karena Mahkamah Internasional mengenai perampasan kapal tidak pernah terbentuk dalam kenyataannya sebab tidak mencapai jumlah ratifikasi yang diperlukan. Dengan demikian, bagi hukum internasional positif hanya Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sajalah yang penting. Pasal 38 ayat 1 mengatakan bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Mahakamah Internasional akan mempergunakan: 1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa. 2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan hukum umum yang telah diterima sebagai huku m. 3. Prinsip hukum umum yang diakaui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 4. Keputusan pengadilan dan ajaran sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum. 43 Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. jadi pertama-tama termasuk di dalamnya perjanjian antara negara-negara. Disamping itu, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional misalnya antara Amerika Serikat dengan PBB di New york dan perjanjian antara suatu 43 Ibid. Hal 115. Universitas Sumatera Utara organisasi internasioanl dengan organisasi internasioanl lainnya, juga dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan antara Takhta Suci dengan negara-negara, walaupun yang diatur dalam perjanjian itu semata- mata urusan gereja dan bukan urusan kenegaraan, karena Takhta Suci merupakan subjek hukum yang diakui dalam hukum internasional. 44 Pada satu pihak terdapat perjanjian internasional yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi, dan pada pihak lain perjanjian internasional yang hanya melewati 2 tahap yakni perundingan dan penandatanganan. Biasanya perjanjian golongan pertama diadakan untuk hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian treaty making power, sedangkan perjanjian golongan kedua yang lebih sederhana sifatnya diadakan Hukum internasional dewasa ini ada kecenderungan mengatur hukum perjanjian anatara organisasi internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi internasional dengan subjek hukum internasional lain secara tersendiri. Kecenderungan yang disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari organisasi internasional di lapangan ini dan adanya ciri khusus perjanjian yang diadakan badan-badan demikian tampak misalnya dalam Konfrensi Internasional mengenal Hukum Perjanjian Internasional yang diadakan di Vienna pada Tahun 1968. Konvensi Hukum Perjanjian Vienna dengan tegas menyatakan bahwa konvensi ini hanya mengatur perjanjian yang diadakan oleh organisasi-organisasi atau badan internasional secara tersendiri. 44 Ibid. Universitas Sumatera Utara untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat seperti misalnya perjanjian perdagangan yang berjangka pendek. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama nomenclature perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Terdapat enam klasifikasi perjanjian menurut materi yang pengesahannya perlu dilakukan dengan undang-undang, yaitu perjanjian yang berkenaan: 1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara. 2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia. 3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara. 4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup. 5. Pembentukan kaidah hukum. 6. Pinjaman danatau hibah luar negeri. 45 Sedangkan pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundangan- undangan nasional. 45 Ibid. Hal 121. Universitas Sumatera Utara Perjanjian-perjanjian yang disahkan melalui keputusan presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah, walaupun tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan perjanjian Internasional tersebut karena pada umumnya pengesahan dengan keputusan presiden hanya dapat dilakukan bagi perjanjian Internasional bidang teknis. Di dalam melaksanakan fungsi dan wewenang, Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat. 46 Perbedaan antara treaty contract dan law making treaties jelas tampak bila dilihat dari pihak yang tidak turut serta pada perundingan yang melahirkan perjanjian tersebut . pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty contract yang diadakan antara para pihak yang mengdakan perjanjian itu semula. Perjanjian itu mengatur persoalan yang semata-mata mengenai pihak-pihak itu. Dengan perkataan lain, pihak ketiga yang tidak berkepentingan misalnya, Suatu penggolongan yang lebih penting dalam rangka pembahasan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan perjanjian dalam treaty contract traite contract dan law making treaty traite lois. Dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antar para pihak yang mengadakan perjanjian itu. 46 Ibid. Universitas Sumatera Utara Australia tidak akan dapat turut serta dalam suatu perjanjian mengenai pemberantasan penyeludupan dan bajak laut antara Philipina dan Indonesia atau dalam perjanjian dwikewarganaan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Sebaliknya, suatu perjanjian yang dinamakan law making traty atau traite lois selalu terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak turut serta dalam perjanjian, karena yang diatur oleh perjanjian itu merupakan maslah umum mengenai semua anggota masyrakat internasional. Misalnya negara Ghana, Guinea, Tanzania dapat turut serta dalam Konvensi Jenewa pada Tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, walaupun negara-negara itu tidak turut serta dalam Konfrensi Jenewa pada Tahun 1949 yang menyusun konvensi- konvensi tersebut bahkan, negara-negara tadi pada waktu itu belum ada. 47 Law making treaties merupakan perjanjian-perjanjian internasioanal yang mengandung kaedah-kaedah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa, sehingga dengan demikian diaktegorikan sebagai perjanjian internasional yang bersumber langsung pada hukum internasional. Jadi law making treaty merupakan perjanjian yang selalu terbuka bagi pihak lain yang tadinya ikut serta dalam perjanjian, karena yang diatur adalah masalah umum yang mengenai semua anggota masyarakat internasional. 48 Treaty contract adalah perjanjian sepert suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban 47 Ibid. Hal 123. 48 T. May Rudy. Hukum Internasional. PT. Refika Aditama. Bandung. 2002. Hal. 129. Universitas Sumatera Utara diantara pihak yang mengadakan perjanjian. Hal-hal yang diatur dalam treaty contract adalah hal-hal yang hanya berlaku pada peserta perjanjian. Pihak-pihak yang belum menjadi peserta tidak boleh jadi peserta, kecuali isi perjanjian itu diubah. Mengingat pentingnya perjanjian internasional sebagai sumber hukum akan diuraikan lebih lanjut mengenai perjanjian ini dengan membaginya dalam 2 bagian yaitu: 1. Tentang hal membuat dan mulai berlakunya perjanjian. 2. Tentang hal punahnya perjanjian. Uraian ini terbatas pada perjanjian yang diadakan antara negara-negara. 49 a. Tentang hal membuat perjanjian internasional. Tentang hal membuat perjanjian internasional dapat dibagi lagi dalam 3 tahap yaitu: 1. Perundingan negotiation. Kebutuhan negara akan berhubungan dengan negara lain untuk membicarakan dan memecahkan berbagai masalah yang timbul dianatara negara-negara itu akan menimbulkan kehendak negara- negara untuk mengadakan perundingan yang dapat melahirkan suatu treaty. 2. Penandatanganan signature. 49 Uraian yang menyusul untuk sebagian besar didasarkan atas ketentuan-ketentuan konvensi Vienna Tahun 1968. Universitas Sumatera Utara Setelah berakhirnya perundingan tersebut, maka pada teks treaty yang telah disetujui itu oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tandatangan dibawah treaty. Akibat penandatanganan suatu treaty tergantung pada ada tidaknya ratifikasi treaty itu, apabila traktat harus diratifikasi maka penandatanganan hanya berarti bahwa utusan-utusan telah menyetujui teks dan bersedia menerimanya. 3. Pengesahan ratification. Ratifikasi yaitu pengesahan atau penguatan terhadap perjanjian yang telah ditandatangani. Ada tiga sistem menurut mana ratifikasi diadakan yaitu: a Ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif b Ratifikasi dilakukan oleh badan perwakilan legislatif c Sistem dimana ratifikasi perjanjian dilakukan bersama- sama oleh badan legislatif dan eksekutif. 50 Seseorang hanya dapat dianggap mewakili suatu negara dengan sah sehingga dapat mensyahkan naskah suatu perjanjian internasional atas nama negara itu dan atau mengikat negara itu pada perjanjian apabila ia dapat menunjukan surat kuasa penuh full powers, atau credentials kecuali jika dari semula perserta konfrensi sudah menentukan bahwa surat kuasa penuh demikian tidak diperlukan. Keharusan menunjukan suarat kuasa penuh tidak berlaku lagi bagi: kepala negara, kepala pemerintahan perdana menteri, menteri luar negeri 50 T. May Rudy. Hukum Internasional 2. PT. Refika Aditama. Bandung. 2002. Hal. 128. Universitas Sumatera Utara yang karena jabatannya dianggap sudah mewakili negaranya dengan sah dan dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat sah dan dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat negaranya pada perjanjian yang diadakan. 51 b. Tentang hal berakhir atau ditangguhkan berlakunya perjanjian. Hukum internasional dewasa ini juga memungkinkan seseorang yang tidak memiliki surat penuh, mewakili suatu negara dalam konfrensi dalam konfrensi internasional yang mengikat negara itu dalam pembentukan suatu perjanjian asal saja tindakan orang tersebut kemudian disahkan oleh pihak yang berwenang dari negara yang bersangkutan. Secara umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab yang tersebut dibawa ini: 1. Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu. 2. Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu. 3. Karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu. 4. Karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu. 5. Karena diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang terdahulu. 6. Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri dan, 51 Ibid. Hal 126 Universitas Sumatera Utara 7. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lainnya. 52 Pembatalan sepihak denunciation oleh salah satu peserta atau pengunduran diri dari suatu perjanjian merupakan suatu hal yang menimbulkan kesulitan apabila tidak diatur dalam perjanjian itu. Walaupun sukar sekali menetapkan apa yang terjadi menurut hukum apabila terjadi pembatalan atau pengunduran diri suatu pihak dari perjanjian yang tidak memuat ketentuan mengenai pembatalan atau pengunduran demikian walaupun tidak tertulis dalam perjanjian dapat diadakan apabila pembatalan atau pengunduran demikian telah disepakati oleh para peserta atau dianggap tercakup dalam sifat perjanjian itu sendiri. Dalam praktik terdapat juga beberapa contoh bahwa force majeur vis Major telah dikemukakan sebagai alasan untuk tidak dipenuhinya kewajiban oleh salah satu peserta dalam perjanjian. Dalam pendapatnya yang terpisah separate opinion dalam perkara Oscar Chinn, Hakim Anzilotti mengatakan: “....the situation would have been entirely different if the belgian governmenthad been acting under the law of necessity, since necessity may excuse the non-observance of internasional obligations”. 53 Sangat mirip dengan alasan force Majure yaitu ketakmungkinan salah satu pihak peserta melaksanakan kewajibannya menurut perjanjian impossibility of performance. Alasan ini bisa dikemukakan apabila pelaksaan kewajiban menjadi 52 Mochtar Kusumaatmadja. Masalah Lebar Laut Teritorial Dalam Konfrensi-konfrensi Hukum Laut Jenewa. Tahun 1958 dan Tahun 1960. Bandung 1962. Hal 270-271. 53 Oscar Chinn case 1934 P.C.I.J Series AB No.63. Universitas Sumatera Utara tidak mungkin karena lenyapnya objek atau tujuan yang menjadi pokok perjanjian itu, misalnya lenyapnya suatu pulau, keringnya sebuah sungai atau hancurnya suatu bendungan hydroelektrik yang mutlak diperlukan bagi pelaksanaan perjanjian itu.

B. Perjanjian Sebagai Instrumen Hubungan Kerjasama Internasional.